Hola! Dree is back everyone. Kayaknya
gue harus bikin fanbase, buat
kalian-kalian yang suka baca cerita gue. Well,
gue sih officialnya kasih
cerita-cerita gue ke Bayu, owner blog
novelbaru69.blogspot.com, tapi dua
minggu yang lalu gue menemukan cerita gue dimuat di Facebook page “Cerita Gay Pilihan” dan respon pembaca yang like page itu bener-bener bikin gue
tersanjung. Gracie, gracie J
Nah, untuk kali ini gue mau
melanjutkan kisah perjalanan hidup Briptu Hendra yang seorang gay staight crush du jour. Yang sebelumnya
gue sudah menyajikan cerita Hendra bersama sahabatnya semasa SMA – Farid,
Bokapnya sendiri, dan seorang Polisi berpangkat Briptu dari kota J yang bertemu
dengan Hendra di sebuah acara seminar di kota M – Dhanny. Untuk kali ini gue
mau suguhkan cerita yang agak berbeda dari jalan-jalan cerita sebelumnya.
Mungkin ada dari para pembaca
sekalian yang mendapati kesamaan dalam setiap cerita yang gue buat. Ayo, siapa
yang bisa nebak? Well, yup... gue
selalu memasukkan adegan onani di cerita-cerita gue? Hum, ada yang tanya
kenapa? Well, gue bener-bener
menyukai kegiatan itu. Sampai sekarang gue juga masih onani, dan gue
bener-bener suka baca-baca cerita gay lain yang menyuguhkan adegan onani di
dalam ceritanya. Gue juga punya koleksi video bokep gay yang lagi onani baik
yang lokal atau bule. Well, kalau
dari kalian yang punya video kolekis serupa, bisa kirim videonya ke gue lewat
email dreetheauthor@yahoo.com PS :
Video kalian lagi onani juga boleh. Gue kadang juga suka ngerekam kegiatan solo itu untuk lucu-lucuan *buka aib*
Nyooo, balik ke pokok cerita. Selamat
membaca!
Note for Bayu : Thanks bro!
The nightmare question for the gay bachelor like me!
Ada satu hal yang bikin jengah para
bujangan dan perawan di dunia ini, apabila mereka datang menghadari acara
keluarga, yang sebut saja arisan dan kondangan. Tahu nggak apa yang bikin
mereka jengah? Ada yang bisa jawab? Well,
kalian pernah denger pertanyaan ini nggak saat salah seorang saudara kalian
mendekatimu saat kalian sedang enak-enaknya makan opor ayam sewaktu lebaran? Kerjaan kamu gimana? Kalian jawab. Baik. Baru dipromosikan jadi manager *Bangga*,
terus masuk ke pertanyaan kedua. Kapan
nikah? JLEEEEEB! Rasanya bener-bener kayak ditusuk sama pisau. Kenapa semua
orang kepo banget pengen tahu masalah percintaan orang lain. Well, bagi mereka yang udah punya
pasangan mungkin pertanyaan itu nggak terlalu menakutkan. Mereka mungkin saja
bisa menjawab Belum ada tanggal yang pas,
Udah ada rencana tapi sibuk kerja, Keluarga udah setuju, tinggal bikin acara
lamaran. Hahahhahah! Nah, bisa bayangin nggak gimana reaksinya kalau
pertanyaan itu ditujukan kepada kaum jomblo? Sebagus apapaun pekerjaan yang
kalian lakukan, jabatan yang kalian dapatkan, kesuksesan yang kalian raih,
rasanya bakal sia-sia saja kalau pada akhirnya kalian nggak bisa punya pasangan
yang mau diajak ke pelaminan.
Meskipun dunia udah moderen dan
dipadati oleh orang-orang berpikiran maju, buktinya pertanyaan seperti itu
diakui sebagian para bujangan dan perawan sukses sebagai hal yang menyakitkan
apabila dilontarkan. Hal serupa juga dialami oleh Hendra. Bisa bayangin nggak
kalau seorang gay atau lesbian mendapatkan pertanyaan seperti itu dari keluarga
mereka? Mana bisa mereka menjawab, Kalau
nikah harus ke Australia dulu, kan di sana bisa menikah sesama jenis. Jleeeegerrrrr
*petir menyambar*
Hendra bener-bener pusing saat
seorang Tante dari kerabat nyokapnya menanyakan the nightmare question for the bachelor itu di sebuah acara arisan
keluarga di rumah sepupu Hendra. Hendra, sih cuman bisa senyum-senyum, dan
jawab sebisanya.
“Belum mikir ke situ, Tante.” Setelah
menjawab, gue meneguk segelas air sampai tandas. Duh, bener-bener bikin
tenggorokan gue kering.
Sebelum pertanyaan-pertanyaan lain
keluar dari bibir berlipstik merah itu terlontar, lebih baik gue buru-buru
menyingkir. Alasan ke kamar kecil emang paling ampuh untuk menolak secara halus
ajakan ngobrol seseorang yang bikin kita nggak nyaman.
“Eh, Tante. Hendra permisi mau ke
kamar mandi.”
Si Tante langsung senyum dan
bergeming untuk mencari teman ngobrol yang lain. Gue langsung mendesah begitu
Tante gue itu pergi. Sambil berjalan ke kamar mandi, gue mengecek blackberry gue. Wah ada BBM dari Dhanny.
Sontak wajah ganteng Briptu itu terlintas di kepala gue. Udah empat bulan gue
nggak ketemu sama dia. Well, singkat
cerita setelah seks liar gue dengan Dhanny di acara seminar itu, gue dan dia
resmi pacaran. Kalian nggak kasih selamat ke gue? HEY, GUE UDAH NGERUBAH DHANNY
YANG SEORANG STRAIGHT MENJADI SEORANG
GAY, LHO???? Should I get the credit?
Aku ke surabaya
besok. Can’t wait to meet you. <3
Gue malah senyum-senyum sendiri kayak
ABG labil yang lagi kasmaran. Yah, gimana nggak labil gue, orang baru pertama
kali ini ada cowok yang suka ngegombal ke gue. Hahhahaha! Duh, bener deh... BF
gue yang satu itu ternyata adalah cowok yang romantis. Dia suka kirimin SMS
atau BBM yang isinya gombalan pujangga. Kalau ada Casanova atau Shakespare,
Dhanny ini cocok banget kalau di sandingkan dengan mereka.
Gue emang terkadang masih suka
ngerasa bersalah karena ngerubah Dhanny yang seorang straight menjadi gay, tapi gue sendiri nggak bisa menolak pesonanya
dia. Kalau kalian inget, gue pernah janji ke Farid pas gue ngobrol sama dia
mengenai pasangan. Well, singkat
cerita gue pernah janji kalau bakal menerima seorang cowok straight yang berhasil gue rubah menjadi gay sebagai BF gue. Dan
hadirlah Dhanny dalam kehidupan gue. Cowok straight
itu jatuh cinta sama gue. Awalnya gue pikir karena alasan seks. Well, kita beruda bener-bener bisa
saling memuaskan saat melakukan hubungan itu. We match each other. We take and giving, dan sebelum-sebelumnya gue
nggak pernah mendapatkan balasan setimpal dari pasangan seks gue, kecuali rasa
puas karena udah bikin striaght menjajal
seks gay.
Tapi baru setelah 4 kali bercinta
dengan Dhanny, terhitung sejak acara seminar itu Dhanny rajin beli tiket
pesawat straight to fly to my city on the
weekend just to met me, gue baru tahu kalau dia jatuh cinta gue bukan hanya
karena kita adalah partner yang kompak di atas tempat tidur, tapi juga karena
gue adalah orang yang bisa mengerti dia. Menurut Dhanny nggak seorangpun dari
cewek-cewek yang pernah dipacarinya, yang bisa menggerakkan hatinya seperti
yang gue lakukan. Hey, I didn’t do anything
but seks, tapi Dhanny bersih keras kalau gue adalah hal terbaik di dalam
hidupnya untuk sekarang ini.
Namanya juga cinta. Nggak bisa
dijelaskan. Saat cupid melepaskan anak panahnya, it just happened, and it change your world. Turst me!
Sebagai BF, Dhanny bukan tipe cowok
yang posesif. Dia ngebebasin gue untuk berteman dengan siapa-siapa saja. Gue
sendiri belum tahu gimana reaksinya kalau gue masih punya hasrat besar untuk
menggoda seorang straight dan
bercinta dengan mereka. Kalau kalian udah punya pasangan, bukannya kalian bakal
setia dan hanya melakukan seks dengan mereka saja? Well, bercinta dengan Dhanny itu menyenangkan. Selalu berkesan.
Tapi, gimana jadinya kalau gue sendiri masih kepingin ML sama cowok straight yang gue taksir? Gue nggak
nyangka kalau petualangan gue bakal berakhir secepat ini hanya karena gue udah
menemukan pasangan gue. Kok, gue jadi nggak rela begini.
Dhanny akan datang besok, itu artinya
gue harus jadi pacar dan tuan rumah yang baik buat dia. Well, kebiasaan kalau dia dateng ngapel ke kota gue sih
standar-standar saja. Paling kita pergi nonton, makan malam, as just as like a usual two dudes best
friend do. Kita nggak bisa melakukan PDA, well, nggak nyaman saja kalau nunjukin ke depan umum kalau ada dua
orang cowok yang lagi kasmaran. Bisa dirajam sama batu deh. Jadi yahhh kita
berdua cuman bisa pura-pura kayak dua sahabat karib kalau lagi jalan bareng.
Selain nonton, makan malam, kita
berdua cuman ngobrol-ngobrol saja. Masalah kerjaan, masalah kehidupan
masing-masing kita. Gue di sini, dia di sana. LDRS. Fiuhhhh! Long Distance Relationship. Siapa, sih
yang bisa tahan melakukan hubungan nggak sehat kayak gitu? Well, bagi pasangan normal mungkin itu sangat berat. Tapi bagi kamu
gay kayak gue itu hal yang lain. Dhanny masih belum yakin seratus persen kalau
dia gay. Dia pernah bilang gini ke gue pas kita telepon-teleponan pada suatu
hari.
“Gue masih belum yakin kalau aku ini
gay.” Celetuk Dhanny.
“Maksud kamu?” Nada bicara gue naik
satu oktaf.
Yah, kebiasaan pasangan yang baru
jadian. Gaya bicara jadi berubah. Yang awalnya lo-gue, jadi aku-kamu. Owhhh, oh so damn cute isn’t it???? *ngeludah*
“Kalau gue gay, gue pasti juga demen
ngelihat cowok lain. Let’s say kayak
cowok yang ngelihat cewek sexy pakai rok mini lagi turun di eskalator mall. Aku
nggak ngerasain apa-apa meskipun udah ketemu banyak cowok yang bertampang
ganteng dan berbody yahud.”
“I
see...” Gue menggumam.
“But,
Hen. With you, aku merasakan yang lain. Kok, tanggapan kamu cuman segitu?”
Dhanny kedengaran nggak puas mendengar reaksi gue.
“Menurut aku itu wajar, kok.”
“Bukannya bagus kalau aku cuman bisa
memandang ke satu arah saja. Ke kamu.”
Deg. Ahhh, again and again. Gombalan
dia bikin gue blushing.
“Tapi kamu beneran nggak suka cewek
lagi?”
“Ya ampun, sayang! Udah berapa kali
kita ngebahas hal ini. Yang bisa aku pikiran sekarang adalah gimana caranya
mencuri pintu kemana sajanya doraemon, supaya aku bisa ketemu kamu setiap hari,
suapa aku bisa setiap saat menyelinap ke dalam kamar kamu, memelukmu saat
tidur, dan tiba-tiba.... ahhhhh... I’m
hard. God! Kenapa dengan ngobrol sama kamu bawaanya aku selalu horney.”
Gue nahan ketawa. Bener-bener, deh.
Muka gue udah kayak udang rebus saking merahnya karena tersanjung denger
gombalan Dhanny.
“Tuh, kan! Cara pandang kamu ke aku
memang satu arah. Just seks.” Gue
mendengus.
“Nggak, lah! Aku sayang lahir batin
ke kamu.”
Blushing lagi.
Udah, deh. Kalau ngebayagin malam itu
bawaanya kontol gue langsung ngaceng. Emang kita suka bertengkar kecil waktu
telepon, tapi pas Dhanny menawari untuk melakukan phone seks, emosi kesal gue ke dia langsung saja hilang kayak angin
lalu. Kalau udah sama-sama kangen dan pengen ML, yahhhh phone seks cuman bisa jadi salah satu alternatif selain skype seks, yang belakangan hari ini
bikin kita geram karena koneksi internetnya nggak mendukung. Biasanya kan kita
saling memandang tubuh telanjang masing-masing sambil onani. What a fucking awsome momemnt!
Well, jumat malam Dhanny nyampek di bandara, itu artinya dia bakal
nginep dua malam di rumah gue. Hum, bukan masalah besar, sih. Cuman gue rada
khawatir sama gimana cara Bokap memandang gue kalau Dhanny tiba-tiba berkunjung
ke kota gue lagi. Tahu, kan kalau Bokap gue udah tahu gue ini adalah gay. Yah,
gue pernah having seks sama dia, tapi
cuman sekali doang, kok. Satu kali, dua kali, Dhanny ke kota gue, Bokap ngira
Dhanny ini temen deket gue as like Farid
as he knows, tapi lama-lama Bokap kayaknya mulai curiga kalau kunjungan
Dhanny mulai rutin dilakukan selama dua kali dalam satu bulan.
Yah, nggak apa-apa, sih kalau Bokap
tahu Dhanny itu BF gue. So what? Gay
nggak harus jomblo, kan? Sambil terus mengetikkan jemari di atas keypad blackberry, gue berjalan menuju
kamar mandi. Saat itu juga gue kepikiran jalan keluar. Yah, mungkin akan
menjadi masalah kalau setiap kali Dhanny dateng apel, dia selalu nginepnya di
rumah gue? Jelas, dong Bokap bakal curiga, dan terlebih-lebih, Nyokap juga
mulai mengendus gelagak aneh dari Dhanny dan gue.
Pernah lho, Nyokap menangkap basah
Dhanny mandangin wajah gue dengan mata berbinar penuh cinta pas kita semua lagi
makan malam di meja makan. Nyokap sampai ngelirik ke Bokap, tapi Bokap
pura-pura cuek saja. Nyokap pernah negur gue, dan mengetakan semua hasil
spekulasi dan teori di kepalanya, tapi buru-buru gue mentahkan perkataan
Nyokap, dan menegaskan bahwa Dhanny cuman teman. Yah, Nyokap emang curiga kalau
Dhanny itu gay. Mana ada sih temen yang rutin beli tiket pesawat dua kali
sebulan demi mengunjungi temannya yang
tinggal di kota lain. Wajar saja Nyokap curiga, dan nggak tahu saja kalau dari
awal yang gay itu Dhanny. Sorry, Mom!
Solusi paling ampuh untuk mengatasi
masalah ini adalah pindah dari rumah. Gue bisa beli rumah sendiri, atau
ngontrak, atau ngekost. Ahhhh, kenapa nggak kepikiran, ya? Dengan gue tinggal
sendiri, akeses Bonyok untuk tahu kehidupan gue juga semakin berkurang. Dhanny
bisa dengan bebas dateng mengunjungi gue tanpa harus merasa sungkan dengan
Bonyok gue. Ya! Keputusan pindah emang ide yang cemerlang. Gue mau
konsultasikan ini dengan Dhnnay. Buru-buru gue dial nomor hapenya. Tak lama suara berat sexynya terdengar di
telinga gue.
“Ya, sayang????”
Ahhh, blushing again.
The solution and the tempting nightmare came on the
same package part 1
Jadi di sini gue bakal tinggal? Tanya
gue dalam hati saat memandang kamar kosong yang cukup luwas dengan dinding
bercat biru langit yang dalam sekejap membuat gue merasa nyaman.
Well, gue ada di sebuah rumah di bilangan bagian utara kota tempat
tinggal gue. Cukup jauh dari lokasi rumah gue. Di tempat ini gue akan tinggal.
Yup! Rencana awal gue untuk moving from
my house, udah disetujui sama Bonyok gue, meskipun harus melewati proses
yang cukup alot. Siapa, sih orang tua yang mau ngelihat anak semata wayang
mereka lebih memilih tinggal sendiri, padahal orang tua gue menjamin segala
kenyamanan dan fasilitas yang bikin orang lain kadang iri sama gue?
Hendra mau mandiri. Hendra nggak mau
ngerepotin Mama-Papa. Hendra mau punya space
untuk tumbuh kembang Hendra. Kan mau kalau umur segini masih tinggal sama
orang tua. Yah, alasan-alasan seperti itulah yang membuat Bonyok gue bergetar
dan akhirnya mengizinkan gue untuk meninggalkan rumah, yah meskipun setiap
sabtu dan minggu gue harus nginep di rumah untuk melepas rindu. Yang menurut
gue ohhhh so lame itu, tapi juga
sempet bikin gue ngerasa nggak tega sama mereka. Gue bener-bener melakukan
semua ini demi kenyamanan Dhanny yang bisa apel sesuka hati dia. Sorry, Pop-Mom!
Di rumah ini gue rencananya mau
ngekost. Gue suka banget sama konsep rumah yang akan menjadi tempat tinggal
gue. Di beberap meter persegi tanah milik keluarga Budiman ini didirikan dua
bangunan tempat tinggal. Rumah utama di di bagian depan, sedangkan bagunan ke
dua yang berupa paviliun berada di halaman belakang. Dua bagunan ini letaknya
lumayan jauh, hampir lima belas meteran, dan hanya dihubungan oleh jalan
berbatu yang melewati sebuah halaman yang cukup luas.
Rencanya awalnya rumah paviliun ini
akan menjadi kostan gue. Rumah paviliun ini dilengkapi dengan ruang tamu –
merangkap ruang tengah tempat televisi bertengger, dapur, dua kamar mandi (satu
di lantai bawah, satu di lantai dua), dan dua kamar tidur (dua-duanya di lantai
dua). Rumah paviliun ini disewakan seharga satu setengah juta rupiah setiap
bulannya. Yah, buat gue sih itu bukan masalah. Gue udah bekerja dan gue punya
penghasilan tambahan lewat bisnis gue.
Well, gue ada cafe yang didanai langsung sama Bonyok yang katanya untuk
investasi masa tua gue. Thanks Pop-Mom. Gue
bener-bener merasa berdosa karena udah menghianati mereka demi Dhanny.
Yang gue suka dari tempat ini adalah
peraturannya. Gue cukup bebas pulang di jam berapapun, dan boleh membawa teman
menginap. Pakaian juga dicucikan. Dan yang lebih bikin gue suka adalah gue
nggak boleh bawa pacar masuk ke rumah. Maksudnya ya, cewek. Tapi, kan gue nggak
demen cewek. Gue sih senyum-senyum saja. Makannya gue langsung deal dan bayar
uang bulan itu sekalian ke tuan rumahnya. Besok rencananya gue bakal pindah.
The solution and the tempting nightmare came on the
same package part 2
Keluarga Budiman yang bakal menjadi
tuan rumah gue adalah keluarga harmonis Indonesia. Terdiri dari Bapak dan Ibu Budiman beserta dua anak
mereka. Farah, cewek cantik berbadan
proposional yang baru lulus SMA tahun ini, dan Rio, anak bungsu yang masih duduk di bangku kelas tiga SMP.
Keluarga Budiman bener-bener menjadi keluarga kedua buat gue. Mereka semua
baik, dan terkadang suka mengajak gue makan malam di rumah utama. Rasanya
seperti sudah menjadi bagian dari keluarga ini sendiri, bahkan Farah dan Rio
pun tak ragu-ragu lagi menyebut gue ‘Mas Hendra’ seolah-olah gue ini adalah
kakak kandung mereka. What a beautiful
life isn’t it? Gue punya keluarga kandung yang baik, BF yang cinta mati
sama gue, dan here they are now, my new
family. Hidup gue udah kayak di surga.
Dari keseluruhan hal yang
membahagiakan itu ada satu hal yang menganggu gue. Gue nggak tahu harus
menggolongkan yang satu ini ke mana? Haruskah gue menyukainya atau
menghindarinya? Rio. Ini tentang Rio. Bocah ingusan yang menarik perhatian gue.
Cowok dengan tinggi 168cm dan berat 50kg dengan kulit seputih susu itu
mengingatkan gue akan cowok-cowok boyband
imut asal korea. Entah kenapa gue ngerasa ngelihat peri kalau ngelihat Rio.
Senyum anak ABG itu terlalu manis, lesung pipinya saat menarik bibirnya untuk
mengungkapkan kesenangannya benar-benar sudah mengetarkan hati gue. Gue nggak
pernah ngelihat senyum semenawan itu. Kalau Senyum Farid atau Dhanny bisa bikin
gue horny dalam lima detik, senyum
Rio bisa bikin gue melayang ke surga dalam sekejap. Dia itu seperti anak anjing
yang mengigil kedinginan. Rasanya gue pengen memeluk dan membelainya. Ingin
melindunginya. Ingin selalu berada di dekatnya untuk menyayanginya. What happen with me? This is not like what I
thinking? Gue harus menghilangkan perasaan ini. Gue udah ada Dhanny.
Gue nggak mungkin jatuh cinta.
Munculnya kata-kata itu di kepala gue sontak membuat keringat gue mengucur
deras. Telapak tangan gue basah. Fuck! Kok,
bisa? Gue harus bener-bener menghindari kontak jenis apapun dengan Rio. Setiap
kali gue berpas-pasan dengan Rio, anak itu selalu memamerkan senyumnya, dan
pada saat itu juga gue berhasrat untuk menariknya dalam pelukan gue. Rio yang
begitu polos dan bertingkah kekanak-kanakan, kenapa bisa memporakporandakan
pertahanan gay yang suka dengan cowok-cowok maskulin seperti gue ini? Apakah
gue bosan dengan tipe yang seperti itu? Apakah sekarang gue beralih menyukai
cowok-cowok imut?
Sore itu dengan seragam dinas yang
masih menempel, gue melangkahkan kaki melewati jalan setapak yang membelah
halaman belakang keluarga Budiman menuju rumah paviliun. Begitu sibuknya gue
melamunkan Rio, tiba-tiba sosok yang gue hindari untuk muncul di depan gue.
“Mas Hendra!” Bocah ABG itu nyengir
dan memamerkan wajah lucunya ke gue.
DEG! Jantung gue rasanya mau koleps.
“Haii...Ri...Rio...” Kok, gue jadi gagap.
“Baru pulang kerja, Mas?”
“Iya...” GOD! Kenapa mata gue nggak bisa berhenti memandangi bibir merah
bocah ABG itu. Well, bibir Rio
bener-bener bikin gue kehabisan napas meskipun dengan memandanginya saja.
Bibirnya tipis di kedua bagian dan sama-sama berwarna merah muda pucat.
“Polisi itu selalu bawa pistol ke
mana-mana, ya Mas? Mas Hendra punya pistol?”
“Punya.” Gue masih berdiri kayak
patung dan masih memandangi wajah Rio yang sekarang berdiri sejauh dua meter
dari gue hanya dengan mengenakan pakaian sehari-harinya yang berupa celana
kolor dan kuas distro yang populer di kalangan ABG.
“Boleh, lihat nggak?” Mata bulat
berbinar itu mengedip.
Perlu ya tanya-tanya begitu dengan
nada manja???? Agrhhhh! Gue frustasi bukan main. Pengen rasanya gue memeluk dan
mendekapnya.
Yang di sarung pistol atau di balik celana? Begitu tanya gue di dalam
hati, tapi yang terlontar dari gue cuman ini... “Boleh.” Seperti tersihir gue
mengeluarkan sepucuk senjata api dari sarung pistol yang selalu siap sedia di
pinggang gue.
“WAW!” Sekarang Rio memamerkan
ekspresi kegirangan. Napas gue terengah-engah.
Fokuskan hal lain Hendra! Fokus!
Fokus, sebelum lo gelap mata dan memerkosa bocah ingusan ini di halaman
sekarang juga. Gue mencoba mengembalikan kesadaran gue. Gue butuh kepala gue
jernih dari hal-hal yang tidak senonoh. Setiap jengkal dari tubuh Rio sangat
memanjakan mata gay gue. Ibaratnya gue seperti melihat ice cream yang meleleh
terbakar matahari, terlalu sayang kalau dibiarkan mencair, dan bukannya
berakhir sebagai pemanja lidah.
“Kok, pintu paviliunnya kebuka? Kan
tadi pagi, Mas kunci.” Thanks God! Akhirnya
ada hal lain yang menarik perhatian gue. Emang sekarang pintu rumah paviliun
itu sedang terbuka lebar dan Rio jelas-jelas baru keluar dari sana.
Belum sempat Rio menjawab, gue
melihat sosok Ibu Budiman, Nyokapnya Rio keluar dari dalam rumah paviliun. Gue
makin binggung, tapi gue suka, karena gue bisa mengalihkan sejenak pikiran gue
dari Rio yang manis ini.
“Hendra! Maaf, tante perlu ngomong
sama kamu.” Ibu Budiman berjalan mendekati kami berdua. Rio langsung berdiri di
samping Nyokapnya.
“Ada apa, tante?”
“Begini... tante mau minta izin ke
kamu untuk memakai satu kamar kosong di lantai dua untuk jadi kamar
sementaranya Rio. Bagaimana?”
DEG! “Maksudnya?”
“Kamar Rio lagi kebocoran. Pipa dari
kamar mandi atas yang pas di atasnya kamar Rio bocor...”
“Kamar Rio kayak laut, deh. Ayo, aku
tunjukin kalau Mas Hendra nggak percaya!” Rio memotong kalimat Nyokapnya itu
dengan penuh antusias.
Gue memutuskan langsung percaya
meskipun tidak memastikannya sendiri. “Kok, bisa?”
“Mungkin udah waktunya ganti pipa.
Emang keadaanya udah gawat setahun yang lalu, tapi masih nggak mengkhawatirkan,
eh sekarang malah bikin bencana kecil.” Ibu Budiman tertawa.
“Terus Rio mau pindah kamar
sementara, begitu maksudnya?”
Rio mengangguk semangat. Duh, berbuat
begitu saja udah bikin gue berdesir. Kok, bisa tingkah manja anak ABG
menggetarkan Polisi gagah kayak gue.
“Bagaimana Nak Hendra? Boleh?”
Gue melirik ke Rio. Bocah imut itu
bakal tinggal di sebelah kamar gue, dalam satu atap, dan dia jelas-jelas akan
menghabiskan waktunya di rumah paviliun yang gue tempatin. it’s a nightmare. YES IT IS. OBVIOUSLY! Gue menelan ludah.
Bagaimana gue bisa bertahan menghadapi serangan peri imut satu ini?
“Berapa lama tante?” Tanya Gue ingin
memastikan sebarapa lama gue harus tersiksa dari hasrat ingin menempelkan tubuh
telanjang gue ke tubuh sintal telanjang ABG imut di depan gue ini.
“Mungkin lima hari saja.”
“Boleh, ya Mas Hendra. Biar Mas
Hendra ada temannya? Nanti kita bisa main PS!”
Ahhh, susah menghiraukan permintaan
seseorang yang sudah memutar-balikkan kutub kehidupanmu. “Boleh.”
Rio langsung melompat kegirangan.
Terpaksa senyum ini tersungging untuk menambah kebahagiaan bocah ABG yang
sekarang masih gue nggak ketahui apa isi kepalanya. Kenapa dia sesemangat dan
sesenang itu tinggal bersama gue?
“Rio emang masih kayak anak kecil.
Aduh, tante jadi nggak enak ngerepotin kamu.” Ibu Budiman tiba-tiba nyeluk,
membuyarkan kesibukan gue memandangi Rio yang sedang kegirangan.
“Nggak apa-apa tente. Aku juga suka
ngerasa kesepian. Kalau ada Rio pasti kayak pasar malam.”
Tiba-tiba Rio langsung menyodorkan
tangannya dan langsung gue sambut dengan berhigh
five layaknya dua sahabat karib. Dalam sekejap Rio langsung meninggalkan
gue dan Ibu Budiman untuk mengambil barang-barang miliknya yang dia pengen
boyong pindah ke kamar baru.
“Katanya Rio mau jadi Polisi kayak
kamu, lho Nak Hendra...”
Gue tersenyum mendengar perkataan Ibu
Budiman.
“Rio itu dari dulu pengen punya kakak
cowok yang bisa diajak main. Untuk ada Nak Hendra di sini, apalagi Nak Hendra
ini Polisi, bisa jadi contoh yang baik buat Rio. Terima kasih lho Nak Hendra.
Saya permisi dulu...”
Gue menelan ludah. Contoh yang baik?
Kalau saja Ibu Budiman tahu gue ini sebenarnya siapa? Mana mau dia menjadikan
gue sebagai panutan putra bungsungnya. Ahhh, gue tiba-tiba merasa hina karena
nggak bisa menjadi contoh yang baik buat Rio.
“Oh, iya! Nak Hendra sudah makan
siang?” Pertanyaan Ibu Budiman membuyarkan lamunan gue. Gue spontan menggeleng.
“Kalau begitu makan gabung di dalam
yuk!”
Gue langsung mengangguk. Beban ini
nggak bisa gue simpen sendiri. Haruskah gue cerita ke Dhanny? Apa ke Farid
saja, ya? Ahhhh, itu anak sekarang udah sibuk bisnis cafenya juga, jadi udah
jarang telepon dan ketemu. Nggak enak kalau tiba-tiba pengin curhat ke dia
masalah begini. Masalah gay pula. Masalah normal saja bikin Farid kelimpungan,
apalagi sama masalah complicated yang
sama sekali nggak dia ngerti. Alamat bakal tersiksa gue sampai lima hari ke
depan.
Five days living in a hell. Should I jump in, or stay
on the edge?
Gue nggak nyangka kalau akan seakrab
ini gue dengan orang yang udah bikin hidup gue seperti di neraka. Rio sudah
dipastikan akan menghabiskan waktunya di rumah paviliun. Gue ngerasa jadi nggak
punya privasi, tapi gue ngerasa nggak keberatan, apalagi kalau udah ngelihat
muka bahagia Rio yang kelihatan menikmati waktunya yang jauh dari pengawasan
Nyokapnya yang sibuk riwa-riwi di rumah utama, dan hanya datang satu-dua kali
untuk mengingatkan soal sholat, belajar, mandi, dan makan.
Seperti hari ini, setelah usai makan
malam gue dan Rio berjalan beriringan menuju rumah paviliun. Biasanya setelah
makan malam gue sih santai-santai dulu sambil nonton teve, tapi berhubung ada
Rio kebiasaan gue jadi berubah. Gue sering nungguin dia belajar di ruang tamu,
meskipun itu agak menyiksa ya karena gue ketagihan memandangi wajahnya yang
bisa menunjukkan segala jenis ekspresi aneh di kala Rio mengerjakan PRnya.
Cuman dengan ber SMS Dan ber BBMan dengan Dhannylah, gue bisa mengalihkan
pikiran gue sejenak dari Rio.
“Mas Hendra udah sunat belum?”
Deg! Pertanyaan anak SMP ini menarik
perhatian gue. Spontan gue menoleh karena pertanyaan tersebut berhubungan
dengan kontol.
“Sudah, dong. Sunat kan wajib.” Gue
memandangi wajah Rio yang seketika itu berubah sayu. Lho, kok... “Kamu belum
sunat?”
Rio tampak terkejut. Ekspresinya yang
setengah terkejut dan setengah malu itu sudah cukup untuk menjadi jawaban
pertanyaan gue. Betul apa dugaan gue. Sekarang Rio mengangguk untuk membenarkan
dugaan gue.
“Takut?”
Rio mengangguk.
“Nggak sakit. Cuman pertamanya saja
kayak digigit nyamuk, setelah itu nggak terasa apa-apa.” Jelas gue seadaanya
sambil terus melangkahkan kaki menuju rumah paviliun.
“Ah, jawaban klise. Mama juga bilang
begitu. Tapi namanya takut ya takut. Lagian Rio udah seraching di internet, kalau nggak sunat pun Rio masih bisa bikin
cewek hamil.”
Ahhhh, jawaban sepolos itu mampu
bikin gue tersenyum dan mengeluarkan tawa renyah dan bersahabat dalam sekejap.
“Bukan masalah hamil-nggak bisa
hamil, tapi masalah kesehatan.”
“Buktinya bule-bule masih sehat
walafiat meskipun nggak di sunat.”
Ah, susah deh kalau mendebat jalan
pikiran bocah ingusan seperti ini. Cara cepat untuk mengakhiri depat seperti
ini adalah mengalah. “Iya, deh terserah kamu. Nggak di sunat juga nggak
apa-apa.” Kemudian hening sejenak sampai akhirnya kaki kami melangkah menaiki
serambi depan penuju pintu paviliun.
“Rio boleh lihat kontol Mas Hendra
yang di sunat nggak?”
“Hah?” Gue kaget bukan main. Gimana,
nih? “Hahhahaha! Nggak mau, ah! Mana ada cowok tunjukin kontolnya ke cowok
lain, yang ada tunjukin ke ceweknya. Hehhehe!”
“Tapi temen-temen Rio suka saling
pamer kontol waktu ganti baju pas olahrga.”
“Oh, jadi kamu juga ikut-ikutan kayak
mereka?”
Rio menggeleng. “Nggak, dong Mas!
Nanti Rio malah diketawain kalau mereka tahu aku belum di sunat.”
“Nah, kalau gitu nggak perlu minta
orang lain nunjukin kontolnya ke kamu, kalau kamu sendiri nggak mau.” Mendengar
teguran seperti itu wajah Rio langsung berubah murung. Wah, kayaknya gue salah
ngomong, tapi gue perlu berbuat ini karena ini penting untuk melatih jalan
pikirannya untuk menjadi cowok yang dewasa.
Sampai di dalam kami bedua memutuskan
untuk menonton televisi. Lagi-lagi Rio membuka pembicaraan. Kayaknya Rio emang
suka jadi pusat perhatian. Gue bisa ngelihat betul usaha dia supaya gue
tertarik dengan apa yang dia bicarakan. Ah, khas anak ABG, yang mau show off dan ingin menunjukkan siapa
dirinya ke semua orang.
“Mas Hendra udah punya pacar?”
Gue tersenyum tipis. “Udah.”
“Namanya siapa?”
Dhanny. “Dian...” Lha, kok malah nama
Dian Ayu Permata yang muncul di kepala gue? Juihhhh! Ogah. Untung Farid udah
putus sama nenek sihir itu.
“Berarti Mas Hendra udah pernah ML
dong?”
Deg! Wah, Rio sepertinya ingin
membahas hal-hal berbau dewasa bersama gue. Ya, gue tahu. Gue udah dewasa, jadi
gue mampu menilai situasi seperti ini. Menurut gue, Rio ini masih muda, labil,
dan masih penasaran dengan banyak hal yang belum dia ketahui, termasuk masalah
seks. Jelas dia suka membicarakan ini dengan teman-teman cowoknya. Nggak
mungkin dia membicarakan ini sama Papa-Mamanya, tapi bersama gue, orang yang
Rio anggap sebagai kakaknya, sosok yang jauh lebih dewasa, berharap gue bisa
menjadi sumber pengetahuannya.
“Rahasia! Kamu sendiri masih kecil
udah tanya begituan? Keseringan nonton Bokep kamu, ya?”
Rio langsung nyengir sambil
garuk-garuk rambut. “Aku nyimpen video di hape, ada juga VCD, lho, Mas. Aku
beli dari temen.”
Khas ABG cowok. Wajar, lah. Gue nggak
seharusnya menghakiminya karena gue dulu juga begitu, cuman dulu gue koleksinya
udah VCD bokep gay.
“Tapi kamu awas jangan coba-coba ML,
ya? Nanti kalau pasangan kamu hamil masa depanmu bisa hancur. Kamu harus
menikah lho sebagai bentuk pertanggung jawabannya. Bayangin, deh kalau kamu
masih sekolah dan hidup masih dibiayai orang tua kamu, mana bisa kamu
menghidupi istri dan bayi kamu. Mau kerja? Mana ada tempat yang mau
memperkerjakan anak SMP. Coba diresapi omongan Mas ini...” Ahhhh, gue ngerasa
hina banget jadi panutan dan edikator begini.
“Iya, Mas... Rio paham kok! Rio nggak
berani.”
“Bagus. Janji, ya sama Mas Hendra!”
Malam hari ke
esokan harinya...
Hari ini gue emang sengaja pulang
terlambat. Gue sengaja mampir main footsall
bareng temen-temen, ceritanya anak Sabara Versus Lantas. Beruntung kemenangan
ada di tim gue, tim Sabara. Kenapa gue sengaja nggak pulang ke kostan sore
tadi, karena gue tahu kalau rumah lagi sepi. Keluarga Budiman pergi ke rumah
sanak saudara mereka pagi tadi dan sempat pamit ke gue sebelum berangkat kerja.
Yang jadi alasan gue ogah pulang karena Rio nggak ikut rombongan keluarganya
pergi ke luar kota.
Bisa bayangkan kan kalau gue dan Rio
ada di dalam satu atap tanpa ada siapa-sapa di sekitar kita? Well, mungkin bakal akan ada yang
terjadi. Sesuatu yang buruk, yang mungkin akan membawa kesenangan dalam sesaat,
tapi bisa saja berubah menjadi mala petaka pada akhirnya. Well, gue bakal merasa hina banget kalau sampai menjerumuskan
seorang ABG polos ke dunia hitam ini. Ehhhh, Rio is a straight, terbukti beberapa kali dia pamerin majalah
dewasa yang terkenal di Indonesia ke gue, dan tentu saja foto gebetannya.
Gebetannya lho, ya... bukan pacarnya. Rio ceritanya lagi bertepuk sebelah
tangan karena cewek yang ditaksirnya malah naksir teman sekelasnya yang lain.
Ngelihat tanda-tandanya saja dan
bagaimana kondisi emosi Rio, jelas dia mudah sekali untuk dipengaruhi dan
diputar balikkan ke arah lain oleh gay seperti gue. Stright to gay porject gue masih berjalan, dan gue berusaha
menjauhkan Rio dari sasaran target misil gue. Ini nggak boleh terjadi.
Waktu menunjukkan pukul tujuh malam.
Sebaiknya gue pulang dan langsung mengunci diri ke kamar. Inget, kamar harus di
kunci karena Rio punya kebiasaan suka nyelonong masuk ke kamar. Pernah lho gue
hampir kepergok lagi berfrench kiss sama
Dhanny cuman gara-gara pintu kamar nggak gue kunci dan Rio masuk begitu saja.
Untung waktu itu gue dan Dhanny lagi dalam proses menarik napas dan nggak
sedang berpagutan bibir dan lidah.
Tepat setengah jam kemudian gue
sampai di rumah. Dari halaman depan gue langsung melewati akses jalan menuju
halaman belakang lewat lorong di samping rumah, dari sana langsung tembus ke
jalan setapak menuju rumah paviliun. Dengan langkah berat karena kaki pegal
karena seharian ini dia latihan baris berbaris dan bermain footsall, gue membuka pintu depan rumah paviliun yang semenjak Rio
tinggal di sini bareng gue dari kemarin, nggak pernah gue kunci lagi.
Beruntung Rio nggak berada di ruang
tamu untuk nonton televisi, itu tandanya gue disarankan untuk langsung menuju
ke kamar dan mengunci pintu. Pelan-pelan gue menaiki anak tangga menuju lantai
dua dan masih tidak ada tanda-tanda ada keberadaan Rio di rumah paviliun ini.
Mungkin saja dia ada di rumah utama. Mendesah lega gue melangkahkan kaki menuju
kamar. Sesampainya di dalam gue menutup pintu dan mengunci kamar. Gue langsung
mengganti seragam gue dengan pakaian santai. Sambil rebahan gue berusaha
memejamkan mata. Nggak ada yang bisa gue lakukan di dalam kamar ini. Berhubung
gue capek berat, tidur adalah solusi ampuh untuk mengalihkan pikiran dari
mendaratkan ujung lidah gue di kulit putih susu Rio.
Lima menit gue masih belum tidur,
tapi mata gue masih terpejam. Tiba-tiba saja... Kruuuuyuuuuuk! SIALAN! Perut
gue portes pengen di isi. Gimana, nih? Gue bangkit dari tempat tidur dan
terduduk diam sambil bersila. Gue pertajam pendengaran gue. Rumah paviliun ini
emang sepi, kayaknya cuman ada gue. Akhirnya gue memutuskan untuk turun ke
dapur dan memasak mie instan.
Selagi menunggu mie matang, perhatian
gue teralih pada pintu rumah paviliun yang terbuka. Sosok yang gue takuti
muncul di depan pintu. Rio tersenyum ke arah gue. Gue lihat dia sedang
menenteng bungkusan plastik berlogo minimarket.
“Dari minimarket?” Tanya gue yang
beruntung bisa bersikap wajar.
Rio mengangguk. Gue melirik bungkusan
plastik itu lagi. Hanya ada satu benda di dalam plastik itu. Botol plastik
ukuran 100ml yang gue kenal betul bentuknya.
“Handbody!”
Celetuk Rio kemudian memberikan jawaban atas pertanyaan yang hanya melintas di
kepala gue saja.
“Cieeee, cowok pakai handbody!”
“Biarin!” Rio menujurkan lidahnya.
Sontak gue tersentak karena pertama kali yang terlintas di kepala gue adalah
lidah merah muda itu membasahi ujung kepala kontol gue. SIALAN! “Aku naik dulu,
ya Mas! Selamat masak!”
Gue cuman nyengir saja sambil menatap
tajam bokong penuh Rio yang terbungkus celana pendek andalannya. Gimana rasanya
kontol gue menghujam lubang anusnya? Rasanya pengen banget kedua tangan ini
meremas-remas kedua bokong itu dan meninggalkan jejak cap tangan merah di sana.
SIALAN! Gue bener-bener hina, masih saja pikiran kotor itu melintas di kepala
gue.
Gue selalu menjadi gay bottom. Dengan Dhanny yang udah jadi
partner rutin seks gue pun juga begitu. Tapi entah kenapa kali ini, di kala gue
melihat Rio seperti singa kelaparan yang melihat bayi rusa yang terpisah dari
kelompoknya, gue ingin menjadi gay top.
GOD DAMN IT! STOP THINKING DIRTY!
Mie instan gue udah siap. Pas suapan
pertama gue tiba-tiba saja tercenung. Kok, bisa sih gue makan sendirian. Gue
tiba-tiba beranjak dari meja makan dan naik ke lantai atas menuju kamar Rio.
Gue ketuk pintu kamarnya beberapa kali, tapi nggak ada sahutan dari dalam. Gue
ketuk lagi, tapi tetap saja nihil.
“Yo! Rio!” Gue memanggil namanya,
tapi nggak ada jawaban. Mata gue tertumbuk pada gagang pintu kamar Rio. Apa gue
masuk saja langsung, ya? Kok, gue jadi ngerasa deg-degan gini, sih? Toh, Rio
sendiri asal nyelonong masuk saja kalau ke kamar gue. Kok, gue malah jadi sopan
dan terlalu manner gini, sih? Gue
bener-bener udah berada di ambang batas nggak normal.
Klek! Gue membuka pintu kamar Rio.
Nggak terlalu lebar, cuman sejengkal kaki doang, dan gue bisa melihat semuanya,
dan gue tercekat. Tenggorokan gue langsung kering. Saat itu gue melihat Rio
tengah berlutut di lantai dalam kondisi telanjang bulat dengan menghadap ke
tempat tidurnya, laptop menyala yang sedang menayangkan video porno unisex orgy (Seks campuran laki-laki vs
perempuna, laki-laki vs laki-laki, perempuan vs perempuan), headseat yang tersambung ke laptop yang
menjadi jawaban kenapa Rio nggak mendengar panggilannya, dan juga yang
terakhir, tangan kanannya yang berlumuran handbody,
yang tengah sibuk mengocok kontolnya.
Gue menelan ludah. SHIT! Kenapa gue melihat kejadian yang
seperti ini lagi? Kayaknya ini udah jadi awal dari tanda-tandanya gue bakal having seks sama Rio. Dulu sebelum ML
sama Farid gue mergokin dia onani di kamar kakaknya, terus ada Bokap gue yang
onani di kamar mandi, terus Dhanny yang onani di kamar mandi asrama, sekarang
Rio. Dan setelah gue menyaksikan dia onani, pasti selanjutnya adalah...
GOD!
“Ahhhh...Ahhhh...Ahhhh!” Rio
mendesah-desah, tak menyadari kalau pintu kamarnya terbuka dan gue sedang
berdiri di sana memandanginya dengan tatapan kosong karena gue masih kadang
suka disolve ke alam lain, alam
imajinasi, dan balik lagi ke alam nyata.
Pinggul Rio ikut menari, mendorong
kontolnya yang sepanjang 17cm itu untuk tergosok-gosok oleh tangannya yang
bertengger diam di depan selangkangannya.
“Ahhhh, Ahhhhh!” Bahkan Rio mendesah
saat layar laptopnya sedang menayangkan adegan seorang cowok bule menghujamkan
kontol big sizenya itu ke anus
seorang cowok bule lain. Sepanjang lima menit adegan gay berlangsung di depan
mata Rio, tapi tak ada tanda-tanda jengah dari Rio. Rio malah menikmati setiap
adegannya, malah sempat Rio menyamakan ritme kocokan kontolnya dengan ritme
kocokan tangan seorang cowok bule yang sedang mengonanikan kontol seorang cowok
bule yang lain.
“Hohhh, Hohhhh, yeah... ahhhhh!”
Gue menelan ludah. Gue tahu kalau Rio
sebentar lagi akan menjadi klimaksnya. Di tempat gue berdiri sekarang gue nggak
bisa mengalihkan perhatian gue dari kontol Rio yang bengkok ke atas itu. Kontol
yang tampak putih, basah karena keringat plus
percum itu, benar-benar mampu membangkitkan kontol gue di balik celana.
Kontol gue berkedut-kedut makin hebat sewaktu Rio mendesah dan mendongahkan
kepalanya ke atas saat dia menikmati ambang orgasmenya yang nanti akan
membimbingnya menuju klimaks sesaat yang rasanya tiada tara itu.
Kontol Rio yang nggak di sunat itu
emang kelihatan berbeda. Sewaktu mengocoknya Rio nggak sengaja menarik kulit
pelirnya ke bawah sehingga kepala kontolnya terbuka, tapi Rio tetap membiarkan
kepala kontolnya tertutup, dan hanya menyisahkan bagian ujung lubang kencingnya
yang baru saja mengeluarkan percum.
“Heeeem, heeeemm, Ahhhhh, Ahhhhhh!”
Gerakan tangan Rio semakin cepat saat mengocok kontolnya, dan dalam sekejap
gerakan itu dirubah menjadi gerakan mengokang senjata shotgun yang diiringi dengan erangan Rio yang tertahan.
“Eeehhhhhhhh...” Rio melengkungkan
punggungnya ke depan, dan gue melihat kontolnya mengeluarkan sperma. Spermanya
tidak sampai muncrat tapi hanya mengalir keluar dan mengalir menuruin batang
kontolnya dan menetes jatuh ke lantai.
Sekarang gue bisa melihat dengan
jelas kalau Rio belum ditumbuhi jembut. Gue nggak melihat bekas cukuran juga,
jadi Rio bener-bener masih belum puber. Mungkin pertumbuhan hormonnya agak
lambat. Sperma yang dikeluarkan juga nggak banyak.
Hanya ada dua hal yang bisa gue
lakukaan saat ini. Diam di tempat dan menunggu Rio memergoki gue atau segera
menutup pintu kamarnya dan pergi menjauh. Keduanya adalah langkah besar. Kalau
gue memilih diam gue tahu betul apa yang terjadi selanjutnya, dan tentunya
nggak ada ada bedanya dari kejadian-kejadian yang sebelumnya gue pernah alami.
Tapi kalau gue memilih pergi, gue bakal merasa lega sekaligus kecewa. Lega
karena berhasil berpikir jernih, dan kecewa karena membiarkan diri gue berpikir
jernih. SIALAN! Serumit inikah kehidupan gue sebagai gay.
Klek! Gue kembali menutup pintu kamar
gue dan turun ke bawah. Lebih baik gue selesaikan makan gue dan gue segera
pergi dari rumah ini. Malam ini sebaiknya gue nggak perlu ada di rumah. Gue ke
Polsek saja, meskipun bukan tugas gue untuk piket malam. Sepuluh menit kemudian
gue mengambil jaket dan pergi dengan motor gue.
Ke esokan harinya di ruang tamu...
“Papa-Mama, sama Kakak kamu pulang
malam ini, ya Yo?”
Rio yang sedang menemani gue menonton
televisi mengangguk, sambil tangannya terus sibuk menganti saluran televisi
lewat remote control di tangannya. Andai saja remote control itu kontol gue.
Pengen deh rasanya tangan Rio yang masih mulus itu mengenggam kontol gue dengan
mantap. Anak ABG seperti Rio emang doyan onani, dan kocokan mereka biasanya
lebih hebat dan lebih bersemangat. Agrhhhh, mupeng berat pengen dionaniin Rio. Kali
ini gue membiarkan pikiran kontor gue bekerja aktif.
Gue pikir menahan hasrat dan gairah
gue adalah perbuatan yang tidak menyehatkan. Gue selalu jujur terhadap diri gue
sendiri, dan gue berani jujur bahwa sekarang gue tertarik sama Rio. Bukan
seperti kertarikan gue kepada seorang straight
seperti biasanya, tapi kali ini gue baru merasakan apa yang Dhanny rasakan
ke gue. Gue jatuh cinta. Panah cupid sudah menembus jantung gue dan menyebarkan
racun cinta di dalamnya. Gue nggak pernah bisa berhenti memikirkan Rio.
Sosoknya terus terbayang-bayang di kepala gue. Kilasan ingatan akan pemandangan
yang gue temukan kemarin malam mengiringi permainan imajinasi gue sewaktu onani
di pagi hari tadi. Yup, gue nggak tahan
pengen melampiaskan segala bentuk perasaan gue ke Rio.
Dan jangan pernah coba-coba melawan
atau menolak perasaan cinta. Jangan coba-coba untuk menarik keluar panah cupid
dari dadamu karena itu akan sangat menyakitkan. Darah penyasalanmu akan tumpah
keluar lewat lubang yang telah kamu buat sendiri. Kata-kata bijak yang entah
berasal dari mana itu terucap berulang kali di dalam kepala gue. Secara spontan
tangan gue menyentuh bagian dada, tepat di atas jantung gue yang sekarang
berdegup normal. Di sinilah panah cupid itu mendarat, menembus melewati kulit, otot,
daging, dan tulang, hingga akhirnya sampai ke jantung gue, melubanginya dan
merusaknya dengan racun cinta yang
melapisi permukaan anak panahnya.
Gue menoleh ke arah Rio yang duduk di
sebelah gue. Pandangannya terfokus ke acara televisi yang sedang berlangsung.
Sudut mata gue menangkap posisi tangan gue yang merentang di atas sandaran
sofa, tepat di atas bahu Rio. Sekilas gue menyunggingkan senyum dan gue
menjatuhkan lengan kokoh gue ke atas bahu yang tak begitu lebar itu. Sekarang
lengan gue tengah merengkuh bahu Rio dan mendekapnya hangat, nyaman, dan
melindungi. Gue menunggu reaksi yang diberikan Rio. Rio masih terfokus ke layar
televisi, dan entah kenapa gue merasa kecewa. Dekapan gue nggak berarti apa-apa
bagi Rio. Segera gue tarik lengan ini pergi menjauh dari bahu yang tak lebar
itu, tapi tiba-tiba saja kepala Rio berasandar di sana, di atas bahu gue.
Gue membeku, gue bertahan, dan
kembali mendaratkan pelukan di atas bahunya. Gue rengkuh semakin kuat dan Rio
menerimanya dengan meringsek semakin menempel ke tubuh gue. God! Jantung gue berdetak tak beraturan.
Apakah Rio bisa mendengar detak jantung gue yang bertalu-talu seperti genderang
perang ini? Rio kemudian melingkarkan tangannya ke perut gue, diikuti kakinya
yang mengait ke atas pangkuan gue. What
the???? Gue nggak berpikir sejauh ini Rio akan menanggapi rengkuhan lengan
gue. Tak tahan akhirnya tawa renyah gue terlontar, dan menarik perhatian bocah
yang sekarang mendekap gue manja itu.
“Kenapa, Mas?”
“Kamu ini manja kayak anak kucing.”
“Meoong...”
Jich! Gue malah ketawa menanggapinya. Sesuatu yang absurd menurut gue tak lagi berlaku saat
gue bersama Rio. Hal-hal kekanakan dan konyol begitu rasanya sah-sah saja.
“Yo... Mas Hendra mau jujur sama
kamu...” Bibir ini seolah bergerak sendiri. Suara gue bergetar. Ini adalah
sebuah ekspresi yang tak bisa lagi dibendung.
“Iya, Mas? Kok hawanya berubah
begini, ya?”
Awkaward moment, Rio merasakannya dengan menarik tubuhnya menjauh.
Ditinggalkan seperti itu spontan reaksi gue terpicu dan tubuh kurus Rio tak kuasa
melawan tangan gue yang menahan posisinya di sana. Rio kembali menjatuhkan
kepalanya di bahu gue, tapi tangan itu tak lagi merengkuh tubuh gue. SIALAN!
“Mas Hendra sayang sama kamu...”
Beat. Freezing moment.
“Rio juga sayang sama Mas Hendra...”
“Lega mendegarnya. Tapi, kamu tahu
nggak sayangnya yang bagaimana?”
Freezing moment again. Kali ini lebih lama. Rio kemudian
bangkit dari posisi rebahannya. Dia bersimpuh di samping gue, memandang muka
gue langsung, seluruh tubuhnya sekarang telah naik ke atas sofa. Mata bertemu
dengan mata, kedua napas saling menderu berat, dan kedua ujung bibir kami
saling berkedut. Apakah ini pertanda kalau...
Do it now, or killing your self after this! Gue menangkup wajah Rio dan
mencium bibirnya. Bibirnya begitu lembut seperti permen kapas. Mata gue
terpejam menikmatinya dan tak lama kemudian gue melepas ciuman itu, dengan
kedua tangan masih menangkup kedua pipi Rio. Sumpah gue melihat pipi cowok ABG
itu memerah.
“Mas sayang sama kamu dengan cara
seperti barusan.”
Mata Rio berkedip-kedip seolah
mencerna situasi yang sedang terjadi. Tapi kemudian sebuah kalimat terlontar
dari bibir Rio yang bergetar. “Mas Hendra gay?”
“Shuuuuuut, kamu nggak perlu bertanya
kalau kamu sudah tahu jawabannya...”
Rio membenarkan posisi tubuhnya, sekarang
dia terduduk tegak di atas sofa, dan gue juga melakukan hal yang sama. Kami
berdua sama-sama tegang dan nggak tahu harus bebuat bagaimana dan harus
mengatakan apa. Gue yang memulai ini dan gue harus menyelesaikannya.
“Mas Rio cuman berusaha jujur sama
diri sendiri. Mas Rio tertarik sama kamu...”
“Jatuh cinta gitu maksudnya?” Tanya
Rio polos. Dia sama sekali kelihatan nggak tersinggung.
Gue mengangguk. “Sikap kamu yang
manja, kekanakan, dan masih imut, membuat Mas Hendra ingin menyayangi kamu dan
melindungi kamu.”
Rio diam saja.
“Maafin Mas Hendra ya Rio. Mas Hendra
hanya mau jujur saja. Nggak sehat kalau Mas Hendra melawan perasaan ini. Mas
Hendra sudah punya pacar, cowok juga, tapi entah kenapa rasa sayang Mas Hendra
ke kamu ini, berbeda dengan yang Mas rasakan ke Dhanny, pacar, Mas...”
“Maksudnya?”
Gue mikir sejenak. Gimana caranya
menyampaikan ini kepada seorang anak ABG supaya bisa dicerna dan diterima degan
mudah. “Perasaan Mas Hendra ke Dhanny adalah perasaan cinta dan sayang kepada
orang yang lebih dulu mencintai dan menyayangi kita. Ibaratnya sebagai balasan.
Kalau kita dicintai, kita harus balik mencintai. Tapi, apa yang Mas Hendra
rasakan ke kamu, itu pure, murni,
rasa sayang, yang datangnya langsung dari hati.”
Rio tersenyum.
“Mas tahu kalau keadaan akan berubah
di antara kita mulai dari sekarang. Dan kalau kamu keberatan dengan keberadaan
Mas Hendra, Mas akan...”
“Nggak, kok! Jangan coba-coba
pergi...”
Deg! Kok? “Maksud kamu?”
“Kalau Mas mau jawabannya, Mas mau
cium aku sekali lagi?”
Deg! Deg! Deg! Gue kok malah terdiam.
Bengong karena kenyataanya nggak sesuai dengan prediksi. Rio langsung cemberut
begitu perkataanya disambut datar oleh gue. Dua jari panjangnya mencubit perut
gue dengan manja. Sontak gue mengaduh, tapi itu hanya meninggalkan rasa sakit
sementara, karena berikutnya gue tahu ekspresi wajah seperti itu umumnya
diekspresikan oleh seorang yang cewek yang ngambek sama cowoknya. Jadi...
Cup! Bibir ini mendarat sekali di
atas bibir merah muda itu. Kami membuka mata bersamaan saat bibir kami berhenti
memagut. Kami saling memandang. Semua terjelaskan hanya lewat pandangan mata.
Gue menginginkan Rio, dan Rio menginginkan yang sama. Bibir ini tersenyum, tak
cukup lebar karena dalam proses ke sana bibir ini sudah terkunci karena Rio
yang mendaratkan kecupan. Bibir kami saling beradu dan memagut, lidah mulai
ikut bermain, dan suhu tubuh kami meningkat drastis.
Rio naik ke atas tubuh gue dan gue
menerimanya dengan senang hati. Untuk pemula, Rio gue akuin cukup terampil. Dia
tahu bagaimana caranya untuk mengendalikan napas, tahu bagaimana menjaga gigi
kami agar tak saling beradu.
“Ini masih membingungkan buat Mas
Hendra, Yo!” Gue melepaskan ciuman dan bersandar di sandaran sofa. Rio masih
berada di atas tubuh gue. Sesuatu di balik celana gue sudah terbangun, begitu
juga dengan milik Rio yang sekarang menempel pasrah di atas perut gue.
“Hal yang sama juga Rio rasakan...
tapi boys just wanna have fun, right?”
“Bukan seperti itu, Rio. Ini nggak
main-main buat Mas Hendra. Mas serius menaruh rasa ke kamu...”
“Terus ceritanya mau mendua, ya?”
Deg! Kalimat itu seperti silet yang
mengiris kulit. “Mas bakal memperbaiki ini...”
“Oke... tapi bisa nggak kita
lanjutkan yang satu ini sebelum mereka pulang?”
Gue berpikir sejenak. Kesadaran masih
berserang di dalam diri gue meskipun sebagian lainnya sudah disingkirkan oleh
napsu secara paksa. Gue mencintai Rio, tapi di sini lain ada Dhanny yang
mencintai gue. Well, apa gue cinta
sama Dhanny? Ehhhh... karena Dhanny mencintai gue, gue wajib balik mencintai
dia. Bukan kah begitu seharusnya?
Cup! Rio mendaratkan ciuman di bibir.
“Kok, malah ngelamun?”
“Are
sure you wanna do this?”
Rio memutar bola matanya. “To late to answere that question. Shut up,
and teach me how to kiss...” Bibir merah muda itu membungkam bibir gue.
Lembut terasa seperti permen kapas
dan berlahan sekali bibir ini menikmati setiap kelembutan yang manis itu. Bibir
kami saling memagut, bermain lidah, dengan diiringi orkestra napas berat,
desahan, lenguhan, dan tawa canda yang meramaikan suasana. Sekarang gue beralih
menciumi leher Rio. Bocah ABG itu mendesah-desah keenakan. Hal yang serupa juga
dilakukannya ke gue. Bibir tipis itu lincah memainkan kulit di sekujur leher
gue sementara jari-jari panjangnya masuk menyusup melewati bagian atas celana
gue.
“Do
it as just as like the blue movie you watch last night!”
“Mas Hendra ngintipin aku lagi
onani?!”
“Ups..” Cuman itu yang terlontar dari
bibir gue yang udah bengkak karena permainan panas bibir kami.
“Just
like the movie, hah?”
“Just
like the movie...”
Rio sekarang berlutut di depan
selangkangan gue. Gue bersiap diri sambil menyandarkan tubuh gue semakin dalam
ke sandaran sofa. Rio membuka kancing celana gue, menurunkan reslitingnya, dan
dalam sekejap mengeluarkan kontol gue dari balik celana dalam. Sambil menahan
kontol gue agar tetap tegak ke atas, bibir merah muda itu langsung menghujamkan
belasan kecupan di sekujur batang dan kepala kontol gue.
“Ahhhhh...” Gue mendesah tertahan.
Rio tampak ragu ingin memasukkan
kontol gue ke dalam mulutnya, tapi setelah kontol gue itu dipandanginya
lama-lama, akhirnya bibir itu terbuka dan kepala kontol gue masuk ke dalam
mulutnya. Dingin, bercampur hangat, air liur Rio membasahi kulit kepala kontol
gue yang kemerahan, memicu segala saraf yang tinggal di sana untuk bekerja.
“Ahhhh...”
Clop..clop... Rio menghisap kepala
kontol gue. Terus bertahan di sana, dia nggak ingin memasukkan kontolnya lebih
dalam lagi.
“Kocok, Rio... jangan cuman diemut
saja. Sambil di kocok.”
Rio menuruti keinginan gue. Tangan
itu begitu teramping mengurut-urut batang kontol gue, tanpa pelicin dan sedikit
perih saat telapak tangannya menggesek kontol gue.
“Ahhh Rio... basahi tanganmu dulu
biar nggak lecet punya Pas Hendra...”
Rio meludahi tangannya dan
mengusap-usapkan tangannya yang penuh air liur itu ke batang kontol gue.
Sekarang tangan Rio meluncur dengan mudah saat mengocok batang kontol gue.
“Ahhh, Yeeeaahhh, Ohhhh...”
Rio menjilat-jilat kepala kontol gue
seperti ice cream, sementara gue berusaha memiliah-milah kenikmatan dan
kesadaraan, sebagai sumber kendali agar tidak cepat keluar. Well, Rio belum terampil dalam melakukan
oral, itu wajar. Berbeda dengan Dhanny yang saat itu begitu mengejutkannya
membalas setiap apa yang gue berikan ke dia. Rio lebih halus, lebih
berhati-hati, dan gue sangat menghargai itu.
Tangan gue menahan kepala Rio dan
menjauhkan mulutnya dari kontol gue. “Sekarang giliran kamu.”
Rio mengangguk. Gue memintanya untuk
bangkit berdiri. Sekarang wajah gue tepat berada di depan selangkanganya.
Dengan cepat gue memlorotkan celana kolor dan celana dalamnya. Kontol Rio yang
belum di sunat nyembul di depan wajah gue. Benar ternyata. Area pribadinya
belum ditumbuhi rambut. Gue menggengam batang kontolnya yang seukuran punyaku,
tapi membengkok ke atas itu. Berlahan gue tarik kulit pelirnya untuk melihat
sebera besar kepala kontolnya.
Kepala kontol Rio memerah dan tampak
menggoda untuk segera dinikmati dengan ujung lidah. Bibir gue mengecup tepat di
permukaan depan kepala kontolnya dan Rio bergetar hebat.
“Aww, geli!”
Gue berhenti sejenak. Gue menyentuh
kulit kepala kontolya dengan jari, dan Rio menggelinjang lagi. Ternyata
kulitnya masih belum bisa menerima sentuhan, dan masih terlalu sensitif. Gue
tutup kembali bagian itu dengan kulit pelirnya. Kini hanya ujung lubang
kencingnya saja yang terlihat.
“Kamu nikmatin saja. Begini cara yang
benar...” Dan gue langsung memasukkan kontol Rio ke mulut gue. Gue menghisapnya
sampai pangkal dan membenamkan kontol bocah ABG itu di dalam mulut gue sambil
terus lidah ini bermain memanjakan Rio.
“Ahhh, Ahhhh, Ahhhh...”
Berlahan gue tarik kulit pelirnya
lagi dan pelan-pelan gue hisap kepala kontol Rio. Rio menggelinjang, pinggulnya
bergetar, dan tangannya mencengkram kepala gue.
“Geli, Mas... geli.. tapi Rio
suka...”
Itu artinya pertanda gue untuk
melanjutkan. Setelah saraf-saraf di sana mulai terbiasa mendapatkan sentuhan
dan Rio mulai terlihat nyaman tanpa harus meringis karena geli, akhirnya gue
minta dia untuk melakukan posisi 69. Kami berdua sama-sama mengoral. Kali ini
Rio berani memasukkan kontol gue seluruhnya ke dalam mulutnya. Kini dia mulai
terampil dalam melakukannya.
Saat kami berdua hampir berada di
puncak, gue merubah posisi. Rio berbaring di sofa, dan gue menindihi tubuhnya.
Kami berciuman dan memainkan lidah kami bagai dua ujung pedang kesatria yang
beradu untuk beberapa saat. Bengkak kedua bibir kami, tapi kami terus
melanjutkan.
“Kalau di film sebentar lagi Mas
Hendra mau menyodomi aku?”
“Nggak. Mas Hendra belum mau sampai
ke situ. Mas, kasihan sama kamu.”
“Kenapa?”
“Rasanya sakit buat kamu Rio. Mas
Hendra nggak tega.” Gue mencium bibir merah muda itu sekali lagi untuk
meredakan napasnya yang memburu lebih cepat dari napas gue. “Tapi kamu bisa
masukin kontol kamu ke anus, Mas. Mas Hendra udah biasa dimasukin...”
“Ohhhhh... rasanya sakit?”
“Sakit, tapi nggak sesakit waktu
pertama kali.”
Sambil mengadu bibir kami, gue
langsung merubah posisi. Sekarang gue yang ada di bawah dan Rio yang ada di
atas. Gue memposisikan anus gue sedikit ke atas supaya kontol Rio bisa dengan
mudah masuk. Tanpa dikomando Rio mendorong kontolnya masuk ke dalam anus gue.
“Ehhhhh...” Gue mengeluh begitu
kontol itu masuk seluruhnya ke dalam anus gue.
“Sempit sekali Mas.”
“Genjot Rio. Genjot kontol kamu di
dalam anus, Mas!”
Rio melakukan gerakan maju-mundur
menghujam anus gue. Gue mendesah-desah, dan gue menarik Rio mendekat untuk
membungkam mulut gue yang nggak bisa diam ini dengan ciumannya. Gue ketagihan
merasakan lembut bibirnya yang sehalus permen kapas. Plop! Plop! Plop! Plop!
Begitulah suara yang dihasilkan kontol Rio yang menghunus anus gue, sementara
gue merasakan nikmat tak tertahankan saat perut datar Rio menggesek-gesek
kontol gue.
“Ahh, ahhh, ahhh, enak sekali rasanya
Mas!” Begitulah racau Rio setelah lewat tiga menit melakukan anal seks ke gue.
“Kamu mau keluar Rio?”
Rio mengangguk sambil terus bergerak.
Gue menarik pinggul Rio ke atas dan sekali tarik pula kontol Rio terlepas dari
lubang anus gue yang meninggalkan jejak warm
hole seukuran batang kontol Rio. Dengan cepat gue merubah posisi dengan Rio
kembali berada di bawah dan gue langsung menindihi tubuhnya. Kontol kami saling
beradu dan gue menggosok-ngosokkan kontol kami untuk memompa gairah menuju
gairah.
Sementara dua kontol sedang beradu
jotos kami berdua berciuman kembali. Bibir kami beradu, lidah, dan kedua
pinggul saling bergerak aktif untuk merangsang satu sama lain.
“Ahhhhhh!”
“Ahhhhhh!”
Gue merasakan sesuatu yang lengket,
basah, dan hangat di perut gue. Kontol Rio tengah berkedut-kedut dan
mengeluarkan sperma. Rio sudah mencapai klimaks. Bibirnya mengunci bibir gue
begitu erat saat Rio mencapai puncak kenikmatan. Clepok! Bibir kami terlepas
dan terasa sangat bengkak sekali karena Rio menghisap bibir gue terlalu kuat.
“Agrhrhhhhh, Mas Hendra juga mau
keluar...”
Rio mendorong bokong gue turun supaya
kontol gue semakin menempel erat di kontolnya. Rasa hangat dan ketat itu
menggelitik sekujur tubuh gue dan mengirimkan gue ke langit ke tujuh. Begitu
nikmat dan gue langsung menggerang berat saat sperma gue muncrat.
“AHHHHHHHHHHHHHH!” Gue merebahkan
diri di atas tubuh Rio.
Kami bertahan cukup lama dalam posisi
ini, cuman untuk kali ini gue yang ada di bawah karena kasihan juga kalau tubuh
kurus Rio sampai harus menahan tubuh berotot gue di atas tubuhnya. Tubuh mungil
itu mendekap tubuh gue di atas sofa. Kaki kami saling menjalin dan Rio
merebahkan kepalanya di dada gue, menikmati tarikan napas gue sebagai
penghipnotis ketenangan.
“Rio sayang sama Mas Hendra. Mas
Hendra pacar Rio...”
Begetar hati ini dikala suara lembut
itu menyebut nama gue. Gue merengkuh bahunya, mengusap-usap rambutnya, dan
mengatakan.
“Mas Hendra juga sayang sama Rio.
Iya, Mas Hendra sekarang pacarnya Rio...”
Jadi bagaimana dengan Dhanny? Untuk
sekarang gue nggak mau memikirkan cowok itu. Gue sedang ingin mencintai dan
bukannya dicintai.
:The end:
Dree
lanjutannya yg rio disodomi ada ga nih?
BalasHapusKasihan danny ....
BalasHapusGw Chinese chubby Jakbar Grogol cr TTM yang kost or ada tempat khusus pure top or bisex wa 0811-915-6886
BalasHapus