Hunk Menu

Overview of the Naolla

Naolla is a novel which tells about life of Hucky Nagaray, Fiko Vocare and Zo Agif Ree. They are the ones who run away from Naolla to the Earth. But only one, their goal is to save Naolla from the destruction.

Book 1: Naolla, The Confidant Of God
Book 2: Naolla, The Angel Falls

Please read an exciting romance novel , suspenseful and full of struggle.
Happy reading...

Look

Untuk beberapa pembaca yang masih bingung dengan pengelompokan posting di blog ini, maka saya akan memberikan penjelasannya.
(1)Inserer untuk posting bertemakan polisi dan dikutip dari blog lain;(2)Intermezzo adalah posting yang dibuat oleh pemilik blog;(3)Insert untuk cerita bertema bebas yang dikutip dari blog lain;(4)Set digunakan untuk mengelompokan posting yang sudah diedit dan dikutip dari blog lain;(5)Posting tanpa pengelompokan adalah posting tentang novel Naolla

Selasa, 20 November 2012

Inserer: Kegagahan seorang polisi

Tiap hari aku melewati jalan itu di pagi hari, mataku selalu tertumbuk pada seorang polantas yang rutin mengatur lalu lintas di perempatan. Tingginya sekitar 175 cm, badannya kekar dibalut seragam dinasnya, walaupun perutnya agak sedikit mulai membuncit, umurnya kira-kira menjelang tiga puluhan, dan ia selalu mengenakan kaca mata hitam. Aku tidak yakin apakah polantas itu gay, tapi ia ramah sekali padaku. Ia sampai hafal jam kerjaku, jam ketika aku melewati jalan itu, dan ia bahkan selalu bertanya ketika aku terlambat atau lebih pagi. Tentu saja kusempatkan diri untuk ngobrol barang sejenak, walaupun mungkin saat itu aku sudah terlambat. Aku selalu menatap matanya saat berbicara, walaupun tentu saja kaca mata hitamnya menghalangi matanya, jadi aku tidak bisa menebak apakah ia tertarik padaku. Oh ya, namanya Bernard, sehingga aku sering menggodanya dengan memanggilnya Bernard Bear seperti film animasi yang diputar di salah satu stasiun televisi swasta, dan ia selalu tertawa. Lama-lama jadi luluh aku, tapi aku tak berani menyatakan perasaanku padanya.

Sampai akhirnya teman kerjaku mengajari cara menghipnotis orang. Tekniknya mampu bertahan selama satu jam; ia buktikan dengan menghipnotis satpam kantor dan menyuruhnya macam-macam. Setelah satu jam, ia mengakhiri hipnotisnya dan satpam itu tidak ingat apa-apa. Wah, bisa dicoba ke si beruang Bernard nih, pikirku. Setelah cukup lama, akhirnya aku bisa juga menghipnotis hingga sekitar setengah jam. Tentunya itu tidak kugunakan untuk perbuatan jahat seperti mencuri, tapi hanya sekali ini saja ingin kugunakan kemampuanku untuk mencicipi kegagahan Bernard.

Hari Minggu itu, kebetulan sekali rumahku sedang kosong. Kuputuskan pagi hari itu menemui Bernard dan menghipnotisnya agar mau ke rumahku. Aku pun berjalan menuju pos polantas di perempatan jalan itu, dan sesuai harapanku Bernard ada di situ, bahkan sendirian. Aku mulai gugup; kuingat-ingat teknik hipnotisku berulang kali. Jangan sampai gagal; aku tak tahu apa reaksinya kalau ia terbangun saat kunikmati kegagahannya... Ia melihatku dari kejauhan dan menyapaku duluan dengan melambaikan tangannya. Duh mataku tertumbuk pada dadanya yang bidang dan otot lengannya yang kekar; sekalipun seragamnya menutupinya, seragam itu sangat ketat sehingga badannya tercetak dengan jelas. "Dengaren Mas pagi-pagi gini jalan? Lembur kah?" sapanya ketika aku menghampirinya.

"Oh nggak kok, cuma pingin jalan pagi aja," jawabku asal. "Mas Bernard Bear sendirian aja nih?" Ia tertawa sejenak dan menjawab, "Iya nih, padahal ngantuk bener, tadi malam habis nonton bola." "Emang temennya ke mana?" tanyaku lagi. "Kebetulan aja aku sendirian Mas, tapi ini cuma bentar kok, sepuluh menit lagi selesai, habis itu aku bebas. Nggak rame juga jalanan, namanya juga hari Minggu..." "Mau ke rumah Mas? Kebetulan lagi sepi, aku diminta jaga rumah, rada kesepian juga, biar ada teman ngobrol gitu..." "Wah asyik tuh, bisa main dong, hehehe..." Jantungku seakan berhenti berdetak ketika Bernard mengatakan hal itu. "Mau deh, habis ini ya, tunggu sebentar lagi." "Iya Mas," jawabku pendek, masih terkejut dengan jawabannya. Tanpa harus dihipnotis ia sudah mau ke rumah. Jalan sudah terbuka, tapi aku harus tetap hati-hati. Aku tidak mau kehilangan kesempatan emas ini untuk selamanya...

"Besar juga ya rumahnya," komentar Bernard ketika memasuki rumahku. "Iya Mas, pembantu lagi pulang. Ortu lagi keluar kota, tiga hari lagi baru balik." "Mau aku jagain kah?" "Lah Mas kan polantas? Masa tugasnya jagain rumah orang?" "Yaa aku kan bisa izin cuti. Tiga hari sih gak masalah, toh aku ya ga pernah cuti, hehehe..." Wah ada apa ini ya, kok dia sepertinya ngebet banget mau nginap di rumahku... "Ya kalau Mas Bernard mau sih... Anggap aja rumah sendiri Mas!" Kubawa dia ke ruang keluarga sebelum ia berkata, "Mas pinjam kamar tidurnya dong, ngantuk nih! Boleh ga?" "Boleh aja Mas Beruang," godaku dan kami pun tertawa. Kuantar ia ke kamar tidurku. Matanya berbinar-binar ketika mengetahui spring bed, dan ia langsung menghempaskan tubuhnya di sana. "Uaaahhh enaknyaaaa... Di kosku cuma kasur kapuk biasa!" komentar Bernard. Aku hanya tersenyum mendengar komentar dan perilakunya; agak lucu melihat seorang polantas dewasa bertingkah seperti anak kecil yang baru dapat kasur baru. "Oh maaf lupa lepas sepatu!" pekiknya. "Bisa bantu lepasin ga Mas?"

Jantungku berdetak cukup hebat sebelum akhirnya aku bisa mengendalikan diri. Apa yang baru saja ia katakan? Menyuruhku melepas sepatunya, padahal ia bisa lakukan sendiri? "Mas? Kok bengong?" ujarnya membuyarkan lamunanku. "Ah iya, sepatunya ya Mas," sahutku dengan cepat, lalu menghampirinya. Kulepaskan sepatu bot dari kaki kirinya, agak kesulitan hingga aku harus mengangkat kakinya, namun Bernard seakan tak keberatan. Aku beralih ke sepatu bot di kaki kanannya. Setelah keduanya terlepas, kulepaskan juga kedua kaus kakinya yang agak basah, sepertinya karena berkeringat akibat berdiri cukup lama. Kuamati ujung kakinya yang kini telanjang, sedikit bulu ada di sana. Aku jadi penasaran ingin melihat kakinya... "Mas Bernard pasti capek, aku pijitin ya," ujarku. "Nggak usah Mas, ngerepotin aja." "Ga pa pa Mas, toh kapan lagi Mas dapat pijat gratis, hehehe..." Kupijat telapak kakinya, dan ia pun memejamkan mata dan menikmatinya. "Enak pijatanmu Mas," pujinya. "Mas sambil tidur aja ga pa pa." Aku pun memijat kakinya dengan lembut dari bawah, pelan-pelan naik ke atas hingga pahanya...

...sampai tanpa sengaja kusenggol bonggolan di antara kedua pangkal pahanya. Bernard hanya tersenyum simpul. "Kenapa Mas?"godaku. "Ah ga pa pa kok, pingin senyum aja," jawabnya. "Bukan gara-gara ini to?" Sebelum aku sadar apa yang aku lakukan, aku sudah menyundul-nyundul bonggolan itu dengan buku-buku jariku. "Ah Mas bisa aja!" ujar Bernard lalu tertawa. "Enak Mas," sambungnya. "Sudah lama ga ada yang megang itu." "Masa Mas?" tanyaku, antara kaget dan tidak percaya. Ternyata ia sama sepertiku! "Pacar Mas?" "Aku belum punya pacar," jawabnya sambil tersenyum. "Duh Mas senyummu itu lho, kutelanjangi lho Mas entar!"

"Telanjangi aku Mas," ujar Bernard serius. "Aku ingin kamu telanjangi kegagahanku, wibawaku. Selama ini aku selalu menggagahi pria lain, tapi entah kenapa aku rasanya klepek-klepek denganmu Mas. Aku senang sekali rasanya tiap Mas lewat depan posku, dan ga ingin rasanya Mas pergi. Lama sekali rasanya satu hari berlalu tanpa Mas. Sekarang kesempatan itu ada, aku ingin bersama Mas. Nikmati aku Mas. Tubuhku milikmu..." Aku tercengang mendengarnya, namun badanku langsung bereaksi. Tanganku mulai mengelus-elus dadanya yang bidang itu. "Berdiri aja Mas, biar aku yang duduk," ujarku. Bernard pun menurut, bahkan ia mengenakan lagi sepatu botnya plus helm yang entah untuk apa dibawanya, lalu berdiri tegap layaknya sedang diinspeksi kelengkapan atributnya. Aku pun tersenyum, lalu kumulai perlahan-lahan membuka kancing bajunya. Sesekali aku tidak tahan untuk tidak meremas kontolnya, dan ketika aku meremasnya, Bernard mengerang pelan.

Kancing terakhir pun terbuka dan aku menanggalkan kemeja dinasnya. Agak kerepotan karena ada semacam sabuk kecil yang melintang, namun akhirnya aku bisa melepas sabuk kecil itu. Masih ada kaos coklat press body yang dikenakan Bernard, sehingga kini tubuhnya terlihat dengan jelas, bahkan puting susunya pun tercetak jelas. Aku meraba-raba dadanya yang bidang dan berbisik, "Mau diapain nih Mas?"
"Aku pasrah Mas, mau diapain aja," bisik Bernard pelan. Suaranya yang berat menandakan ia mulai terangsang berat. Kuelus-elus sebentar kontolnya, lalu kupeluk polantas itu. Badannya yang besar sangat nyaman dipeluk, bau wangi masih tercium. Kuelus-elus punggungnya, turun ke pantat dan kuremas-remas. Bernard merespon dengan menggoyangkan pinggulnya, menggesek-gesekkan kontolnya ke perutku. "Sabar Mas," bisikku, kemudian aku melepaskan pelukanku sambil menepuk pantatnya. Kupandangi kembali dadanya yang bidang itu. Kuputuskan untuk mengisap puting susunya, namun sebelum itu aku memasukkan kedua tanganku ke dalam kaosnya dan mengelus-elus badannya.

Pertama kuelus-elus perutnya yang agak buncit itu, kemudian perlahan-lahan naik. Sampai juga di dadanya. Kuelus-elus daerah sekitar putingnya sambil kutatap wajah polisi tampan itu. Bernard tidak bersuara sama sekali, hanya saja nafasnya mulai berat. Aku tersenyum, kemudian kurangsang kedua putingnya. Kuusap-usap dengan jari-jariku dan Bernard pun mendesah. Ingin rasanya kucium polisi itu, tapi apa daya ia lebih tinggi dariku...

Bernard rupanya mengetahui isi hatiku, maka ia pun menunduk dan menciumku. Masih terlalu tinggi, maka aku membimbingnya ke tempat tidur dan kami pun duduk sambil berciuman. Tangan kiriku memegang kepalanya yang mengenakan helm sementara tangan kananku mengusap-usap selangkangannya. Kulakukan sehalus mungkin, ciumanku tidak terlalu bernafsu dan pijatanku sangat lembut, agar Bernard semakin penasaran dan meminta lebih. Precum sudah mulai membasahi celananya, tapi kubiarkan saja. Aku pun membuka kaos dalamnya sehingga ia kini bertelanjang dada. Iseng-iseng kupakaikan lagi kemeja dinasnya, hanya tidak kukancingkan. Kubaringkan polisi itu di atas ranjangku, kemudian dari samping aku pun berbaring sehingga kepalaku pas ada di dadanya. Kuminta Bernard berbaring miring, lalu kuhisap puting susunya sambil kupijat-pijat kontolnya. Tiap kali kujilat puting susunya, kupijat kepala kontolnya dengan lembut. Bernard mendesah tiap kali kulakukan itu; ia mengelus-elus kepalaku agar tidak menganggur. Ketika kuhisap puting susunya dengan kuat, kugenggam dan kuremas kontolnya kuat-kuat (tentunya tidak sampai menyakiti Bernard) untuk membuatnya melenguh bagaikan sapi jantan yang sedang birahi, dan kenyataannya ia memang sedang terangsang berat. Kulakukan itu cukup lama sampai celana dinasnya basah di bagian selangkangannya, seakan-akan polisi itu ngompol. "Enak ga Mas?" tanyaku. "Enak bener Mas, belum pernah aku digarap pelan-pelan gini. Tambah ngaceng berat Mas..." "Iya lha sampai basah kuyup gini," kuelus-elus celananya dan kugenggam kontolnya, lalu kokocok ringan. Bernard pun mengerang pelan. "Mau digarap ga Mas tongkatnya?" godaku. "Mau Mas..."

Sekarang kusuruh ia berbaring telentang dan aku pun berbaring di sampingnya. Pertama kucoba memasukkan tanganku dari perutnya, tapi ternyata sabuknya menyulitkan pergerakan tanganku, maka kulepas sabuknya. Setelah tanganku bisa masuk, kujelajahi bagian sakral polisi itu, langsung menembus pertahanannya. Kurasakan bonggolan daging yang luar biasa besar, hangat dan berdenyut serta basah oleh precum. Kuraba batang kontolnya yang keras itu, jauh lebih hangat lagi. Kugenggam batang itu dan kukocok pelan-pelan. Celananya yang sempit menyebabkan gesekan yang intens di sekujur kontolnya, memberikan sensasi luar biasa pada Bernard karena ia menggelinjang dan mengerang. Kumainkan seluruh jariku meraba-raba kontol polisi itu; kurasakan kedua testisnya yang menempel di tubuhnya saat itu. Besar juga, kayanya sudah lama nggak dikeluarin nih... Tanganku terus basah oleh precum yang mengalir keluar dari kontolnya, maka kuraih kepala kontolnya dan kumainkan lubang kencingnya. Polisi itu semakin menggelinjang dan mengerang. "Geli Mas," erangnya. Tak kuhiraukan erangannya, terus kuserang kontolnya dengan tanganku. Aku pun tak tahan ingin merasakan kehangatan kontol itu di mulutku. Diisep ga ya... Aku sempat bimbang sebelum memutuskan aku hanya akan mengocok kontol Bernard si polisi lalu lintas. Toh nanti ia nginep di sini, aku bisa puas-puas menikmati kontolnya. Biar dia ketagihan! Kubuka sedikit celananya dan kuturunkan sejauh atas lutut sehingga kontolnya dapat bergerak bebas, dan wow... Batang kontol yang coklat kehitaman itu menyembul dan berdiri dengan gagahnya. Kontol itu sudah disunat, kepalanya berkilauan basah oleh precum yang masih saja mengalir. Aku menelan ludah ingin mencicipi precum itu. Sabar... Sabar... "Diapain ni Mas kontolnya?" godaku. "Terserah Mas," jawabnya sambil meraih kontolku dan meremas-remasnya. Rupanya ia juga ingin memainkan kontolku. "Mau dikeluarin ga Mas?" "Iya, keluarin... Barengan ya, kukocokin punyamu juga." "Aku nanti aja Mas, yang penting Mas keluar dulu. Udah ga tahan ni kontolnya," godaku sambil meremas kedua testisnya. "Ah bisa aja kau," ujar Bernard dan tertawa. "Aku bisa tahan kok." "Yakin ni Mas tahan kalau kuginiin?"

Aku pun langsung mengocok kepala kontolnya dengan perlahan dengan tangan kananku, sementara tangan kiriku bergantian antara memainkan kedua testisnya dan putingnya. Aku tahu tidak semua orang suka main pelan, tapi biasanya malah banyak yang tidak tahan lama ketika aku mengurut kontolnya dengan perlahan. Benar saja, polisi itu mengerang panjang di tiap kocokanku, dan pada kocokan kesepuluh ia memegang tanganku. "Mau keluar Mas...," rintihnya. Kuhentikan kocokanku, namun tetap kuelus-elus kontolnya yang tampak sedikit membesar dan berkedut itu. Bernard sendiri mengerang menahan diri, peluh mulai berjatuhan dari keningnya. "Dikeluarin ga Mas?" tanyaku. "Kayanya udah mau meledak tu, kasian kontolnya..." "Terserah Mas, aku pasrah..." Aku ingin sekali menenggak maninya langsung dari sumbernya... Nanti malam saja!, separuh suara hatiku berkata. Nanti malam puas-puasin sedot kontol tu polisi! Akhirnya kukocok lagi kontol Bernard, dan hanya pada kocokan pertama polisi itu menyemburkan lava putihnya. Tidak menyembur sebenarnya, hanya meleleh saja, tapi luar biasa banyaknya. Aku seakan menyaksikan gunung berapi meletus dengan perlahan. Kubiarkan lava putih itu mengalir membasahi tanganku yang masih mengurut kontolnya dengan penuh rasa sayang. Tak berapa lama kemudian pancarannya mulai melemah dan berhenti. Kusaksikan polisi itu terengah-engah mengambil nafas setelah pancaran terakhir berhenti. Kuelus-elus wajahnya dengan tanganku yang bersih sambil tersenyum. Ia pun balas tersenyum, lalu setelah nafasnya mulai teratur kucium dia. Aku masih menggenggam kontolnya yang mulai melemas; kubiarkan kontol itu beristirahat dulu.

Gantian Bernard yang agresif memainkan kontolku; ia hanya membuka resleting celana jinsku dan mengocoknya dengan cukup cepat. Kocokannya mantap juga, bahkan ia menggunakan maninya sebagai pelumas. Hanya dalam lima menit aku pun keluar; spermaku muncrat ke tubuh Bernard, untungnya tidak sampai menodai seragamnya. Setelah aku keluar, aku memeluk polisi itu dan tidur di dadanya; tanganku masih menggenggam kontolnya yang rupanya sudah pulih. "Mau lagi nih Mas?" godaku. Ia hanya tersenyum, menandakan ya bagiku. Kali ini aku tak sabar menunggu malam tiba. Kuposisikan diriku dalam posisi 69 walaupun belum ada tanda-tanda Bernard akan menghisap kontolku juga. Aku tak peduli; aku harus merasakan kontol polisi itu sebelum terlambat. Kini kontol polisi itu ada di hadapanku; Bernard dengan nakalnya menegakkan kontolnya. Kuamat-amati kontolnya dengan seksama. Agak berurat di sana-sini, dengan panjang dan tebal idaman di atas rata-rata, dan ketahanan lamanya, menjadikan kontol polisi itu kontol terbaik yang pernah kumainkan dan kunikmati. Kuciumi kontol itu, kujilati pangkal pahanya sampai Bernard menggelinjang, kubasahi seluruh jengkal kontolnya hingga batangnya menegang seperti tadi. Benar-benar luar biasa. Kumasukkan kontol itu ke mulutku, kemudian kukenyot-kenyot. Bernard mengerang, dan ia pun membalas menjilati area sensitifku. Aku tetap bermain tenang dan pelan seperti saat aku mengocok kontolnya, sementara Bernard tetap agresif, bahkan sengaja menggigit kontolku beberapa kali. Kalau ia melakukan itu, kubalas dengan jilatan maut pada lubang kencingnya. Tak lupa kedua testisnya tetap kumainkan dengan tanganku. Aksi hisap-menghisap itu tak terlalu lama berlangsung, dan kali ini aku keluar bersamaan dengan Bernard si polantas. Lagi-lagi ia menunjukkan keperkasaannya dengan memuntahkan banyak sperma, yang kuminum dengan rakusnya. Setelah itu, kami berdua cukup kelelahan dan tertidur dengan kontol masih ada di mulut.

Aku bangun terlebih dahulu dengan perasaan nyaman di antara kedua kakiku. Rasanya ada yang merangsangku... Aku baru ingat kalau tadi kontolku masih di dalam mulut Bernard. Apa ini berarti ia menghisapku lagi? Baru saja mau membuka mata, sesuatu menggedor-gedor langit-langit mulutku, dan sesuatu menetes ke lidahku. Dengan segera kukenali rasa precum Bernard dan batang kontolnya yang kembali tegang, maka kugarap kembali polisi itu dengan hisapan mautku. Nikmatnya bisa ngemut kontol polisi... Sesi hisap-menghisap itu tak berlangsung lama, aku keluar duluan karena Bernard lebih dulu merangsangku, namun semenit kemudian ia pun keluar.

Sisa hari itu kuhabiskan bersama Bernard si polantas. Makan, mandi, nonton TV, bahkan tidur. Tak jarang kami berdua kembali terangsang, dan tanpa sungkan-sungkan lagi kupagut kontol Bernard. Keesokan harinya kusuruh ia tetap berdinas seperti biasa, namun pulang ke rumahku untuk memadu kasih. Untuk merasakan kegagahan seorang polisi.

1 komentar: