Malam itu aku menuju stasiun Pasar Turi untuk naik kereta jurusan
Surabaya-Jakarta. Aku ada tugas mengurus sesuatu di sana selama empat
hari. Sebenarnya kantorku mengizinkan aku naik pesawat, namun aku
menolaknya karena aku lebih suka naik kereta. Sesampainya di peron, aku
pun menunggu di area bebas rokok dan melihat-lihat sekeliling. Tidak
banyak penumpang yang terlihat. Sampai aku melihat sosok itu. Awalnya
aku tidak terlalu memperhatikan, namun seiring dengan langkahnya menuju
area bebas rokok mau tak mau aku pun memperhatikannya. Pria itu
mengenakan jaket hitam, celana panjang coklat, dan sabuk putih yang
segera kukenali sebagai sabuk polisi. Wajahnya tampan dan rapi sekali,
tak ada satu helaipun kumis ataupun janggut--aku spontan mengelus
kumisku yang agak jarang namun tak rapi karena belum kucukur. Badannya
masih tegap berisi; kuamati perutnya belum membuncit. Kucuri pandang
sedikit area bawah perutnya, cukup besar. Ideal nih, pikirku dalam hati.
Apa ia bakal segerbong denganku ya... Tak dinyana ia duduk di sebelahku
dan menyapa dengan ramah, "Malam Mas, ke Jakarta juga ya?"
"Malam juga Mas, iya ke Jakarta, ada urusan kerja."
"Sendiri aja Mas?"
"Iya nih nggak ada temannya. Kalau Mas sendiri?"
"Wah kebetulan saya juga mau ke Jakarta. Gerbong berapa Mas?"
"Gerbong lima."
"Lha saya juga gerbong lima, kursi berapa Mas?"
"5A. Jangan bilang Mas-nya 5B," ujarku sambil tertawa kecil, walaupun
dalam hati aku sangat berharap demikian. "Kayanya memang kita
ditakdirkan berdua Mas! Saya memang di 5B, hahahaha..."
Percakapan pun bergulir selagi menunggu kereta datang, karena ada
sedikit delay. Polisi itu bernama Santoso, umurnya 28 tahun. Aku tidak
menanyakan apa urusannya ke Jakarta, yang penting ia sejurusan denganku.
Sekitar pukul 20.15 kereta pun datang, terlambat sekitar satu setengah
jam dari jadwal seharusnya. Kami pun menuju gerbong nomor lima kursi 5A
dan 5B. Aku memilih sisi jendela walaupun tidak ada yang bisa dilihat
malam-malam begini. Setelah menaruh barang dan kereta berangkat,
percakapan pun dilanjutkan. Santoso sangat ramah dan suka bercerita. Ia
menceritakan padaku tentang pekerjaannya sebagai polisi, seakan-akan
kami sudah kenal sejak lama. Banyak yang tidak suka karena ia selalu
bertindak jujur. Justru kejujurannya itu membuatku kagum; ternyata masih
ada juga orang yang teguh menempuh jalan yang lurus di tengah-tengah
ketidakberesan negara ini. Yang tak kuduga adalah saat ia bercerita
tentang kehidupan cintanya.
"Mas sudah punya pacar?" tanyanya duluan. "Belum Mas, belum ada yang
cocok saja," jawabku diplomatis. Aku memang sedang menjomblo saat itu.
"Mas sendiri? Ceweknya nggak diajak sekalian ke Jakarta, jalan-jalan?"
"Waduh kalau ketahuan bisa dihukum saya Mas," ia tertawa simpul, "lagian saya nggak punya cewek."
"Ah masa sih Mas, ganteng gagah gini kok nggak punya cewek?"
"Ya mungkin karena pekerjaan saya Mas, kadang mesti pindah kota dan nggak tahu kapan kan..."
"Ah kalau sudah cinta pasti bisa dikasih pengertian Mas," ujarku.
"Kalau benar-benar cinta Mas," desahnya. "Kenapa Mas? Kayanya trauma sama cewek?"
"Iya Mas, baru aja putus nih. Orientasinya duit pula, lha padahal gaji
saya pas-pasan. Makan aja ngirit. Tapi dia ngambek kalau nggak diisiin
pulsa."
"Wah susah Mas kalau orientasinya duit, mending cari yang lain aja."
"Iya, pikirnya saya banyak duit dari hasil tilang. Saya nggak pernah
terima duit damai Mas. Mending hidup susah tapi nggak merasa bersalah
karena uang haram." Sekali lagi aku merasa kagum padanya, tanpa sadar
kupegang tangannya dan kutatap matanya. Ia balas menatap tanpa canggung
sedikitpun. "Tangannya dingin amat Mas," ujarnya. "Iya lupa bawa jaket,
lupa kalau kereta malam dinginnya minta ampun..."
"Pakai jaket saya aja," sahutnya lalu ia pun melepas resleting jaketnya.
"Eh jangan Mas, ntar Masnya yang kedinginan." "Gapapa, saya pake
pakaian dinas kok, lengannya kan panjang." Benar saja, begitu ia
melepaskan jaketnya, aku bisa melihat seragam coklat kesukaanku itu.
Sekarang aku bisa melihat dengan jelas badannya, dan aku tertegun.
Dadanya cukup bidang... "Mas? Ini jaketnya," seruannya menyadarkanku.
"Ah iya, makasih ya!" Aku segera mengenakan jaket itu; terasa begitu
hangat. Sedikit tercium aroma tubuh polisi itu, harum dan begitu jantan,
menggugah seleraku. "Lha dibagikan selimut tuh Mas!" ujarnya tiba-tiba.
Benar saja, petugas kereta mulai membagikan selimut. Kulirik jam
tanganku, ternyata sudah pukul setengah sepuluh malam. Setelah
mengenakan selimut plus jaket polisi itu, badanku jadi benar-benar
hangat. "Enak ya?" tanya Santoso. "Iya sudah hangat, berkat jaketnya Mas
nih, hehehe..."
"Kalau pelukan pasti lebih hangat lagi ya," candanya.
"Ah memangnya Mas mau pelukan sama saya?" godaku sambil tertawa.
"Siapa takut," tantangnya memelankan suaranya. Seharusnya sudah mulai
banyak yang mencoba tidur, dan kebetulan gerbong lima cukup sepi. Ia
menaikkan tumpuan tangan yang membagi kursiku dan kursinya, kemudian
dengan sengaja melebarkan selimutnya sehingga selimutnya bertumpuk
dengan selimutku. Ia sedikit bergeser, kemudian ia memegang tanganku
yang sudah tidak kedinginan itu. "Ada yang kedinginan nih Mas,"
bisiknya. "Nah to Mas-nya kedinginan," ujarku. "Pake jaketnya ya?"
"Nggak usah Mas, yang kedinginan sebelah sini kok." Ia menarik tanganku
dan meletakkannya di atas tonjolan selangkangannya. Gerakan itu
benar-benar tak kuduga, sehingga aku tertegun ketika ia menggerakkan
tanganku mengelus-elus tonjolan itu. "Mumpung sepi Mas, dihangatin ya.
Sudah lama nih nggak ada yang mainin," ujarnya tanpa basa-basi. Tanpa
pikir panjang lagi aku mulai beraksi. Kuraba-raba tonjolan itu dan
kuremas-remas. "Apa nih Mas?" godaku. "Kok gede amat? Pentungannya
polisi ya?"
"Iya itu pentungannya polisi," jawabnya menggodaku. "Namanya kontol."
"Oooo ini kontolnya polisi ya," bisikku, kugunakan nada nakal saat mengatakan "kontol."
"Hu um, kamu suka ya Mas?" "Saya suka kontol, apalagi kontol polisi kaya
punya Mas. Gede, kenyal, panjang, keras." Kuurut batang kontolnya yang
kukira sudah menegang dari tadi. Ia membuat gerakan seolah-olah tertidur
di bahuku dan membisikkan erangannya. Kuelus-elus lagi kontol polisi
itu; perjalanan masih panjang namun aku tak mau menyia-nyiakan
kesempatan ini. Celananya yang halus dan ketat membuat seakan-akan aku
menyentuh kontolnya langsung; walaupun tak bisa melihatnya, aku yakin
selangkangannya sangat menonjol sekarang. Memikirkannya saja membuatku
sangat terangsang, apalagi ketika polisi itu dengan nakalnya membuka
resleting celanaku dan langsung mengocok kontolku. Aku mengerang
tertahan; kubalas dengan menggenggam kontolnya sebisanya dan
kutarik-tarik perlahan. Ia menjilat-jilat leherku dengan manja,
kuberikan remasan pada kontolnya. "Kocokin dong," pintanya. "Ntar kalau
muncrat gimana?"
"Kocokin di dalam aja."
"Lha celananya ketat gini, susah dong ngocoknya?"
"Ke WC yuk." Ia bangkit dan menuju WC, aku menyusul kemudian. Tidak ada
satu orang pun yang masih terjaga sehingga aku dengan mudah menyusup ke
dalam WC yang sudah terisi seorang polisi horny.
Begitu aku mengunci pintu, polisi itu langsung menciumku dengan penuh
nafsu. Kuladeni ciumannya sambil berusaha melucuti pertahanan kontolnya.
Kubuka resleting celana dinasnya yang sudah terasa sedikit basah,
kemudian kucoba keluarkan batang kontolnya. Agak susah karena lubang
celananya agak sempit, namun aku tidak kurang akal. Kuremas-remas dan
kutarik-tarik kembali kontolnya, kali ini untuk mengarahkan batang
kontolnya keluar. Setelah beberapa saat, dibantu kelojotan polisi itu
yang mengira aku sedang menyervis kontolnya, akhirnya aku berhasil
mengeluarkan tongkat kejantannya. Sambil tetap berciuman aku
mengocok-ngocok dan memelintir perlahan batang kontol polisi itu. Dari
tanganku kuperkirakan diameternya sekitar 5cm. Panjangnya belum bisa
kuperkirakan karena aku masih memainkan kulupnya. Ya, ternyata polisi
itu belum disunat. "Masih komplit ni Mas onderdilnya," godaku. "Iya Mas,
saya nggak berani disunat."
"Wah polisi gagah begini kok nggak berani disunat, hehehe..."
"Iya Mas, kan habis disunat nggak boleh dimainin dulu. Saya orangnya nggak tahanan Mas, tiap hari pasti ngocok."
"Iya lah Mas lha wong pelinya gede-gede gitu..."
"Lagian kalau ntar ngaceng pas dipegang dokternya kan runyam Mas."
"Ya tinggal dimainin aja."
"Kocokin Mas..." Aku pun menggenggam kontol polisi itu dan mulai
mengocoknya. Agak kagok sebenarnya karena aku belum pernah mengocok
kontol yang belum disunat, tapi karena kulihat polisi itu menikmati
kocokan awalku, aku pun memberanikan diri memperkencang kocokanku.
"Pelan-pelan aja Maaaassss," pintanya manja. "Nggak pingin cepet
keluaaarrr niii..."
"Lha nanti kalau ada orang gimana?"
"Biarkan aja Mas."
"Eh jangan lah Mas, apa kata orang nanti kalau melihat polisi berduaan
di WC sama orang lain, cowok lagi. Gini aja deh, sekarang dikeluarin,
ntar kalau balik ke tempat duduk Masnya kuservis lagi deh. Sampai subuh.
Kuat nggak Mas?"
"Kuat laa, sapa dulu!"
"Siap ya."
Aku duduk di atas WC dan polisi itu berdiri dengan kontol mengacung
tepat di mukaku. Awalnya aku melanjutkan kocokanku, namun di
tengah-tengah dengan tiba-tiba kulahap batang kontolnya. Nyaris saja
kubekap mulutnya; erangannya sangat keras seperti lembu hendak
disembelih. "Jangan keras-keras Mas, ada orang gimana?" "Sssshhh
isepiiinn Maasss..." Saat itu kereta sepertinya agak melambat sehingga
tidak terlalu banyak goncangan, maka aku memegang pantat polisi itu dan
menggerakkan pinggulnya maju mundur. Polisi itu sendiri memegang
kepalaku, sesekali meremas rambutku. Baru saat itu kusadari kontolnya
ternyata pendek, mungkin hanya 12cm panjangnya, sehingga aku tidak
terlalu kesulitan melahap semuanya hingga pangkalnya. Kuhisap kuat-kuat
kontolnya, dan...
"Maaaassss keluaaarrrhhh...," desahnya. Terlambat, aku sudah merasakan
aliran spermanya mulai memenuhi mulutku. Kental, hangat, dan manis,
kutelan spermanya selagi kontolnya memompakan persediaan spermanya
keluar. Hanya saja, polisi itu tidak menembakkan spermanya, namun hanya
meleleh keluar begitu saja. Aku pernah baca memang ada pria yang begitu.
Hingga tetes terakhir kutelan semua, dan setelah tak ada lagi yang
keluar aku pun menjilat-jilat ujung lubang kencingnya, membuat polisi
itu kelojotan kegelian. Kubersihkan kepala kontolnya dan bagian
kulupnya, kemudian kukeluarkan kontolnya dari mulutku. Kukembalikan
kontolnya ke dalam celananya. "Mas nanti di Jakarta nginap sama aku mau
ya? Belum puas nih ngisepnya, hehehe..."
"Boleh tuh, ntar kamu boleh ngisep kontolku sepuasnya."
"Sip deh!"
"Gantian sini kau kubikin kelojotan!"
Maka kami pun bertukar posisi. Polisi itu pun mengeluarkan kontolku dari
celana jinsku. "Wah lebih panjang nih dari punyaku," pujinya. "Ah punya
Mas lebih tebal," sanjungku. "Enak ngisepnya." Ia pun mengocok-ngocok
kontolku sebentar, kemudian ia mulai menghisapnya. Benar saja, aku
kelojotan dibuatnya. Hisapannya begitu maut, mengalahkan mantanku
sebelumnya. Aku sampai tak tahan dan menembak polisi itu hanya dalam
waktu singkat, mungkin hanya tiga menit. "Uooohhh gila Mas lihai bener,"
pujiku setelah aku memuntahkan seluruh laharku di mulut polisi itu dan
merapikan diri. "Baru sekarang lho Mas aku keluarnya cepet!"
"Enak ya?"
"Woh gak enak lagi Mas. Super!!!"
"Hehehe sip lah. Kita suka isep-isepan ternyata. Jadian yuk!"
Aku tertegun mendengar perkataan Santoso; baru kali ini aku ditembak
cowok. Sama polisi pula. "Aku mau Mas," jawabku, kemudian kupeluk
dirinya dan terharu. Akhirnya kesampaian juga keinginanku berpacaran
dengan polisi. Banyak yang bilang itu tidak enak, tapi aku tidak peduli.
Kalau tahu caranya, apapun pasti bisa dinikmati. "Cium ya. Mulai
sekarang kita pacaran." Kujawab dengan ciuman lembut; badanku serasa
melayang ke awan. Entah berapa lama kami berciuman, sampai kusadari
kereta berhenti. "Balik tempat duduk yuk Mas, kayanya lagi berhenti ni."
Dengan berhati-hati kami keluar dari toilet, untungnya tidak ada yang
melihat. Setelah duduk dan kereta berangkat, aku pun menepati janjiku
menyervis kontol polisi itu semalam suntuk, walaupun hanya menggunakan
tangan. Tanpa kami sadari ada yang memperhatikan gerak-gerik kami sedari
tadi...
Tak terasa subuh pun menjelang. Entah berapa kali tadi malam aku
menyervis polisi itu di bawah selimut, tapi rasanya aku dan Santoso
sama-sama tertidur. Aku terbangun karena kedinginan. Saat menggeliat
untuk meregangkan otot, aku baru tersadar tanganku masih menggenggam
kontol polisi itu, yang agak tegang, sepertinya karena dingin.
Kukocok-kocok kontolnya selama beberapa saat sebelum kurapikan kembali
celananya. Tangan kananku agak basah, sepertinya bekas spermanya tadi
malam belum mengering. Setelah merapikan celanaku sendiri, aku beranjak
ke toilet dan buang air kecil serta mencuci tangan. Kembali ke tempat
duduk, kuamati polisi itu. Ia masih tertidur, sepertinya kecapekan.
Wajahnya tampan juga. Kukecup keningnya, kemudian kulanjutkan tidurku.
Masih sekitar empat-lima jam lagi sebelum kereta sampai di Jakarta.
Sekitar pukul tujuh aku terbangun. Santoso rupanya juga sudah bangun,
masih saja menggoda kontolku walaupun ia tidak membuka celanaku. Aku
mengerang malas sambil menggeliat. "Ntar aja lanjut lagi Mas, dah pagi
nih... Ntar ada yang liat kan gawat." Aku mengatakan begitu karena
biasanya selimut akan dikumpulkan lagi ke petugas kereta sekitar waktu
itu. Dengan ogah-ogahan ia menarik tangannya. Kugoda dirinya dengan
meremas cepat kontolnya, lalu kami berdua tertawa pelan.
Sisa perjalanan kami habiskan dengan berbincang. Tak terlalu banyak yang
dibicarakan sebenarnya, jadi aku lebih banyak memandang keluar jendela.
Gerbong kami agak lebih ramai dibandingkan tadi malam, dan di seberang
ada seorang provost sendirian. Entah sejak kapan provost itu duduk di
sana. Sekali-kali tak sengaja aku melihat provost itu melirik ke arahku
atau Santoso, tapi lirikannya tajam sekali. "Mas, provost di sebelah
kayanya sering melirik ke arah kita," bisikku pada Santoso. "Masa sih?
Tenang aja, ada aku," jawabnya. "Paling dia heran kok aku pakai seragam
dinas."
"Iya Mas kok ga pakai baju biasa aja tadi malam?"
"Nanggung, malas ganti baju. Bajuku di tas semua, malas bongkar-bongkar juga, hehehe..."
Tak terlalu lama kemudian kereta sampai juga di stasiun Gambir. Aku dan
Santoso turun, diikuti provost itu. Dari sini seharusnya kami berpisah:
aku ke arah Taman Anggrek untuk check in di hotel dan Santoso ke arah
Grogol ke kosnya, namun karena aku hanya sendirian dan kamar hotel
pastinya cukup untuk dua orang, maka Santoso kuajak menginap di hotel
selama di Jakarta dan ia mau-mau saja. Semula aku ikut ke kosnya dulu
karena ia hendak mengambil motornya dulu. Lumayan jadi tidak keluar
ongkos transpor, pikirku. Provost tadi awalnya berjalan searah dengan
kami sehingga sampai kukira ia membuntuti kami, namun rupanya ada
provost lain yang menjemputnya. Kami pun naik ojek menuju kos Santoso di
Grogol. Sesampainya di sana ia ganti baju biasa, kemudian aku
diboncengnya menuju hotel di kawasan Taman Anggrek. Sepanjang perjalanan
aku dengan cueknya memeluknya dan ia pun tak keberatan, toh tak ada
yang mengenali kami. Hanya saja, di tengah perjalanan aku melihat dua
orang provost berboncengan motor, salah satunya kurasa provost yang
tadi. Ngapain ya mereka mengikuti kami, pikirku. Ah cuek aja, toh ga
ngapa-ngapain yang salah...
Sesampainya di hotel, pas sekali waktunya check in. Setelah masuk kamar,
aku beristirahat sebentar sebelum rapat pukul dua siang nanti. Agak
malas sebenarnya, terutama setelah seorang polisi menjadi pacarku dan
menemani hari-hariku di Jakarta, tapi demi tuntutan tugas... Saat itu
sekitar pukul dua belas siang. Perutku berbunyi lagi, tapi aku belum
mandi... "Mas, mandi bareng yuk!" ajakku. Santoso mau-mau saja diajak
mandi bareng. Dengan guyuran air hangat, kami berdua saling menggosok
punggung bergantian. Ia dengan nakalnya menggosok dadaku, terutama
daerah sekitar puting, membuat kontolku yang tadinya lemas mulai bangun.
"Jangan sekarang Mas, mau ngantor aku," bisikku. "Bentar aja," rayunya.
"Kita kan udah resmi pacaran Mas. Aku dimasukin dong..." Aku agak
tersentak mendengar permintaannya. Gagah-gagah gini ternyata bot toh.
Kebetulan sekali! Aku sendiri versatile cenderung bot, dan sudah lama
sekali ingin mencoba menjadi top. Apalagi menusuk polisi, itu impianku
sejak lama. Akhirnya terwujud juga! Duh tambah malas saja rapat...
"Nanti malam ya Mas," bujukku. Ia mulai mengocok-ngocok kontolku yang
semakin mengeras karena aku sedang membayangkan malamku nanti. Aku
menghentikan kocokannya dan menciumnya sambil menggoda bola-bolanya.
Bola-bolanya lebih besar dari punyaku, mungkin itu yang membuatnya
sering terangsang karena hormonnya banyak. Ia mengerang tertahan.
Kumainkan sebentar kulupnya, kemudian kulepaskan ciuman dan pelukanku.
Ia seakan kecewa, namun kubujuk perlahan dengan ciuman-ciuman pendek.
Kuselesaikan mandiku cepat-cepat sebelum polisi itu mulai merangsangku
lagi. Aku segera mengenakan baju resmi sementara Santoso hanya
mengenakan kaos santai. "Katanya ke mabes Mas?" tanyaku keheranan.
"Besok aja, capek nih..."
"Nah gitu tadi ngajak main," selorohku. "Dah istirahat aja Mas, ntar malam kita main lagi deh!"
Sisa hari itu kulalu dengan membosankan. Rapat di kantor berlangsung
cukup lama dan aku hanya mencatat yang kuanggap perlu kucatat. Baru
besok aku akan bekerja sehari penuh di sana. Sepulang dari kantor,
diantar Santoso kami makan malam, kemudian pulang ke hotel. Sepanjang
jalan kontolku sudah mengeras dan menempel ke pantat Santoso. Tiap ada
kesempatan aku meremas kontolnya. Tanpa sadar ada yang mengikuti kami;
aku tidak sadar karena padatnya lalu lintas Jakarta. Akhirnya kami
sampai hotel. Di lift yang sepi kami sempat berciuman. Di lorong kami
berjalan biasa karena Santoso mengenali kamera CCTV terpasang setiap
sepuluh meter. Barulah ketika masuk kamar Santoso mulai bergerilya lagi.
"Sabar Mas, pakai seragamnya dulu dong! Yang komplit ya!" Ia pun
menuruti perintahku dan mengenakan seragam dinasnya dengan lengkap. Aku
langsung terangsang melihat polisi itu; kutuntun ia ke ranjang dan
langsung kutindih badanku sambil kucium. Kami berdua seakan sama-sama
terbakar nafsu malam itu sehingga permainan kami jadi agak liar. Nafasku
terengah-engah meladeni ciuman Santoso; kubalas dengan
menggosok-gosokkan kontolku ke kontolnya. Kami berdua masih berpakaian
lengkap, namun justru itu yang membuat malam ini terasa berbeda. Ini
impianku sejak lama: bercinta dengan polisi dalam pakaian lengkap.
Sebentar lagi satu lagi impianku juga akan terwujud: menyodomi polisi.
Kumulai impianku dengan mulai melucuti celananya sambil tak lupa tetap
memainkan kontolnya. Saat baru resleting celananya yang terbuka, aku
tergoda untuk memainkan kulupnya, maka sekali lagi kugunakan teknik
remasanku untuk mengatur arah batang kontolnya. Setelah beberapa remasan
akhirnya kontolnya menyembul keluar juga. Kutarik-tarik kulupnya untuk
memunculkan kepala kontolnya yang merah muda itu. Kujilat-jilat sebentar
"helm" polisi itu, membuatnya gelinjatan di atas ranjang. Puas
memainkannya, kulucuti sabuknya dan kuturunkan celana dinasnya serta
celana dalamnya sampai sebatas lutut. "Siap Mas?" tanyaku nakal. Ia
menjawabnya dengan membuka kedua kakinya selebar mungkin, walaupun
terhalang celananya. Kuambil pelumas dari tasku dan kuoleskan pada
kontolku. Kulihat pantat polisi itu, sepertinya ia belum pernah ditusuk
sebelumnya. "Masih perawan nih Mas?" tanyaku. Ia hanya mengangguk.
"Yakin nih mau dimasukin?" "Ayo Mas masukin aja, aku siap demi
dirimu..." Kuoleskan pelumas pada jari-jariku, kemudian kupanaskan
lubangnya. Kumasukkan dulu satu jariku. "Gimana Mas?" "Bisa, ayo masukin
aja kontolmu langsung." "Sabar Mas..." Kumainkan jari telunjukku di
dalam dengan gerakan memutar untuk melemaskan otot-otot anusnya.
Sesekali kusentuh prostatnya, dan ia mengerang serta mengacungkan
kontolnya saat itu. Kumasukkan jari kedua dan ketiga sekaligus dan
lubangnya merespons dengan memperbesar diri. Kurasa ia sudah siap, maka
kusuruh polisi itu mengocok sebentar kontolku yang agak lemas karena
tidak disentuh. Setelah tegang kembali, kumain-mainkan kontolku di
lubang masuk pantatnya, membuatnya makin gelisah. "Ayo Mas masukin, udah
ga sabar nii..." Aku hanya tersenyum dan tetap memainkan kontolku,
sebelum dengan tiba-tiba kudorong masuk kontolku. Ia langsung mengerang
kesakitan. Aku tak peduli, kudorong terus kontolku sampai masuk
seluruhnya. Kupandangi polisi itu, ia terengah-engah dan sedikit
berkeringat. "Sakit Mas?" tanyaku lembut. "Dikit, ayo goyangin aja biar
enak lagi." Kukocok kontolnya yang layu sambil kugerak-gerakkan kontolku
perlahan di dalam pantatnya. Awalnya erangannya masih menunjukkan kalau
ia kesakitan, namun tak terlalu lama ia mulai menikmatinya. Kutusukkan
kontolku sedalam-dalamnya hingga menyentuh prostatnya dan membuatnya
mengerang dalam. Suara beradu tubuhku dengan pantatnya mulai terdengar
saat kupercepat genjotanku. Tak lupa aku meracau nikmat. "Oooohhh
pantatmu sempit banget Massshhh, enakkkhhh... Pantat polisi emang
enakkkkhhh..." "Iya Maasss entotan Mas mantaappp... Aaahhh... Terus
genjot Maaasss... Mainin kontolnya Maasss..." "Suka kontolku Mas? Kuberi
kontolku di pantatmu... Uoookkkhhh... Yeeessssshhh... Mmmhhh..."
Kuputuskan untuk berganti gaya; dengan kontolku masih menancap pada
lubang polisi itu yang tak lagi perawan, kubimbing dirinya untuk
nungging dan kulanjutkan genjotanku. Kali ini kuservis kontolnya dengan
mengocok-ngocok kepala kontolnya. Kugoyangkan pinggulku memutar untuk
memberikan sensasi baru. "Aaahhh Maaaasss aku mau keluaaarrr...,"
desaunya. "Jangan dulu Mas, tungguin dikit lagi..." Kuremas kuat-kuat
kontolnya, katanya itu mampu mencegah seseorang ejakulasi. Kugenjot
polisi itu semakin cepat; eranganku susul-menyusul dengan erangannya.
"Kutembak di dalam ya Mas...," bisikku. Ia mengangguk, maka aku langsung
menggenjotnya kembali. Aliran kenikmatan menerpaku kembali, dan kali
ini aku tidak tahan lagi. "Ooooohhhhhh..." Croooottt... Tembakan
pertamaku menyembur dinding anus polisi itu, rupanya sedikit memberikan
tekanan pada prostatnya karena ia ikut mengerang panjang. Dengan segera
kuremas kuat-kuat kepala kontolnya agar spermanya tidak jatuh begitu
saja. Aku ingin menikmati spermanya. Aku masih menggenjot polisi itu
sampai kontolku berhenti menembakkan spermanya. "Enak Mas?" "Enak banget
ternyata, pantas aja bikin ketagihan... Aaaaahhh..." Kulepas remasanku
dan kubiarkan polisi itu mengeluarkan spermanya, kutadahi dengan
tanganku. Setelah tetesan terakhir, kuoleskan cairan kental itu ke
kontolnya, membuatnya kelojotan. "Maaasss geliii..." Tanpa sengaja
kontolku tercabut dari pantatnya, padahal aku masih ingin membiarkan
kontolku di dalam. Ia membalikkan tubuhnya dan aku berbaring di
sebelahnya, masih mengoleskan spermanya sendiri ke kontolnya.
"Maaasss..." Aku tidak peduli, kuberanjak ke bagian bawah tubuhnya dan
kujilati sperma yang menempel di kontolnya, membuatnya mengerang. "Masss
capeekk ahhh, ooohhh... Aaahhh jangan di situ Maaassshhh... Ummmhhh...
Oooohhh..." Kuhisap kontolnya. "Ooohhh Maasss, sumpah nggak kuat
Maaasss, istirahat... Aaahhh... Istirahat dulu Maaasss..." Aku tidak
memedulikannya, aku yakin polisi itu masih menyimpan sperma untukku,
apalagi kontolnya tetap menegang. "Maaaasss... Mau keluaaarrrhhh...
Aaarrrggghhh... Uoooohhhhh..." Akhirnya! Cairan kejantannya mulai
meleleh di kepala kontolnya, langsung kulahap dan kutelan. "Mmmmhhh..."
Tak terlalu banyak memang, tapi cukup lah untuk membuatku puas.
Kukeluarkan kontolnya dari mulutku, kemudian aku berbaring di sampingnya
sambil memegang kontolnya. Ia terengah-engah, maka kupeluk sambil
sesekali kucium keningnya. Ternyata ia memang kelelahan. "Maaf Mas,
kayanya aku kelewatan deh..." "Gapapa Mas, enak kok..." "Kalau gitu Mas
istirahat aja sekarang... Besok aja dilanjutin lagi." Kami berciuman
sekali lagi dan kubiarkan ia tertidur dalam pelukanku.
Aku sepertinya juga jatuh tertidur ketika bel tamu kamar tidurku
berbunyi. Siapa malam-malam begini... Kulirik jam tanganku. Pukul satu
pagi. Mana ada tamu jam segini, paling salah dengar... Bel itu berbunyi
lagi. Duh sapa sih ngganggu aja pagi-pagi begini... Jangan-jangan anak
iseng. Aku beranjak bangun, merapikan diri dan menyelimuti Santoso
karena ia masih telanjang ke bawah, lalu melangkah malas menuju pintu.
Kuintip... Tiga orang berseragam. Masa ada operasi, tidak mungkin di
hotel berbintang lima seperti ini... Kubuka pintu dan hendak memberikan
salam, "Selamat pagi..." Ketiga orang itu menyeruak masuk dan
mendekapku. Aku hendak berteriak, namun seorang lagi langsung mendekap
mulutku dengan kain. "Kami tidak akan macam-macam kalau kau menuruti
perintah kami," aku mendengar salah seorang berbicara, anehnya tidak ada
nada ancaman. Dalam keterkejutanku, aku mengamati penyergapku, dan
semakin terkejut ketika mengenali seorang di antaranya.
Provost tadi pagi...
Setelah aku mengangguk tanda aku tidak akan memberontak, provost itu
mengendorkan dekapannya, namun tidak melepaskanku. Kepalaku
dielus-elusnya dengan penuh sayang; karena provost itu lebih tinggi
besar dariku, seakan-akan provost itu bapak yang sedang memeluk anaknya.
Aku pun memberanikan diri melingkarkan tanganku di pinggang provost
itu. Benar-benar pinggang yang ramping namun berisi. Kontolnya sedikit
di atas kontolku dan menekan keras tubuhku. "Aku tahu kamu gay sejak di
kereta itu," bisiknya. "Puaskan aku." "Tapi aku tak mau menusuk dan
ditusuk," bisikku balik sambil meremas kontolnya agak keras hingga
provost itu mengerang pelan. "Tak apa, kocok atau hisap kontolku,"
pintanya. "Lalu kedua temanmu?" "Lakukan yang sama sepertiku." Dengan
sedikit anggukan provost itu menyuruh kedua rekannya merapat, dan mereka
berdua ikut memelukku. Aku seakan dipeluk tiga raksasa sehingga agak
kepanasan dan kesulitan bernafas, namun untuk sejenak kunikmati diriku
dipeluk sambil tanganku leluasa menjelajahi kontol dua provost
sekaligus. Kuhirup aroma lelaki provost itu, rupanya ia menggunakan
parfum maskulin. Dua provost lainnya masih menikmati permainan tanganku
pada kontol mereka. Setelah aku memberikan sinyal untuk menghentikan
pelukan itu dengan meremas kuat kontol kedua provost itu, permainan
sebenarnya pun dimulai.
Aku duduk di sofa di ujung kamar sementara ketiga provost itu berdiri
tegap di depanku. Santoso masih tidur dengan nyenyak, sepertinya ia
memang kecapaian. Karena ketiga provost itu tidak ingin saling melayani,
aku berusaha melayani mereka bertiga. Provost pertama bernama Jacky,
kulayani terlebih dahulu. Kudekatkan mukaku dengan kontolnya yang sudah
tercetak dengan sangat jelas di celana dinasnya saking ketatnya.
Kubenamkan wajahku di kontolnya untuk menghirup aroma kejantanannya.
Setelah puas, kusundul-sundul bola-bola kontolnya dengan hidungku dan
kugigit-gigit ringan batang kontolnya, membuat Jacky mengerang pelan.
Gemas dengan erangannya, kukepalkan tanganku dan kutinju pelan
kontolnya. Ia berpura-pura kesakitan sambil memegangi kontolnya dan
mengerang kembali. Kedua rekannya hanya tertawa melihat Jacky; sekilas
kulihat kontol mereka masih tegang walaupun tidak kumainkan lagi.
Kupegang tangan kekar Jacky untuk membuka pertahanan kontolnya, kemudian
kupecundangi lagi provost itu dengan membuka resleting celananya.
Kurogoh ke dalam, agak terkejut ketika aku langsung mendapati barang
pusakanya yang hangat dan berdenyut itu. Kukeluarkan batang kontol
Jacky, kemudian kubiarkan kedua rekannya mengagumi batang kejantanan
itu; kuberi bonus remasan-remasan lembut pada kontol mereka berdua.
Kontol Jacky sudah disunat ketat, berurat di sepanjang batangnya; saat
itu kontolnya berdenyut-denyut. Kupegang kepala kontolnya dan kuelus
sepanjang pinggiran kepalanya dalam gerakan memutar. Gerakan itu rupanya
menimbulkan sensasi geli namun nikmat yang luar biasa; Jacky melenguh
seperti lembu hendak disembelih dan kelojotan tak karuan. Precum mulai
meleleh dari ujung lubang kencingnya, langsung kujilati. Agak getir dan
asin, namun aku suka. Kukeluarkan buah zakarnya dan kuremas-remas
beberapa saat untuk merangsang kontolnya mengeluarkan precum lagi.
Setelah puas, kujilati seluruh jengkal batang kontolnya dari ujung
hingga ke pangkal. Kuciumi dan kujilati pangkal kontolnya sementara
kukocok-kocok kepalanya, membuat Jacky belingsatan tak karuan. Walaupun
begitu, tak ada tanda-tanda ia akan orgasme. Kurasa stamina provost ini
masih sangat prima. Kupandangi wajah Jacky dan ia balas memandangku.
Kuberikan senyumanku, kemudian kujilati kontol itu seperti es krim. Tak
terlalu lama aku melakukannya, karena aku sendiri sudah tak tahan ingin
merasakan tongkat kejantanan provost itu di dalam mulutku. Maka kucaplok
kontolnya dan kumasukkan perlahan-lahan. Kontol Jacky lumayan panjang
walaupun tidak terlalu besar, kutaksir panjangnya sekitar 18cm dan
tebalnya 3-4cm. Hingga pangkalnya masuk, aku bisa merasakan ujung
kontolnya menyentuh dinding tenggorokanku. Jacky dengan nakalnya
menggerak-gerakkan kontolnya, memukul-mukul dinding tenggorokanku dan
membuatku mual. Ia mendorong kepalaku hingga aku terbenam dalam
selangkangannya, namun masih terhalang celananya. Kubuka kaitan
celananya agar aku lebih leluasa menikmati selangkangannya. Entah kenapa
provost itu tidak mengenakan sabuk, padahal aku ingin sekali melucuti
sabuk itu seperti tadi aku melucuti Santoso. Kuturunkan celananya sampai
sebatas paha, lalu Jacky kembali membenamkan kepalaku pada
selangkangannya sambil menggerak-gerakkan kontolnya. Awalnya aku
tersedak dan mual, namun bau jantan selangkangan Jacky membantu melawan
rasa mual itu. Jacky mulai memompa kontolnya di mulutku; kuletakkan
lidahku di bawah kontolnya dan kusempitkan mulutku untuk melipatgandakan
kenikmatannya, dan benar saja, Jacky mengerang habis-habisan dibuatnya.
Aku memeluk pantatnya yang montok berisi itu selagi ia mengentot
mulutku. Sesekali cairan precum meleleh dari kontolnya, memberikan rasa
asin getir yang kusuka itu.
Sepuluh menit kemudian, mulutku mulai lelah mengenyot kontol Jacky. Satu
provost rekannya sudah muncrat terlebih dahulu, walaupun hanya
kuremas-remas dari luar tanpa menanggalkan sehelai benang pun dari
tubuhnya sehingga noda sperma pun menghiasi celananya, membuatku semakin
terangsang. Satu rekannya lagi malah melemas kontolnya, membuatku
penasaran sebenarnya, namun masih ada Jacky si provost pejantan tangguh.
Aku memutar akal agar Jacky bisa cepat muncrat. Saat ia menarik
kontolnya, aku sengaja menarik kepalaku agak jauh sehingga kontolnya
keluar dari mulutku. "Ups...," bisikku. Kulahap lagi kontolnya, namun
kali ini perlahan-lahan, dan kusisakan separuh batangnya. Kugunakan
teknik terakhirku yang membuat Santoso muncrat tadi; kalau ini tidak
berhasil, entah apa yang bisa membuat provost yang satu ini takluk.
Kuhisap-hisap sambil kukocok kepala kontolnya dengan mulutku, sementara
kukocok bergantian pangkal batang kontolnya dan bola-bolanya. Benar
saja, Jacky mengerang cukup dalam, nafasnya semakin memburu. Kulakukan
gerakan itu sepuluh kali, dan di tiap gerakan aku bisa merasakan kontol
provost itu semakin membesar. "Aaaahhh akuu mauu keluaaarrr...," desah
Jacky. Akhirnya! Kukenyot kepala kontolnya kuat-kuat sambil kuremas
bola-bolanya. Jacky mendesah panjang, tubuhnya bergetar hebat. Kulihat
bola-bolanya mulai melesak ke dalam, bersiap untuk menembakkan
muatannya. Benar saja, ketika kuremas sekali lagi, aku bisa merasakan
kepala kontolnya berdenyut dan membesar, kemudian cairan hangat yang
agak cair meleleh di ludahku, diikuti semburan cairan kental yang lebih
hangat lagi. Kali ini rasanya manis dan gurih. Kutelan secepat yang aku
bisa karena tembakan provost itu cukup cepat dan banyak, bahkan rasanya
ada yang meleleh di sisi mulutku. Sekitar setengah menit kemudian
tembakannya melemah dan akhirnya berhenti sama sekali. Sisa spermanya
tidak kutelan. Kukeluarkan kontolnya, kemudian aku bangkit berdiri dan
memegang dan mengelus perlahan kontolnya. Jacky bergetar pelan, tubuhnya
masih terpengaruh orgasme yang begitu hebat. Kucium provost itu, dan ia
membalas ciumanku, bahkan ia mau menjilati spermanya sendiri yang masih
ada di mulutku. Setelah spermanya di mulutku habis, aku pun kembali
menjilati sisa-sisa sperma dari kontolnya hingga bersih. Keluar dari
mulutku, kontol itu agak tegang lagi, namun aku masukkan ke dalam
sarangnya. Kurapikan provost itu, dan kucium lagi sambil tetap
kurangsang kontolnya. "Enak?"
"Enak banget, makasih banyak ya. Sayang kau bukan dari sini, coba kita
bisa jadian." Wah, aku sih sudah jadian dengan Santoso, pikirku dalam
hati.
Ah, tapi sekarang aku harus beralih ke rekannya. Provost kedua, yang
muncrat dalam celana, bernama Sutandyo, tahu aku kelelahan menghisap
kontol Jacky, maka ia hanya memintaku mengocok kontolnya sekali lagi.
Kali ini kupegang betulan kontolnya tanpa halangan kain celananya.
Kusuruh provost itu duduk di pangkuanku, kemudian kurogoh masuk
tanganku. Agak sempit sebenarnya, namun masih cukup lah untuk memainkan
kontolnya. Dengan sisa-sisa sperma yang masih melekat di celananya,
kukocok kontolnya. Tak butuh waktu terlalu lama supaya ia muncrat untuk
kedua kalinya. Tanganku jadi agak belepotan dibuatnya, namun kubiarkan
tanganku tetap di celananya hingga kontolnya melemas. Rupanya provost
ini terbiasa main cepat, pikirku.
Nah, tinggal si provost terakhir, Hari namanya. "Lemes nih Bang?" ujarku
saat memainkan kontolnya. "Iya nih, susah nahan biar bisa ngaceng...,"
akunya. "Biasanya diapain dong Bang biar bisa muncrat?" "Kalau saya yang
ngocok sendiri bisa, tapi kalau dikocokkan orang lain jarang banget
bisa muncrat. Susah tegang." "Tenang aja Bang, ini temennya dikocok
malah dua kali keluar..." "Dia mah kontol kuda, sekali dua kali kurang!"
"Hmmmm, kalau gitu, saya butuh bantuan." Jacky yang horny kembali
langsung mengerti maksudnya. Ia mencium rekannya itu sementara aku
memeluk Hari dari belakang dan memerah kontolnya. "Lha tegang gini lho
Bang," bisikku. Hari tidak menjawab, ia sibuk berpagutan dengan Jacky.
Tangannya mulai meraba-raba liar tubuh Jacky yang gempal itu, sementara
aku sibuk menelanjangi Hari. Kontolnya perlahan tegang dan langsung
kukocok-kocok. Jacky membantu dengan memainkan dada Hari. Hari sendiri
kini sibuk memainkan kontol Jacky. Kukira aku akan membutuhkan waktu
lama untuk memuaskan Hari karena ceritanya tadi, apalagi kurasakan
kontolnya belum terlalu tegang. Namun... Tanpa kuduga, Hari bergetar
hebat dan muncratlah spermanya. Refleks aku menarik tanganku karena
tidak siap, namun detik berikutnya aku langsung menadahi sperma Hari,
kalau tidak tentu saja akan belepotan ke mana-mana. Sepertinya otak Hari
sudah mengatakan cukup untuk ejakulasi, namun kontol Hari tidak
merespon dengan ketegangan yang tepat. Entah apa yang harus kuceritakan
pada Santoso kalau ia sampai menemukan bekas sperma di karpet, padahal
semalaman kami bercinta di atas ranjang... Kulirik dirinya, dan ajaibnya
ia tidak terbangun sama sekali, walaupun dengan riuhnya erangan ketiga
provost itu.
Setelah membersihkan dan merapikan diri, ketiga provost itu pamit. Jacky
meminta nomor teleponku agar ia bisa menghubungiku selama aku di
Jakarta dan ia ingin merasakan sensasi semalam tadi. Kuberikan nomor
kartu perdana yang baru kubeli tadi; aku memang terbiasa membeli nomor
sekali pakai untuk menjaga privasiku. Sisa malam itu kuhabiskan dengan
tidur sambil memeluk Santoso polisiku kekasihku.
Demikianlah, sisa hariku di Jakarta dihabiskan bersama Santoso si
polisi. Siang hari aku bekerja, malam hari aku memadu kasih dengannya.
Jacky si provost sempat menelepon di hari terakhirku di Jakarta, namun
kutolak dengan halus karena jadwal kereta pagi sekali dan aku tidak
ingin terlambat. Untunglah ia bisa mengerti. Keesokan harinya, aku dan
Santoso kembali ke Surabaya menggunakan kereta. Karena saat itu siang
hari, jelas tidak mungkin kami bermesraan seperti saat berangkat. Namun
memang terjadi sesuatu di kereta Jakarta-Surabaya itu. Apa itu?
Itu kisah untuk lain kali. Untuk sekarang, biarlah kami merajut kisah kasih di kota tercinta ini.
Santoso I love you...
Sumber: http://feifantasy.blogspot.com/2011/06/di-kereta-surabaya-jakarta-bagian-1.html
http://feifantasy.blogspot.com/2011/06/di-kereta-surabaya-jakarta-bagian-2.html
http://feifantasy.blogspot.com/2011/08/di-kereta-surabaya-jakarta-bagian-3.html
Hunk Menu
Overview of the Naolla
Naolla is a novel which tells about life of Hucky Nagaray, Fiko Vocare and Zo Agif Ree. They are the ones who run away from Naolla to the Earth. But only one, their goal is to save Naolla from the destruction.
Book 1: Naolla, The Confidant Of God
Book 2: Naolla, The Angel Falls
Please read an exciting romance novel , suspenseful and full of struggle.
Happy reading...
Book 1: Naolla, The Confidant Of God
Book 2: Naolla, The Angel Falls
Please read an exciting romance novel , suspenseful and full of struggle.
Happy reading...
Look
Untuk beberapa pembaca yang masih bingung dengan pengelompokan posting di blog ini, maka saya akan memberikan penjelasannya.
(1)Inserer untuk posting bertemakan polisi dan dikutip dari blog lain;(2)Intermezzo adalah posting yang dibuat oleh pemilik blog;(3)Insert untuk cerita bertema bebas yang dikutip dari blog lain;(4)Set digunakan untuk mengelompokan posting yang sudah diedit dan dikutip dari blog lain;(5)Posting tanpa pengelompokan adalah posting tentang novel Naolla
(1)Inserer untuk posting bertemakan polisi dan dikutip dari blog lain;(2)Intermezzo adalah posting yang dibuat oleh pemilik blog;(3)Insert untuk cerita bertema bebas yang dikutip dari blog lain;(4)Set digunakan untuk mengelompokan posting yang sudah diedit dan dikutip dari blog lain;(5)Posting tanpa pengelompokan adalah posting tentang novel Naolla
Tidak ada komentar:
Posting Komentar