Pelangi di barat
pagi ini memberikan kesan tenang bagiku. Disini, didepan jendela yang masih
basah akibat tetesan hujan gerimis beberapa saat lalu, kini sudah mulai
mengering. Ku dengar kicauan burung mengiringi senyuman indah sang mentari yang
baru muncul dari balik awan disisi timur sana.
Cukup lama aku
terdiam disela tatapan kosongku dan seolah-olah tidak sadar bahwa hari ini
dimulai dengan tanggal berwarna merah pertanda hari libur. Penatnya otakku
setelah berjuang menghadapi ujian kenaikan kelas membuat aku lupa bahwa hari
ini adalah hari minggu. Akhirnya aku bisa sedikit bernafas lega dari kerasnya
pergulatan dengan soal-soal ulangan selama seminggu membuat aku cukup kelelahan,
terutama otakku. Aku melihat kearah samping rumah, disana ada ibuku sedang
menjemur cucian. Meskipun hari ini hari
libur tetapi sudah menjadi kebiasaanku untuk selalu bangun pagi. Aku biasanya
nggelakuin apa saja yang harus aku lakukan untuk mengisi waktu dipagi hari.
Dengan langkah
pasti aku melangkah kedapur dan membuat kopi instan, itung-itung menggusir
kantuk yang masih menggantung dimata. Setelah membuat segelas kopi, aku duduk dan
menikmati minuman hangatku.
Tit-tit-tit…
Suara klakson
motor terdengar dari arah depan rumahku. Siapa ya pagi-pagi begini nyamperin
aku? Aku tengok jam dinding yang
terpampang didekat dapur. Jam masih menunjukan pukul 06.12 am. Karena
penasaran aku akhirnya manuju pintu depan dan membukanya. Terlihat bang Wando
sedang berbincang dengan ayahku yang sedang memotong rumput dihalaman depan.
Wah, kenapa bang Wando nggak kasih tahu ke aku ya kalau mau datang kerumah?
“Waduh… Ayah
ngajak bang Wando masuk rumah. Mana aku belum mandi lagi… “. Aku bergegas masuk
kedalam untuk sekedar mencuci muka atau menyisir rambutku yang agak
acak-acakan.
“Bay… Ada bang
Wando nih…”, kata ayahku.
“Iya… tunggu
sebentar Yah”. Aku buru-buru mengeringkan air dimukaku dan menghampiri bang
Wando yang sudah duduk manis dikursi tamu.
Wajah tampannya
tersenyum padaku. Dia mengenakan jaket berbahan kulit berwarna hitam dan celana
jean ketat berwarna hitam pula.
“Belum mandi nih,
bau…”, canda bang Wando.
Aku hanya
senyum-senyum jaim sambil duduk disebelahnya. “Biarin… aja”.
“Sewot dah…”.
“Nggak kok…
kenapa abang nggak kasih tahu kalau mau kemari? Aku kan bisa siap-siap. Ya
setidaknya aku bisa mandi dulu…”.
Bang Wando
memegang tanganku dan berkata, “Abang mau kasih sureprize buat kamu Bay. Kamu
kan habis ulangan, mau nggak kalau kamu hari ini kita jalan ke pantai *****.
Anggap aja ini refreshing setelah ujian. Gimana?”.
Aku menatap mata
bang Wando dengan penuh keharuan sebelum aku menganggukan kepala tanda aku
setuju.
Tentu saja ayah
dan ibuku mengijinkan aku pergi karena aku pergi dengan bang Wando (polisi lagi)
jadi mereka tidak perlu khawatir. setelah mandi sebentar dan membawa
barang-barang seadanya, aku dan bang Wando pamit untuk menuju salah satu pantai
terkenal didaerah kami.
Jarak tempuh
kepantai tersebut cukup jauh. Jika keadaan normal, dua jam setengah perjalanan
kami akan sampai kepantai. Suasana pagi yang masih ditemani sedikit kabut
membuat hari ini terasa sangat indah. Diperjalanan, suasana desa-desa atau
daerah yang kami lalui sangat tentram dan indah. Memang jarak pantai ini agak
jauh dari hiruk-pikuk kota yang ramai dan biasanya cukup sepi bahkan pada
hari-haru libur biasa. Pantai ini akan ramai dikunjungi wisatawan jika
hari-hari libur besar seperti tahun baru atau libur panjang.
Teriknya sinar
matahari yang cerah terpantul diatas putihnya hamparan pasir. Ini menandakan
bahwa kami akan segera sampai di pantai *****. Tak lama kemudian, deburan ombak
pantai telah menyambut aku dan bang Wando. Didekat pantai ada perkampungan
nelayan yang bisanya menjual makanan dan oleh-oleh khas pantai tersebut.
“Bay, kita pindah
saja ya? Disini terlalu ramai buat kita berdua-duaan. Gimana?”, tanya bang
Wando.
“Aku sih terserah
abang saja. tapi memangnya kemana lagi bang?”, tanya ku balik.
“Ikut abang saja
nanti kamu pasti bakalan seneng kok”. Bang Wando tersenyum kemudian memutar
arah motor untuk menuju lokasi yang dianggapnya sepi.
Kami berdua masuk
ke sebuah belokan sempit lalu terus masuk diantara rimbunnya cemara dan tanaman
pasir pantai lainnya. Kayaknya belum pernah ada yang masuk kesini deh. Namun
aku terpukau saat motor bang Wando berhenti. Disana suasananya sangat sepi dan
hening. Di sisi kiri kami ada sebuah kayu besar yang sudah tumbang dan mati.
Didekat kayu ada tumbuhan seperti suku pandan besar yang bercabang-cabang dan
cukup rindang. Di belakang kami hamparan hutan cemara terlihat menutupi pantai
ini.
“Ini hening
sekali bang… Abang tahu dari mana lokasi ini?”, tanyaku.
“Dulu abang
pernah iseng buat jalan-jalan mengitari pantai ini dan abang ketemu lokasi yang
sepi seperti ini didekat lokasi pantai. Enak kan?”.
“ Enak banget
bang”. Aku turun dan duduk diatas batang pohon mati kemudian aku lepas tas
ranselku.
“Bawa air nggak
dek?”, tanya bang Wando.
“Bawa bang”, aku
mengambilkan air minum dari dalam ransel dan menyerahkannya pada bang Wando.
Tiupan angin
sepoi-sepoi membuat aku terbuai dan lupa akan penatnya perjalanan menuju lokasi
ini. Bang Wando melepas jaketnya sehingga baju kaosnya yang basah akibat
keringat mencetak otot-otot tubuhnya yang masih ketat. Dia menjemur jaketnya
diatas kayu mati yang aku duduki. Kemudian bang Wando duduk disampingku.
“Dek, sebenarnya
abang sedang ada masalah dengan kak Siska…”.
Deg! Aku kaget mendengar
perkataan bang Wando yang tiba-tiba saja membuyarkan kerileksanku.
“Karena apa
bang?”.
“Kak Siska tahu
kalau abang malam itu, waktu kita makan sate, ada di kota. Dia marah besar
karena abang nggak pulang kerumah. Abang berusaha memberi alasan padanya bahwa
abang sedang mendapat tugas jadi nggak
bisa pulang kerumah tapi dia seolah-olah nggak percaya. Abang nggak tahu musti
gimana lagi. Makanya tadi malam abang nggak sempat kasih tahu kamu kalau abang
mau ngajak kamu kesini. Karena abang lagi bingung sama istri abang. Huh…”. Bang
Wando menarik nafas dalam-dalam kemudian dia hembuskan dari hidungnya.
Bang Wando yang
tampan dan gagah ini terlihat bingung menghadapai istrinya. Dia bangkit dari
duduknya dan mengambil tikar lipat yang sengaja aku bawa dari rumah. Kamipun
duduk berdua diatas gelaran tikar yang panjangnya sekitar 2 m dan lebarnya 1 m
tersebut. Bang Wando menutuskan untuk rebahan dipahaku sedangkan aku meluruskan
kaki agar bang Wando bisa tiduran dengan nyaman. Sambil menikmati angin, ombak
dan sinar matahari siang yang menyilaukan mata, aku mengusap-usap kepala bang
Wando dengan mesra. Jujur aku sangat sayang pada bang Wando meskipun dia sudah
berkeluarga dan sebentar lagi memiliki seorang anak. Aku usap lembut kapala
bang Wando yang tercukur rapi potongan rambut cepak itu sambil sekali-kalin aku
usah pipinya. Bang Wando sangat menikmati belaian tanganku dan tampaknya dia
mulai tenang. Bang Wando menutup matanya dan kamipun hening sejenak.
Bluuurrrr…
Deburan ombak menyapu tepian pantai. Untung kami sedang berada diatas tebing
pantai sehingga tidak terkena air laut. Cuaca sangat cerah dan agak berawan.
Indahnya langit biru menghipnotis kami berdua untuk segera memejamkan mata dan
masuk kealam mimpi.
Crsssss…crsss….
“Bang bangun…
Hujan…”. Aku terbangun dari tidurku karena hujan mengguyur daerah itu.
Bang Wando
bangkit dan langsung mengambil jaketnya. “Bay, kita ke kampung saja…”. Bang
Wando membantuku melipat tikar dan kamipun berniat balik menuju perkampungan
namun nasib sial menghampiri kami. Entah mengapa bang Wando tidak sadar kalau
motornya kehabisan bensin.
“Yah… Gimana dong
bang? Bisa basah kita berdua ini”, kataku.
“Kita pakai tikar
tadi untuk atap sementara waktu sampai hujan mulai reda baru kita keperkampungan.
Kalau kita nyeret motor sampai kampung juga bakalan basah kuyup”, kata bang
Wando.
Kamipun kembali
kedekat pohon kayu mati yang tergeletak tadi kemudian mengeluakan tikar untuk
menutupi kepala kami. Aku duduk dipangkuan bang Wando supaya tikar tersebut
mampu melindungi kami berdua dari terpaan hujan yang cukup lebat.
Udara dingin
mulai menusuk tulangku. Aku mengigil kedinginan. Untung bang Wando paham dan
kemudian memeluk tubuh kecilku dengan mesranya. Aku merasa hangat sekali dan
perlahan-lahan hal ini membangkitkan gairah bang Wando dan juga aku.
“Dek, punya abang
ngaceng nih…”.
Aku memang sudah
merasakan pistol daging milik bang Wando sudah mulai mengeras dibalik
celananya. Mungkin hujan ini memang diturunkan utuk membasahi tubuh kami yang
akan segera memanas karena terbakar nafsu birahi. Aku kemudian menolehkan kepala
kebelakang dan menatap mata bang Wando. Tatapan ini mengisyaratkan agar bang Wando
mau menciumi bibirku dan menghangatkan mulutku dengan tetesan air ludahnya.
Bang Wando mengerti akan keinginanku dan langsung mendekatkan bibirnya
kebibirku. Kini kamipun mulai berciuman mesra dan semakin panas. Aku nikmati
setiap senti sentuhan bibir bang Wando yang lembut. Sambil sesekali ku isap
bibir bang Wando. Entah mengapa tikar yang tadi kami gunakan untuk melindungi
tubuh dari tetesan hujan kini sudah tergeletak ditanah sehingga kamipun bebas
diterpa air langit. Tubuh kami basah namun ini sensasi yang sangat mengagumkan
dan sungguh belum pernah aku rasakan sebelumnya. Bibir bang Wando mengenyot
bibir bawahku sambil lidahnya terus meneteskan air ludah sehingga aku merasa
penuh oleh tetesan ludah bang Wando. Wajahnya yang oval dengan hidungnya yang
mancung namun tidak terlalu lancip begitu menggoda mataku. Nafasnya hangat dan
bibirnya sangat pandai melayani bibirku sehingga aku tak sabar lagi ingin
membuka seluruh pakaian yang melekat di tubuh kami berdua. mula-mula aku lepas
baju dan celana bang Wando lalu setelah itu pakaian dan celanaku. Kini aku dan
polisi itu sudah dalam keadaan hampir telanjang bulat karena ditubuh kami
sekarang hanya menyisakan underwear saja. Kontol besar milik bang Wando mulai
menyembul dari balik CD nya. Ukurannya yang besar dan berurat-urat membuat aku
sangat memuja-muja benda milik bang Wando. Perlahan-lahan pantatku aku
gesek-gesekan kekontol bang Wando sambil bibirku terus berciuman dan tak
henti-hentinya menerima serangan bibir bang Wando. Aku terpejam menikamati setiap
sedotan, isapan dan pilinan bibir bang Wando yang mampu menendang setiap hawa
dingin yang menhampiriku.
Sluuurpppp!
Sluuurrpppp…. Aku menyedot seluruh air ludah milik bang Wando. Rasanya sangat
nikmat dan manis. Kekentalan ludah bang Wando juga terasa seperti gel atau sagu
yang biasa kau makan. Aku kulum-kulum ludah bang Wando sebentar sebelum
akhirnya aku telan semuanya hingga masuk kedalam rongga perutku.Gluk!
Muaccchhh… Bang
Wando melepaskan bibirnya kemudian dia menjilati pipiku yang basah akibat terkena
air hujan seperti seekor kucing yang sedang meenjilati anaknya. Bang Wabdo
memang sangat perkasa dimataku. Aku menikmati perlakuannya dan seperti orang
yang pasrah. Perlahan-lahan dia menjilati pipiku kamudian sampailah lidahnya
dihidungku yang mancung. Wow! Dia mengemut hidungku! Aku tak bisa melukiskan
kenikmatan ini dengan kata-kata yang jelas bang Wando sangat tahu bagaimana
cara agar aku bisa manikmati sensasi baru ini. Tangankupun mulai nakal
memilin-milin dan menarik-narik pentil Bang Wando yang coklat. Aku remas-remas
dadanya yang berotot dan aku putar-putar ujung jariku diputingnya.
Cuaca yang dingin
tak mampu mengimbangi panasnya pergumulan aku dan bang Wando ditepi pantai ini.
Meski hujan terus menerpa tetapi kami masih sibuk dengan kecupan dan
bermandikan birahi yang sudah lama tidak aku rasakan.
Bang Wando
melepaskan emutannya dihidungku. “Bay, abang mau isep pentil kamu nih… kamu
rebahan aja ya…”, pintanya.
Aku bergeser
sebentar lalu mengambil posisi berbaring dipasir yang basah. Set! Bang Wando
mempeloroti CD ku hingga lepas kemudian CD nya juga di lepas. Kami sekarang
dalam keadaan telanjang bulat. Kontol Bang Wando yang coklat muda berukuran 18
cm dan diameter sekitar segenggaman tanganku itu mengacung kearah pusernya
dengan dua buah biji yang besar seperti buah salak. Hasratku kian memuncak dan
semakin tak terkendali lagi setelah perlahan-lahan bibir bang Wando turun dan
mengecup pentilku. Aku seperti ikan kesentrum. Rasa geli dan nikmat
menghampiriku dan membawaku masuk lebih dalam lagi kebagian terindah didalam
hidupku. Aku menggelinjang tak karuan dengan berusaha meresapi raungan birahiku
yang bergejolak. Sentuhan hangat dan lembutnya bibir bang Wando mencelemoti
pentilku seakan-akan berusaha mendapatkan air susu yang tidak mungkin bisa aku
berikan pada bang Wando.
“Banghhhhh
uhhhhhhh aaarggghhhhhh uhhuhuhhhhhhh ohhhhhh shiiittthhhhahhhhh”. Aku
mendesah-desah tak karuan.
Nyooottt…
sluurrpppp… Bang Wando sangat lihat memperlakukan pentil susuku. Dia jilati
dengan ujung lidahnya yang basah kemudian dia gigit pelan-pelan sebelum dia
kenyot kencang sekali bagian itu. Rasa sakit akibat isapannya pada pentilku tak
aku hiraukan lagi. Semua hanya nikmat, enak dan Auhhhh….
Bergantian
putting susu ku di isap dan dikenyot oleh polisi itu. Ganas dan sangat
membangkitkan birahi. Tubuhnya yang berotot namun perutnya tidak six packs
membuat aku mendapatkan kepuasan sex secara visual. Hujan yang masih turun
dengan derasnya membuat aku dan bang Wando tak merasa kegerahan lagi.
Sambil bang Wando
memainkan pentilku, tangan nakalku juga sibuk membelai-belai kontol bang Wando.
Hangat, keras dan berurat-urat itulah gambaran yang sesuai dengan kontol besar
milik bang Wando.
Aku meringsek
kebawah dan melepaskan isapan mulut bang Wando pada pentilku. Dengan posisi bang
Wando yang seperti merangkak dan aku berbaring dibawah selangkangannya kini
sangat tepat untuk melakukan oral sex. Mula-mula, ketika benda 18 cm itu sudah
ada didekat hidungku, aku jilati ujung kepalanya dengan variasi mengigit
lembut. Rasa precum yang khas membuat aku semakin kegirangan menjilati lubang
kencing bang Wando yang sudah menganga. Aku jilati pelan-pelan sambil aku
tarik-tarik biji bang Wando semesra mungkin.
“Argggghhhhhh!
Ahhhhhh Sayanghhhhhahhhhh uhhhhh mulut muh … Bangs*t!!! Ebak bangettttt
gilahhhhhh ahhhhh abangghhhh mauhhh nikahin kamuhhh aja bay… Kak Siska nggak
mau ngisep kaya ginihhhh uhhhhh”.
Itu adalah
pengakuan baru yang aku tidak tahu dari bang Wando. Ternyata kak Siska nggak
pernah ngemut kontol seenak dan selezat milik bang Wando. Kak Siska, kamu belum
tahu sih gimana rasanya ngemut kontol super milik bang Wando. Aku aja sampai
ketagihan dibuatnya.
Puas jengan
menjilati lubang kencing bang Wando, aku mulai menjilati kontol bang Wando
perlahan-lahan. Sesenti demi sesenti pistol perkasa itu masuk kedalam mulutku.
Hangatnya kontol bang Wando menwarkanku sebuah surga dibawah langit yang
menagis ini. Aku masukan pelan-pelan sampai masuk seluruhnya kedalam mulutku
dan menyentuh kerongkonganku karena saking panjangnya. Aku diamkan beberapa
saat untuk menikmati ketegangan kontol milik bang Wando. Kamudian aku keluarkan
pelan-pelan sampai lepas dari mulutku. aku kocok sebentar agar kontol bang
Wando tetap tegang kemudian aku putar ujung kontol bang Wando dilidahku.
“Urrrhhhhhh
uhhhhh ohhhhh enakhhh sayanghhhhh Awuhhhhhhh uhhh”, mata bang Wando terpejam
dan jakunnya yang besar tampak tegas karena kepalanya sedang menengadah keatas.
Aku emut kepala
kontol bang Wando kemudian aku kenyot
mirip seperti menyusu pada ibuku sewaktu kecil. Aku mau minum susu pejuh yang
akan keluar dari kontol perkasa milik bang Wando.
Jari-jari
tanganku bermain di buah zakar bang Wando dan sesekali memerah batang kontol
polisi gagah itu. Aku rasakan kekerasan alami dari kontol bang Wando dengan
terus mengulum dan mengenyot kepala kontolnya yang seperti helm tentara.
Kepalanya yang merah muda begitu indah untuk dinikmati. Aku putar-putar lidahku untuk menimbulkan
sensasi baru dan ini adalah perlakuan yang akan selalu membuat bang Wando
teringat-ingat ketika dia jauh dariku nanti. Aku mulai mengeluar masukan kontol
bang Wando didalam mulutku turun, naik, turun, naik, turun, naik, turun, naik,
turun… Plop! Aku jilat kemnbali kepala kontol polisi itu lalu aku dorong
kembali kepalaku agar mampu membenamkan seluruh batang kontol milik bang Wando
di dalam mulutku. ujung kontol bang Wando yang menyentuh kerongkoonganku aku
manfaatkan untuk membuat sensasi baru pada kontol kekasihku ini. Aku gerakkan
kerongkonganku seperti terengah-engah agar ujung kontol bang Wando mendapatkan
pelayanan istimewa dariku.
Gluk! Aku menelan
ludahku agar kontol bang Wando tidak terlalu lama kering ujungnya. Hujan yang
masih deras mengguyur tubuh kami membuat tubuh bang Wando yang berada diatasku
tak henti-hentinya meneteskan air hujan seperti orang yang sedang kencing.
Untuk itu sesekali aku menghalangi aliran air hujan yang menuruni batang bang
Wando dengan tanganku agar tidak masuk kedalam mulutku.
Aku menikmati
besarnya pistol bang Wando yang sedang menjejal mulutku ini. Rasanya yang
hangat dan kenyal membuat aku tergila-gila dan mabuk kepayang dibuatnya.
Turun-naik kepalaku mulai mengisap kontol bang Wando kembali. bang Wando yang
semakin liar kini memegangi kepalaku dan sesaat kemudian dia mulai mengentoti
mulut mungilku layaknya lubang anusku. Aku gelabakan dibuatnya dan hampir tidak
bisa mengambil bafas, terengah-engah, akibat bang Wando yang semakin tidak
terkontrol menusuk rongga mulutku dengan kontol besar dan berurat miliknya itu.
Aku paling kan mukaku ke kiri agar kontol bang Wando lepas dari mulutku dan
memanfaatkan detik itu untuk menarik nafas.
“Host-host-host…
Abang tega.. adekhhhh mau pingsan tau…”, protesku.
“Maaf sayang…
abang sudah nggak tahan nih dek. Dudukin kontol abang dong dek… yah….”.
Tanpa menunggu
persetujuan dariku, bang Wando langsung menggendongku dan mengangkat kakiku
untuk melingkar dipinggangnya yang aduhai itu. Tanganku dia taruh dipundaknya
dan dengan perlahan dia mulai mengarahkan kontol besarnya masuk kedalam anusku.
Perlahan-lahan…. Pelan-pelan… sedikit lagi… dan….
“Auhhhhhh ohhhhhh
yehhhhh uhhhh”, erangku yang sudah ditusuk kontol milik bang Wando.
“Uhhhhhh Kamu mau
nggak jadi istrihhhh abangggg?? Ahhhhh”. Bang Wando menatapku sambil
mendekatkan hidungnya kehidungku.
“Mauh bang… uhhhh
hamilin adek bang… buat adek hamil kayak kak Siskahhhhh ahhh uhhh”. Aku mulai
mendesah nikmat karena merasakan kontol bang Wando yang mulai menyodomi anusku.
Dengan
berpandangan mata bang Wando berkata, “Kamu mau punya anak dari pejuh polisi
hah? Ohh yeah… Bayuh suka kontol polisi yeah… ahhh.. rasain kontol polisi!
Kontol polisi emang nggak ada duanya kan?? Hah??”.
“Iyahhhhh bangggg
ohhhhh Ahhhhh adek mau hamil ma abang… jadiin adek istri simpanan abang. Temapt
abang numpahin pejuh kental abangggg uhhhh”. Aku sudah melontarkan kata-kata
murahan layaknya seorang pelacur.
“Ohhhh tentuhhhh
sayang…. Abang akan ngentotin lubang kamuh sampai dowwer! Argggghhh rasain
kontol abang! Rasain nikmatnya dientot sama polisi kayak abang!!! Enak?
Enakkkkk?? Enakkkk nggak??”.
“Sumpah…
enakhhhhh arrgggggg uhhhh lebih kenceng bang…. Uhhhh robekin dubur dedek!!
Auhhhh”.
“Dasar doyan
kontol! Mampus kamu Bay! Biar kamu nggak bakalan lupa ama sodokan abang!!
Rasain ini yeahhhh ah ah ahh ahh ahhh aohhh ahhh ah ah ah arhhhh argghhhh
argghh uhhh awww ohhh ohh shiittt ohhh yeah…. Ohhhhh”. Bang Wando menurun
naikkan pantatku secepat mungkin sehingga lubangku menjadi kemat-kemot menerima
kontol sebesar milik bang Wando. suara gemuruh hujan menenggelamkan erangan dan
desahan kami berdua.
Tubuhku yang
kecil dan bang Wando yang besar sangat nyaman untuk posisi seperti ini.
Pinggulku yang turun naik dengan ritme cepat mengurut-urut kontol besar milik
bang Wando menggunakan lubang anusku yang merah, lembut dan berbulu. Anusku
memiliki lubang yang berwarna pink jika sedang ditusuk oleh kontol. Disekitar
anusku terdapat bulu-bulu yang tumbuh tidak terlalu lebat. Anus ku yang hangat
itu didukung oleh pantatku yang gempal dan berisi penuh. Kontol bang Wando yang
besar dan panjang itu menjejal paksa lubang anusku yang indah itu sehingga aku
merasa kadang-kadang lubangku tertarik dan tertekan kedalam.
Clok-clok-clok!
Kontol besar milik bang Wando memaksa masuk dengan cepat kemudian dia tekan
dalam-dalam keliang anusku sampai menyentuh ususku lalu di tarik perlahan
dengan penuh perasaan hingga lepas dari luang anusku. Plop! Setelah itu dia
masukan kembali secara cepat dan dia tarik perlahan hingga keluar dari anusku.
Kegiatan itu dia ulangi hingga beberapa kali sebelum dia kembali menghajar
anusku dengan entotan yang kencang dan bertenaga.
“Arhhhh ahhh
ahhhh ohhhhh hangat sekalihhh sayang… lobangmu lembuthhhh bangethhh ohhhh
sayanghhhh abangggghhhh sayanggggg bayuhhhhh uhhh ohhh”.
“Adek jugahhh
sayang abanghhhh auuuhhh”.
“Lagih? Yeah?
Lagiiii?”.
“Lagiiiii ihhh
ihhhh ohhhhh ohhh ahhhhhh”.
Sekarang
giliranku yang mengoyangkan pantatku seperti seorang koboi yang sedang
menunggangi kudanya. Aku yang bergelantungan pada leher bang Wando dengan
mudahnya mengendalikan permainan panas ini. Pinggulku aku gerakkan seperti gaya
ngebor lalu aku maju-mundurkan kembali.
Puas dengan gaya
itu, aku menyuruh bang Wando duduk diatas pasir dan bersandar dikayu sedangkan
kontolnya masih menancap sempurna didalam anusku. Layaknya kodok duduk, aku
kembali menurun naikan pinggulku memuaskan kontol polisi kekasihku tersebut.
Bibir bang Wando aku cium mesra sambil aku sedot bagian bibir bawahnya selembut
mungkin. Sementara tangan nakalku kembali memilin dan memelintir putting susu
bang Wando yang melenting karena saking horny-nya. Rambut dan tubuh kami sudah
basah kuyup diterpa guyuran hujan tetapi aku belum merasa dingin karena
pergumulan ini mampu menaikan suhu tubuhku. Genjotan anusku kepada kontol bang
Wando kian cepat dan bertenaga. Kenyotan dari lubang anusku memberikan kontol
bang Wando surga dunia yang paling dia idam-idamkan selama ini. Walau pipi
duburku telah memerah akibat gesekan kontol bang Wando tetapi nikmatnya daging
kenyal polisi itu mampu menerbangkan aku keatas awan dan bintang-bintang.
Aku belai
pungguung kekar bang Wando sambil bibirku terus menciumi bibir seksinya. Aku
rasakan setiap gerakan anusku mengemot-ngemot kontol bang Wando yang besar dan
penuh didalam anusku sehingga inilah saat yang aku inginkan sejak dulu. aku
menikmati acara persenggamaan dibawah guyuran hujan kali ini dengan penuh
semangat dan gelora ingin bercinta. Anusku sudah capek mengocok kontol perkasa
bang Wando yang belum ngcret-ngecret juga.
“Bang… capek
adekkkkk”.
“Kasian pacar
kakak. Kakak yang genjot yahhhhhh ahhhhh….”.
Bang Wando
menyuruhku merangkak. Dia juga melakukan hal yang sama dan melakukan penetrasi
dari arah belakang. Sodokan kontol perkasanya sungguh terasa sekali menyentuh
prostat dan ususku. Dia hentakkan kontolnya dalam-dalam kemudian dia goyangkan.
Uhhhh enak sekali rasanya. Tangannya yang rada kasar menggerayangi dadaku dan
meremas-remasnya. Tak sampai disitu saja, lidah bang Wando juga nakal menjilati
daun telingaku lembut. Dia kilik-kilik lubang telingaku dan kadang kala dia
emut juga. Aku memang beruntung memiliki pacar seperkasa bang Wando. tubuhnya
yang berisi ditopang perawakannya yang tampan semakin membuat aku menikmati
coblosan kontol bang Wando dianusku. Nafasnya terdengar berat yang menandakan
dia memiliki hasrat yang besar padaku. Pasir pantai sudah memenuhi sebagian
dada, punggung dan kaki-tangan kami berdua. Untunglah air hujan membantu
butiran pasir itu turun dan meninggalkan ketelanjangan kami berdua. suara
dedaunan pohon yang tertimpa hujan dan tertiup angin menyamarkan erangan
kenikmatan yang keluar dari mulut kami berdua sejak tadi. Mungkin jika ada
orang yang kebetulan lewat dipantai, mereka pasti dapat melihat dan mendengar
erangan erotis kami yang terbakar nafsu birahi.
Entah apa yang
bang Wando pikirkan, dia memaksa satu telunjuknya untuk menjejal anusku yang
masih sibuk merasakan gesekan kontol besarnya.
“Aduhhh duhhh
duhhhh… apa itu banggggg??”, tanyaku.
Dengan berbisik
ditelinga kananku bang Wando menjawab, “Adek dia sajahhhh yahhhh Uhhhh makin
sempit dekkkkhhh ahhhhh Oh oh oh ahhhhh ahhh”. Kembali bang Wando mengentoti
lubang pantatku dengan cepat.
Hentakan demi
hentakan pinggulnya membuat aku berguncang. Bang Wando mencabut telunjuknnya
kemudian dia peluk tubuhku dan dibawanya aku berbaring dipasir basah. Kini bang
Wando sedang telentang dibawahku dan aku telentang diatas bang Wando. Kontol
besarnya masih mentok dianusku yang mulai ngilu akibat gesekan kontol polisi
itu. Posisi seperti ini sebenarnya kurang tepat kami lakukan mengingat hujan
sedang turun dan tetesan air hujan akan masuk kemata atau hidung kami namun
mensiasati itu bang Wando mengajak aku berciuman. Tangan besarnya memegang
kakiku agar terangkat dan mengekspos anusku lebih nikmat lagi. Setelah itu
kembali dia menghujamkan pistol surganya menusuk-nusuk anusku dengan tenaga
kuda. Aku merasa enak banget dalam posisi ini. Aku merasakan sentuhan surga
yang membawaku masuk lebih jauh kedalam ruangan hasrat. Plak! Plak! Plak! Plak!
Bunyi pertemuan selangkangan bang Wando dengan pantatku. Kontol bang Wando yang
bengkok keatas sangat nyaman menggenjot anusku. Dia putar-putar dan dia
hentakan dalam-dalam hingga aku benar-benar menikmati sodokan bang Wando.
Bang Wando
menghentikan sodokannya sejenak dan melepaskan ciumannya.
“Host-host-host…
Abang istrihat dulu ya dek… capek abang ngentot kamu…”.
“Iyahhhh banggg..
adek juga capek…”.
Kakiku diluruskan
sejajar dengan kaki bang Wando dengan kontolnya yang masih tertancap sempurna
dianusku. Bang Wando memelukku erat sambil memejamkan mata seolah-olah
menikmati tetesan hujan. Aku melakukan hal yang sama dan menggenggam erat
tangannya. Kami terbuai dengan rintik hujan dan suara air langit yang jatuh
keatas pasir tersebut.
“Dek… Abang nggak
mau kehilangan kamu. Kamu mau kan selamanya ma abang?”.
Aku terdiam
sebentar. “Tapi apakah abang akan begini terus sampai anak abang besar?”.
Kini bang Wando
yang terdiam dan berfikir sejenak. “Abang memang aneh… disatu sisi abang merasa
ini adalah terlarang tetapi abang juga membutuhkan ini untuk kepuasan abang.
Dari dulu abang sadar kalau abang ini sebenarnya ada rasa dengan cowok namun
baru dengan kamu abang lakukan hal semacam ini. Jujur abang begini Cuma ingin
memuaskan nafsu birahi abang yang tidak bisa abang kendalikan. Abang buth
semacam ini…”.
Kami diam.
Aku berbalik
badan dan menduduki selangkangan bang Wando. setelah itu aku rebahkan kepalaku
yang basah kuyup keatas dada bidang bang Wando. bang Wando memeluk punggungku
mesra sambil dia ciumi ubun-ubunku.
“Bang… Walau kita
mungkin tidak akan selamanya bisa seperti ini tetapi adek mau kalau selama kita
masih bisa seperti ini, kita lakuin saja seindah mungkin. Karena mungkin saja
ini adalah persenggamaan kita yang terakhir, kita tidak tahu itu”.
“Kok adek ngomong
gitu? Nggak dong sayang… pokoknya abang janji bakalan rutin nusuk lubang
kenikmatan adek. Biar sampai kapanpun…”.
Bang Wando
kembali mengerakan kontolnya menusuki anusku. Aku menatap wajah tampannya dan
memberi isyarat biar aku saja yang kali ini menggerakan pantat dan bang Wando
terima beresnya saja. aku mulai memompa naik turun kontol bang Wando dengan
anusku. Aku resapi rasanya yang hangat dan licin hingga aku terbuai akan
nikmatnya percintaan ini. Aku belai wajah tampan bang Wando dan aku celemoti
bibirnya semesra mungkin.
Beberapa menit
kemudian aku percepat hentakan anusku hingga membuat kontol bang Wando menegang
keras dan tampaknya akan memuntahkan cairan kental, putih dan anyir dari dalam
kontolnya.
“ARGGGHHHHH
SAYANNGGHHHH AHHHH OHHHH.. ABANGGGG MAUH KELUAR!!! AHHHHH AHHH ARGGGHHHH”.
Crooottt…
crooottt… crooottt… croooottt….
Ya ampun, banyak
banget pejuh bang Wando. meskipun cairan kelelakiannya sudah mengisi penuh
anusku tetapi dia masih kuat menggenjot lubangku seolah-olah ingin
mengaduk-aduk pejuhnya hingga tercampur rata dan pulen.
“Banggggg udahhh
ahhhh udahhh bangggg!!!”.
“Yeahhhh ahhhh
Ohhhh enakkkhhh ahhhhhh”.
Kontol bang Wando
mengecil dan dia berhenti menggenjotku. Kami terpejam dan berusaha menarik
nafas untuk memulihkan kondisi paru-paru.
Jam sudah
menujukan pukul 3 sore. Hujan mulai reda dan kami membereskan tubuh kami yang
kotor oleh pasir selepas bersenggama diatasnya. Dengan keadaan telanjang bulat,
kami menceburkan diri kelaut dan mandi. Setelah bersih kami kenakan pakaian dan
bergegas pulang.
Sepanjang
perjalanan aku semakin erat memeluk perut bang Wando dan sesekali aku usap
kepala kontolnya pertanda aku sayang dengan benda besar milik polisi itu.
Senja yang cantik
mengiringi gesekan roda motor matic bang Wando dengan aspal menuju rumahku.
Tit-tit… suara hape berbunyi. Ada sms masuk nih. Aku baca sms itu dan….
“Dek… Mas
kepengen malam ini main ma adek. Kita ML yuk dirumah mas… Please sayang… Mas
tunggu ya… dek…
**ArifCUKFBayu4Ever**”,
bunyi sms dari mas Arifku.
Waduh, patah deh
pinggangku hari ini. Aku balas sms mas Arif, sang Polisi Duren dengan singkat…
“OK”.