Hunk Menu

Overview of the Naolla

Naolla is a novel which tells about life of Hucky Nagaray, Fiko Vocare and Zo Agif Ree. They are the ones who run away from Naolla to the Earth. But only one, their goal is to save Naolla from the destruction.

Book 1: Naolla, The Confidant Of God
Book 2: Naolla, The Angel Falls

Please read an exciting romance novel , suspenseful and full of struggle.
Happy reading...

Look

Untuk beberapa pembaca yang masih bingung dengan pengelompokan posting di blog ini, maka saya akan memberikan penjelasannya.
(1)Inserer untuk posting bertemakan polisi dan dikutip dari blog lain;(2)Intermezzo adalah posting yang dibuat oleh pemilik blog;(3)Insert untuk cerita bertema bebas yang dikutip dari blog lain;(4)Set digunakan untuk mengelompokan posting yang sudah diedit dan dikutip dari blog lain;(5)Posting tanpa pengelompokan adalah posting tentang novel Naolla

Jumat, 08 Maret 2013

Inserer: Di kereta Surabaya-Jakarta

Malam itu aku menuju stasiun Pasar Turi untuk naik kereta jurusan Surabaya-Jakarta. Aku ada tugas mengurus sesuatu di sana selama empat hari. Sebenarnya kantorku mengizinkan aku naik pesawat, namun aku menolaknya karena aku lebih suka naik kereta. Sesampainya di peron, aku pun menunggu di area bebas rokok dan melihat-lihat sekeliling. Tidak banyak penumpang yang terlihat. Sampai aku melihat sosok itu. Awalnya aku tidak terlalu memperhatikan, namun seiring dengan langkahnya menuju area bebas rokok mau tak mau aku pun memperhatikannya. Pria itu mengenakan jaket hitam, celana panjang coklat, dan sabuk putih yang segera kukenali sebagai sabuk polisi. Wajahnya tampan dan rapi sekali, tak ada satu helaipun kumis ataupun janggut--aku spontan mengelus kumisku yang agak jarang namun tak rapi karena belum kucukur. Badannya masih tegap berisi; kuamati perutnya belum membuncit. Kucuri pandang sedikit area bawah perutnya, cukup besar. Ideal nih, pikirku dalam hati. Apa ia bakal segerbong denganku ya... Tak dinyana ia duduk di sebelahku dan menyapa dengan ramah, "Malam Mas, ke Jakarta juga ya?"
"Malam juga Mas, iya ke Jakarta, ada urusan kerja."
"Sendiri aja Mas?"
"Iya nih nggak ada temannya. Kalau Mas sendiri?"
"Wah kebetulan saya juga mau ke Jakarta. Gerbong berapa Mas?"
"Gerbong lima."
"Lha saya juga gerbong lima, kursi berapa Mas?"
"5A. Jangan bilang Mas-nya 5B," ujarku sambil tertawa kecil, walaupun dalam hati aku sangat berharap demikian. "Kayanya memang kita ditakdirkan berdua Mas! Saya memang di 5B, hahahaha..."

Percakapan pun bergulir selagi menunggu kereta datang, karena ada sedikit delay. Polisi itu bernama Santoso, umurnya 28 tahun. Aku tidak menanyakan apa urusannya ke Jakarta, yang penting ia sejurusan denganku. Sekitar pukul 20.15 kereta pun datang, terlambat sekitar satu setengah jam dari jadwal seharusnya. Kami pun menuju gerbong nomor lima kursi 5A dan 5B. Aku memilih sisi jendela walaupun tidak ada yang bisa dilihat malam-malam begini. Setelah menaruh barang dan kereta berangkat, percakapan pun dilanjutkan. Santoso sangat ramah dan suka bercerita. Ia menceritakan padaku tentang pekerjaannya sebagai polisi, seakan-akan kami sudah kenal sejak lama. Banyak yang tidak suka karena ia selalu bertindak jujur. Justru kejujurannya itu membuatku kagum; ternyata masih ada juga orang yang teguh menempuh jalan yang lurus di tengah-tengah ketidakberesan negara ini. Yang tak kuduga adalah saat ia bercerita tentang kehidupan cintanya.

"Mas sudah punya pacar?" tanyanya duluan. "Belum Mas, belum ada yang cocok saja," jawabku diplomatis. Aku memang sedang menjomblo saat itu. "Mas sendiri? Ceweknya nggak diajak sekalian ke Jakarta, jalan-jalan?"
"Waduh kalau ketahuan bisa dihukum saya Mas," ia tertawa simpul, "lagian saya nggak punya cewek."
"Ah masa sih Mas, ganteng gagah gini kok nggak punya cewek?"
"Ya mungkin karena pekerjaan saya Mas, kadang mesti pindah kota dan nggak tahu kapan kan..."
"Ah kalau sudah cinta pasti bisa dikasih pengertian Mas," ujarku.
"Kalau benar-benar cinta Mas," desahnya. "Kenapa Mas? Kayanya trauma sama cewek?"
"Iya Mas, baru aja putus nih. Orientasinya duit pula, lha padahal gaji saya pas-pasan. Makan aja ngirit. Tapi dia ngambek kalau nggak diisiin pulsa."
"Wah susah Mas kalau orientasinya duit, mending cari yang lain aja."
"Iya, pikirnya saya banyak duit dari hasil tilang. Saya nggak pernah terima duit damai Mas. Mending hidup susah tapi nggak merasa bersalah karena uang haram." Sekali lagi aku merasa kagum padanya, tanpa sadar kupegang tangannya dan kutatap matanya. Ia balas menatap tanpa canggung sedikitpun. "Tangannya dingin amat Mas," ujarnya. "Iya lupa bawa jaket, lupa kalau kereta malam dinginnya minta ampun..."
"Pakai jaket saya aja," sahutnya lalu ia pun melepas resleting jaketnya. "Eh jangan Mas, ntar Masnya yang kedinginan." "Gapapa, saya pake pakaian dinas kok, lengannya kan panjang." Benar saja, begitu ia melepaskan jaketnya, aku bisa melihat seragam coklat kesukaanku itu. Sekarang aku bisa melihat dengan jelas badannya, dan aku tertegun. Dadanya cukup bidang... "Mas? Ini jaketnya," seruannya menyadarkanku. "Ah iya, makasih ya!" Aku segera mengenakan jaket itu; terasa begitu hangat. Sedikit tercium aroma tubuh polisi itu, harum dan begitu jantan, menggugah seleraku. "Lha dibagikan selimut tuh Mas!" ujarnya tiba-tiba. Benar saja, petugas kereta mulai membagikan selimut. Kulirik jam tanganku, ternyata sudah pukul setengah sepuluh malam. Setelah mengenakan selimut plus jaket polisi itu, badanku jadi benar-benar hangat. "Enak ya?" tanya Santoso. "Iya sudah hangat, berkat jaketnya Mas nih, hehehe..."
"Kalau pelukan pasti lebih hangat lagi ya," candanya.
"Ah memangnya Mas mau pelukan sama saya?" godaku sambil tertawa.
"Siapa takut," tantangnya memelankan suaranya. Seharusnya sudah mulai banyak yang mencoba tidur, dan kebetulan gerbong lima cukup sepi. Ia menaikkan tumpuan tangan yang membagi kursiku dan kursinya, kemudian dengan sengaja melebarkan selimutnya sehingga selimutnya bertumpuk dengan selimutku. Ia sedikit bergeser, kemudian ia memegang tanganku yang sudah tidak kedinginan itu. "Ada yang kedinginan nih Mas," bisiknya. "Nah to Mas-nya kedinginan," ujarku. "Pake jaketnya ya?"
"Nggak usah Mas, yang kedinginan sebelah sini kok." Ia menarik tanganku dan meletakkannya di atas tonjolan selangkangannya. Gerakan itu benar-benar tak kuduga, sehingga aku tertegun ketika ia menggerakkan tanganku mengelus-elus tonjolan itu. "Mumpung sepi Mas, dihangatin ya. Sudah lama nih nggak ada yang mainin," ujarnya tanpa basa-basi. Tanpa pikir panjang lagi aku mulai beraksi. Kuraba-raba tonjolan itu dan kuremas-remas. "Apa nih Mas?" godaku. "Kok gede amat? Pentungannya polisi ya?"
"Iya itu pentungannya polisi," jawabnya menggodaku. "Namanya kontol."
"Oooo ini kontolnya polisi ya," bisikku, kugunakan nada nakal saat mengatakan "kontol."
"Hu um, kamu suka ya Mas?" "Saya suka kontol, apalagi kontol polisi kaya punya Mas. Gede, kenyal, panjang, keras." Kuurut batang kontolnya yang kukira sudah menegang dari tadi. Ia membuat gerakan seolah-olah tertidur di bahuku dan membisikkan erangannya. Kuelus-elus lagi kontol polisi itu; perjalanan masih panjang namun aku tak mau menyia-nyiakan kesempatan ini. Celananya yang halus dan ketat membuat seakan-akan aku menyentuh kontolnya langsung; walaupun tak bisa melihatnya, aku yakin selangkangannya sangat menonjol sekarang. Memikirkannya saja membuatku sangat terangsang, apalagi ketika polisi itu dengan nakalnya membuka resleting celanaku dan langsung mengocok kontolku. Aku mengerang tertahan; kubalas dengan menggenggam kontolnya sebisanya dan kutarik-tarik perlahan. Ia menjilat-jilat leherku dengan manja, kuberikan remasan pada kontolnya. "Kocokin dong," pintanya. "Ntar kalau muncrat gimana?"
"Kocokin di dalam aja."
"Lha celananya ketat gini, susah dong ngocoknya?"
"Ke WC yuk." Ia bangkit dan menuju WC, aku menyusul kemudian. Tidak ada satu orang pun yang masih terjaga sehingga aku dengan mudah menyusup ke dalam WC yang sudah terisi seorang polisi horny.

Begitu aku mengunci pintu, polisi itu langsung menciumku dengan penuh nafsu. Kuladeni ciumannya sambil berusaha melucuti pertahanan kontolnya. Kubuka resleting celana dinasnya yang sudah terasa sedikit basah, kemudian kucoba keluarkan batang kontolnya. Agak susah karena lubang celananya agak sempit, namun aku tidak kurang akal. Kuremas-remas dan kutarik-tarik kembali kontolnya, kali ini untuk mengarahkan batang kontolnya keluar. Setelah beberapa saat, dibantu kelojotan polisi itu yang mengira aku sedang menyervis kontolnya, akhirnya aku berhasil mengeluarkan tongkat kejantannya. Sambil tetap berciuman aku mengocok-ngocok dan memelintir perlahan batang kontol polisi itu. Dari tanganku kuperkirakan diameternya sekitar 5cm. Panjangnya belum bisa kuperkirakan karena aku masih memainkan kulupnya. Ya, ternyata polisi itu belum disunat. "Masih komplit ni Mas onderdilnya," godaku. "Iya Mas, saya nggak berani disunat."
"Wah polisi gagah begini kok nggak berani disunat, hehehe..."
"Iya Mas, kan habis disunat nggak boleh dimainin dulu. Saya orangnya nggak tahanan Mas, tiap hari pasti ngocok."
"Iya lah Mas lha wong pelinya gede-gede gitu..."
"Lagian kalau ntar ngaceng pas dipegang dokternya kan runyam Mas."
"Ya tinggal dimainin aja."
"Kocokin Mas..." Aku pun menggenggam kontol polisi itu dan mulai mengocoknya. Agak kagok sebenarnya karena aku belum pernah mengocok kontol yang belum disunat, tapi karena kulihat polisi itu menikmati kocokan awalku, aku pun memberanikan diri memperkencang kocokanku. "Pelan-pelan aja Maaaassss," pintanya manja. "Nggak pingin cepet keluaaarrr niii..."
"Lha nanti kalau ada orang gimana?"
"Biarkan aja Mas."
"Eh jangan lah Mas, apa kata orang nanti kalau melihat polisi berduaan di WC sama orang lain, cowok lagi. Gini aja deh, sekarang dikeluarin, ntar kalau balik ke tempat duduk Masnya kuservis lagi deh. Sampai subuh. Kuat nggak Mas?"
"Kuat laa, sapa dulu!"
"Siap ya."

Aku duduk di atas WC dan polisi itu berdiri dengan kontol mengacung tepat di mukaku. Awalnya aku melanjutkan kocokanku, namun di tengah-tengah dengan tiba-tiba kulahap batang kontolnya. Nyaris saja kubekap mulutnya; erangannya sangat keras seperti lembu hendak disembelih. "Jangan keras-keras Mas, ada orang gimana?" "Sssshhh isepiiinn Maasss..." Saat itu kereta sepertinya agak melambat sehingga tidak terlalu banyak goncangan, maka aku memegang pantat polisi itu dan menggerakkan pinggulnya maju mundur. Polisi itu sendiri memegang kepalaku, sesekali meremas rambutku. Baru saat itu kusadari kontolnya ternyata pendek, mungkin hanya 12cm panjangnya, sehingga aku tidak terlalu kesulitan melahap semuanya hingga pangkalnya. Kuhisap kuat-kuat kontolnya, dan...

"Maaaassss keluaaarrrhhh...," desahnya. Terlambat, aku sudah merasakan aliran spermanya mulai memenuhi mulutku. Kental, hangat, dan manis, kutelan spermanya selagi kontolnya memompakan persediaan spermanya keluar. Hanya saja, polisi itu tidak menembakkan spermanya, namun hanya meleleh keluar begitu saja. Aku pernah baca memang ada pria yang begitu. Hingga tetes terakhir kutelan semua, dan setelah tak ada lagi yang keluar aku pun menjilat-jilat ujung lubang kencingnya, membuat polisi itu kelojotan kegelian. Kubersihkan kepala kontolnya dan bagian kulupnya, kemudian kukeluarkan kontolnya dari mulutku. Kukembalikan kontolnya ke dalam celananya. "Mas nanti di Jakarta nginap sama aku mau ya? Belum puas nih ngisepnya, hehehe..."
"Boleh tuh, ntar kamu boleh ngisep kontolku sepuasnya."
"Sip deh!"
"Gantian sini kau kubikin kelojotan!"

Maka kami pun bertukar posisi. Polisi itu pun mengeluarkan kontolku dari celana jinsku. "Wah lebih panjang nih dari punyaku," pujinya. "Ah punya Mas lebih tebal," sanjungku. "Enak ngisepnya." Ia pun mengocok-ngocok kontolku sebentar, kemudian ia mulai menghisapnya. Benar saja, aku kelojotan dibuatnya. Hisapannya begitu maut, mengalahkan mantanku sebelumnya. Aku sampai tak tahan dan menembak polisi itu hanya dalam waktu singkat, mungkin hanya tiga menit. "Uooohhh gila Mas lihai bener," pujiku setelah aku memuntahkan seluruh laharku di mulut polisi itu dan merapikan diri. "Baru sekarang lho Mas aku keluarnya cepet!"
"Enak ya?"
"Woh gak enak lagi Mas. Super!!!"
"Hehehe sip lah. Kita suka isep-isepan ternyata. Jadian yuk!"
Aku tertegun mendengar perkataan Santoso; baru kali ini aku ditembak cowok. Sama polisi pula. "Aku mau Mas," jawabku, kemudian kupeluk dirinya dan terharu. Akhirnya kesampaian juga keinginanku berpacaran dengan polisi. Banyak yang bilang itu tidak enak, tapi aku tidak peduli. Kalau tahu caranya, apapun pasti bisa dinikmati. "Cium ya. Mulai sekarang kita pacaran." Kujawab dengan ciuman lembut; badanku serasa melayang ke awan. Entah berapa lama kami berciuman, sampai kusadari kereta berhenti. "Balik tempat duduk yuk Mas, kayanya lagi berhenti ni." Dengan berhati-hati kami keluar dari toilet, untungnya tidak ada yang melihat. Setelah duduk dan kereta berangkat, aku pun menepati janjiku menyervis kontol polisi itu semalam suntuk, walaupun hanya menggunakan tangan. Tanpa kami sadari ada yang memperhatikan gerak-gerik kami sedari tadi...
Tak terasa subuh pun menjelang. Entah berapa kali tadi malam aku menyervis polisi itu di bawah selimut, tapi rasanya aku dan Santoso sama-sama tertidur. Aku terbangun karena kedinginan. Saat menggeliat untuk meregangkan otot, aku baru tersadar tanganku masih menggenggam kontol polisi itu, yang agak tegang, sepertinya karena dingin. Kukocok-kocok kontolnya selama beberapa saat sebelum kurapikan kembali celananya. Tangan kananku agak basah, sepertinya bekas spermanya tadi malam belum mengering. Setelah merapikan celanaku sendiri, aku beranjak ke toilet dan buang air kecil serta mencuci tangan. Kembali ke tempat duduk, kuamati polisi itu. Ia masih tertidur, sepertinya kecapekan. Wajahnya tampan juga. Kukecup keningnya, kemudian kulanjutkan tidurku. Masih sekitar empat-lima jam lagi sebelum kereta sampai di Jakarta.

Sekitar pukul tujuh aku terbangun. Santoso rupanya juga sudah bangun, masih saja menggoda kontolku walaupun ia tidak membuka celanaku. Aku mengerang malas sambil menggeliat. "Ntar aja lanjut lagi Mas, dah pagi nih... Ntar ada yang liat kan gawat." Aku mengatakan begitu karena biasanya selimut akan dikumpulkan lagi ke petugas kereta sekitar waktu itu. Dengan ogah-ogahan ia menarik tangannya. Kugoda dirinya dengan meremas cepat kontolnya, lalu kami berdua tertawa pelan.

Sisa perjalanan kami habiskan dengan berbincang. Tak terlalu banyak yang dibicarakan sebenarnya, jadi aku lebih banyak memandang keluar jendela. Gerbong kami agak lebih ramai dibandingkan tadi malam, dan di seberang ada seorang provost sendirian. Entah sejak kapan provost itu duduk di sana. Sekali-kali tak sengaja aku melihat provost itu melirik ke arahku atau Santoso, tapi lirikannya tajam sekali. "Mas, provost di sebelah kayanya sering melirik ke arah kita," bisikku pada Santoso. "Masa sih? Tenang aja, ada aku," jawabnya. "Paling dia heran kok aku pakai seragam dinas."
"Iya Mas kok ga pakai baju biasa aja tadi malam?"
"Nanggung, malas ganti baju. Bajuku di tas semua, malas bongkar-bongkar juga, hehehe..."
Tak terlalu lama kemudian kereta sampai juga di stasiun Gambir. Aku dan Santoso turun, diikuti provost itu. Dari sini seharusnya kami berpisah: aku ke arah Taman Anggrek untuk check in di hotel dan Santoso ke arah Grogol ke kosnya, namun karena aku hanya sendirian dan kamar hotel pastinya cukup untuk dua orang, maka Santoso kuajak menginap di hotel selama di Jakarta dan ia mau-mau saja. Semula aku ikut ke kosnya dulu karena ia hendak mengambil motornya dulu. Lumayan jadi tidak keluar ongkos transpor, pikirku. Provost tadi awalnya berjalan searah dengan kami sehingga sampai kukira ia membuntuti kami, namun rupanya ada provost lain yang menjemputnya. Kami pun naik ojek menuju kos Santoso di Grogol. Sesampainya di sana ia ganti baju biasa, kemudian aku diboncengnya menuju hotel di kawasan Taman Anggrek. Sepanjang perjalanan aku dengan cueknya memeluknya dan ia pun tak keberatan, toh tak ada yang mengenali kami. Hanya saja, di tengah perjalanan aku melihat dua orang provost berboncengan motor, salah satunya kurasa provost yang tadi. Ngapain ya mereka mengikuti kami, pikirku. Ah cuek aja, toh ga ngapa-ngapain yang salah...

Sesampainya di hotel, pas sekali waktunya check in. Setelah masuk kamar, aku beristirahat sebentar sebelum rapat pukul dua siang nanti. Agak malas sebenarnya, terutama setelah seorang polisi menjadi pacarku dan menemani hari-hariku di Jakarta, tapi demi tuntutan tugas... Saat itu sekitar pukul dua belas siang. Perutku berbunyi lagi, tapi aku belum mandi... "Mas, mandi bareng yuk!" ajakku. Santoso mau-mau saja diajak mandi bareng. Dengan guyuran air hangat, kami berdua saling menggosok punggung bergantian. Ia dengan nakalnya menggosok dadaku, terutama daerah sekitar puting, membuat kontolku yang tadinya lemas mulai bangun. "Jangan sekarang Mas, mau ngantor aku," bisikku. "Bentar aja," rayunya. "Kita kan udah resmi pacaran Mas. Aku dimasukin dong..." Aku agak tersentak mendengar permintaannya. Gagah-gagah gini ternyata bot toh. Kebetulan sekali! Aku sendiri versatile cenderung bot, dan sudah lama sekali ingin mencoba menjadi top. Apalagi menusuk polisi, itu impianku sejak lama. Akhirnya terwujud juga! Duh tambah malas saja rapat... "Nanti malam ya Mas," bujukku. Ia mulai mengocok-ngocok kontolku yang semakin mengeras karena aku sedang membayangkan malamku nanti. Aku menghentikan kocokannya dan menciumnya sambil menggoda bola-bolanya. Bola-bolanya lebih besar dari punyaku, mungkin itu yang membuatnya sering terangsang karena hormonnya banyak. Ia mengerang tertahan. Kumainkan sebentar kulupnya, kemudian kulepaskan ciuman dan pelukanku. Ia seakan kecewa, namun kubujuk perlahan dengan ciuman-ciuman pendek. Kuselesaikan mandiku cepat-cepat sebelum polisi itu mulai merangsangku lagi. Aku segera mengenakan baju resmi sementara Santoso hanya mengenakan kaos santai. "Katanya ke mabes Mas?" tanyaku keheranan. "Besok aja, capek nih..."
"Nah gitu tadi ngajak main," selorohku. "Dah istirahat aja Mas, ntar malam kita main lagi deh!"

Sisa hari itu kulalu dengan membosankan. Rapat di kantor berlangsung cukup lama dan aku hanya mencatat yang kuanggap perlu kucatat. Baru besok aku akan bekerja sehari penuh di sana. Sepulang dari kantor, diantar Santoso kami makan malam, kemudian pulang ke hotel. Sepanjang jalan kontolku sudah mengeras dan menempel ke pantat Santoso. Tiap ada kesempatan aku meremas kontolnya. Tanpa sadar ada yang mengikuti kami; aku tidak sadar karena padatnya lalu lintas Jakarta. Akhirnya kami sampai hotel. Di lift yang sepi kami sempat berciuman. Di lorong kami berjalan biasa karena Santoso mengenali kamera CCTV terpasang setiap sepuluh meter. Barulah ketika masuk kamar Santoso mulai bergerilya lagi. "Sabar Mas, pakai seragamnya dulu dong! Yang komplit ya!" Ia pun menuruti perintahku dan mengenakan seragam dinasnya dengan lengkap. Aku langsung terangsang melihat polisi itu; kutuntun ia ke ranjang dan langsung kutindih badanku sambil kucium. Kami berdua seakan sama-sama terbakar nafsu malam itu sehingga permainan kami jadi agak liar. Nafasku terengah-engah meladeni ciuman Santoso; kubalas dengan menggosok-gosokkan kontolku ke kontolnya. Kami berdua masih berpakaian lengkap, namun justru itu yang membuat malam ini terasa berbeda. Ini impianku sejak lama: bercinta dengan polisi dalam pakaian lengkap. Sebentar lagi satu lagi impianku juga akan terwujud: menyodomi polisi.

Kumulai impianku dengan mulai melucuti celananya sambil tak lupa tetap memainkan kontolnya. Saat baru resleting celananya yang terbuka, aku tergoda untuk memainkan kulupnya, maka sekali lagi kugunakan teknik remasanku untuk mengatur arah batang kontolnya. Setelah beberapa remasan akhirnya kontolnya menyembul keluar juga. Kutarik-tarik kulupnya untuk memunculkan kepala kontolnya yang merah muda itu. Kujilat-jilat sebentar "helm" polisi itu, membuatnya gelinjatan di atas ranjang. Puas memainkannya, kulucuti sabuknya dan kuturunkan celana dinasnya serta celana dalamnya sampai sebatas lutut. "Siap Mas?" tanyaku nakal. Ia menjawabnya dengan membuka kedua kakinya selebar mungkin, walaupun terhalang celananya. Kuambil pelumas dari tasku dan kuoleskan pada kontolku. Kulihat pantat polisi itu, sepertinya ia belum pernah ditusuk sebelumnya. "Masih perawan nih Mas?" tanyaku. Ia hanya mengangguk. "Yakin nih mau dimasukin?" "Ayo Mas masukin aja, aku siap demi dirimu..." Kuoleskan pelumas pada jari-jariku, kemudian kupanaskan lubangnya. Kumasukkan dulu satu jariku. "Gimana Mas?" "Bisa, ayo masukin aja kontolmu langsung." "Sabar Mas..." Kumainkan jari telunjukku di dalam dengan gerakan memutar untuk melemaskan otot-otot anusnya. Sesekali kusentuh prostatnya, dan ia mengerang serta mengacungkan kontolnya saat itu. Kumasukkan jari kedua dan ketiga sekaligus dan lubangnya merespons dengan memperbesar diri. Kurasa ia sudah siap, maka kusuruh polisi itu mengocok sebentar kontolku yang agak lemas karena tidak disentuh. Setelah tegang kembali, kumain-mainkan kontolku di lubang masuk pantatnya, membuatnya makin gelisah. "Ayo Mas masukin, udah ga sabar nii..." Aku hanya tersenyum dan tetap memainkan kontolku, sebelum dengan tiba-tiba kudorong masuk kontolku. Ia langsung mengerang kesakitan. Aku tak peduli, kudorong terus kontolku sampai masuk seluruhnya. Kupandangi polisi itu, ia terengah-engah dan sedikit berkeringat. "Sakit Mas?" tanyaku lembut. "Dikit, ayo goyangin aja biar enak lagi." Kukocok kontolnya yang layu sambil kugerak-gerakkan kontolku perlahan di dalam pantatnya. Awalnya erangannya masih menunjukkan kalau ia kesakitan, namun tak terlalu lama ia mulai menikmatinya. Kutusukkan kontolku sedalam-dalamnya hingga menyentuh prostatnya dan membuatnya mengerang dalam. Suara beradu tubuhku dengan pantatnya mulai terdengar saat kupercepat genjotanku. Tak lupa aku meracau nikmat. "Oooohhh pantatmu sempit banget Massshhh, enakkkhhh... Pantat polisi emang enakkkkhhh..." "Iya Maasss entotan Mas mantaappp... Aaahhh... Terus genjot Maaasss... Mainin kontolnya Maasss..." "Suka kontolku Mas? Kuberi kontolku di pantatmu... Uoookkkhhh... Yeeessssshhh... Mmmhhh..." Kuputuskan untuk berganti gaya; dengan kontolku masih menancap pada lubang polisi itu yang tak lagi perawan, kubimbing dirinya untuk nungging dan kulanjutkan genjotanku. Kali ini kuservis kontolnya dengan mengocok-ngocok kepala kontolnya. Kugoyangkan pinggulku memutar untuk memberikan sensasi baru. "Aaahhh Maaaasss aku mau keluaaarrr...," desaunya. "Jangan dulu Mas, tungguin dikit lagi..." Kuremas kuat-kuat kontolnya, katanya itu mampu mencegah seseorang ejakulasi. Kugenjot polisi itu semakin cepat; eranganku susul-menyusul dengan erangannya. "Kutembak di dalam ya Mas...," bisikku. Ia mengangguk, maka aku langsung menggenjotnya kembali. Aliran kenikmatan menerpaku kembali, dan kali ini aku tidak tahan lagi. "Ooooohhhhhh..." Croooottt... Tembakan pertamaku menyembur dinding anus polisi itu, rupanya sedikit memberikan tekanan pada prostatnya karena ia ikut mengerang panjang. Dengan segera kuremas kuat-kuat kepala kontolnya agar spermanya tidak jatuh begitu saja. Aku ingin menikmati spermanya. Aku masih menggenjot polisi itu sampai kontolku berhenti menembakkan spermanya. "Enak Mas?" "Enak banget ternyata, pantas aja bikin ketagihan... Aaaaahhh..." Kulepas remasanku dan kubiarkan polisi itu mengeluarkan spermanya, kutadahi dengan tanganku. Setelah tetesan terakhir, kuoleskan cairan kental itu ke kontolnya, membuatnya kelojotan. "Maaasss geliii..." Tanpa sengaja kontolku tercabut dari pantatnya, padahal aku masih ingin membiarkan kontolku di dalam. Ia membalikkan tubuhnya dan aku berbaring di sebelahnya, masih mengoleskan spermanya sendiri ke kontolnya. "Maaasss..." Aku tidak peduli, kuberanjak ke bagian bawah tubuhnya dan kujilati sperma yang menempel di kontolnya, membuatnya mengerang. "Masss capeekk ahhh, ooohhh... Aaahhh jangan di situ Maaassshhh... Ummmhhh... Oooohhh..." Kuhisap kontolnya. "Ooohhh Maasss, sumpah nggak kuat Maaasss, istirahat... Aaahhh... Istirahat dulu Maaasss..." Aku tidak memedulikannya, aku yakin polisi itu masih menyimpan sperma untukku, apalagi kontolnya tetap menegang. "Maaaasss... Mau keluaaarrrhhh... Aaarrrggghhh... Uoooohhhhh..." Akhirnya! Cairan kejantannya mulai meleleh di kepala kontolnya, langsung kulahap dan kutelan. "Mmmmhhh..." Tak terlalu banyak memang, tapi cukup lah untuk membuatku puas. Kukeluarkan kontolnya dari mulutku, kemudian aku berbaring di sampingnya sambil memegang kontolnya. Ia terengah-engah, maka kupeluk sambil sesekali kucium keningnya. Ternyata ia memang kelelahan. "Maaf Mas, kayanya aku kelewatan deh..." "Gapapa Mas, enak kok..." "Kalau gitu Mas istirahat aja sekarang... Besok aja dilanjutin lagi." Kami berciuman sekali lagi dan kubiarkan ia tertidur dalam pelukanku.

Aku sepertinya juga jatuh tertidur ketika bel tamu kamar tidurku berbunyi. Siapa malam-malam begini... Kulirik jam tanganku. Pukul satu pagi. Mana ada tamu jam segini, paling salah dengar... Bel itu berbunyi lagi. Duh sapa sih ngganggu aja pagi-pagi begini... Jangan-jangan anak iseng. Aku beranjak bangun, merapikan diri dan menyelimuti Santoso karena ia masih telanjang ke bawah, lalu melangkah malas menuju pintu. Kuintip... Tiga orang berseragam. Masa ada operasi, tidak mungkin di hotel berbintang lima seperti ini... Kubuka pintu dan hendak memberikan salam, "Selamat pagi..." Ketiga orang itu menyeruak masuk dan mendekapku. Aku hendak berteriak, namun seorang lagi langsung mendekap mulutku dengan kain. "Kami tidak akan macam-macam kalau kau menuruti perintah kami," aku mendengar salah seorang berbicara, anehnya tidak ada nada ancaman. Dalam keterkejutanku, aku mengamati penyergapku, dan semakin terkejut ketika mengenali seorang di antaranya.

Provost tadi pagi... 
Setelah aku mengangguk tanda aku tidak akan memberontak, provost itu mengendorkan dekapannya, namun tidak melepaskanku. Kepalaku dielus-elusnya dengan penuh sayang; karena provost itu lebih tinggi besar dariku, seakan-akan provost itu bapak yang sedang memeluk anaknya. Aku pun memberanikan diri melingkarkan tanganku di pinggang provost itu. Benar-benar pinggang yang ramping namun berisi. Kontolnya sedikit di atas kontolku dan menekan keras tubuhku. "Aku tahu kamu gay sejak di kereta itu," bisiknya. "Puaskan aku." "Tapi aku tak mau menusuk dan ditusuk," bisikku balik sambil meremas kontolnya agak keras hingga provost itu mengerang pelan. "Tak apa, kocok atau hisap kontolku," pintanya. "Lalu kedua temanmu?" "Lakukan yang sama sepertiku." Dengan sedikit anggukan provost itu menyuruh kedua rekannya merapat, dan mereka berdua ikut memelukku. Aku seakan dipeluk tiga raksasa sehingga agak kepanasan dan kesulitan bernafas, namun untuk sejenak kunikmati diriku dipeluk sambil tanganku leluasa menjelajahi kontol dua provost sekaligus. Kuhirup aroma lelaki provost itu, rupanya ia menggunakan parfum maskulin. Dua provost lainnya masih menikmati permainan tanganku pada kontol mereka. Setelah aku memberikan sinyal untuk menghentikan pelukan itu dengan meremas kuat kontol kedua provost itu, permainan sebenarnya pun dimulai.

Aku duduk di sofa di ujung kamar sementara ketiga provost itu berdiri tegap di depanku. Santoso masih tidur dengan nyenyak, sepertinya ia memang kecapaian. Karena ketiga provost itu tidak ingin saling melayani, aku berusaha melayani mereka bertiga. Provost pertama bernama Jacky, kulayani terlebih dahulu. Kudekatkan mukaku dengan kontolnya yang sudah tercetak dengan sangat jelas di celana dinasnya saking ketatnya. Kubenamkan wajahku di kontolnya untuk menghirup aroma kejantanannya. Setelah puas, kusundul-sundul bola-bola kontolnya dengan hidungku dan kugigit-gigit ringan batang kontolnya, membuat Jacky mengerang pelan. Gemas dengan erangannya, kukepalkan tanganku dan kutinju pelan kontolnya. Ia berpura-pura kesakitan sambil memegangi kontolnya dan mengerang kembali. Kedua rekannya hanya tertawa melihat Jacky; sekilas kulihat kontol mereka masih tegang walaupun tidak kumainkan lagi. Kupegang tangan kekar Jacky untuk membuka pertahanan kontolnya, kemudian kupecundangi lagi provost itu dengan membuka resleting celananya. Kurogoh ke dalam, agak terkejut ketika aku langsung mendapati barang pusakanya yang hangat dan berdenyut itu. Kukeluarkan batang kontol Jacky, kemudian kubiarkan kedua rekannya mengagumi batang kejantanan itu; kuberi bonus remasan-remasan lembut pada kontol mereka berdua. Kontol Jacky sudah disunat ketat, berurat di sepanjang batangnya; saat itu kontolnya berdenyut-denyut. Kupegang kepala kontolnya dan kuelus sepanjang pinggiran kepalanya dalam gerakan memutar. Gerakan itu rupanya menimbulkan sensasi geli namun nikmat yang luar biasa; Jacky melenguh seperti lembu hendak disembelih dan kelojotan tak karuan. Precum mulai meleleh dari ujung lubang kencingnya, langsung kujilati. Agak getir dan asin, namun aku suka. Kukeluarkan buah zakarnya dan kuremas-remas beberapa saat untuk merangsang kontolnya mengeluarkan precum lagi. Setelah puas, kujilati seluruh jengkal batang kontolnya dari ujung hingga ke pangkal. Kuciumi dan kujilati pangkal kontolnya sementara kukocok-kocok kepalanya, membuat Jacky belingsatan tak karuan. Walaupun begitu, tak ada tanda-tanda ia akan orgasme. Kurasa stamina provost ini masih sangat prima. Kupandangi wajah Jacky dan ia balas memandangku. Kuberikan senyumanku, kemudian kujilati kontol itu seperti es krim. Tak terlalu lama aku melakukannya, karena aku sendiri sudah tak tahan ingin merasakan tongkat kejantanan provost itu di dalam mulutku. Maka kucaplok kontolnya dan kumasukkan perlahan-lahan. Kontol Jacky lumayan panjang walaupun tidak terlalu besar, kutaksir panjangnya sekitar 18cm dan tebalnya 3-4cm. Hingga pangkalnya masuk, aku bisa merasakan ujung kontolnya menyentuh dinding tenggorokanku. Jacky dengan nakalnya menggerak-gerakkan kontolnya, memukul-mukul dinding tenggorokanku dan membuatku mual. Ia mendorong kepalaku hingga aku terbenam dalam selangkangannya, namun masih terhalang celananya. Kubuka kaitan celananya agar aku lebih leluasa menikmati selangkangannya. Entah kenapa provost itu tidak mengenakan sabuk, padahal aku ingin sekali melucuti sabuk itu seperti tadi aku melucuti Santoso. Kuturunkan celananya sampai sebatas paha, lalu Jacky kembali membenamkan kepalaku pada selangkangannya sambil menggerak-gerakkan kontolnya. Awalnya aku tersedak dan mual, namun bau jantan selangkangan Jacky membantu melawan rasa mual itu. Jacky mulai memompa kontolnya di mulutku; kuletakkan lidahku di bawah kontolnya dan kusempitkan mulutku untuk melipatgandakan kenikmatannya, dan benar saja, Jacky mengerang habis-habisan dibuatnya. Aku memeluk pantatnya yang montok berisi itu selagi ia mengentot mulutku. Sesekali cairan precum meleleh dari kontolnya, memberikan rasa asin getir yang kusuka itu.

Sepuluh menit kemudian, mulutku mulai lelah mengenyot kontol Jacky. Satu provost rekannya sudah muncrat terlebih dahulu, walaupun hanya kuremas-remas dari luar tanpa menanggalkan sehelai benang pun dari tubuhnya sehingga noda sperma pun menghiasi celananya, membuatku semakin terangsang. Satu rekannya lagi malah melemas kontolnya, membuatku penasaran sebenarnya, namun masih ada Jacky si provost pejantan tangguh. Aku memutar akal agar Jacky bisa cepat muncrat. Saat ia menarik kontolnya, aku sengaja menarik kepalaku agak jauh sehingga kontolnya keluar dari mulutku. "Ups...," bisikku. Kulahap lagi kontolnya, namun kali ini perlahan-lahan, dan kusisakan separuh batangnya. Kugunakan teknik terakhirku yang membuat Santoso muncrat tadi; kalau ini tidak berhasil, entah apa yang bisa membuat provost yang satu ini takluk. Kuhisap-hisap sambil kukocok kepala kontolnya dengan mulutku, sementara kukocok bergantian pangkal batang kontolnya dan bola-bolanya. Benar saja, Jacky mengerang cukup dalam, nafasnya semakin memburu. Kulakukan gerakan itu sepuluh kali, dan di tiap gerakan aku bisa merasakan kontol provost itu semakin membesar. "Aaaahhh akuu mauu keluaaarrr...," desah Jacky. Akhirnya! Kukenyot kepala kontolnya kuat-kuat sambil kuremas bola-bolanya. Jacky mendesah panjang, tubuhnya bergetar hebat. Kulihat bola-bolanya mulai melesak ke dalam, bersiap untuk menembakkan muatannya. Benar saja, ketika kuremas sekali lagi, aku bisa merasakan kepala kontolnya berdenyut dan membesar, kemudian cairan hangat yang agak cair meleleh di ludahku, diikuti semburan cairan kental yang lebih hangat lagi. Kali ini rasanya manis dan gurih. Kutelan secepat yang aku bisa karena tembakan provost itu cukup cepat dan banyak, bahkan rasanya ada yang meleleh di sisi mulutku. Sekitar setengah menit kemudian tembakannya melemah dan akhirnya berhenti sama sekali. Sisa spermanya tidak kutelan. Kukeluarkan kontolnya, kemudian aku bangkit berdiri dan memegang dan mengelus perlahan kontolnya. Jacky bergetar pelan, tubuhnya masih terpengaruh orgasme yang begitu hebat. Kucium provost itu, dan ia membalas ciumanku, bahkan ia mau menjilati spermanya sendiri yang masih ada di mulutku. Setelah spermanya di mulutku habis, aku pun kembali menjilati sisa-sisa sperma dari kontolnya hingga bersih. Keluar dari mulutku, kontol itu agak tegang lagi, namun aku masukkan ke dalam sarangnya. Kurapikan provost itu, dan kucium lagi sambil tetap kurangsang kontolnya. "Enak?"
"Enak banget, makasih banyak ya. Sayang kau bukan dari sini, coba kita bisa jadian." Wah, aku sih sudah jadian dengan Santoso, pikirku dalam hati.

Ah, tapi sekarang aku harus beralih ke rekannya. Provost kedua, yang muncrat dalam celana, bernama Sutandyo, tahu aku kelelahan menghisap kontol Jacky, maka ia hanya memintaku mengocok kontolnya sekali lagi. Kali ini kupegang betulan kontolnya tanpa halangan kain celananya. Kusuruh provost itu duduk di pangkuanku, kemudian kurogoh masuk tanganku. Agak sempit sebenarnya, namun masih cukup lah untuk memainkan kontolnya. Dengan sisa-sisa sperma yang masih melekat di celananya, kukocok kontolnya. Tak butuh waktu terlalu lama supaya ia muncrat untuk kedua kalinya. Tanganku jadi agak belepotan dibuatnya, namun kubiarkan tanganku tetap di celananya hingga kontolnya melemas. Rupanya provost ini terbiasa main cepat, pikirku.

Nah, tinggal si provost terakhir, Hari namanya. "Lemes nih Bang?" ujarku saat memainkan kontolnya. "Iya nih, susah nahan biar bisa ngaceng...," akunya. "Biasanya diapain dong Bang biar bisa muncrat?" "Kalau saya yang ngocok sendiri bisa, tapi kalau dikocokkan orang lain jarang banget bisa muncrat. Susah tegang." "Tenang aja Bang, ini temennya dikocok malah dua kali keluar..." "Dia mah kontol kuda, sekali dua kali kurang!" "Hmmmm, kalau gitu, saya butuh bantuan." Jacky yang horny kembali langsung mengerti maksudnya. Ia mencium rekannya itu sementara aku memeluk Hari dari belakang dan memerah kontolnya. "Lha tegang gini lho Bang," bisikku. Hari tidak menjawab, ia sibuk berpagutan dengan Jacky. Tangannya mulai meraba-raba liar tubuh Jacky yang gempal itu, sementara aku sibuk menelanjangi Hari. Kontolnya perlahan tegang dan langsung kukocok-kocok. Jacky membantu dengan memainkan dada Hari. Hari sendiri kini sibuk memainkan kontol Jacky. Kukira aku akan membutuhkan waktu lama untuk memuaskan Hari karena ceritanya tadi, apalagi kurasakan kontolnya belum terlalu tegang. Namun... Tanpa kuduga, Hari bergetar hebat dan muncratlah spermanya. Refleks aku menarik tanganku karena tidak siap, namun detik berikutnya aku langsung menadahi sperma Hari, kalau tidak tentu saja akan belepotan ke mana-mana. Sepertinya otak Hari sudah mengatakan cukup untuk ejakulasi, namun kontol Hari tidak merespon dengan ketegangan yang tepat. Entah apa yang harus kuceritakan pada Santoso kalau ia sampai menemukan bekas sperma di karpet, padahal semalaman kami bercinta di atas ranjang... Kulirik dirinya, dan ajaibnya ia tidak terbangun sama sekali, walaupun dengan riuhnya erangan ketiga provost itu.

Setelah membersihkan dan merapikan diri, ketiga provost itu pamit. Jacky meminta nomor teleponku agar ia bisa menghubungiku selama aku di Jakarta dan ia ingin merasakan sensasi semalam tadi. Kuberikan nomor kartu perdana yang baru kubeli tadi; aku memang terbiasa membeli nomor sekali pakai untuk menjaga privasiku. Sisa malam itu kuhabiskan dengan tidur sambil memeluk Santoso polisiku kekasihku.
Demikianlah, sisa hariku di Jakarta dihabiskan bersama Santoso si polisi. Siang hari aku bekerja, malam hari aku memadu kasih dengannya. Jacky si provost sempat menelepon di hari terakhirku di Jakarta, namun kutolak dengan halus karena jadwal kereta pagi sekali dan aku tidak ingin terlambat. Untunglah ia bisa mengerti. Keesokan harinya, aku dan Santoso kembali ke Surabaya menggunakan kereta. Karena saat itu siang hari, jelas tidak mungkin kami bermesraan seperti saat berangkat. Namun memang terjadi sesuatu di kereta Jakarta-Surabaya itu. Apa itu?

Itu kisah untuk lain kali. Untuk sekarang, biarlah kami merajut kisah kasih di kota tercinta ini.

Santoso I love you...


Sumber: http://feifantasy.blogspot.com/2011/06/di-kereta-surabaya-jakarta-bagian-1.html
http://feifantasy.blogspot.com/2011/06/di-kereta-surabaya-jakarta-bagian-2.html
http://feifantasy.blogspot.com/2011/08/di-kereta-surabaya-jakarta-bagian-3.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar