Cerita ini hanyalah rekaan semata, kesamaan nama dan tempat hanyalah
kebetulan belaka. PERINGATAN: Konten ini mengandung materi dewasa dan
homoseksualitas. Jika Anda tidak dapat menerima materi ini, segera
tinggalkan blog ini.
Sebagai tulisan pertama, ini adalah salah satu khayalan saya untuk bisa
bermain dengan seorang polantas. Hingga sekarang saya belum pernah
berteman dengan polantas, jadi mohon maaf kalau ada kekeliruan.
Malam itu aku berjalan seorang diri di pinggir salah satu jalan raya
yang cukup besar di Surabaya. Udaranya cukup dingin, sepertinya mau
hujan, namun entah kenapa aku ingin berjalan-jalan. Saat itu jam
tanganku sudah menunjukkan pukul setengah satu dini hari, dan lalu
lintas sudah cukup sepi--maklum, hari itu hari Senin. Aku berjalan tanpa
tentu dan tanpa kusadari aku sudah berada di seberang kebun binatang.
Perutku mendadak lapar; sepertinya ada yang jual makanan di seberang
sana. Maka, berhubung sepi, aku mencoba menyeberang jalan di depan pos
polantas. Sepertinya sih kosong...
"Mas!" seseorang memanggilku dengan suara lantang. "Lain kali
nyeberangnya di jembatan ya, tuh ada jembatan penyeberangan! Untung
jalanan sepi." Aku menoleh dan melihat seorang polantas berdiri di depan
pos jaganya. "Iya Pak, maaf, lain kali tidak saya ulangi," jawabku
sesopan mungkin. "Sendirian saja Mas?" tanyanya. Aku mengangguk.
"Malam-malam begini? Nggak kerja besok?"
"Nggak Pak, saya kebetulan masuk agak sore nanti," jawabku asal-asalan.
Selagi berbicara, kuamati polisi itu. Masih juga dengan balutan seragam
dinas hariannya yang berwarna coklat itu, tingginya sekitar 180 cm dan
beratnya kutaksir sekitar 75 kg. Saat itu pencahayaan agak temaram,
namun kulihat kulit wajahnya coklat bersih; dari logatnya bisa kukira ia
orang Jawa juga, mungkin orang Madiun. "Bapak sendiri juga sendirian?"
"Iya, teman saya mendadak sakit jadi malam ini saya sendirian," jawab
polisi itu ramah. "Ayo masuk, di sini saja ngobrolnya..." Mendadak turun
hujan yang cukup deras. Aku pun kalang kabut masuk ke pos jaganya. "Nah
untung sekali kamu ada di dekat sini, coba nggak bisa masuk angin
kehujanan tuh!" ujar pak polisi itu. "Iya Pak," sahut saya sambil
tersenyum kecut. "Pas nggak bawa payung pula..."
"Tunggu di sini saja Mas sampai hujannya berhenti. Hitung-hitung nemani saya." Wah, kesempatan langka nih,
pikirku. Akhirnya bisa ngobrol dengan seorang polantas! Syukur-syukur
kalau nanti bisa berteman, lebih syukur lagi kalau ia ternyata gay,
hehehe... "Permisi," ujarku sopan. Polisi itu mempersilakan aku masuk.
"Duduk sini Mas," ujarnya sambil menunjuk kursi panjang di sebelahnya.
"Saya tutup dulu pintunya ya, takut masuk ntar airnya." Memang saat itu
angin cukup kencang ikut menemani hujan di dini hari buta itu. Setelah
menutup pintu, ia duduk di sebelahku dan kami pun berkenalan. Namanya
Samuel, umur dua puluh tujuh tahun, dan sudah selama tiga tahun bertugas
di Surabaya. Kami pun mulai ngobrol hal-hal yang ringan, mulai dari
cuaca Surabaya yang tak menentu akhir-akhir ini, pekerjaan (dari situ
aku tahu dia kebanyakan dapat dinas malam), isu politik yang sedang
hangat tentang Jogjakarta, sepak bola AFF Cup (walaupun aku tak terlalu
suka sepak bola), sampai ke gosip artis. Selagi ngobrol, sesekali aku
mencuri pandang ke badannya. Badannya cukup terawat; lencana kepolisian
menutupi salah satu dada bidangnya yang ranum. Perutnya tidak buncit
seperti polisi yang sudah berumur pada umumnya, dan yang lebih penting
lagi, tonjolan selangkangannya. Beberapa kali kucuri pandang ia memegang
daerah pribadinya itu, entah sekedar menggaruk atau membetulkan
posisinya. Semuanya itu kulakukan diam-diam, sampai akhirnya...
"Mas sudah punya pacar?" tanya Samuel si polantas.
"Belum Mas," jawabku. Aku tidak lagi memanggilnya Pak setelah tahu ia kurang lebih sebaya denganku. "Kalau Mas sendiri?"
"Belum juga," jawabnya. "Siapa yang mau sama polantas..."
"Ah masa sih Mas? Mas kan tampan, bodi oke pula!" Sejenak aku tersentak
sendiri, ucapanku agak menjerumus sedikit. Dari tadi Samuel tidak
menunjukkan tanda-tanda bahwa ia gay. Samuel tertawa lepas mendengar
perkataanku. "Ya dari bodi sih saya memang oke, cowok pun banyak yang
suka! Kamu suka juga nggak sama saya?" Degg... jantungku berdetak keras.
Sejenak aku tertegun mendengar pertanyaannya barusan. Nggak salah
dengar kah aku?
"Mas? Mas?" aku terhenyak ketika Samuel memanggilku. "Kenapa Mas? Kaget ya?"
"Oh nggak kok Mas..."
"Nggak usah kaget Mas, saya sendiri tadi juga malu, tapi dari tadi Mas
ngliatin saya terus." Sontak wajahku memerah malu, tapi segera ia
mengusap wajahku dan melanjutkan perkataannya, "Nggak usah malu. Saya
tadi juga was-was kalau kamu bukan seperti yang saya kira, soalnya saya
lihat kontolmu agak ngaceng sedikit. Tapi untungnya dugaan saya salah.
Kamu nggak kaget kan?"
"Nggak kok Mas..." jawabku pendek. "Kalau begini kaget nggak?" Samuel
mengulurkan tangannya ke atas selangkanganku dan mengelus-elusnya. Akhirnya!,
jeritku dalam hati. Aku memberikan senyumku yang paling manis dan
Samuel membalasnya. "Dah, nggak usah sungkan-sungkan, kamu pasti mau
juga kan?" Ia memegang tanganku dan membimbingnya ke tonjolan
selangkangannya yang terbalut celana coklat ketat khas polantas. "Beri
aku kehangatan malam ini Mas..." pintanya.
Semula aku agak malu-malu, namun akhirnya aku mulai meremas-remas
kontolnya. Polantas itu bersandar santai pada kursinya sambil memejamkan
mata dan menikmati rangsanganku pada organ vitalnya. Kuremas-remas
kontol polantas itu dengan lembut sambil kurasakan dalam tanganku
kontolnya mulai bangun dengan cepat. "Besar ya punya Mas," bisikku.
"Punyamu juga besar kok," bisiknya balik sambil meremas-remas balik
kontolku yang sudah bangun sedari tadi. "Enak nih ngisep punyamu. Sudah
lama saya nggak ngisep kontol."
"Isep aja Mas," rintihku karena ia memainkan bola-bolaku, bagian yang
paling sensitif dari kontolku. Kubalas dengan remasan yang sama, dan ia
mengeluarkan suara jantannya. "Mas mau kuisep juga kah?" Polantas itu
mengangguk. "69?"
"Nggak usah Mas, biar saya dulu yang melayani Mas," jawab Samuel. "Lho
jangan mas, bareng-bareng aja biar enak," sergahku. "Nggak apa-apa, saya
tahan lama kok," jawabnya. "Lagipula slogan saya, melayani masyarakat
sepenuh hati. Termasuk melayani hasratmu..." Ia membimbingku tiduran di
kursi panjang di pos itu; hujan masih menderu di luar pos. Sejenak ia
meraba-raba tubuhku, dan aku pun mengerang nikmat. Kemudian ia menindih
badanku dan memagut bibirku. Kami pun berciuman sementara polantas itu
menggesek-gesekkan kontolnya dengan kontolku; sesekali kubantu dengan
mengusap-usap pantatnya yang ranum itu. "Enak Mas?" bisik Samuel.
Kujawab dengan ciuman lagi untuk beberapa lama, baru kemudian Samuel
bangkit. "Takisep ya Mas." Aku mengangguk. Ia pun membuka resleting
celana jinsku, membuka sedikit celana dalamku sampai akhirnya kontolku
menyembul keluar. Polantas itu memegangi kontolku dengan tangan
kanannya, dan mulailah ia menjilati kontolku. Aku serasa melayang
terkena sensasi jilatannya...
Polisi itu menjilati kontolku seperti es krim; kepala kontolku
dilumatnya dengan lidahnya yang kasar dan hangat, memberikan sensasi
tersendiri yang sangat nikmat. Aku menggelinjang sambil sesekali
memegangi kepalanya; saat itu ia selalu memandangku dan tersenyum,
membuatku semakin melayang. Tak lupa ia juga menjilati bola-bolaku
sampai basah, namun yang paling kusuka adalah saat ia melumat kontolku.
Perlahan-lahan polisi itu melahap kontolku sampai ke pangkalnya, lalu ia
menghisapnya perlahan-lahan, semakin lama semakin cepat. "Aaaahhhh
maaassss... enaaakkkhhhh... mau keluar niiiihhh.....," desahku tak
tahan. Memang saat itu aku sudah hampir mencapai puncak.
"Keluarin aja Mas," kata Samuel. "Keluarin di mulutku. Aku ingin minum
pejuhmu..." Polisi itu mempercepat hisapannya, membuatku semakin
terangsang. "Ooooooohhhhhh...." Tak lama kemudian aku tak bisa
menahannya, kontolku mulai menembakkan cairan spermaku ke mulut Samuel.
Semula ia tersedak karena semprotanku, namun ia terus menelannya. Empat
tembakan dan pancaran maniku mulai melemah; memang kemarin aku sudah
ngocok. Polisi itu terus saja menjilati kontolku seakan tak ingin
melewatkan setitik pun cairan spermaku. "Ah geli Mas," ujarku, dan
barulah polisi itu mengeluarkan kontolku dari mulutnya. "Enak Mas?"
"Enak banget, hangat dan manis," jawabnya sambil tersenyum. "Makasih
ya." Ia membantuku duduk dan merapikan kontolku kembali ke celanaku.
"Tunggu Mas, Mas kan belum keluar," ujarku sambil mengelus-elus
kontolnya. "Nah masih tegang gini lho, basah pula celananya Mas...
Nanggung kalau nggak dikeluarin. Kukeluarin ya?" Samuel tidak menjawab,
ia hanya tersenyum. Kuulangi pertanyaanku itu sambil kuremas kontolnya,
barulah ia menjawab, "Kocokin Mas. Sudah lama aku nggak dikocokin."
"Tapi nanti kuhisap boleh ya?" pintaku. Samuel mengangguk sambil
tersenyum. Maka segera kubuka resleting celana dinasnya yang sudah basah
kuyup itu. "Gak papa ta Mas basah gini? Nanti teman Mas kalau ada yang
tanya gimana?"
"Gampang itu, kujawab aja ketumpahan kopi," jawab Samuel lalu tertawa,
kemudian ia mengerang ketika tanganku merogoh ke dalam celana dinasnya
untuk mengeluarkan kontolnya. "Enak Mas... sempit ya celanaku?"
"Iya Mas, gak sakit ta kalau ngaceng?"
"Gak tuh, malah enak, sensasinya gimana gitu. Aku suka kamu mainin kontolku dari luar celana."
"Tapi sekarang takkocok dulu ya?" Akhirnya aku berhasil mengeluarkan
batang kontolnya yang sudah berdiri tegak sedari tadi. Kuamati batang
kontolnya yang besar dan sedikit berurat itu; kepalanya merah menonjol.
Samuel menggodaku, katanya, "Suka ya Mas sama kontolku?" Kujawab dengan
kocokan pada kepala kontolnya, dan polisi itu pun mengerang. Tak tahan
dengan erangannya, kucium polisi itu sambil tetap kukocok batang
kontolnya. Erangannya tertahan dalam ciumanku, dan ia mulai menggodaku
lagi dengan meremas-remas kontolku. Kuurut batang kontolnya dengan
lembut, tapi rasanya agak seret. Akhirnya kujilati batang kontolnya
untuk membasahinya dengan air liurku, dan polisi itu rupanya
menyukainya. "Isepen Mas..." Kuturuti perintahnya; kuhisap batang
kontolnya seperti saat ia menghisap kontolku tadi. "Ayo Mas, cepetin,
aaughhhh enak Mas... akh akh akh akh..." Aku semakin bersemangat
menghisap kontolnya, walaupun tak semuanya bisa kumasukkan dalam
mulutku. "Enakkhhh, aaaaakkkhhh mau keluaaarrrr... Terimalah
manikuuuu... Oooooooaaaaaaaaaarrrrrgghhhhh...." Polisi itu mengejan dan
dalam sekejap tenggorokanku hangat dibasahi cairan mani yang menyembur
keluar dari kontolnya. Maninya banyak sekali, baru setelah tujuh kali
tembakan pancarannya mulai melemah. Polisi itu bernafas menderu;
tangannya memegangi kepalaku yang masih membersihkan sisa-sisa mani dari
kontolnya. "Makasih Maaaassss... enak banget..."
"Sama-sama Mas," ujarku, lalu aku pun mencium polisi itu. Kami berciuman
cukup lama; polisi itu merangsangku lagi tapi aku menahan diri untuk
tidak melanjutkan permainan itu karena hujan sudah mulai mereda.
Akhirnya kami pun bertukar nomor HP. Yang menyenangkan, polantas itu
bersedia mengantarku pulang. Sepanjang perjalanan aku menggodanya dengan
menelusupkan tanganku ke selangkangannya, dan di tempat yang cukup sepi
kubuat polisi itu muncrat untuk kedua kalinya. Benar-benar malam yang
tak terlupakan.
Sejak itu, kami bersahabat erat. Tiap minggu ketika ia sedang tidak
dinas, kusempatkan mampir ke kosnya dan kami pun memadu kasih. Dua
minggu setelahnya ia menembakku, dan aku pun menerimanya. Kami pun
semakin erat setelah itu. Sayang usia hubungan kami tidak lama, karena
ia dipindahtugaskan ke kota lain, dan ia tidak bisa menolak penugasan
itu. Walaupun demikian, kami tetap berhubungan, dan ia mengizinkanku
mencari pria lain untuk menggantikan posisinya memuaskan hasratku. Ia
sempat mengenalkanku dengan rekannya yang ternyata juga gay (bahkan kami
pernah main bertiga, tapi itu cerita lain kali), dan ia tidak cemburu
tiap kali aku cerita saat aku main bersama rekannya itu. Sesekali ia
menyempatkan diri ke Surabaya, dan pasti kusempatkan bertemu dengannya
untuk memadu kasih melepas rindu. Oh betapa aku sayang padanya...
Tapi petualanganku dengan pria berseragam tidak selesai begitu saja.
Masih ada cerita-cerita lain bersama dengan polisi lain, tentara, dan
bahkan satpam sebuah mal di pusat Surabaya. Itu untuk lain cerita.
Hunk Menu
Overview of the Naolla
Naolla is a novel which tells about life of Hucky Nagaray, Fiko Vocare and Zo Agif Ree. They are the ones who run away from Naolla to the Earth. But only one, their goal is to save Naolla from the destruction.
Book 1: Naolla, The Confidant Of God
Book 2: Naolla, The Angel Falls
Please read an exciting romance novel , suspenseful and full of struggle.
Happy reading...
Book 1: Naolla, The Confidant Of God
Book 2: Naolla, The Angel Falls
Please read an exciting romance novel , suspenseful and full of struggle.
Happy reading...
Look
Untuk beberapa pembaca yang masih bingung dengan pengelompokan posting di blog ini, maka saya akan memberikan penjelasannya.
(1)Inserer untuk posting bertemakan polisi dan dikutip dari blog lain;(2)Intermezzo adalah posting yang dibuat oleh pemilik blog;(3)Insert untuk cerita bertema bebas yang dikutip dari blog lain;(4)Set digunakan untuk mengelompokan posting yang sudah diedit dan dikutip dari blog lain;(5)Posting tanpa pengelompokan adalah posting tentang novel Naolla
(1)Inserer untuk posting bertemakan polisi dan dikutip dari blog lain;(2)Intermezzo adalah posting yang dibuat oleh pemilik blog;(3)Insert untuk cerita bertema bebas yang dikutip dari blog lain;(4)Set digunakan untuk mengelompokan posting yang sudah diedit dan dikutip dari blog lain;(5)Posting tanpa pengelompokan adalah posting tentang novel Naolla
Tidak ada komentar:
Posting Komentar