Hunk Menu

Overview of the Naolla

Naolla is a novel which tells about life of Hucky Nagaray, Fiko Vocare and Zo Agif Ree. They are the ones who run away from Naolla to the Earth. But only one, their goal is to save Naolla from the destruction.

Book 1: Naolla, The Confidant Of God
Book 2: Naolla, The Angel Falls

Please read an exciting romance novel , suspenseful and full of struggle.
Happy reading...

Look

Untuk beberapa pembaca yang masih bingung dengan pengelompokan posting di blog ini, maka saya akan memberikan penjelasannya.
(1)Inserer untuk posting bertemakan polisi dan dikutip dari blog lain;(2)Intermezzo adalah posting yang dibuat oleh pemilik blog;(3)Insert untuk cerita bertema bebas yang dikutip dari blog lain;(4)Set digunakan untuk mengelompokan posting yang sudah diedit dan dikutip dari blog lain;(5)Posting tanpa pengelompokan adalah posting tentang novel Naolla

Senin, 04 November 2013

Intermezzo: Aku dan Om Tyo

Perkenalkan, namaku Dendy (20 Tahun). Aku adalah seorang gay dan tipe pria idamanku adalah pria-pria mature alias Om-om. Hehhehe. Aku menyadari adanya perbedaan dalam orientasi seksualitasku sejak masa SMP. Kala itu entah kenapa aku suka memperhatikan guru olahragaku yang begitu gagah dalam balutan celana training dan kaus ketat. Aku pikir awalnya hanya perasaan kagum saja, tapi lama kelamaan bayangan guru olahragaku itu hadir dalam wujud mimpi basah anak ABG. Dan ketika itulah aku menyadari kalau aku adalah seorang gay. Aku sama sekali tak menyukai perempuan. Biarpun temanku menunjukkan gambar wanita cantik berbalut bikini, aku sama sekali nggak tertarik. Aku bisanya cuman pura-pura suka saja sama perempuan, takut teman-temanku tahu kalau aku adalah gay. Tapi jangan tanya bagaimana reaksiku kala melihat cowok ganteng, cowok telanjang, atau cowok yang pamer badan. Agrhhhh, dalam sekejap kontol aku langsung nganceng. Hehehhe.
Biarpun udah 20 tahun, aku masih belum punya kekasih. Maksudnya pacar cowok ya! Aku juga agak takut masuk ke dunia gay, seperti mendatangi tempat-tempat dimana para gay kotaku bekumpul, berkenalan dengan sesama gay di dunia maya, dan menjalin pertemanan. Aku hanya merasa kalau hal itu beresiko besar. Aku takut ketahuan. Karena jomblo, aku juga jablay, dan desperate banget soal seks dengan sasama laki-laki. Aku mendambakan bagaimana rasanya bercinta dengan sesama lelaki. Bagaimana rasanya kontol saat masuk ke dalam mulut itu? Bagaimana rasanya lubang anus ditusuk oleh kontol tegang? Itu semua hanya menjadi mimpi buatku. Tapi semua penantian dan impian itu akan segera berakhir...

****
Sore itu sehabis pulang dari warnet, aku menemukan kedua orang tuaku sedang menyambut seorang tamu di ruang keluarga. Dari depan rumah aku bisa melihat sebuah motor Honda Tiger yang sepertinya aku kenal. Ibu langsung tersenyum begitu melihatku masuk ke ruang keluarga, dan sosok pria berbadan tegap yang kala itu posisinya membelakangiku, menoleh. Deg!
“Om Tyo!” Seruku dengan wajah sumringah.
Yang bernama Om Tyo lantas tersenyum. Aku pun langsung menelan ludah. Om Tyo, begitu aku memanggilnya. Iptu Ikhsan Prasetyo (33 Tahun) dengan wajah berbentuk persegi yang saat itu sedang ditumbuhi brewok ala goatte – kumis yang menyambung dengan janggut, dengan sambungan di bagian samping mulut. Janggutnya pun tidak panjang, dan tidak sampai area leher. Hanya menutupi dagu. Seperti Fred Durst vokalis Limp Bizkit.
Gila! Seksi banget! Seruku dalam hati. Kepribadianku sebagai seorang gay langsung bereaksi melihat pemandangan indah sosok Om Tyo yang selama ini menghiasi alam imajinasiku kala beronani. Yah, tahu lah... setiap gay pasti punya imajinasi dalam mengantarkan mereka menuju orgasme. Banyak yang memilih sosok-sosok selebriti yang ganteng dan seksi, tapi buat aku, Om Tyo adalah salah satu imajinasi terindah. Selain karena dia tipeku, dia juga sangat perfect dimataku sebagai seorang anggota Kepolisian.
“Sini duduk di sebelah, Om!” Seru Om Tyo sambil menepuk-nepuk sofa kosong di sebelah pantatnya yang saat itu sedang dibalut celana jins.
Gila! Ganteng banget... Aku kembali membatin dalam hati sambil dengan malu-malunya duduk di sebalah Om Tyo.
“Kamu dari mana?” Tanya Om Tyo.
“Dari warnet, Om! Biasa update facebook!”
Om Tyo langsung tersenyum mendengar celotehanku barusan, yang sontak membuat seluruh tubuhku meleleh karena terpesona melihat senyumannya. Agrhhhhh! Ingin sekali rasanya aku melumat bibir kecokelatan yang tebal itu.
“Kerjaannya cuman ke warnet terus, kapan cari kerjanya!” Celetuk Mbak Ratih – kakak perempuanku yang masih berumur 24 tahun.
Aku langsung memasang tampang ketus karena nggak suka topik pembicaraan yang Mbak Ratih lontarkan barusan. Masalah PEKERJAAN. Aku sudah 20 tahun, nggak kuliah, tapi juga nggak kerja. Aduh, gimana bisa dapet kerja kalau aku cuman lulusan SMA. Paling-paling juga jadi store crew minimarket, atau paling banter, jadi cleaning service, dan sales. Aku bukannya malas mencari kerja, tapi setiap kali mengirimkan lamaran, tak satupun perusahaan yang memanggilku untuk wawancara. Aku jadi putus asa, dan lebih banyak menghabiskan waktu membantu Ibu berjualan di warung. Mungkin belum rejeki aku bisa bekerja dan mendapatkan penghasilan tetap.
“Om Tyo tumben main-main kemari?” Tanyaku, yang ingin segera mengalihkan topik pembicaraan.
Sedikit info, neh. Om Tyo baru saja bercerai dari Istrinya tiga bulan yang lalu. Tante Niken, yang selama ini aku hormati itu telah mengecewakan Om kesayanganku. Juih! Tante Niken tega-teganya selingkuh dengan rekan kerjanya. Saat mendengar berita perceraian Om Tyo dan Tante Niken, jujur aku marah besar, dan sampai membuat status penuh makian kepada Tante Niken di facebook. Biar, deh! Biar semua orang tahu kalau dia wanita murahan yang tega mengotori janji suci pernikahannya di depan Tuhan.
Aku kasihan melihat Om Tyo. Sepertinya dia terpukul dengan perceraiannya. Meskipun selama lima tahun pernikahan mereka, Om Tyo dan Tante Niken juga belum dikarunai seorang anak. Om Tyo sangat mencintai Tante Niken, dan butuh waktu sekitar tiga bulan lebih, mungkin sampai sekarang, untuk menenangkan diri dan kembali move on.
“Om dipindah tugaskan ke kota ini.” Jelas Om Tyo. Selama ini Om Tyo tinggal di Makassar bersama Tante Niken.
Makasar dan Sukabumi, adalah dua kota yang jelas berbeda. Aku saja nggak bisa dapet pekerjaan kota ini. Emang enak sih kalau jadi pegawai, kerjaannya pasti dan gajihnya juga mulai  terjamin dan ada tunjangannya. Sebetulnya, dulu, aku pengen sih merantau. Pengen hidup mandiri, tapi aku kok nggak bisa meninggalkan kampung halamanku. Aku nggak bisa meninggalkan kedua orang tuaku, Mbak Ratih meskipun suka resek, dan aku juga punya teman-teman yang baik di sini. Apa yang melatar belakangi Om Tyo mau pindah tugas dan tinggal disini?
“Om’mu mau menginap di sini.” Jelas Bapak.
“Gimana, Den? Om boleh numpang nginep di rumahmu?”
Aku jadi kikuk. Kok, pakai acara minta izin segala, sih. “Ya, boleh dong, om!”
“Kalau begitu ajak Om Tyo ke kamar kamu, ya, Den!” Seru Bunda.
Hah?
Setelah mencerna perkataan Ibu barusan, aku baru menyadari sesuatu. Di rumah hanya ada tiga kamar. Kamar Bapak-Ibu, kamar Mbak Ratih, dan tentunya kamarku. Jadi untuk tiga minggu ke depan, Om Tyo akan tidur bersamaku, di kamarku. OH MY GOD! Tak kuasa dada ini menahan debar jantungku yang mulai berdegup kencang. Membayangkan akan tidur satu kamar dengan Om Tyo, berbagi ranjang dan selimut, mungkin adalah sebuah keajaiban. Ini namanya kejatuhan durian. Gay seperti aku akan sangat senang kalau mendapatkan kesempatan untuk berdekatan dengan sosok yang selama ini dikagumi, dipuja-puja, dan digunakan untuk obyek fantasi kala beronani.
  “Aku bisa tidur di sofa, kok Mbak! Nggak enak sama Dendy, dia kan butuh privasi...” Celetuk Om Tyo kepada ibuku, yang adalah kakak perempuannya.
“Halah! Privasi apa?! Kamu tidur sama Dendy saja. Kalau tidur di sofa mana nyaman. Nanti punggungmu malah bermasalah dan menganggu tugasmu sebagai seorang Polisi.”
Aku mengangguk-angguk membenarkan perkataan Ibu. “Betul, Om! Lagian tempat tidur Dendy bisa muat dua orang. Nggak apa-apa! Om Tyo kan juga butuh privasi. Kita bagi privasinya bersama, orang sama-sama cowok juga.” Aku pun langsung tertawa sambil berjalan menuju kamarku yang nggak jauh dari ruang tengah.
Om Tyo ternyata mengekor di belakangku. Jantungku tak berhenti berdetak kencang. Pikiranku terlalu sibuk membayangkan apa yang akan terjadi kalau aku tidur satu kamar dan satu tempat tidur bersama Om Tyo. Biasakah aku melewati godaa-godaan dalam menjalani hari-hariku ke depan? Bisakah aku akhirnya memenuhi segala imajinasiku tentang Om Tyo? Melihat tubuh telanjangnya? Merasakan kulit kami bersentuhan, dan mengecup bibir seksinya itu? Agrhhhh! Pikiran ini terlalu jauh melayang. Kacau rasanya. Haruskah aku merasa senang, atau tersiksa dengan masuknya Om Tyo ke dalam kamarku?

****
Satu minggu telah berlalu. Satu minggu yang ternyata begitu menyiksa jiwa dan ragaku sebagai seorang gay. Setiap malam aku harus menahan hasrat ingin menyentuh tubuh Om Tyo, yang ternyata kalau setiap akan tidur malam, Om Tyo selalu telanjang dada dan hanya mengenakan sarung. Entah apa yang ada di balik sarungnya itu? Apakah Om Tyo hanya menutupi benda pusakanya itu dengan selembar kain tipis itu? Tak tahan mulut ini membendung air liur yang siap menetes saat kedua mataku menatap dada telanjang Om Tyo yang bidang. Kulitku rasanya berdesir saat dua puting kecokelatan di dadanya itu berada cukup dekat dengan tubuhku saat Om Tyo berbaring tidur di sampingku. Ingin sekali tanganku ini mengusap perut ratanya yang ditumbuhi bulu-bulu halus, membentuk segaris bulu hitam yang cukup lebat di bawah pusar dan menghilang di balik gulungan sarung di pinggangnya. Ahhhh, aku tahu kemana berakhirnya bulu-bulu itu. Area intim Om Tyo pastinya berbulu. Ingin sekali hidung ini menghirup aroma kelamin yang khas itu.
Aku tersiksa. Benar-benar tersiksa. Setiap malam aku terjaga karena perasaan gelisah. Kontolku selalu tegang, tak bisa diajak untuk berkompromi. Tiap malam aku memandangi wajah Om Tyo yang begitu ganteng, dan aku selalu berimajinasi, membayangkan hal-hal diluar jangkauan nalar. Aku benar-benar ingin bercinta dengan Om Tyo.

****
Pada hari selasa di minggu kedua, aku hanya berdua dengan Om Tyo di rumah. Kebetulan Om Tyo sedang tidak masuk dinas dan Kedua orang tuaku sedang pergi berbelanja keperluan dan stock barang di warung di pasar, sedangkan Mbak Ratih pergi bekerja. Berdua saja bersama Om Tyo benar-benar menganggu diriku, apalagi selama di rumah, Om Tyo hanya mengenakan celana pendek dan kaus singlet yang memamerkan lengannya yang berotot, dan ketiaknya yang berbulu lebat. Belum lagi aroma axe perfume menguar dari tubuhnya. Berulang kali lidah ini membasahi bibirku yang kering karena tak kuasa membendung pemandangan sensasional yang mampu memicu gairahku sebagai seorang gay dalam sekejap.
“Den, kamu laper?” Tanya Om Tyo di sela-sela kami menonton acara televisi di ruang tengah.
Aku mengangguk. “Tapi, lagi males makan masakan Ibu. Siang-siang mana enak makan sayur asem. Aku lagi pengen nasi goreng, Om!”
“Om buatin mau?”
“Hah? Emangnya Om bisa masak?!”
“Kamu ini gimana? Tiga bulan nggak ada yang ngurus, jelas Om harus hidup mandiri. Masak masak sendiri, cuci baju sendiri, kayak lagu dangdut itu!”
“Hahahahahhahahaha! Kasihan sekali duda ganteng satu ini...”
“Ganteng?! Ah kamu bisa saja, Den!” Om Tyo lantas ikut tertawa karena mendengar pujianku. Emang betul kali. Om Tyo emang ganteng, tapi sayangnya nasib pernikahannya kurang beruntung.
Om Tyo segera beranjak menuju dapur dan memulai aksinya. Dalam sekejap Om Tyo sudah menyiapkan bahan-bahan untuk membuat nasi goreng. Aku sendiri hanya sibuk memperhatikan, dan sesekali membantu kalau diminta. Om Tyo ternyata jago masak. Tangannya lincah dalam memainkan pisau. Bagaimana kalau tangan itu sedang memainkan kontol? Segera pertanyaan itu muncul di dalam kepalaku. Hah! Apa-apaan, sih? Bisa-bisanya punya pikiran ngeres di kala perut lagi kosong begini.
Dalam lima belas menit nasi goreng dalam bentuk dua porsi – satu untukku, dan satu lagi tentu saja untuk Om Tyo, tersaji di meja makan, lengkap dengan telur ceplok buatanku.
“Di coba nasi gorengnya!” Perintah Om Tyo.
Aku langsung mengambil sendok dan melahap sesuap nasi goreng. Glek! “WAH! ENAK! PEDES! WAH! WAH!” Akhirnya dua-tiga kali suapan menyusul.
Kami berdua makan dalam diam, sampai pada akhirnya OM Tyo nyeletuk untuk membuka obrolan.
“Kamu udah punya pacar, Den?”
Deg! Hah? “Belum, Om.”
“Lho, kenapa? Kamu udah cukup umur, masa kalah sama anak SMP tetangga Om di makasar. Kecil-kecil udah punya pacar.”
“Lagi nggak kepikiran saja, Om...” Mana kepikiran cari pacar kalau yang dimaksud itu pacar cewek. Orang akunya doyan sama cowok. Hehhehehe... “Ibu juga ngelarang kalau belum dapet kerja.”
“Wah, kamu ini polos juga, ya! Umur segini belum tahu apa-apa. Jangan kelamaan lho, nanti kamu keburu jadi bujangan lapuk.”
“Hahhahahaha! Om bisa saja!” Tawaku sambil meneguk air minum. “Om sendiri kenapa nggak cari istri baru?”
Wajah Om Tyo lantas berubah. Waduh, kayaknya aku salah ngomong, nih?
“Maaf, Om. Nggak maksud ngebahas itu...”
Om Tyo tersenyum. “Nggak apa-apa. Santai saja! Udah masa lalu. Lagian nanti Niken besar kepala kalau aku belum saja move on.
“Ah, dasar! Om Tyo kurang apa coba kenapa sampai diselingkuhin.” Entah kenapa emosiku jadi tersulut. Om Tyo malah kelihatan santai.
“Karena Om-mu ini mandul, Den...”
Deg! Jantungku rasanya berhenti berdetak. Hah? Apa? Om Tyo mandul?
“Itu sebabnya Tantemu meninggalkan Om. Waktu periksa emang dokter yang mendiaknosa kalau Om ini ternyata mandul. Sperma Om langsung mati setelah keluar...”
“Aduh, aduh. Om jangan sedih, ya. Dendy ikut prihatin. Udah, bahas yang lain saja, biar Om nggak sedih. Maafin, Dendy ya, Om...”
Om Tyo tersenyum dan lantas mengusap-usap lenganku. Sentuhan kulit dengan kulit. Agrhhhhh! Seperti ada ribuan belut listrik yang menggerayangi tubuhku. Kontolku langsung berkedut-kedut saat tangan Om Tyo mengusap lenganku.
****
Setelah makan siang bersama Om Tyo, pikiranku tak henti-hentinya memikirkan cerita dan pengakuan Om Tyo tentang penyebab perceraiannya dengan Tante Niken tiga bulan yang lalu. Ternyata lima tahun pernikahan mereka tidak dikaruniai seorang anak karena OM Tyo mandul. Itu sebabnya Tante Niken berselingkuh. Tega benar Tante Niken? Bukankah di saat senang atau susah, sepasang suami-istri harus tetap selalu bersama? Aku dibuat cemas bukan main karena setelah membahas masalah itu Om Tyo jadi pendiam. Aku sendiri makin sungkan dan mulai ikut merasa nggak nyaman. Rasanya aneh bila duduk bersisian sambil menonton televisi di ruang tengah tanpa saling bertegur atau mengoborol.
Akhirnya karena tak kuasa terjebak di situasi yang canggung ini, aku pamit ke warnet. Om Tyo hanya mengiyakan sambil bertanya jam berapa kedua orang tuaku dan Mbak Ratih pulang?
“Kalau Bapak sama Ibu mungkin sejaman lagi pulang. Mbak Ratih nanti sore jam tujuh baru pulang.”
“Terus kamu ke warnetnya lama?”
“Yah, aku biasanya sih tiga jaman di warnet. Om nggak apa-apa aku tinggal sendirian?”
Om Tyo mengangguk. “Nggak apa-apa. Have fun, ya!”
 Setelah mengganti pakaian dan mengambil dompet di kamar aku pamit pergi ke warnet.
Sepuluh menit di warnet aku merasa jengah dan jengkel. Koneksi warnet saat itu sedang mengalami gangguan. Aktifitasku dalam mengunduh video bokep gay jadi gagal berantakan. Emosi karena tak ada satupun video bokep yang berhasil diunduh, akhirnya aku menutup akses internet, dan berencana untuk pulang.
Sesampainya di rumah, aku tak menemukan Om Tyo ada di ruang tengah. Televisinya juga mati. Aku langsung berjalan menuju kamarku. Mungkin Om Tyo ada di kamar. Tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu aku langsung membuka pintu kamarku. Klek! Pintu kamar terbuka lebar, dan aku langsung mematung di tempat dengan tangan masih memegang gagang pintu.
Aku melihat Om Tyo sedang duduk di pinggiran tempat tidur dengan celana pendeknya melorot sampai ke mata kaki, dan tangan kanannya sedang menggengam batang kontolnya yang sudah ngaceng. Glek! Aku menelan ludah. Om Tyo dan aku sama-sama kagetnya.
“Ya, ampun! Sorry, sorry, om!” Aku buru-buru menutup pintu kamar. Kubanting pintu kamarku sampai tertutup. Napasku memburu di depan pintu, tanganku juga masih tak lepas dari gagang pintu. Ya, ampun! Apa itu tadi? Barusan Om Tyo lagi onani?
Aku mendengar suara berisik dari dalam kamarku, dan tiba-tiba Om Tyo membuka pintu kamarku. Tanganku yang masih memegang gagang pintu jadi tersentak karena gerakan mendadak dari dalam kamar. Wajah Om Tyo yang memerah muncul di depanku.
“Om Tyo...” Aku jadi nggak bisa berkata apa-apa.
“Maaf, ya Den. Kamu keberatan kalau Om onani di dalam kamar?”
“Hah?” Pikiranku masih kacau karena yang ada di kepalaku sekarang hanyalah pemandangan indah nan menggiurkan yang baru saja terjadi satu menit yang lalu. Buru-buru aku tersadar dari lamunan. “Ahhh, nggak apa-apa, om. Aku yang minta maaf karena nggak ketuk pintu dulu.”
“Itu, kan kamar kamu. Wajar kalau kamu langsung nyelonong masuk. Kalau tahu bakal seperti ini, Om tadi ke kamar mandi saja.”
“Ahhhh! Nggak usah sungkan-sungkan, Om. Kan sesama cowok. Lain ceritanya kalau Ibu atau Mbak Ratih yang mergokin Om lagi onani.”
Om Tyo jadi salah tingkah. Ya, ampun! Kontolnya! Kontolnya gede banget! Sesuai dengan imajinasiku selama ini. Kontol Om Tyo gue tafsir punya panjang 18cm. Aku pun langsung nyelonong masuk ke dalam kamar dan meletakkan dompetku di atas meja belajar. Om Tyo ternyata mengekor di belakangku, masih tampak gelisah.
“Lho, kenapa masih ada di sini Om? Nggak mau dilanjutin?” Tiba-tiba saja kalimat itu meluncur dari mulutku. Wajah Om Tyo semakin memerah. Ahhhhh, kok rasanya aku jadi keranjingan mengerjai Om Tyo, ya. Kunikmati saja kegelisahan dan wajah memerah Om Tyo yang saking malunya karena kepergok sedang onani. Hahahhahahahahhahahha!
“Hah?”
“Om mau onani di sini atau di kamar mandi?”
Om Tyo diam saja, wajahnya makin memerah. Sekarang malah mirip kepiting rebus. “Kalau mau onani di kamar aku permisi keluar.”
“Nggak jadi, deh, Den. Langsung hilang napsunya...” Jelas Om Tyo malu-malu.
“Ahahhahahahahahhahaha! Ya, ampun... sorry, Om. Jadi nggak enak akunya!”

****
Malam harinya, malam yang selalu membuatku tersiksa, apalagi sekarang ditambah dengan memori indah tentang wujud area pribadi Om Tyo yang terus terputar di dalam kepalaku seperti sebuah adegan film yang terus diulang-ulang. Bagaimana bentuk kontol Om Tyo, bagaimana ekspresi wajah Om Tyo yang begitu menikmati kocokan tangannya pada kontolnya, sebelum akhirnya aku memergokinya sedang onani. Semunya diputar ulang, berulang-ulang, di dalam kepalaku. Karena itulah sejak tadi kontolku sendiri sudah berdiri tegak. Susah payah aku menyembunyikan tonjolan di balik celana pendekku ini dari OM Tyo yang berbaring di sampingku, dengan kondisi seperti biasa. Telanjang dada dan hanya mengenakan sarung yang dilingkarkan di sekitar pinggangnya.
Aku berusaha untuk tidur, tapi sekeras apapun aku berusaha, aku malah terjaga meskipun mata ini terpejam. Bagaimana aku bisa tidur kalau pikiranku sedang sibuk memikirkan kontol Om Tyo. Ya, ampun! Ingin sekali aku melihat kontol itu lagi. Apalagi menyentuh dan memasukkannya dalam mulutku. Aku memutar posisi tubuhku menghadap Om Tyo, masih dengan mata terpejam. Hidungku menangkap aroma axe perfume bercampur keringat. Penasaran dan tak tahan memejamkan mata terlalu lama, akhirnya aku membuka mata.
Glek! Om Tyo sedang berbaring terlentang di sampingku, wajahku tepat di depan ketiak sebelah kanannya yang terbuka. Ternyata Om Tyo juga tengah terjaga. Dia sedang berbaring terlentang dengan membuka kedua ketiaknya lebar-lebar dengan merentangkan kedua tangannya di atas kepala. Glek! Aku menelan ludah. Aroma dan pemandangan ketiak Om Tyo yang berbulu, memanjakan panca indraku.
Om Tyo melirikku, atau lebih tepatnya tengah memergoiku yang sedang memandangi ketiak kanannya. Aku menggigit bibir saking kikuknya. Kualihkan pandanganku dari ketiak Om Tyo, eh malah aku memandang dada sebelah kanannya dengan puting melenting cokelat di puncaknya. Glek! Makin kering rasanya tenggorokan ini.
“Kamu belum tidur, Den?”
Aku menggeleng. Dari jam dinding waktu menunjukkan pukul satu dini hari. “Om, sendiri?”
“Lagi gelisah. Malam ini dingin banget, ya?”
“He’eh dingin banget. Kok, sama sih, Om. Aku juga lagi gelisah.”
“Oh, ya? Kamu gelisah kenapa?” Om Tyo malah merubah posisinya. Sekarang dia berbaring menyamping sambil menyangga kepalanya, menghadap ke arahku.
“Hahahhahaha, ceritain nggak, ya?” Mana mungkin aku bilang ke Om Tyo kalau penyebab aku gelisah dan nggak bisa tidur karena aku nggak bisa menghilangkan bayangan Om Tyo lagi onani tadi siang.
“Kok, jadi main rahasia-rahasiaan gitu, sih?” Goda Om Tyo sambil mendorong bahu kananku yang bebas. Agrhhhhh! Aku menggerang dalam hati. Sentuhan kulit dengan kulit lagi. Tubuhku seperti dibakar gairah dalam sekejap. Merinding tubuh ini seperti di sengat oleh listrik.
“Om, sendiri kenapa lagi gelisah?”
“Karena Om lagi horney.
Glek! Aku nggak salah denger, kan? “Hehehhehehe...” Aku jadi kikuk setelah mendengar jawaban Om Tyo. Aku langsung menarik napas untuk menenangkan diri. “Pasti gara-gara batal onani tadi siang, ya makannya nggak bisa tidur? Kasihan. Sorry, deh. Aku jadi nggak enak...”
Om Tyo diam saja sambil memandangi wajahku. Aduh, dipandangi dengan sorot matanya yang sedang horney itu, pikiranku jadi kacau. Jangan-jangan Om Tyo mau mengajakku berhubungan badan lagi? Ahhh, nggak mungkin! Aku, jadinya kok ngayal abis. Om Tyo kan doyannya sama perempuan, mana lagi horney, nggak mungkin lah ML sama cowok.
“Kenapa Om nggak onani saja. Ke kamar mandi gih sekarang...”
Om Tyo malah tersenyum kecut. Ujung bibir kanannya terangkat. “Aku nggak mau onani, maunya ML.”
“Wah kalau nggak ada Istrinya mana bisa, Om! Om juga sih, kenapa nggak cari istri lagi.”
“Percuma, Den. Punya Istri nggak bisa dihamili...” Om Tyo mendesah.
Aku jadi nggak enak lagi menyinggung masalah Istri ke Om Tyo. “Maaf, Om. Kelepasan lagi.”
Om Tyo diam saja, dia malah bertanya. “Kamu ada ide bagaimana Om bisa tidur nyenyak malam ini?”
Hah? Mendengar pertanyaanya saja aku menyadari kalau ini adalah pintu masuk menuju segala macam fantasiku tentang Om Tyo yang akan menjadi kenyataan. Haruskah aku menanggapi umpan ini? Tidak. Terlalu beresiko. Bisa gawat kalau Om Tyo tahu aku ini gay. Aduh gimana, nih? Kesempatan seperti jarang terjadi.
“Ya, harus disalurkan hasrat horneynya, Om...” Celetukku untuk mengisi kekosongan, karena aku terlalu lama berpikir. “Kalau mau ML, Om bisa jajan di luar. Om kan tahu di mana tempatnya...”
“Kalau jajan harus bayar dan bisa ketularan penyakit juga. Terlalu beresiko!”
Aku menggigit bibir. Sebetulnya alternatif yang normal sudah diutarakan. Jawaban apa lagi yang Om Tyo inginkan? Haruskah aku menawarkan diriku untuk membantu melampiaskan gairah Om Tyo?
“Kalau ML sama aku gimana?” Kalimat itu akhirnya terlontar dari mulutku. Ada perasaan lega, tapi kemudian rasa takut segera mendominasi.
Om Tyo terkejut. Dia sedang memandangiku dengan tatapan tajam. “Sama kamu? Jeruk makan jeruk, dong!”
“Hahahahhahaha! Habisnya mau bagaimana lagi Om? Di suruh onani nggak mau, di suruh jajan di luar juga nggak mau. Ya, sudah alternatifnya tinggal satu. ML sama aku.”
“Kamu sendiri kok, bisa-bisanya menawarkan diri? Memangnya kamu mau ML sama laki-laki, sama Om? Kamu ini homo, ya?”
Deg! Pertanyaan itu sungguh menyayat hati. Tapi memang itu kenyataanya. Akhirnya aku mengangguk. Om Tyo lebih terkejut lagi.
“Beneran?”
“Aku gay.”
“Kamu pasti bercanda, Den! Nggak lucu bercandaan kamu!”
Aku bangkit dari tempat tidur dan mengambil handphoneku di atas meja. Kuserahkan handphone itu pada Om Tyo. “Buka folder galerinya, Om!”
Om Tyo awalnya binggung kenapa aku menyerahkan handphoneku kepadanya, tapi segera Om Tyo menuruti perintahku. Wajahnya terlihat terkejut, tegang, dan penasaran. Dan ekspresi yang aku tunggu-tunggu akhirnya tergambar di wajah Om Tyo. Om Tyo tampak terkejut. Dipandanginya layar handphoneku dan wajahku secara bergantian.
Yup. Di folder galeri itu aku menyimpan banyak foto-foto kontol, foto-foto gay seks, foto-foto artis cowok, dan foto-foto cowok bertelanjang dada. Hal itu sudah menjadi bukti bahwa aku benar-benar gay.
“Jadi bagaimana, Om? Mau ML sama aku. Aku akan memuaskan Om. Dijamin Om akan puas dan bisa tidur nyenyak malam ini.”
Om Tyo diam saja, wajahnya masih terlihat kaku seperti tadi.
“Om nggak tahu caranya ML sama cowok, ya? Om buka folder video. Om bisa nonton bokep gay koleksi aku, nanti Om tahu gimana caranya ML sama cowok.”
Om Tyo menuruti saranku. Dalam sekejap aku mendengar suara-suara erangan dari dalam handphoneku. Om Tyo sedang memutar video bokep gay sepasang bule kekar yang sedang melakukan oral seks. Om Tyo menelan ludah, matanya masih tertumbuk ke layar handphoneku.
“Gimana, Om?”
Om Tyo memandangi wajahku. Kalau begini terus bisa-bisa malam ini akan berantakan. Aku harus mengambil inisiatif. Kuarahkan tanganku ke area pangkal paha Om Tyo. Tepat di atas kontolnya, aku meremas-remas area itu dari balik kain sarung. Om Tyo hanya bisa diam sambil memandang tanganku yang sedang beraksi di atas kontolnya. SIALAN! Om Tyo ternyata nggak pakai celana dalam di balik sarungnya. Tanganku dalam sekejap merasakan kontol Om Tyo yang tiba-tiba saja mulai menegang.
“Tinggal bilang ‘ya’ dan Om bisa tidur nyenyak malam ini?”
Om Tyo memandangi wajahku dan tanganku yang ada di selangkangannya secara bergantian. Sayup-sayup handphoneku masih memutar video bokep gay sekarang tengah mempertontonkan adegan anal seks. Setelah menunggu dengan jantung berdebar, sementara tangan ini tak berhenti meremas-remas kontol Om Tyo yang masih setengah bangun, akhirnya kode itu diberikan lewat anggukan kepala Om Tyo.
Aku tersenyum. Kutuntut Om Tyo berbaring di tempatnya. Om Tyo menurut dan berbaring terlentang. Wajahnya memandangiku. Kelihatan tegang sekali. “Santai, Om! Lemaskan otot-ototnya. Jangan tegang. Yang boleh tegang cuman kontolnya.”
Dibantu dengan koleksi video bokep gay, aku mulai melancarkan aksiku. Aku sendiri minus pengalaman seks, dan malam ini akan menjadi yang pertama bagiku. Keperjakaanku akan direnggut oleh Om Tyo. Aku segera turun dari tempat tidur, berniat untuk membuka seluruh pakaianku. Tanpa malu-malu aku telanjang bulat di depan mata Om Tyo. Kontolku sudah berdiri tegak 15cm. Om Tyo tercekat, matanya melotot, tertuju pada benda pusakaku yang siap tempur.
Aku naik ke atas tempat tidur lagi. Kumainkan kontol di balik sarungnya. Kontol itu semakin menegang dan aku bisa menggengam batangnya sekarang. “Boleh aku singkirkan penghalang ini, Om?”
Om Tyo mendesah saat aku mencengkram batang kontolnya. Dia hanya bisa mengangguk. Tampak tak sabar menikmati service yang akan aku berikan padaya. Kubuka segera ikatan sarung di pinggang Om Tyo, dan dengan mudah sarung itu aku loloskan ke bawah. Kontol Om Tyo terlontar bebas, berdiri tegak 18 cm. Tampak kokoh, besar, berurat, dengan batang kontolnya kecokelatan, kepala kontolnya merah keungungan, serta area pubicnya yang ditumbuhi jembut yang cukup lebat. Buah zakarnya tengah tergantung bebas, berbulu jarang-jarang, dan tampak siap untuk dimanjakan dengan lidah.
Kukocok batang kontol Om Tyo. Mendapatkan rangsangan seperti itu mata Om Tyo terpejam dan dia mendesah lirih. Kujilat kepala kontolnya beberapa kali, dan seketika itu juga Om Tyo mendesahkan suara berat dari bibirnya. Lidahku beradaptasi dengan rasa kontol untuk pertama kalinya. Asin karena keringat dan menguarkan bau yang begitu khas memanjakan hidung. Kontol Om Tyo sudah menjadi milikku. Segera kukulum kepala kontolnya, tak lewat juga kumainkan lubang kencingnya dengan ujung lidahku.
“Ahhhhh! Ahhhhh!, Dendy!” Om Tyo mendesahkan namaku.
“Gimana, enak nggak?”
“Masukkan ke mulutmu, semuanya. Emut kontol, Om! Emut Den.. Basahin kontol om dengan lidahmu. Cepat…
“Oke om!” Segera kujalankan permintaan Om Tyo. Kumasukkan kontolnya kedalam mulutku. Rasanya begitu aneh, dan aku hampir tak kuasa meraskan tenggorokanku ditusuk oleh kepala kontol Om Tyo. Ingin sekali aku muntah, tapi aku berusaha untuk menahannya. Kontol OM Tyo sangat panjang. Aku tak sanggup memasukkan kontol kekar itu ke mulutku hingga sampai ke pangkalnya. Aku bisa muntah, jadi kumasukkan kontol OM Tyo sampai setengah batang kontolnya.
“Agrrhhhh, Esssssseessshhhh...” Om Tyo mengerang dan mendesah-desah.
Setelah membiasakan kontol Om Tyo di dalam mulutku, akhirnya kumainkan lidahku, menyapu setiap saraf yang ada di batang kontolnya. Kukulum, dan kujilat-jilat, sampai kontol Om Tyo basah dengan air liurku.
“Kontol Om gede banget. Aku suka. ini Kontol pertama aku!”
“Ahhh, Den! Hisap. Hisap! Agrrhrhh ya, begitu. Agrrhhhh! Hisapanmu dahsyat! Argghhh.. mantap Den..
Setelah puas memainkan kontol Om Tyo aku beralih memainkan buah zakarnya. Kumainkan dua buah benda yang menyimpan sperma itu dengan lidahku. Kuhisap benjolan sebelah kirinya, dan Om Tyo mencengkram kepalaku kuat-kuat. Kuhisap benjolan yang sebelah kiri, dan Om Tyo mulai menjambak-jambak rambutku. Sepertinya dia tak kuasa menahan kenikmatan yang dia rasakan.
Kuhirup aroma kelaki-lakiannya, kuendus-endus bagian pubicnya yang berbulu itu. Aromanya begitu memabukkan. Aku saja hampir bersin saat bulu jembut Om Tyo masuk ke hidungku. Sekarang aku naik ke atas, kumainkan pusar Om Tyo dengan lidahku.
“Ahhhh! Ahhhh, Oh, Oh, Eeeehhhhhssss...”
Meskipun tidak sixpack, tapi perut Om Tyo aku pikir cukup seksi. Kelihatan kencang dan berwarna coklat. Sebentar lagi adalah momen-momen yang paling aku tunggu. Aku naik satu tingkat ke atas, ke bagian dada Om Tyo yang bidang. Tanpa pandang bulu kuhajar dada sebelah kanannya dengan hisapan bibirku. Putingnya yang sudah tegang juga kulumat, kugigit, dan kucubit-cubit.
“Ahhhh!, Oh! Yeah! Yes!  Itu area paling sensitifnya, Om, Den...” Om Tyo memberi penjelasan.
“Kalau begitu aku akan tetap di sini sampai Om mampus!” Sekarang kuhisap dada bagian kirinya.
“Ahhhhhhh! Den, den, hisap puting om!” Perintah Om Tyo.
Kuhisap puting cokelatnya itu, sementara yang sebelah kanan kuusap-usap dengan telapak tanganku yang sudah basah karena keringat dengan gerakan memutar.
“Ohhh, Ohhh, Ohhhh, ohhhh!” Kontol Om Tyo berkedut-kedut dan menyemburkan cairan bening. Om Tyo mengeluarkan percum banyak sekali. Itu merupakan pertanda kalau Om Tyo bisa saja mencapai orgasme sebentar lagi.
“Om mau keluar, ya?”
“Hisapanmu hebat, Den! Om nggak tahan pengen muncrat...”
“Tunggu dulu,  belum ke acara puncaknya.”
“Kamu hebat, Den! Lebih hebat dari Tantemu. Om yakin bisa tidur nyenyak malam ini.”
“Kalau begitu, Om mau ber 69 sama aku?”
Om Tyo tentu tahu apa gaya 69 itu. Yap, gaya yang ditujukan untuk saling mengoral alat kelamin. Om Tyo tampak ragu, tapi segera aku yakinkan kalau berhubungan intim itu harus ada timbal-balik. Kalau Om Tyo merasa puas, aku juga harus dipuaskan. Aku juga ingin merasakan kontolku diemut-emut oleh bibir seksi Om Tyo.
Segera kuarahkan kontolku ke mulut Om Tyo. Om Tyo mendorong wajahnya menjauh, menolaknya, tapi kontolku yang panjang itu menghujam matanya. Digenggamnya kontolku, dan aku mendesah lirih karena sentuhan hangat dan mantap tangan Om Tyo.
“Hisap, Om! Kayak gini, nih...” Aku memberikan contoh. Kuhisap kontol Om Tyo. Om Tyo memejamkan matanya menikmati hisapanku. Sekarang dilihatnya kontolku yang ada di genggamannya. Om Tyo tampak ragu-ragu. Kudorong pinggulku ke wajahnya, yang hasilnya membuat kontolku menusuk pipinya.
Om Tyo lantas membuka mulutnya dan memasukkan kepala kontolku ke dalam mulutnya. Aku merasakan sensai basah, rasa geli, dan panas yang menusuk saat kepala kontolku dihisap oleh Om Tyo. Aku mendesah, kepalaku mendongah ke atas. Aku seperti di lempar ke langit ke tujuh. Dimainkannya kepala kontolku.
“Sekarang masukkan semunya, Om! Hisap.” Pintaku.
Om Tyo mendorong kontolku masuk ke dalam mulutnya. Saat kepala kontolku menyentuh langit-langit mulutnya Om Tyo tersedak, dan langsung mengeluarkan kontolku dari mulutnya, dan Om Tyo terbatuk-batuk. Aku tertawa melihatnya.
“Om nggak tahan baunya, Den. Om kocok-kocok saja, ya kontol kamu?”
Aku mendesah kecewa, tapi akhirnya aku menyetujuinya dari pada aku tidak mendapatkan apa-apa. Akhirnya Om Tyo mengocok-ngocok kontolku, dan aku menghisap kembali kontolnya berulang kali. Suara desahan kami saling bersahutan menghiasi malam. Tak terasa kami sudah melakukan foreplay selama dua jam. Sebentar lagi pasti subuh. Ibu biasa bangun saat subuh. Bisa gawat kalau suara gairah kami terdengar.
“Entotin lubang anusku, Om!” Pintaku dengan semangat. Semua datang secara naluriah. Aku awalnya tak tahu akan menjadi gay bot atau top. Tapi karena kondisi pasaganku malam ini, aku memilih untuk menjadi bot.
Aku segera mengambil posisi menungging. Gaya doggy style. Om Tyo memasang kontolnya di depan lubang anusku. “Ini dibasahin dulu, ya, Den? Kayak di video kamu itu, kan?”
Aku mengangguk mengiyakan. Om Tyo meludahi tangannya, dan segera dibasahinya lubang anusku sampai licin. Tak lupa dibasahi juga kepala kontolnya untuk memperlancar proses penusukan anus untuk pertama kalinya.
Lubang anusku serasa dipaksa untuk melebar. Kepala kontol Om Tyo mendesak masuk. Berlahan tapi pasti lubang anusku yang sempit itu mulai meregang.
“AAAAAAAHHHHUUUUUHHHH! Sakit!” Aku menjerit tertahan. Om Tyo menghentikan gerakannya.
“Belum masuk, nih Den. Baru ujungnya saja...”
Aku menarik napas untuk mengumpulkan tenaga. Aku menahan napas dan meminta Om Tyo untuk memasukkan kontolnya. Om Tyo mendorong kontolnya, kepala kontolnya mendesak masuk, dan sekarang sudah sebagian kepala kontolnya terbenam di dalam anusku. Rasa sakitnya bukan main. Kulitku rasanya seperti teriris, perih sekali. Rasanya hampir sama dengan sembelit. Aku menggigit bantal untuk menahan rasa sakit yang aku rasakan.
Pluk! Kepala kontol Om Tyo masuk. Keringat mengucur dari kening Om Tyo membasahi pantatku yang montok. Memasukkan kontol ke dalam anus perawan memang membutuhkan tenaga yang ekstra. Om tyo melumasi batang kontolnya dengan air liur, dan kemudian di dorongnya kontolnya itu untuk masuk lebih dalam. Jleeeeeeep! Aku menahan napas saat batang kontol Om Tyo menghujam ke dalam anusku. Blessss! Sekarang batang kontol Om Tyo telah terbenam di dalam anusku. Otot-otot yang tadi dipaksa meregang sekarang kembali ke posisi semula, dan mengakibatkan kontol Om Tyo serasa dijepit oleh daging yang hangat.
“AGRHHHH! Sempit, Den. Hangat.”
“Genjot, Om. Tapi pelan-pelan saja.”
Om Tyo menggerakan pinggulnya. Gerakan menyodok itu terjadi berulang kali sampai kedua badan kami basah oleh keringat. Bunyi pantat dan kontol yang beradu memanaskan suasana. Om Tyo mendesah keenakan, sedangkan aku mendesah antara campuran rasa sakit dan rasa nikmat. Anusku berkedut-kedut, pantatku digelitiki oleh jembut Om Tyo. Buah zakar kami saling adu pukul, rasanya begitu nikmat.
“Ahhh, Ahhh, Ahhhh!”
“Ohhhh, Ehhhh, Auwww, Ahhh!”
“Den, Om mau keluar!”
Secepat ini? Wow, ternyata Om Tyo cepat juga mencapai puncaknya. Maklum, mungkin ini pengalaman pertamanya merasakan anus. Ingin sekali aku merasakan sperma Om Tyo. Aku belum tahu bagaimana rasanya. Aku menjilat bibirku yang kering dengan lidah.
“Keluarin di mulut Dendy, Om!”
“Kamu yakin?” Tanya Om Tyo masih sambil menggenjot pantatku.
“Yakin!”
Om Tyo melepaskan kontolnya dari anusku. Aku segera berlutut di depan kontol Om Tyo. Om Tyo berdiri di atas kasur, tangannya mengenggam kontolnya, dan langsung mengocoknya cepatnya. Clok, clok, clok, clok! Bunyi kontol Om Tyo yan dikocok-kocok.
“Om, mau keluar, Den! Ahhhhh, Ahhhh...Ohhh, sebentar lagi...”
Aku membuka mulutku, kujulurkan lidahku, ujungnya tepat berada di bawah lubang kencing OM Tyo. “Yeah, semprot mulut Dendy, Om!”
“Ohhhh, sudah di ujung, Den! AHHHHHHHHHHHHHHHHGRHHHHHHHHH!” Om Tyo menggerang dan dari ujung lubang kencingnya menyembur cairan putih kental. Sangat banyak, dan langsung turun membanjiri lidahku.
Rasanya aneh. Asin, dan berbau amis. Aku nggak bisa menelannya karena jijik, jadi aku memuntahkannya. Sperma Om Tyo melubar keluar dari bibirku. Mulutku seperti belepotan susu kental manis. Om Tyo masih mengocok kontolnya, dan beberapa semburan sperma susulan terjadi dan menghujam wajahku. Aku menggerang menerimanya.
“Gimana, Om ML sama aku enak nggak?”
Om Tyo langsung rubuh ke atas tempat tidur. Kontolnya mulai kembali ke bentuk normal. Keringat membanjiri tubuh Om Tyo. Tanpa ragu aku naik ke atas perut Om Tyo.
“Kocokin kontol aku, Om! Aku juga pengen muncrat...”
Om Tyo tersenyum dan membasahi telapak tangannya dengan air liurnya sendiri. Kemudian dikocoknya kontolku yang berada tepat di atas perutnya itu. Kepala kontolku mengarah ke dadanya siap menyemburkan sperma yang sudah lama tidak di keluarkan.
“Ahhh, ahhh, ahhh, ahhhh! Kocokanmu enak sekali, Om!”
“Oh, Om Tyo! Agrrhhhh!”
“Om! Ahhhh Om Tyo!”
Aku meracau bukan main. Om Tyo memandangi wajah bergairahku dengan tajam. Matanya begitu menunjukkan kekaguman saat melihatku menuju punjak sambil mendesahkan namanya.
“Om Tyo... ahhh, ahhh, Om Tyo! Sudah lama aku menginginkan ini, Om!”
“Kamu naksir Om, Den?”
“Iya, Om! Ahhh, Ohhh, YES! Aku sudah lama naksir Om Tyo!”
“Oh, ya?”
“He’eh... Ahhhh, ahhhh, kocokannya jangan berhenti, Om!”
Kocokan tangan Om Tyo di kontolku semakin cepat. Bunyinya bukan main memeriahkan suasana dan makin menambah gairahku. Aku sudah berada di ambang batas antara realita dan awang-awang. Begitu dahsyat, begitu nikmat, dan mendamba.
“Om, aku keluar! Ahhhhhhhhhgrhhhhhh!” Kontolku melontarkan spermanya sebanyak dua kali semburan. Semburan pertama muncrat jauh sampai mengenai pipi Om Tyo, dan yang kedua hanya membasahi dada Om Tyo.
Om Tyo tiba-tiba menduil sperma di pipi dan dadanya, kemudian dihujamkannya sperma yang membasahi jarinya itu ke mulutku. Aku menghisap jemari Om Tyo dengan buas. Aku merasakan spermaku sendiri.
“Oh, yeahhh... hisap!” Om Tyo mendesah saat bibirku mengulum jari-jarinya.
Setelah jemari Om Tyo bersih, aku segera merebahkan diri di samping Om Tyo. Tanpa ragu aku merebahkan kepalaku di dadanya, kakiku melingkar di atas pahanya, menguncinya dalam dekapan. Kehangatan tubuh kami, bau keringat kami, dan bau sperma kami melebur menjadi satu menguarkan aroma yang sedikit menyengat di udara.
“Makasih, ya, Den. Om puas malam ini...”
“Sama-sama, Om. Dendy juga puas.” Dengan niat menggoda kukecup bibirnya. Om Tyo tampak terkejut. Bibirnya kasar. Mata kami saling memandang, entah apa yang kami lihat dari sorotan mata masing-masing, karena tiba-tiba Om Tyo melumat bibirku dengan bibirnya. Jenggot Om Tyo menggores daguku. Kami berciuman, lidah kami bermain, dan rasanya begitu membangkitkan gairah.
Kami saling mendesah. Om Tyo jago sekali berciuman. Dilepaskannya bibirnya dari bibirku. Aku menggerutu protes. Kuhisap bibir bawahnya dan Om Tyo mengerang. Kami menarik napas untuk mengembalikan tenaga. Ciuman kami benar-benar panas.
“Karena kamu belum punya pacar. Asumsi Om kamu belum ada pasangan gaynya. Bagaimana kalau kamu menjadi budak seksnya, Om Tyo. Om Tyo ketagihan. Kamu mau kan?”
Wajahku langsung berseri-seri. Aku pun langsung mengangguk. Om Tyo juga tak kalah senangnya. Dilumatnya bibirku lagi. Kami berciuman tak lama kemudian, dan lagi-lagi Om Tyo melepaskan bibirnya. Aku memprotes, tapi Om Tyo malah mencubit pipiku.
“Keponakan kesayangan, Om!”
“Om... Oh, Om Tyo...” Aku mendesahkan namanya seperti pemuja berhala.
“Om paling suka kalau kamu mendesahkan nama, Om. Om langsung turn on!
“Kalau begitu siap ronde ke dua, Om?”
Om Tyo tertawa sambil mengusap-usap rambutku penuh kasih sayang. “Kalau kita berdua seberisik tadi nanti ketahuan. Nanti siang kamu ikut, Om, ya?”
“Kemana?”
“Kita liburan. Ke kebun teh. Di sana ada penginapan. Kita bisa melakukan ini berkali-kali di sana. Bagaimana, kamu kamu?”
“Ahhhh, tak sabar aku menunggunya, Om!”
Om Tyo mengusap jejak air liurnya di sekitaran bibirku, tapi kemudian dilumatnya bibirku lagi. Aku mengerang dan membalas ciumannya. Lidah kami beradu seperti pedang. Kontol Om Tyo kembali tegang. Aku mencengkramnya dan mulai mengocoknya. Om Tyo mendesah dan melepaskan ciumannya.
Tanpa aku duga Om Tyo langsung mendekap erat tubuhku dan membuka kedua pahaku lebar-lebar. Tampaknya dia menginginkan ronde kedua terjadi malam ini…
”Arggghhhhhhh… Ommmmm… Awwww…..!!!!”


To be continued…
  


Senin, 23 September 2013

Intermezzo:

Cortesy : Certia ini pada dasarnya milik & dikarang oleh owner dari blog novelbaru69.blogspot.com. Saya mendapatkan izin untuk membuat cerita yang disesuaikan dengan gaya penulisan saya dan ceritanya agak sedikit berbeda dari cerita writer aslinya tetapi cerita ini sudah mendapat izin dari pemilik cerita dan dia tidak mepermasalahkan hal itu. Semoga para pembaca menikmati cerita saya. Terimakasih…
*** 

Akhirnya penantianku selama lima bulan ini terbayar sudah. Selama itu aku dan Kak Satria putus hubungan. Kami sudah jarang bertemu, berkencan, apalagi bercinta. Yah, kami sibuk dengan urusan masing-masing. Kak Satria yang seorang Polisi berpangkat Brpitu, sibuk dengan segala rutinitas latihannya sebagai anggota sabara. Aku sendiri, baru saja diterima bekerja di sebuah koran lokal sebagai anggota tim redaksi. Sepertinya kami memang butuh waktu sendiri-sendiri, itung-itung me time season, yang bermanfaat untuk mempererat ikatan emosi diantara kita berdua. Terkadang kalau sepasang kekasih rutin bertemu, pastinya akan mengalami yang namanya bosan. Me time season, memang apik dipalikasikan bagi pasangan seperti kami.
Buat kalian yang belum mengenal aku. Perkenalkan. Namaku Bayu Antoni (20 tahun) punya tampang imut. Aku bukanlah cowok bertubuh atletis namun tidak terlalu kurus, putih, dan tinggiku cuman sampai 170cm. Meskipun begitu aku punya dayatarik lebih, sehingga mampu menaklukan seorang Polisi, bernama Briptu Satria Hermawan – yang aku panggil Kak Satria, (26 tahun). Kak Satria bener-bener tipe Polisi yang make you melt in one sight. Tubuhnya berisi, tak begitu berotot, hanya padat dan sintal, berkulit cokelat muda – aku lebih suka menyebutnya cokelat madu, dengan tinggi 184cm dan berat rata-rata 76kg. Benar-benar hot stuff. Aku beruntung bisa mendapatkan Polisi sekeren dia.
Yes, I’m a gay. Dan petualangan cintaku nggak hanya sebatas dengan satu orang saja. Ada juga Polisi keren yang menjadi simpananku. Dia adalah Briptu Suwando Hairul Aji – biasa aku panggil Bang Wando (27 tahun). Bang Wando juga tipe Polisi yang make you melt in one sight. Tubuhnya berisi, tak begitu berotot, hanya padat dan sintal, berkulit cokelat muda – cokelat madu I heart it, dengan tinggi 182cm dan berat.... eeehhhh, lupa nimbang. Pokoknya, he’s so damn hot!
Mungkin kalian semua bertanya-tanya, “kok bisa ya Bayu mendapatkan cowok sekeren dan se-perfect mereka. Memangnya ada yang begitu?”
Itu semua sudah sering aku dengar dan sudah basi untukku. Tapi itulah kenyataanya. Mungkin aku hanya beruntung dari segi nasib saja. Hehehe…
Kembali kecerita. Aku memang bermain api (babi ngepet dong?). Beresiko besar bukan kalau mempunyai dua pacar yang sama-sama Polisi? Apa jadinya kalau masing-masing diantara mereka tahu kalau aku menduakan mereka berdua? Well, just one gun shot, and I’ll be died. Silangin jari, berdoa supaya aku dijauhkan dari malapetaka itu. Well, as long as I can keep bouth of them behind the shadow, evertyhing it’s gonna be alright. Isn’t it?
Untuk sekarang aku nggak bakal membahas Bang Wando. Aku nggak tahu dia ada di mana sekarang? Nggak ada kabar. Terakhir aku ketemu sama dia, kami berdua lagi make out di atas bukit. Such a mother fucker moment. Tubuhku terkadang masih suka bergetar kalau mengingat betapa hebatnya Bang Wando ketika di sore yang mendung itu di atas bukit. But now, seluruh jiwa dan ragaku akan aku berikan pada Kak Satria seorang.
We’re dating today. Oh, so freaking awsome, right? Tiba-tiba saja pas subuh menyingsing Kak Satria telepon dan mengajakku untuk seharian ini menghabiskan waktu bersama dirinya. Yang namanya ngedate itu gimana, sih? Ahh, ya, yang generic, lah. Paling juga nonton, makan, dan berakhir di atas ranjang. Ouh, can’t wait the last part. Kangen banget gue sama pistolnya Kak Satria.
Well, dari penjelasannya, sih. Kak Satria bakal jemput aku di rumah tepat pukul sepuluh pagi. It’s Sunday bitch, jadi aku menghabiskan waktu untuk merapikan kamar. Hari ini adalah kencan pertama kita setelah lima bulan sibuk dengan me time season. Wajar, dong kalau aku harus berpenampilan stunning di depan Kak Satria. Aku sendiri yakin kalau Kak Satria juga sedang melakukan hal yang sama, toh dia tipe cowok yang suka memperhatikan penampilan.
And finally, after 2 hours left, I spent for just facing my self on the mirror, akhirnya pilihanku jatuh kepada,  kemeja denim berwarna biru aqua, yang aku padankan dengan blue khaki pants. Kemejanya emang bahan dasarnya kusut, tapi aku tetep keren. Untuk sepatu aku memakai converse hitam. Buat rambut gue spike pakai gel. Aksesoris nggak boleh lupa. Aku memakai black cap yang bikin tatanan rambut gue makin kelihatan oke, dan tak lupa jam tangan buat pelengkap. Look at me! Aku kelihatan siap banget buat kencan hari ini.
Sambil menunggu waktu, aku mengecek kembali penampilan setiap lima menit sekali. Kalau-kalau hidungku mulai berminyak atau, aroma perfume burberry yang udah jadi signature-ku mulai luntur ketelen keringet. Nggak lupa aku mengecek dompet, hum masih ada duit gaji bulan kemarin. Emang aku nggak beli apa-apa bulan lalu. Dan nggak lupa, yang wajib dibawa meskipun nggak butuh. Kondom. Kondom durex fetherlite, yang jadi favorite kita berdua.
Dreeet! Hapeku berderit. Kurogoh saku belakang celanaku. Ada BBM masuk dari Kak Satria. Bunyinya “Say, nggak bisa jemput, motor ban bocor. Ketemu kamu di gramedia mall biasa saja, ya?”
Bibirku langsung berkerut. “Oke! See you later.” Tanpa basa-basi lagi aku langsung meluncur ke mall biasa aku dan Kak Satria suka ngedate.

****
Kebayang nggak 10 menit perjalanan naik ojek, plus 30 menit naik bus kota. Penampilanku mirip karyawan yang baru pulang kantor senin sore. Kucel. Sia-sia aku berdandan keren sejak pagi tadi. Ini lagi, baru jam setengah sebelas, mall masih tutup. Alhasil aku ngendon dengan beberapa pengunjung kepagian mall yang lain di pintu masuk. Pas pukul sebelas mall baru dibuka. Aku buru-buru ngacir ke toilet. Berhubung baru buka, toilet cowok lagi sepi. Aku bisa membereskan penampilan dengan qucik touch up. Cuci muka. Setelah itu aku langsung naik ke lantai dua, ke gramedia, dan menunggu Kak Satria di sana.
Sambil menunggu aku asyik bertengger di rak-rak majalah. Mataku dimanjakan oleh cover story majalah Men’s Health edisi September 2013, yang memajang Ali Hammoud Mr. Interntional 2012. Tampak pria Lebanon itu hanya mengenakan jins dan memamerkan bagian atas tubuhnya yang so damn hot itu. Apalagi kedua puting dadanya melenting merah. Uh, lala!
“Hai sayang...” Suara yang serak itu memanggil dari arah belakang punggungku. Seklias aku mencium bau aroma perfume hugo boss XY summer, dengan aroma cinnamon bark, & patchhouli, yang begitu maskulin dan menggetarkan. Aku tahu siapa itu, dan aku menoleh...
Kak Satria berdiri satu meter di depanku. Kelihatan ganteng dengan balutan brown leather jacket, dari Massimo Dutti, yang belinya kapan hari itu bareng aku, yang dipadu-padankan dengan dark blue sweater, dari Banana Republic. Memandang bagian bawah, Kak Satria mengenakan celana khaki abu-abu dari TopMan. Sepatunya, loafer dari Crocs. He’s so damn hot! Badanku tak kuasa merinding saat memandang dagu dan rahang Kak Satria yang stubble – bakal janggut yang tumbuh, dari pria yang 2-3 hari tidak bercukur, mengingatkanku pada Ario Bayu.
Hei, Hot stuff...
Kak Satria langsung tersenyum mendengar godaanku. Tubuh kami saling mendekat, dan dikecupnya bibirku ringan. Aku mendoronya mundur, terlalu terkejut karena public display of affection, yang Kak Satria tunjukkan. Untung di sektor ini nggak ada pengunjung atau pegawai gramedianya yang lalu lalang.
 “Kamu kelihatan keren hari ini...” Pujiku.
So you are! Nggak nyangka kita sama-sama pakai warna biru.”
Ding! Aku baru nyadar kalau kita kembaran. Sialan! Bisa ketahuan kalau couple nih. Aku emang agak khawatir kalau jalan berdua Kak Satria di tempat umum. Kadang Kak Satria itu nunjukin banget rasa sayangnya ke aku di depan umum dengan menggandeng tangan, yang orang lain lihat pasti ngiranya... Yah, we’re gay, tapi aku nggak mau mengumbar statusku di depan umum. Makannya aku suka jaga jarak kalau di depan umum biar orang ngelihat aku dan Kak Satria itu sebagai sepasang sahabat atau kakak-adik.
“Seharian ini mau ngapain?” Tanyaku sambil mengikuti Kak Satria ke area komik-komik.
“Nonton. Filmnya lagi ada yang keren. The Conjuring.”
Deg! “Horror!” Aku emang nggak suka film horror.
“Tapi filmnya keren. Kalau kamu takut kamu kan bisa bersembunyi dibahuku...”
Wajahku sontak memerah mendengar gombalan Kak Satria. He’s such a romantic guy. The alpha gay, emang selalu harus begitu. Karena udah lama nggak mendengar gombalannya, aku jadi blushing begini. Ahahhahahahhaha.
Akhirnya setelah nonton – which is selama satu jam sembilan puluh menit itu aku menutup mata di saat hantunya muncul, Kak Satria mengajakku untuk makan siang. Solaria menjadi pilihan kami. Aku memesan nasi goreng sosis dengan banana juice, sebagai pelepas dahaga. Kak Satria malah memilih kopi dan nggak mengisi perutnya.
“Lagi diet?” Tanyaku membuka pembicaraan seusai makan.
“Di kesatuan lagi ketat-ketatnya latihan. Banyak Polisi tambun yang kena hukuman. Aku harus jaga badan biar nggak jadi sasaran tendangan komandan.”
“Meskipun kamu gendut atau atletis, aku tetep suka...”
Kak Satria terkekeh mendengar gombalanku. “Lima bulan ini kamu sibuk ngapain, sayang?”
Aku melirik ke sekeliling takut orang lain mencuri dengar Kak Satria memanggilku sayang. Meskipun Solaria lagi ramai, mereka sibuk mengobrol sendiri-sendiri. Hufh, aku agak bernapas lega kalau nggak ada kuping nganggur yang curi-curi denger.
“Sibuk kerja, dikejar deadline, merana karena kangen kamu, dan sibuk wara-wiri sana-sini nggak jelas...”
“Aduh, masa sampai tersiksa begitu? Maaf, deh... kamu sendiri kan yang minta waktu me time season, pas ngebaca majalah waktu itu.”
Aku mengangguk. Emang aku dapet ide itu dari majalah. Meskipun menyiksa batin, tapi efeknya bener-bener mujarab. Buktinya aku masih terus berbunga-bunga kali pertama bertemu dengan Kak Satria setelah lima bulan putus hubungan.
“Kamu nggak tanya aku sibuk apa’an?”
“Ah, paling juga sibuk latihan, sibuk baris berbaris, sibuk jaga pos, sibuk mengawal pendemo.” Polisi kerjaanya apa’an sih kalau nggak gitu-gitu saja.
“Aku juga merana karena kangen kamu, sayang. Aku kangen bibirmu berada di atas kulitku.”
Aku segera melempar tissue ke wajah Kak Satria. SIALAN! Kalau orang lain denger gimana? Aduh, bener-bener sport jantung kalau punya pacar yang doyan PDA begini.
“Setelah ini kita ke mana? Aku juga nggak sabar sampai ke bagian terakhir...” Kujilat bibirku yang kering di depan Kak Satria untuk memanaskan suasana.
“Sekali lagi kamu berbuat seperti itu, aku akan menelanjangimu di sini. Sekarang juga!”
“Coba saja kalau berani...” Aku beranjak berdiri. “Mau keliling kota pakai motor kamu?”
Kak Satria nyengir karena dia kalah satu ronde dalam bermain kata. Setelah membayar bill, Kak Satria berjalan tepat di belakangku, menuju lapangan parkir. Keliling kota, dengan honda tiger warna hitam milik Kak Satria. Ahhhh, membayangkan ini akan seindah adegan romantis di film Joy Ride.

****
Menjelang matahari terbenam Kak Satria terus melajukan motornya ke daerah pinggiran kota. Tanganku tak pernah lepas memeluk perut Kak Satria, menyandarkan tubuhku pada punggungnya, bertahan di sana, dan meresapi kehangatan tubuhnya. Kali ini aku acuh saat melihat pengendara motor lain memandang aneh ke arah kami sewaktu berhenti di lampu merah. Aku sama sekali tak melepaskan pelukanku dari Kak Satria. Bangga rasanya aku memiliki dia, toh kami sama-sama memakai helm teropong, jadi tak perlu khawatir orang lain akan mengenali kami.
Honda tiger Kak Satria berlabuh di pinggir pantai, tempat kebanyakan muda-mudi berkumpul untuk menikmati pemandangan matahari terbenam. Banyak motor terparkir di atas jalan aspal, ditinggalkan begitu saja oleh pemiliknya yang sibuk membenamkan kaki di atas pasir putih. Kak Satria menggandeng tanganku, menggiring langkahku di atas pasir putih menuju gugusan bebatuan di bagian timur pantai. Kaki telanjang kami menikmati gelitikan pasir, sedangkan tangan kami yang bebas membawa sepatu kami masing-masing.
Semakin ke timur semakin sepi. Kak Satria lebih berani untuk mendekatkan tubuhnya ke tubuhku. Nggak banyak orang di tempat ini karena memang kebanyakan lokasi ini kurang apik untuk menikmati pemandangan matahari terbenam. Beberapa deret kios yang menjajakan minuman tampak kosong dan hanya ditunggui pemiliknya.
“Aku sayang kamu, dek...” Celetuk Kak Satria membisik di telingaku.
Bergetar tubuh ini saat mendengarnya. Aku sedikit berjinjit kala berusaha meraih pipinya dan mendaratkan sebuah ciuman singkat di sana. Wajah Polisi gagah itu tampak kikuk sesaat, dan aku hanya bisa mentertawainya.
Sampailah kami di gugusan batu karang. Debur ombak memecah keheningan senja, burung-burung nazar berterbangan menyambut malam yang akan segera datang. Langit seolah terbakar, tampak merah di kejauhan. Kak Satria membantuku untuk naik ke atas salah satu batu karang yang tajam. Tubuh tegapnya dengan begitu mudah membantuku yang kurus ini. Aku kelihatan lemah bila dekat dengannya. Kami menyusuri setiap lekuk batu karang dan menemukan sebuah celah yang memiliki kolam yang tak begitu dalam. Kak Satria mencuci kakinya yang penuh pasir di kolam itu sementara aku memperhatikan wajahnya yang begitu tampan, disinari menatari senja yang kemerahan. Sekali lagi aku merasa beruntung memilikinya.
Kak Satria beranjak berdiri, menarikku dalam pelukannya secara tiba-tiba. Didekapnya tubuhku, dan kami berciuman. Ciuman yang halus, tak begitu menuntut, dan mendamba. Bibir kami memagut, tanpa permainan lidah. Aku masih bisa merasakan aroma kopi dari mulutnya, pahit, manis, bercampur menjadi satu.
“Kak Satria...” Aku mendesahkan namanya saat Kak Satria melepaskan ciumannya.
“Hemm?”
“Aku mencintai...” Belum selesai mulut ini berucap, bibirku malah terkunci oleh bibir Kak Satria. Kami kembali berciuman dengan penuh gairah. Tanganku melingkar di lehernya, menekan kepalanya untuk terus menempel, sedangkan Kak Satria mengirimkan gelenyar sengatan listrik di sekujur tubuhku di saat kedua tangannya sibuk membelai bahu dan tulang punggungku.
****
Kami berdua sedang menikmati jagung bakar sambil menikmati malam yang sudah berkuasa di pinggir pantai. Matahari sudah tebenam sejak tiga jam lalu. Angin berhembus kencang, membuat badanku menggigil meskipun aku sudah mengenakan jaket kulit Kak Satria. Rasa gurih mentega yang membalur jagung bakar milikku, membuat bibirku bengkak. Jich! Bisa-bisanya aku menyalahkan mentega dalam urusan ini. Bibirku bengkak karena terlalu bersemangat berciuman dengan Kak Satria, non stop selama sepuluh menit.
He’s a master of kissing. Jago banget ciumannya. Aku saja sampai kewalahan melawan genjatan bibir dan lidahnya yang bersilat. Malam akan segera berakhir, dan aku tahu akan ke mana arahnya setelah ini... dalam diam aku menunggu Kak Satria membuka suara. Dia terlalu sibuk mengunyah jagung bakar miliknya, tak mengetahui kalau kekasihnya ini sedang dibakar gairah.
“Habis makan aku anter kamu pulang...”
Deg! Lho, kok langsung pulang? Melihat ekspresiku yang kecewak Kak Satria akhirnya mengetahui penyebabnya. “Aku juga pengen sayang, tapi tempatnya nggak memungkinkan...”
“Cerita lama!” Aku mendengus seraya melempar jagung bakar yang sudah habis setengah ke atas pasir.
Selalu. Selalu masalah tempat. Kak Satria tinggal di sebuah rumah kontrakan hasil joinnya bersama seorang teman sesama anggota Polisi. Yang artinya, kita nggak bisa bebas buat ngapa-ngapain di sana. Sedangkan di rumahku sendiri, tahu sendiri kalau aku masih tinggal bareng orang tua, dan malah nggak memungkinkan kalau kita ngapa-ngapain di sana juga. Kecuali, dua lokasi itu lagi sepi, kita bebas mau bergulat di sana.  Dan untuk menunggu kesempatan sepi itu, perbandingnya besar sekali. Kak Satria sendiri ogah cek in karena resiko besar kalau sewaktu-waktu ada razia datang, yang which is bisa mengacam karirnya. So, kemana lagi kita harus mengakhiri malam ini?
Batal sudah segala jenis fantasi yang terbentuk sejak pagi tadi. Malam ini Kak Satria akan langsung mengantarnya pulang, dan see you good bye! Selama perjalanan pulang kami berdua sama-sama membisu. Pelukanku juga nggak seerat tadi. Malam ini aku ingin segera tidur dan melanjutkan hidup, kembali tenggelam bersama rutinitas, dan entah kapan lagi bisa bertemu dengan Kak Satria. Rasanya ingin tumpah air mata ini, air mata frustasi karena hasrat yang tak tersalurkan. Ogah! Nggak bakal. Tabu banget aku menangis.
Sesampai di rumah aku tanpa basa-basi langsung melepaskan helm, dan menunggu Kak Satria berlalu meninggalkanku. Nggak ada acara mampir-mampir segala, udah kelewat gondok tahu nggak.
“Kamu marah, dek?”
Aku diam saja, berusaha memasang wajah datar. “Lain kali, kan bisa. Aku ngerti kok kondisinya.” Yang di mulut lain sama yang di hati.
“Kalau malam ini kita sexphone aja gimana?”
Aku melirik Kak Satria dengan sebelah mata. Kamu di sana, aku di sini, tersambung di telepon, ngocok kontol masing-masing, sambil mendengarkan suara desahan lewat telepon. Duh, nggak banget. Terlalu desperate! Mending nggak sama sekali. Aku menggeleng.
“Udah nggak apa-apa, kok. Santai saja. Pulang, gih... udah malem!”
Tiba-tiba pintu depan rumah terbuka. Ibu keluar dari dalam. “Eh, ada Nak Satria. Masuk?”
“Nggak, Bu! Udah mau pulang. Ada urusan...” Nada bicaraku kasar banget. Kasihan juga ngelihat Kak Satria. Kayaknya usahanya untuk seneng-seneng hari ini gagal tertiup angin.
“Oh, ya sudah. Lain kali mampir ya. Kalau jalan bareng bilang-bilang, dong... Ibu kan bisa masak lebih.”
Duh, Ibuku ini terlalu baik. Kak Satria memang sudah dianggap anaknya sendiri, sejak aku pertama kali membawanya berkunjung ke rumahku dan kukenalkan pada seluruh anggota keluargaku. Kak Satria sebagai teman dekat di club badminton, bukan sebagai kekasih. Tapi, Ibu sendiri pernah menaruh curiga karena terlalu sering mendapati Kak Satria rajin apel setiap hari sabtu dan minggu, meskipun kecurigaan Ibu itu disampaikan dengan nada bercanda dan lalu begitu saja. “Kok suka ngapel malam minggu. Emangnya dia nggak punya pacar, kok ngapelnya ke sini terus. Jangan-jangan kamu ini pacarnya. Hahahahhahahha!” Wajahku saat itu langsung berubah dingin, tapi begitu menyadari Ibu cuman bercanda, aku juga ikut-ikut tertawa meskipun teriris hati ini rasanya.
“Aku pulang dulu, ya Bay.” Bayu. Bukan, sayang, soalnya ada Ibu. “Bu, saya permisi pulang. Maaf udah menculik Bayu sampai selarut ini, saya butuh temen main soalnya...”
“Hati-hati ya Nak Satria. Beneran nggak mampir dulu, minum kopi?”
“Tadi, sudah, Bu. Terima kasih.” Kak Satria mengenakan helmnya. Agrhhh, sebentar lagi akan berpisah. “Aku pulang dulu, ya. Marahnya jangan lama-lama. Lain kali aku tebus...”
Aku memaksakan senyuman. “Sampai di kontrakan telepon, ya?”
“Oke!” Mesin dinyalakan. Suara halus mesin motor Kak Satria memanjakan telingaku. Kuresap suaranya karena mungkin besok aku nggak bakal mendengar suara motor ini lagi.
“Bye...”
“Bye!”
Dan Kak Satria pergi. Malam ini batal, jablai, dan desperate akut.

****
Capek. Cuman satu kata itu yang bisa menggambarkan kondisiku hari ini. Senin sore, sepulang kantor, aku sibuk membereskan berbagai macam hasil liputan yang sudah dalam bentuk print out, tinggal dimintai acc ke editor. Beres. Sore ini aku mau mandi air hangat dan langsung tidur. Bukan cuman capek fisik, tapi capek batin gara-gara kencan kemarin yang gagal total itu masih membekas sampai senin ini. Agrhhh, aku menggerang saat masuk ke dalam lift yang membawaku turun. Dengan gontai aku berjalan melintasi lobi gendung kantorku yang sudah sepi. Cuman ada seorang cleaning servcie yang tengah mengepel lantai.
Bayangan harus berjubel dengan penumpang lain di Bus, membuatku merasa enggan pulang ke rumah. Seperti biasa aku menunggu Bus di halte. Tumben banget cuman ada aku di halte ini. Mungkin udah kelewat sore, jadi banyak pegawai kantor gedung sekitar yang udah pada pulang sejak jam empat sore tadi.
“Butuh tumpangan, Dek?”
Deg! Aku mencium hugo boss XY Summer bercampur keringat. Aku menoleh ke samping. Dia berdiri di sana. Kak Satria dengan seragam polisinya. Meskipun hati lagi gondok aku akhirnya tersenyum juga. Aku nggak mimpi, atau lagi berhayal, kan? Kok, bisa-bisanya sosok Polisi tinggi tegap ini berdiri di sebelahnya, dan lagi senyum-senyum geje ke arahnya pula.
“Sebelum kamu tanya, aku mau bilang, kalau aku sengaja menunggumu di sini.”
Aku diam saja. Mataku melirik melewati punggung Kak Satria. Honda Tiger warna hitamnya terparkir di depan kios rokok.
“Sebelum kamu minta maaf, lagi aku mau bilang, kalau aku maafin kamu.”
Kak Satria mendekatiku, dan meletakkan tangannya di bahuku. “Aku nggak suka ngelihat kamu marah...”
“Aku juga nggak mau marah-marah terus. Penantian selama lima bulan dan berakhir nggak sesuai harapan, wajar dong kalau kita menaruh banyak kekecewaan di dalamnya.”
Kak Satria mengangguk menyetujui. “Maka dari itu aku kemari, berinat untuk membayarnya.”
“Oh, ya?”
“Kita makan malam berdua.”
“Makan malam?”
Kak Satria menyadari kalau aku tidak menyukai gagasanya. Aku pikir kita berdua akhirnya bisa... Agrhhh, makin kecewa deh rasanya.
“Sayang, bisa nggak kamu melihat hubungan kita dari sudut pandang yang lain. Di luar seks.”
Aku mengerti apa maksud Kak Satria. Ya, ampun! Aku egois banget, ya. Tapi, aku nggak buru-buru merubah ekspresi wajahku. Egoku masih menekan, dan berusaha untuk menang sendiri.
“Apakah dengan melewatkan waktu bersama tanpa adanya seks itu kurang buatmu?”
Aku nggak mau dihakimi. Apalagi kalau tahu akunya yang salah. “Maaf, Kak. Aku emang egois. Namanya juga gejolak anak muda, hormonnya masih suka nggak stabil.”
Dret! Dret! Dret! Hapeku berbunyi. Ada panggilan dari atasan. “Bentar, Kak. Bos telepon.”
Kak Satria mengangguk dan memberi jarak untukku agar merasa nyaman menerima telepon. Setelah bercakap-cakap dengan Bos, akhirnya pembicaraan diakhiri dengan agenda yang menjengkelkan. Aku diminta balik ke kantor, dan mengirimkan hasil liputan yang sudah disusun oleh Tim redaksi sewaktu rapat harian tadi pagi, lewat email. Itu artinya aku harus balik jalan ke kantor.
“Tugas mendadak. Sepuluh menit. Be right back! Kamu tunggu di sini.”
“Lho, kemana?” Kak Satria protes.
“Ke kantor. Ada tugas mendadak.”
“Terus kamu ninggalin aku sendirian di sini?”
“Cuman bentar, di suruh ngirim hasil liputan ke email Bos!”
“Aku ikut!”
“Hah?”
Akhirnya setelah berdebat seperti dua bocah ingusan, akhirnya aku mengalah dan mengajak Kak Satria balik ke kantor. Motornya di parkir di halaman kantor, bahkan pas melewati lobi kantor, banyak cleaning servie dan Satpam yang langsung shock tahu ada Polisi masuk ke kantor mereka.
“Ada apa Mas Bayu. Kok ada Pak Polisi?” Tegur seorang Satpam. Tampang Kak Satria emang terlalu kaku saat itu, jadi memancing ketegangan.
“Nggak ada apa-apa, Pak. Ini teman saya. Saya diminta Pak Hendro ke kantor. Teman saya ini maksa ikut. Boleh masuk,kan Pak?”
“Oh, boleh! Saya kira ada apa-apa. Silahkan!” Dengan senang hati Satpam itu membukakan lift untuk kita berdua.
Dengan gaya sok macho Kak Satria memberikan salam hormat yang langsung di balas dengan nggak kalah machonya dengan Pak Satpam. Setelah pintu tertutup aku langsung tertawa. Kak Satria cuman nyengir-nyengir saja. Sampai di kantor di lantai tujuh, aku buru-buru mendekati kubikelku. Suasana kantor memang sudah supi. Lampunya sudah dimatikan, dan agak seram juga. Tapi berhubung aku bersama Kak Satria pikiranku nggak ngelantur ke hal-hal yang aneh.
Segera aku menyalakan komputer. Kukirimkan data-data yang diminta Bos. Nggak sampai lima belas menit pekerjaanku selesai. Aku mengetik pesan singkat ke Bos, bilang kalau data-datanya sudah dikirim, saat tiba-tiba Kak Satria menarikku ke pelukannya dan mencium bibirku.
Glek! Aku menelan ludah. WAHHHHHHH! Tanpa peringatan. Kakiku langsung lemas seperti agar-agar. Ciuman Kak Satria agak memaksa, tapi cukup membangungkan gairahku. Tapi aku segera mendorong mundur Kak Satria setelah aku menyadari ada di mana kami sekarang ini.
“Kak, ini di kantorku. Kita nggak bisa macam-macam di sini.”
“Nggak ada orang di sini, sayang...” Kak Satria meraih pinggangku dan merapatkan tubuh kami dalam satu pelukan.
“Iya, nggak ada orang, tapi ada CCTV.”
Kak Satria mengedarkan pandangan dan menemukan ada beberapa kamera CCTV yang terpasang di langit-langit. Kak Satria mengumpat kasar, aku sendiri sempat terkejut dan mati kaku, takut kalau Kak Satria marah.
“Bay, aku menginginkan kamu saat ini juga, di sini...”
Aku memandang wajah Kak Satria dengan takjub. Apa maksudnya di sini sekarang juga?
“Bercintalah denganku. Aku tidak perduli!”
“Jangan macem-macem, Kak! Pikirkan baik setiap perkataanmu.”
Everything it’s gonna be alright, trust me. Just come here and kiss me...
Aku menggeleng masih takut untuk mengambil langkah ekstrim yang Kak Satria tawarkan. Aku juga ingin bercinta dengan Kak Satria, tapi tidak begini caranya. Lebih baik bercinta di dalam kamar, dengan orang tuaku berkeliaran di luar, dengan tanpa desahan, yang membakar ranjang.
“Percaya sama aku. Aku tahu gimana caranya supaya kita aman...”
Bercinta di sini, sekarang juga, dengan CCTV yang merekam setiap detiknya, dan yang lebih parah lagi ada Satpam yang menonton di ruang monitor. Bukan ide yang bagus. Terlalu beresiko. Sangat besar dan membahayakan. Tapi raut wajah Kak Satria benar-benar meyakinkan. Diulurkannya tangannya, menunggu tanganku meraih tangannya dan membiarkan Kak Satria memulai.
Bagaimana ini? Aku melirk ke arah CCTV paling dengan kubikelku. Ciuman tadi pasti terekam. Sialan! Kalau sudah menyelam, sekalian saja minum air. Jadi... aku menerima uluran tangan Kak Satria. Ditariknya tubuhku hingga jatuh ke pelukannya.
“Sialan, Bay! Kamu tega sekali menyiksaku.” Protes Kak Satria sambil medekapku lebih erat.
“Bukan begitu maksudku, Kak.”
“Shuuttt...” Dibungkamnya mulutku dengan kecupan bibirnya.
Hangat, manis, dan sedikit terasa mint di lidah. Kak Satria selalu mengunyah mentos setiap saat. Kali ini aku sedikit ragu dalam membalas ciumannya. Ada beberapa pasang kamera yang mengawasi dan mungkin ada sepasang mata yang melihat dari ruang monitor. Ini benar-benar gawat. Bibirku masih diam saja, saat Kak Satria berusaha mendesak masuk dengan lidahnya.
“Sialan, Bay! Cium aku!”
Kubuka bibirku pelan-pelan. Memang mengecewakan kalau lawan mainmu tidak beraksi. Kalau aku jadi Kak Satria mungkin aku juga akan mengumpat kesal. Kukecup bibir atasnya, kujilat bibir bawahnya sebelum akhirnya lidah kami beradu. Kak Satria menggerang, yang kemudian mendorong tubuhku mundur sampai pantatku menyentuh meja kerjaku. Dipenjarakannya aku di sana, di antara tubuhnya dan meja kerjaku, sementara bibir kami masih saling mencumbu.
Didorong oleh gairah yang sudah mengambil fungsi otakku, aku melepaskan ciuman dengan paksa, dan mendengarkan erangan memprotes Kak Satria. Senang sekali rasanya aku melihat Kak Satria frustasi karena intrupsi yang aku lakukan. Kugigit bibir bawahnya tiba-tiba untuk menenangkannya, yang dibalas dengan ciuman kasar, tapi segera aku mendorongnya mundur. Aku yang memegang kendali sekarang.
Kuarahkan jemariku untuk melepas seragamnya. Pelan-pelan, sambil memandang dua mata yang begitu bergairah. aku seperti sedang beradu dengan singa yang kelaparan. Aku seperti rusa tak berdaya yang berusaha untuk membujuk Sang singa agar tidak memangsanya.
Seragam Kak Satria terbuka, tapi aku tak melepasnya. Kondisinya tak memungkinkan bagi kami berdua untuk telanjang bulat. Dengan lincah tanganku menaikkan kaus dalam cokelat hingga ke dada Kak Satria. Tubuh sintal Kak Satria terpampang di depanku. Segera kumainkan kedua putingnya dengan hisapan bibirku yang sudah terlatih. Rindu sekali bibir dan lidah ini mengecap dan menikmati tubuh Kak Satria.
“Arghhhhh....” Kak Satria menggerang. Bagian puting Kak Satria memang yang paling sensitif.
Kucium bibirnya, kugigit lehernya, dan kurenggut putingnya dengan ujung lidahku yang menari-nari, kemudian kembali ke bibir, leher, dada, terus berulang-ulang sampai mendengar Kak Satria memohon-mohon padaku.
“Agrrhhh, Bay! Jangan berhenti! Agrhhh, hisap! Agrhhhhh!”
Kusentuh seonggok daging yang mengeras di balik celana cokelat Kak Satria. Kak Satria mengejang dan matanya terpejam. Kugosok-gosok benda yang mulai berkedut-kedut itu.
“Ini apa, Kak?” Tanyaku dengan suara menggoda
“Hah?” Sebegitu bergairahnya Kak Satria, sampai-sampai ia tak bisa menangkap apa yang aku katakan. Aku bisa merasakan suhu tubuhnya memuncak. Kugosok benda di balik celana itu lagi dengan telapak tanganku, dan Kak Satria menggerang buas, yang kemudian dibalasnya dengan mengigit leherku seperti vampir.
“Auhhhhh!” Aku mengaduh.
“Berhenti menyiksaku, sayang...”
“Aku suka menyiksa kamu! Jarang sekali melihat seorang Polisi bertekuk lutut di hadapanku...”
Kak Satria menggerang, bibirnya berusaha meraih bibirku, tapi tanganku dengan mudah mendorong dadanya mundur. “Aku ingin kamu cium seluruh bagian tubuhku, dua kali di setiap tempat! Jangan ada yang tertinggal...”
Aku terkekeh. Menikmati peranku sebagai seorang penyiksa. Segera aku menuruti permintaan Kak Satria. Kuberikan ciuman panas di lehernya dua kali, sampai lehernya basah dan Kak Satria mendengkur seperti Babi hutan, tangannya mencengkram pantatku kuat-kuat saat gelitik listrik itu menyerang seluruh saraf-sarafnya. Setiap bagian tak ada yang terlewat. Tubuh Kak Satria basah karena keringat dan air liurku.
“Kamu suka ini?” Tanganku berusaha menyusup ke balik celana lewat bagian atas, masuk ke dalam celana dalamnya, dan merasakan segumpal daging yang keras.
“Agrrrhhhhhh...” Kak Satria mengadahkan wajahnya.
Direnggutnya bibirku. Aku yang tak sigap kali ini gagal mempertahankan diri. Bibirku dilumat dnegan buas sampai aku merasakan ada rasa darah di lidahku. Entah darah siapa? Ciuman kami begitu liar. Entah berapa banyak waktu yang kami habiskan untuk saling menyiksa ini? Sampai detik ini tak ada seorang satpam pun yang mendatangi kami. Asumsiku, tidak ada orang yang melihat kami lewat kamera CCTV. Aman.
“Ayo kita segera akhiri permainan ini, karena aku lapar. Kamu janji traktir aku makan, kan, Kak?”
Kak Satria tidak menjawab. Ia sibuk membuka ikat pinggang, kancing celana, resletingnya, dan sluuuuuurp! Celana itu lolos sampai jatuh ke mata kakinya. Kak Satria sedang mengenakan celana dalam boxer brief abu-abu. Warna yang sanggup membangkitkan gairahku seribu kali lipat. Nggak ada yang lebih seksi dari Kak Satria dengan celana dalamnya. Wujudnya bisa disandingkan dengan David Gandy yang memamerkan koleksi celana dalam terbaru dari D&G tahun lalu.
Aku segera berlutut tepat di depan selangkangan Kak Satria, menurunkan celana dalamnya dengan mudah hingga turun sampai ke lutut. Kontolnya yang berdiri tegak, 19cm itu meluncur seperti pelontar meriam di depan wajahku. Kugenggam dengan mantap batang kontolnya, dan Kak Satria mendesah merasakan cengkraman tanganku yang mantap. Tanpa ragu lagi aku memasukkan kontol Kak Satria ke dalam mulutku, melumat kepalanya, dan memainkan lubang kencingnya dengan ujung lidahku.
Slurp, Slurp, Slurp! Bagaikan menikmati ice cream, kali ini dengan rasa percum yang hambar. Kak Satria akan mencapai puncak sebentar lagi, aku tahu itu. Kontolnya terus berkedut-kedut di dalam mulutku, dan siap melontarkan lava putihnya. Kukeluarkan kontol itu dari mulutku dengan bunyi, pufh, seperti bunyi tutup botol anggur yang terbuka.
“Sini, biarkan aku yang timpa kamu, mengguling tubuhmu, dan menaiki kamu sampai kamu klimaks. Membakar meja kerja seperti di video porno koleksi kamu. Huhhhh...”
Kak Satria sudah tak bisa berkata apa-apa. dia membiarkan aku yang memegang kendali. Kudurung tubuhnya sampai tertidur di atas meja, yang sebelum itu benda-benda di atasnya sudah berserakan di atas lantai. sebelum menunggai tubuh kuda jantan ini, aku kembali melumat kontolnya di dalam mulutku. Tak lama kemudian aku memainkan buah zakarnya yang ditumbuhi bulu-bulu halus itu dengan lidahku, menghisap masing-masing bijinya, sampai Kak Satria mendesah.
Yes! Betul, tetap di ujung situ, ya babe, Ah!
“Ahhhh!” Aku sendiri mendesah lirih saat merasakan kontolku sendiri mengeluarkan air percum. Melihat lawanku terangsang, aku pun juga ikut terstimulasi lewat pikiran. Aku sungguh puas kalau bisa memuaskan Kak Satria.
Kemudian aku naik ke atas meja, ke atas tubuh Kak Satria lebih tepatnya. Aku berlutut di atas tubuhnya, kontolku tepat mengarah di depan wajahnya. Kak Satria menggengam kontolku dan mengocok-ngocoknya. Aku mendesah menikmati kocokannya, tapi aku tahu kalau aku belum menyelesaikan apa yang menjadi tugasku.
Hot Hula. Begitu gaya ini dinamakan. Aku duduk di atas pinggulnya, dengan tangan dan kaki tepat di samping torsonya – bagian samping tubuh dari dada hingga ke perut. Posisi itu membuat lubang anusku berada tepat di atas kontol Kak Satria, dan berlahan aku mendorong kontol itu masuk ke dalam anusku. Blusssss! Tak perlu waktu lama. Dengan mudah kontol Kak Satria masuk ke rumah kenikmatan yang sudah lama tidak ia kunjungi.
“AHHHHHH!”
“AHHHH!”
Kami sama-sama mendesah saat tubuh kami menyatu. Kepalaku mendongah ke atas, begitu juga dengan Kak Satria. Sesudah memastikan posisi ini nyaman untuk kami berdua, lalu dimulailah gerakan memutar itu. Aku menggerakan pinggul dari kiri ke kanan, dan diputar-putar seperti saat kita sedang bermain hulahop. Karena itulah gaya ini diberi nama hot hula.
Batang kontol Kak Satria bergerak bebas di dalam anusku, dan menusuk setiap sudutnya, yang jelas mengirimkan rasa nikmat ke seluruh bagian tubuhku.
“Ah, ya! Putar, sayang. Agrhhhhhh!”
Kuremas-remas dada Kak Satria sementara pinggulku memutar-mutar kontol Kak Satria di dalam anusku. Kuremas, kuplintir putingnya, sampai Kak Satria menaikkan pinggulnya ke atas, tubuhnya mengeliat-liat, dan semakin membuat kontolnya merojoki anusku.
“Ahhhh, kalau kamu juga ikut bergerak aku semakin nikmat, Kak!”
Akhirnya setelah beberapa saat Kak Satria mendorong pantatku ke atas, sehingga keluarlah kontolnya dari lubang anusku. “Kamu sekarang yang berbaring santai, sayang...”
“Oke...” Aku merebahkan tubuhku ke atas meja, dengan Kak Satria masih berada di atas meja juga, dan sedang berlutut tepat di depan selangkanganku.
Di dorongnya setengah tubuhku jatuh ke bawah, sehingga dari dada sampai kepalaku menggantung ke bawah. Kemudian Kak Satria membuka dan mengangkat kedua pahaku, merapatkan tubuh kami, dan memasukkan kontolnya ke anusku dalam sekali dorong. Aku menggerang dan secara refleks kedua tanganku meregang ke atas kepala, jatuh ke udara begitu saja. Tulang belakangku terasa sakit karena harus menempel dengan pinggiran meja yang kasar, tapi rasa sakit itu berusaha aku hiraukan karena aku menikmati sensai yang terjadi.
Karena setengah tubuh bagian atasku jatuh dan melayang ke bawah,  semua aliran darah akan memuncak di kepala, dan itu memberikan sensai yang tiada kira untukku. Kak Satria terus menyodok kontolku. Dari posisinya yang berada di atas, tangannya dengan mudah mengocok kontolku.
“Kak, aku mau keluar! Kocok, terus Kak, jangan berhenti.”
“Apapun buatmu, sayang. Rasakan ini...” Kak Satria membasahi telapak tangannya dengan air liur, kemudian kembali mengocok kontolku yang sudah licin dengan air liurnya.
“Ahhh, sebentar lagi, Kak! Ahhhh, ahhhh, ahhhhh!” Lava putih berbau khas itu keluar dari ujung lubang kencingku, membasahi tangan Kak Satria dan sebagian lagi lengket dan menggenang di selangkanganku yang berbulu.
Kak Satria sendiri masih betah merojoki anusku yang sekarang sudah terasa panas dan berkedut-kedut. Gairahku sudah menghilang seiring dengan orgasme yang aku rasakan berkat kocokan kontol Kak Satria, tapi aku berusaha menjaga kondisi tubuhku tetap prima karena Kak Satria belum mencapai puncak.
“Aku mau ganti gaya, Bay. Kamu turun, aku sodok dari belakang...”
Aku mengangguk, dan aku turun dari meja. Aku berlutut di depan meja, dan merebahkan tubuhku ke depan sehingga bagian pantatku terangkat dan lubang anusku terbuka di depan kepala kontol Kak Satria yang berwarna merah mengkilat. Kak Satria mendorong kontolnya masuk dan digenjotnya aku dari belakang. Kedua tangannya dengan lincah meremas-remas pantatku.
“Ahhh, Ahhh, Ahhh! Fuck, yes! Oh, yeah, Ahhhhh!”
“Ah, Kak Satria! Ahhhh, Ahhh, Ahhhh!”
“Kontol Kakak mau putus rasanya. Anusmu enak banget, Bay!”
“Ahhhh, Ahhhh, Ahhhh.” Kugerakkan pinggulku memutar-mutar, dan hal itu semakin memberikan gelitikan hebat bagi kontol Kak Satria.
“BAY! AKU MAU KELUAR! AHHHHH! AHHHHH! OH, OH, YAH! AGRHHHHHHH!”
Kontol Kak Satria mengeluarkan lava putihnya di dalam anusku. Aku merasakan anusku basah dan lengket. Benih kejantannya menyembur masuk ke dalam ususku. Perutku terasa dikocok-kocok, aku merasa mual, tapi aku menahannya.
Kak Satria memutar tubuhku. Kami berhadapan sekarang, dan dilumatnya bibirku dengan gairah yang masih tersisa. “Kak Satria sayang sama kamu,  Bay! Terima kasih!”
“Aku juga sayang kamu, Kak! Aku mencintaimu!”
Kami berciuman lagi, sambil cekikikan. Kami membereskan arena pertarungan. Barang-barang yang berjatuhan di lantai kami kembalikan ke tempat semula. Jejak-jejak sperma juga sudah dibersihkan dengan bantuan tissue, dan dalam sekejap kami sudah berpakaian lengkap lagi. Sebetulnya aku cuman meloloskan celanaku saja dan nggak sampai melepas kemeja. Yang paling parah, memang Kak Satria, yang memang hampir telanjang.
“Sekarang gimana kalau percintaan kita direkam kamera CCTV?” Tanyaku dengan nada khawatir saat kami berdua masuk ke dalam lift yang membawa kami ke lantai dasar. “Kamu siap masuk penjara di pecat? Aku juga bakal dipecat, dan kita berdua akan menemui ajal kalau rekaman itu tersebar luas.”
“Jangan khawatir...” Kak Satria memegang daguku. “Kak Satria yang membereskan.”
“Gimana caranya?”
“Ruang monitornya di mana?”
“Mau ngapain?” Tanyaku yang masih binggung.
“Sudah, tunjukin saja.”
“Di ruang personalia. Ada post satpam di sana.”
Setelah sampai di lobi aku membawa Kak Satria menuju ruang monitor. Bukan main rasanya perut ini diaduk-aduk saking tegangnya. Gawat! Keringat mulai mengucur, apalagi aku mendapati post satpam dalam keadaan ramai. Beberapa satpam sedang mengobrol di depan pintu ruangan monitor yang terbuka. Jangan-jangan mereka menonton masal pertunjukan yang tersaji lewat kamera CCTV.
Saat para satpam itu menyadari kedatangan kami, wajah mereka tampak tegang. Karena postur tubuh Kak Satria lebih besar dari satpam-satpam itu, aura mengintimidasi segera tercipta di antara mereka.
“Ada yang bisa saya bantu, Pak?” Tanya salah seorang satpam.
“Saya boleh lihat rekaman CCTVnya?” Kak Satria malah balas bertanya.
“Memangnya ada apa dengan kamera CCTVnya?”
“Saya cuman perlu menghapus rekaman yang tidak berkenan buat saya dan pacar saya. Bisa bantu anda?”
GLEK! Aku menelan ludah. Wajahku langsung pucat. Aku nggak berani memandang wajah para satpam yang saat itu sedang memandangi kami secara bergaintian.
“Kalian nggak usah banyak tanya. Kalian melihat apa tadi?”
“Anu, maaf, Pak! Kami memang selalu mengawasi CCTV selama 24 jam.”
“Jadi kalian melihat apa yang terjadi di dalam kantor tadi?” Tanya Kak Satria dengan nada mengancam.
Salah seorang satpam mengangguk.
“Tolong. Ini privasi saya dan pacar saya. Saya mau rekamannya di hapus, atau kalian akan berurusan dengan saya.”
Kak Satria masuk ke dalam ruangan monitor, dan diikuti oleh empat orang satpam yang jelas telah menonton adegan panasku bersama Kak Satria secara beramai-ramai. Aku malu bukan main. Bagaimana ini? Tubuhku seolah membatu. Aku mematung di tempat. Rasannya ingin menangis, dan kalau bisa ia ingin tanah membelah dan menelannya hidup-hidup. Atau ia kabur saja ke ujung dunia dan nggak akan pernah kembali. Apakah ini akhir dari kehidupannya? Aku percaya dengan Kak Satria. Dia bisa mengatasi ini.
Kak Satria keluar dari ruangan monitor. “It’s done, Bay. Everything it’s gonna be alright. Satpam-satpam itu nggak bakal berani macem-macem.”
Aku menatap wajah satpamitu satu persatu. Wajahku sendiri kelihatan malu.
“Tenang saja Mas Bayu. Kami akan tutup mulut.”
Aku menggelengkan kepala dan berlari keluar dari tempat itu. Kak Satria memanggil namaku. Suaranya bergema di lobi. Dari belakang aku mendengar suara Kak Satria mengejar.
“Bay, semua akan baik-baik saja. Kamu percaya sama aku. Bukan kamu saja yang berada di situasi ini. Aku juga ikut bertanggung jawab. Ada aku yang selalu bersama kamu, Bay. Kamu nggak sendirian.”
Aku nggak bisa berkata apa-apa lagi. Aku kemudian jatuh ke pelukan Kak Satria yang menenangkan. Hari ini aku mengalami kejadian paling mendebarkan dalam hidupku. Tidak terduga dan benar-benar menggairahkan. Ada perasaan takut bercampur senang. Takut kalau semua ini akan berakhir dengan mala petaka, dan senang karena aku tidak sendirian di sini. Ada Kak Bayu. Kekasihku, pujaan hatiku, yang selalu mendampingiku. Rasanya berhadapan dengan neraka sekali pun, aku akan berani, asalkan Kak Satria ada di sampingku.
“Semuanya akan baik-baik saja, Bayu. Percaya. Hanya Percaya.”
Aku merapatkan pelukanku. Tak ada seorangpun di tengah lobi kantorku yang gelap itu, di malam hari, pukul tujuh malam.