Juyu
sedang berusaha untuk membuka Hajunba kebumi. Beberapa kali dia coba membuka
Hajunba itu namun masih tidak bisa. Hajunba itu memang tidak seperti Hajunba
lain yang mudah dikendalikan apalagi pintu itu sudah lama tertutup dan tidak
pernah dibuka.
“Brello,
tolong kamu ambil beberapa batu Hajunba dan dekatkan kemari. Aku mau tahu apa
kah hajunba ini sudah berfungsi atau tidak”.
“Dengan
senang hati, cantik”, goda Brello. Dia meraih sebuah batu kecil pecahan dari
batu hajunba besar untuk diberikan pada Juyu.
“Tanganmu
kemana?”. Juyu rampas batu itu dari Brello karena tangan lelaki itu tak sampai
ketangan Juyu.
Juyu mulai
mendekatkan batu itu ke depan pintu perlahan-lahan. Tampaknya tidak ada
tanda-tanda pintu itu bereaksi.
“Huh.
Sudahlah aku mau istirahat dulu sambil memikirkan cara terbaik untuk membukanya
nanti”. Juyu meletakkan batu itu di meja dan melepaskan sarung tangannya
kemudian melangkah keluar ruangan.
Brello
yang melihat Juyu, hanya bisa tersenyum berdiam diri. Ruangan itu berada
disalah satu markas Yuari sehingga ketika Juyu melalui beberapa pintu tampaklah
Yuari-yuari sedang berlatih.
“Kakimu
Togo! Pasang Kuda-kuda yang kuat!”, perintah pelatih mereka.
Puluhan
Yuari sedang latihan mengendalikan Linggi besar yang berfungsi sebagai mesin
penghancur. Linggi memiliki kesulitan lebih rumit ketimbang memiliki azzo saja.
Azzo yang tidak pernah dikeluarkan akan menjadi Linggi untuk diri sendiri yang
bisa merusak organ tubuh. Sehingga bagi orang biasa yang ingin memiliki azzo
sebaiknya mempelajari cara mengendalikan dan membuat linggi terlebih dulu
sebelum memiliki azzo.
Hiruk
pikuk ruangan yang penuh semangat seakan tertuang dalam ketatnya baju para
Yuari itu. Sebagai informasi, di Yuari sendiri ada bagian-bagian khusus seperti
bagian perusak atau eksekutor dan perang, Yuari pengintai yang berkaitan dengan
misi rahasia dan pencari data, Yuari pendata yang mengurus bagian pengitungan
anggota, penduduk dan lain sebagainya, serta Yuari pertahanan yang memiliki
tugas untuk menjaga keamanan warga Hrewa Kufe. Dengan pembagian-pembagian itu,
terdapat beberapa Yuari yang beranggotakan perempuan namun kebanyakan dari
mereka masuk kebagian Yuari pendata dan ada sedikit yang berhasil masuk Yuari
Pengintai. Dari Yuari pengintailah Juyu berasal sebelum dia diberi kepercayaan
sebagai panglima perang.
Dibagian
bawah Hrewa Kufe selalu ramai dengan aktifitas perdaganggan dan rumah-rumah makan.
Dari tingkat satu hingga tingkat dua, seluruh warga Hrewa Kufe tinggal dan
beraktifitas. Hrewa kufe itu luas sekali. Bangunan yang terbuat dari batu itu
memang sangat cukup untuk menampung ribuan warganya. Bahkan di Hrewa Kufe
terdapat kolam yang luas bagaikan danau.
“Minggir
sebentar…”, teriak salah seorang wanita paruh baya yang tengah berada diatas
kereta tak beratap yang ditarik oleh dretaju nya. Maka kerumunan orang yang
tengah lalu lalang menyingkir sebentar jika tidak ingin terinjak atau terkena
kaki dretaju yang besar itu.
“Paman
boleh aku lihat Pasor itu?”, pinta seorang ibu muda pada salah seorang penjual
pasor atau piring kayu yang biasanya diberi sekat sebanyak dua atau tiga sekat.
Lelaki itu
menyerahkan pasor yang diminta. “Ini buatan Manzo nyonya, asli dari kayu Jajeko”.
Tuan penjual pasor berusaha menawarkan dagangannya.
“Bagaimana
saya yakin anda tidak mengada-ada?”.
“Benar
nyonya. Anda boleh menggoresnya kalau bisa”, tantang penjual pasor itu.
Sementara
beberapa petak dari sang penjual Pasor terdapat bermacam bahan makanan unik
asli Naolla seperti biji Sunku yang mirip beras raksasa berwarna oranye, ada
juga buah-buahan unik yang tidak bisa ditemukan di bumi.
Keramaian
di bagian bawah istana ini semakin tampak bertambah ramai saja. Orang-orang sibuk
lalu lalang, penjual dan pembeli sibuk bertransaksi dan hewan-hewan pekerja
juga sibuk membawa barang-barang majikannya.
Angin yang
meniup puncak Hrewa Kufe dimanfaatkan
oleh Diagta untuk mengajak Geoma atau Laba-laba terbang liar membawanya turun
ke dasar Hrewa Kufe seperti paralayang.
“Cihuyyyyy!!!”.
Diagta memegang erat-erat kaki geoma yang telah merentangkan membran antara
kakinya untuk melayang-layang diudara. “Hallo paman tanpa gigi, lagi mencabuti
ubanmu ya? Hahaha”, ejek Diagta pada salah seorang lelaki tua yang sedang
meraut kayu.
“ Awas kau
anak muda!”. Dia marah sambil mengacung-acungkan pisau.
Diagta
yang melihat itu hanya tersenyum cengengesan. “Wow, wow… wawwww”. Diagta
tertiup angin kencang sehingga dia agak oleng namun segera dia berusaha
menyeimbangkan diri dan terus menikmati acara terbangnya. Diagta mengelilingi
Hrewa Kufe, terbang melintasi danau dan jembatan lalu mendarat ditepi danau
Opgareca dan setelah sampai, Geoma yang membawa Diagta kembali ke hutan dengan
cepat.
“Ingin
lagi. Aku mau lagi. Huhuy!!”, Diagta kegirangan setelah terbang dari puncak
Hrewa Kufe ke tepi danau. Dengan tersenyum dia menuju jembatan untuk kembali ke
Hrewa Kufe. Langkah kakinya yang santai sambil sesekali senyum-senyum sendiri
memandang Hrewa Kufe dari sudut ini semakin menggambarkan bahwa Diagta memang
orang aneh. Perawakannya memang bisa dikatagorikan lumayan dan bersih, kadang
dia juga tampak pemikir dan bijaksana. Diagta memang memiliki kemampuan khusus
yang belum banyak diketahui orang, dia bisa mengubah linggi jenis apapun
menjadi azzo kembali makanya Sukaw tidak bisa membunuh Diagta karena di Naolla
hanya keluarga Diagta yang bisa melakukan hal itu.
Seekor
burung terbang melintasi hadapan Diagta sehingga membuat dia kaget. “Waduh!
Sialan! Hampir aku mati kaget. Eh, mana mungkin aku mati kaget. Hahaha”.
Burung itu
terbang menanjak melewati tingkat demi tingkat Hrewa Kufe kemudian bertengger
dikaca ruangan Sukaw.
Diruangan
itu tampak orang misterius menghadap Sukaw seorang diri.
“Jadi anda
bisa memperbaiki Hajunba itu?”.
“Bisa tuan
karena itu adalah pekerjaan saya”, jawabnya.
“Berapa hari
sekiranya kamu bisa memperbaikinya?”.
“Paling
lama seminggu tuan”.
“Lama
sekali, apa tidak bisa tiga hari saja?”.
“Nanti
saya lihat dulu seberapa parah rusaknya. Jika kerusakan Hajunba semacam ini,
biasanya saya perlu melakukan persiapan dulu tuan apalagi Hajunba yang akan
saya tangani ini macet karena tidak pernah digunakan”.
“Baiklah
kalau begitu. Kamu akan tinggal disini beberapa hari sampai Hajunba itu selesai
diperbaiki”.
“Terimakasih
tuan”.
Hampasan
gelombang di tepian Toshirojima terus berlomba-lomba. Sementara itu kehidupan
para nelayan masih seperti biasanya. Sore itu cahaya senja mengatakan kehidupan
yang sebenarnya tentang bumi. Kehidupan laut yang tenang dengan masih ada
beberapa burung hilir mudik mencari ikan. Sementara di balik jendela rumah Ray,
Fiko sedang menyuapi Ray. Fiko tidak bekerja hari ini karena dia khawatir
dengan keadaan Ray yang masih sakit. Untunglah tuan Takeshi paham akan keadaan
Fiko dan mengijinkan Fiko untuk menjaga Ray. Fiko menyuapkan sup hangat ke Ray
perlahan-lahan. Ray memakan sup buatan Fiko sedikit demi sedikit.
“Bagaimana
Ray, enak?”, tanya Fiko setelah menyuapkan sup ke Ray.
“Iya, enak”.
“Makan
lagi dong yang banyak”. Fiko menyuapkan sup lagi ke mulut Ray.
Ray
memandangi mata Fiko dengan tatapan kosong. Dia seperti tidak tahu harus
berkata apa untuk mengungkapkan rasa terimakasihnya pada Fiko yang telah
menjaganya sepenuh hati.
“Sudah ya
Fiko, aku sudah kenyang”, tolak Ray.
“Sedikit
lagi nih, tanggung”, bujuk Fiko.
Mendengar
itu Ray kembali membuka mulutnya dan memakan sup yang disuapkan Fiko. Keadaan
Ray memang membaik setelah dia istirahat dan meminum obat dari dokter. Selain
itu dia sebenarnya merasa lebih baik karena Fiko merawatnya dengan baik pula.
Ray sebenarnya bingung dengan sikap Fiko. Tidak sewajarnya Fiko memperhatikan
dirinya sampai seperti ini, tetapi dia berfikir bahwa Fiko merasa bersalah
akibat lingginya yang telah membuat dia sakit.
“Aku mengantar
mangkuk kedapur dulu ya”, Fiko pamit sebentar yang dibalas dengan anggukan Ray.
Mata Ray
menatap langit senja yang mulai ditaburi beberapa bintang. Tubuhnya yang
mengenakan sweater dan celana panjang tampak sedikit lebih berseri ketimbang
kemarin. Ingatannya melayang jauh pada saat dia masih di Fugk. Ayah angkatnya
selalu mengajak Ray untuk berlatih azzo namun setiap berlatih pasti dia sakit
dan semenjak itulah ayahnya tahu bahwa Ray berbeda. Hingga suatu ketika
terdengar kabar bahwa Vocare sedang mencari anak laki-laki yang dititipkan pada
pengrajin pedang di barat pulau. Mendengar itu maka ayah Ray segera meminta
bantuan pada Loka untuk melindungi dia dan keluarganya dari Vocare. Dengan
perdebatan panjang akhirnya Vocare berusaha melunak. Mereka akan mengambil azzo
dewa setidaknya sampai Ray lebih dewasa. Semenjak itulah banyak orang awam
membenci Ray karena dianggap sebagai anak pembawa petaka untuk Fugk. Dia sering
menyendiri dan menjauhi anak-anak lain yang membencinya.
“Ray kamu
tidak kedinginan didepan jendela?”, tanya Fiko membuyarkan lamunan Ray.
“Mmmm… aku
masih mau memandang langit yang cerah Fiko”.
“Ya
sudah”. Fiko membawa gyudon di piringnya dan mulai makan didekat Ray. “Mau ini
Ray?”, tanya Fiko.
Ray
menjawabnya dengan gelengan kepala.
Fiko makan
dengan lahapnya sambil sesekali mengarahkan sumpitnya kemulut Ray mencoba
menawarkan makanannya. Namun dengan sopan Ray menolaknya. Ray tersenyum melihat
Fiko makan. Di pikirannya, dia membayangkan Fiko menjadi gendut karena
kebanyakan makan.
“Kenapa
Ray?”.
“Tidak
apa-apa”.
Setelah
meneyelesaikan makanannya dan menaruh piring kedapur Fiko gosok gigi dan
berkumur lalu mendatangi Ray di kamar.
“Kamu
kalau mau istirahat, silahkan Ray. Jangan larut malam tidurnya. O iya, Kamu
sudah minum obat?”.
“Belum”.
“Aku
ambilkan sebentar ya air untuk kamu minum obat”.
“Tidak
usah Fiko, aku mau kedapur juga sekalian mau gosok gigi”.
“O..
Pelan-pelan jalannya ya”.
Ray
bangkit dan berjalan menuju dapur. Disana dia menuangkan air dari botol kedalam
gelas untuk membantunya meminum obat. Setelah selesai minum obat, dia kekamar
mandi untuk sikat gigi dan berkumur-kumur. Ray kembali kekamar mereka setelah
itu dan duduk disamping Fiko.
Rumah yang
mereka tempati memang kecil dan sederhana, dengan satu kamar tidur, satu dapur,
kamar mandi dan ruang tamu. Rumah ini sendiri di diami mereka secara cuma-cuma
karena sang pemilik rumah hanya ingin rumah ini dijagakan selagi mereka tinggal
dikota lain.
“Maafkan
aku ya Ray. Aku tidak tahu kamu bisa seperti ini. Kamu bisa jelaskan padaku
mengapa tubuhmu menolak azzo”. Fiko memulai pembicaraan.
“Jika aku
bertanya mengapa kamu tidak memiliki azzo lain selain api, apa yang akan kamu
jawab?”, Ray balik bertanya.
“Karena
jika tubuhku tidak sanggup mengontrol azzo lain yang berbeda, aku akan membunuh
diriku sendiri Ray. Azzo itu akan saling menyerang dan merusak organku secara
perlahan atau secara langsung”.
“Itulah
aku. Secara gambaran tadi aku bisa diibaratkan demikian Fiko. Tubuhku menolak
azzo yang menyentuhnya”.
“Tapi
mengapa kamu bisa sakit Ray? Padahal antara azzo yang satu dan yang lain akan
saling menyerang”, kata Fiko.
“Aku azzo
dewa, bukan azzo biasa Fiko. Aku perlu tubuh tuanku untuk mengendalikan azzo
lain. Aku azzo kosong. Untuk memiliki azzo aku perlu wadah sebagai pengatur pembagian
atau sebagai penyatu antara aku dan azzo lain”. Ray merapatkan kakinya dengan
cara ditekuk.
“Ray, aku
benar-benar menyesal telah membuat kamu sakit seperti kemarin. Seandainya kamu
memberitahuku tentang hal ini, maka aku tidak akan mengeluarkan linggi”.
“Itu
salahku karena aku tidak pernah memberi tahumu Fiko dan lagi aku yang memintamu
mengeluarkan linggi, bukan? Jadi ini bukanlah salahmu Fiko”.
“Maafkan
aku ya Ray”. Fiko merangkul pundak Ray.
“iya
Fiko”. Ray tersenyum.
“Kamu
manis kalau tersenyum begini Ray. Aku suka melihatnya”, puji Fiko.
“Wah, aneh
kamu Fiko. Kamu suka melihat senyum orang lain padahal senyum kamu lebih
memukau daripada aku”.
Fiko
akhir-akhir ini merasakan perubahan Ray yang mulai bisa hangat padanya. Fiko
menganggap ini suatu yang baik kedepannya untuk mereka berdua apalagi mereka
sekarang tinggal satu rumah jadi rada canggung saja kalau tidak saling tegur
sapa seperti dulu saat Ray masih agak dingin.
“Cerah
sekali langit malam ini ya”, kata Ray sambil menatap langit dari balik jendela.
“Indah
sekali bintang-bintangnya Ray. Sayang Naolla tidak tampak dari sini”.
Ray
menunduk dan merasa bersalah pada Fiko. “Kamu melindungiku dari Sukaw tapi sekarang
Naolla memerlukanmu Fiko. Kamu harus kembali ke Naolla secepatnya. Aku tidak
ingin rakyatmu menganggap kamu ingin menguasaiku dan memiliki seluruh Naolla”.
Fiko
mengangkat dagu Ray dan mengarahkan ke arahnya. “ Lihat aku Ray. Apakah aku
tampak menginginkan rakyatku menderita? Aku memikirkan mereka, sangat
mengkhawatirkan mereka. Tetapi Hrewa Kufe pasti berpesta pora menikmati
kekayaan alam dari seluruh Naolla tanpa memikirkan penderitaan diluar Vocare.
Aku bingung Ray”. Kini Fiko yang tertunduk.
Ray memeluk tangan kiri Fiko yang besar sambil
bersandar di bahu Fiko. “ Aku juga ingin melihat Naolla seperti dulu Fiko.
Namun tampaknya semua orang telah melupakan kita. Terbukti dengan tak ada orang
Naolla yang pernah menjenguk kita sekalipun disini”.
Fiko
merangkul bahu Ray dan mendekatkan kepalanya ke rambut Ray. “ Aku senang kok,
bisa bersama kamu disini dan hidup seperti manusia”.
“Terimakasih
ya Fiko. Kamu sudah lebih dari sekedar kakak buatku”.
Ray
menengadahkan wajahnya ke atas dan Fiko menatap mata Ray hingga entah apa yang
membuat suasana jadi berbeda dengan tiba-tiba tatapan mereka berubah menjadi
sesuatu yang tak biasa antara dua pria. Tatapan yang penuh dengan cinta.
Tatapan mereka bertemu dan menuntun Fiko mendekatkan bibirnya ke bibir Ray. Nafas
Fiko kian terasa berhembus didekat wajah Ray. Perlahan-lahan Ray sedikit
membuka bibir dan menyambut bibir Fiko. Terjadilah sesuatu yang tak pernah
terlintas sebelumnya oleh mereka berdua. Fiko mengigit pelan bibir Ray yang
agak kemerahan. Mata mereka saling memandang penuh hasrat. Ray membalas ciuman
Fiko seindah mungkin. Bibirnya kian pasrah menerima gigitan dari pria tampan
itu. Ray membalas ciuman Fiko seperti dia yakin dengan perasaan ini. Lembutnya
sapuan lidah dan bibir Fiko mengantarkannya lupa akan Naolla dan bumi untuk
sejenak. Fiko memilin bibir Ray dengan penuh perasaan sehingga Ray benar-benar
seperti terbang ke langit malam yang indah.
Masih
menyatukah bibirnya dan bibir Ray, perlahan tapi pasti, Fiko merebahkan tubuh
Ray dilantai dengan ia di atasnya. Bibir mereka menyatukan hasrat yang ternyata
sudah mereka saling rasakan ketika mulai akrab. Fiko dan Ray menarik nafas
sejenak kemudian melanjutkan ciuman mereka kembali. di celana mereka berdua
telah berdiri dengan tegaknya senjata kebanggan masing-masing. Fiko menukarkan
ludahnya dengan Ray berkali-kali tanda mereka menikmati kehangatan ini. Dada
bidang Fiko tak luput dari belaian tangan Ray apalagi ketika tangan itu
menyusup masuk dan memilin kedua puting Fiko yang mulai mengeras. Bibir Fiko
dan lidahnya semakin liar beradu dengan lembutnya bibir Ray.
“Aw! Fiko
sakitttt”, protes Ray saat Fiko menggit bibirnya. Namun secara cepat Fiko
kembali menyambar bibir Ray dan memasukkan ludahnya.
“Ahhhh”,
desah Fiko.
Suara
cipokan mereka terdengar cukup menggoda.
“Fiko. Sudah”. Ray ternyata masih takut akan
hal ini dan terkurung dalam dasar keraguannya. Dia pun bangkit berdiri sambil
mengambil kantung tidurnya.
Fiko paham
dengan apa yang ada dipikiran Ray maka dia pun mencoba mengerti apa yang Ray rasakan
dan mendekati Ray yang berbaring dikantung tidurnya sambil dia berbaring juga.
“Ray
maafkan aku ya. Aku tidak bisa menguasai diriku. Aku benar-benar bingung dengan
perasaan ini”. Fiko memeluk Ray dan menempelkan kepala Ray kedada bidangnya. Untuk ini Ray tidak menolak
bahkan Ray melingkarkan tangannya keperut Fiko yang kotak-kotak.
“Maafkan
aku juga Fiko. Aku belum bisa”.
Fiko
akhirnya lega setelah dia tahu bahwa Ray tidak marah padanya dan merekapun
tertidur dengan saling berpelukan.
Hamparan
awan abu-abu tersisih oleh indahnya mentari pagi.
Diantara
keheningan pagi di Toshirojima. Tampak beberapa orang penduduk sedang memberi
makanan pada kucing-kucing di sekitar rumahnya. Disisi lain ada dua sosok tubuh
sedang berpelukan mesra. Apakah ini yang dinamakan cinta atau hanya sebatas
pelampiasan saja? Yang harus diperhatikan disini siapa orang yang sedang
berpelukan itu? Mereka adalah penghuni Naolla yang disembunyikan dibumi. Fiko
terbangun menatap Ray yang tampak pulas tidur didadanya.
“Aku tidak
tahu apakah aku baik-baik saja atau tidak?”, Fiko bertanya pada dirinya
sendiri. Namun dia sangat ingin melindungi Ray dan selalu ada Ray disampingnya.
Dengan pelan-pelan ia eratkan pelukannya dan menciumi kepala Ray.
Penginapan
tempat Ray bekerja sedang kedatangan tamu dari Tokyo. Meski agak repot namun
nyonya Aiko masih bisa melayani tamunya. Yang musti mengeluarkan tenaga ekstra
sebetulnya adalah tuan Yamamoto karena dia masuk lebih awal. Untunglah tamu di
penginapan itu baru dua orang dan mereka tidak cerewet.
Salah
seorang tamu penginapan itu keluar kamar dan berniat lari pagi sambil menikmati
suasana Toshirojima. Tamu ini pria tampan dan gagah sekali yang tampaknya bukan
seperti orang Jepang dan lebih mirip seperti orang Amerika. Apakah dia turis
yang sedang berkunjung ke Toshirojima? Dengan mengenakan baju kaos dan celana
pendek, dia berlari-lari menyusuri jalanan Toshirojima. Sesekali dia menyapa
orang-orang yang ia temui dijalan.
Sementara
di Naolla, siang ini terasa agak berbeda karena posisi batu-batu kristal sedang
agak jauh dari Naolla.
“Siapkan
beberapa buah batu Hajunba lagi kita perlu untuk memancing pintu ini”, pinta
Gete yaitu orang yang diminta Sukaw untuk memperbaiki Hajunba, pada Brello.
“Memangnya
tuan sudah sering memperbaiki Hajunba?”, tanya Brello sambil menyerahkan
serpihan batu.
“Sangat
sering. Kamu tahu tidak, aku punya rahasia dalam memperbaiki setiap Hajunba”.
“Apa itu
tuan?”.
“Aku
selalu mengenakan cincin biru milik istriku. Lihat ini. Hahaha… Lucu kan?”, dia
memperlihatkan cincin di jari kanannya.
Brello
hanya tersenyum menanggapi tuan Gete.
“Oh ada
satu lagi anak muda, aku takut pada bulan merah. Aku tidak ingin keluar pada
saat bulan merah, kata nenekku dulu bulan merah adalah otak dari seluruh
kecelakaan kerja”, kata Gete agak berbisik seperti takut didengar orang.
“Jangan khawatir Brello aku tidak percaya kata-kata nenekku itu, cuma aku takut
melihat bulan merah yang menggantung seperti mau jatuh itu”. Gete menempelkan
batu-batu itu berseberangan agar memancing Hajunba terbuka.
Akhirnya
hari yang ditunggu-tunggu pun tiba. Setelah beberapa hari terus mereka coba
untuk mengaktifkan kembali Hajunba itu dan akhirnya Hajunba itu bisa terpancing
dan aktif kembali. Sukaw sudah tidak sabaran untuk mengirim beberapa orang
pilihannya ke tempat Ray. Orang-orang itu memiliki kemampuan khusus dibidang
penangkapan. Maka Sukaw menunjuk Creasa Fru, Koloji, Alian dan Vehu Te. Mereka
semua berasal dari Yuari pengintai terlatih dan telah beradaptasi untuk kasus
Ray dan Fiko.
“Ketua.
Apakah kita harus menyamar dahulu?”, tanya Creasa pada Alian.
“Kita akan
menyamar terlebih dahulu di bumi sebelum menangkap mereka. Kita akan menyusun
strategi penangkapan yang sempurna terlebih dahulu”.
“Kalian
bersiap-siap ya. Pintu ini hanya terbuka dalam beberapa detik saja”, terang Gete.
“Baik
tuan”, jawab Cre diikuti anggukan dari yang lain.
Disaksikan
Sukaw, mereka pun telah bersiap-siap didepan Hajunba itu.
Gete mulai
menempelkan beberapa batu untuk memancing Hajunba terbuka. Secara perlahan namun
pasti Hajunba itu terbuka dan ketika pintu Itu terbuka sempurna dengan segera
Creasa dan Alian masuk kemudian dilanjutkan Koloji dan Vehu dan setelah itu
pintu tertutup kembali.
Ray telah
sembuh dan kembali bekerja di penginapannya seperti biasa. Siang itu dia sedang
mengantarkan makanan untuk tamu berwajah bule yang belakangan diketahui bernama
Adam. Adam ternyata sudah sejak kecil tinggal di Tokyo mengikuti orang tuanya
yang bekerja di kota itu. Dia seorang mahasiswa yang tengah liburan musim panas
di Toshirojima.
Langkah
kaki Ray tampak bersemangat mendorong meja pengangkut makanan ke kamar Adam.
Setelah sampai didepan pintu kamar, dia mengetuknya. “Permisi tuan. Makan siang
anda sudah siap”.
Ray
menunggu kamar dibuka oleh Adam. Terdengar ganggang pintu dibuka dan dari balik
pintu muncullah sosok tampan Adam menyambut Ray.
“Silahkan
bawa masuk kedalam”, kata Adam.
Ray
tersenyum ramah dan membawa makanan itu masuk. Sementara mata Adam tampak
memperhatikan sekujur tubuh Ray.
“Saya
taruh dimana tuan?”.
“Taruh
saja di sini”, tunjuk Adam kedekat meja sambil ia duduk di pinggir tempat
tidur.
“Kalau
begitu saya permisi dulu tuan”, kata Ray sambil membungkukkan badan.
“Tunggu.
Saya rasa, saya perlu teman makan sebentar. Apakah anda keberatan?”, tanyanya.
“Dengan
senang hati tuan”. Ray tak jadi keluar dan duduk di salah satu bangku di samping
meja.
Adam
beranjak dari tempat tidur dan duduk di kursi depan meja. Dia membuka tudung
saji dan mengambil makanan di dalamnya. Ray membantu Adam mengambilkan alat
makan. Ini sudah sewajarnya bagi Ray untuk melayani tamu. Ray sebenarnya sosok
yang baik hanya saja dia sering menyendiri akibat banyak orang di Naolla yang
tidak senang dengannya.
“Oh iya,
bolehkah saya kenal anda?”, tanya Adam sambil makan.
“Saya
Hucky Nagaray dan sering dipanggil Ray, tuan”. Ray menjulurkan tangannya dan
disambut oleh Adam untuk berjabat tangan tanda perkenalan.
“Saya Patrick
Adam “.
Adam
memiliki wajah yang macho dan tampan. Setelah berkenalan, Adam kembali
melanjutkan makannya.
“Bagaimana
makanannya tuan? Enak?”.
“Enak
sekali, tapi jangan panggil aku tuan. Aku terlalu muda untuk itu. Panggil saja
aku Adam”.
“Baik
Adam”.
Setelah selesai
dengan makanannya, dia berbincang-bincang dengan Ray.
“Disini
tidak ada sinyal handphone ya?”.
“Sebenarnya
sinyal disini masih ada cuma lemah saja”.
“Kamu
kelihatannya bukan orang sini”, selidik Adam sambil memperhatikan wajah dan
perawakan Ray.
“Ermmm…
Begitulah”.
“Kamu
berasal dari mana Ray?”.
Ray sempat
bingung menjawab pertanyaan Adam karena dia tidak tahu pasti tentang bumi dan
penghuninya bisa jadi dia salah sebut dan membuat Adam curiga.
“Aku berasal
dari…”. Ray berfikir sejenak. Dia teringat akan sebuah masakan bernama Pizza dari Itali maka dia pun
menyebutkan negara itu walau dia sendiri tidak tahu pasti bagaimana wajah orang
Itali. “Italia”.
Adam
memperhatikan Ray lekat-lekat. Tak sedikitpun wajah Itali atau perawakan Ray
menggambarkan asalnya. Dia pun bertanya dimana keluarganya tinggal. “Keluargamu
dimana?”.
“Ayah dan
ibuku sudah tidak ada. Sekarang aku hanya tinggal bersama kakak lelakiku”.
Adam
berusaha percaya dengan Ray.
“Kamu
kerjanya sampai malam Ya?”.
“Sebenarnya
aku kebagian ship siang, tetapi untuk beberapa saat kedepan aku akan kerja ship
malam”.
“Kapan-kapan
kamu ajak aku mengelilingi pulau ya Ray”, pinta Adam.
“Hmmmppp..
Nanti ya aku cari waktu yang tepat dulu. aku permisi dulu Adam. Aku harus
mengantar piring-piring ini kedapur”. Ray mengambil piring-piring bekas makanan
Adam dan mendorongnya dengan meja dorong kedapur.
Didapur
ada nyonya Etsuko yang bertugas memasak makanan untuk tamu dan tugas lainnya
didapur seperti menyuci piring dan perkakas dapur.
“Ini
nyonya ada piring kotor”. Ray memindahkan piring itu keatas tempat cuci piring.
“Taruh
saja di situ Ray. Terimakasih ya”. Nyonya Etsu masih memotongi gurita yang
nantinya entahlah mau dimasak apa.
Ray
menaruh meja dorongnya di pojokan dapur kemudian kembali melakukan tugasnya.
Ray selalu
bertanya-tanya mengenai kehidupan manusia diluar sana. Dia ingin melihat bumi
yang luas dan berjumpa dengan orang-orang baru. Ray yakin banyak orang-orang
menarik diluar sana. Tetapi Ray belum tahu bahwa keadaan bumi juga sedang
memprihatinkan karena sebagian wilayah dibumi sedang di rusak habis-habisan
oleh manusia. Bumi di kuras habis sesadis-sadisnya demi kepentingan manusia
yang semakin bertambah banyak. Makanan, tempat tinggal dan pendidikan manjadi
barang langka disebagian wilayah dibumi. Ray memang belum tahu menahu mengenai
bumi.
“Nyonya
saya mau protes”, kata salah seorang penyewa kamar di penginapan nyonya Aiko.
“Iya
silahkan”. Nyonya Aiko terlihat ramah.
“Saya
menemukan botol bekas minuman mineral di dalam laci meja saya yang tampaknya
bekas botol minuman dari penyewa kamar sebelumnya”, protes seorang wanita muda
berwajah oriental.
“Maafkan
kami atas ketidak nyamanan ini nona. Kami akan membersihkan kamar anda segera.
Ray….”, panggil nyonya Aiko.
“Bukan itu
yang saya permasalahkan. Ini menyangkut kerja pegawai anda nyonya. Kalau soal
membuang botol minuman saya juga bisa”.
“Sekali
lagi saya mohon maaf nona”.
Ray
menghampiri nyonya Aiko dimeja resepsionis.
“Ada yang
bisa saya bantu nyonya?”.
“Tolong
kamu bersihkan sampah dilaci yang kelupaan dibuang dikamar nona Ino”.
“Baik
nyonya”. Ray membungkukan badan dan
menuju kamar nona Ino.
Setelah
sampai dikamar, Ray mengecek keadaan kamar itu dan membuka laci meja kemudian
menyedot debu ditempat tidur maupun lantai. Ketika dia yakin bahwa semuanya
sudah beres, Ray membawa botol bekas itu dan membuangnya ketempat sampah.
Melihat tempat sampah yang penuh, Ray berniat membakar sampah-sampah itu. Dia
angkat tempat sampah itu untuk dibawa ke bagian pembakaran sampah di belakang. Setelah
sampai ditempat yang ia tuju, dia tumpahkan seluruh isi tempat sampah dan
menyalakan api untuk membakarnya. Dari balik jendela di penginapan, ternyata
Adam sedang melihat kegiatan Ray. Tampaknya dia akan menghampiri Ray yang
sedang membakar sampah. Benar saja, tak lama kemudian Adam yang mengenakan
celana jeans panjang berwarna hitam dan kaos singlet putih menghampiri Ray.
“Siang-siang
begini bakar sampah. Rajin sekali kamu Ray”.
“Mumpung
lagi ada waktu luang Adam”. Ray terus merapikan beberapa sampah yang tidak
terkena api.
“Pasti
takut dimarahi nyonya Aiko ya?”, tanya Adam sambil tersenyum bercanda.
“Nyonya
Aiko tidak pernah marah pada kami. Beliau orangnya ramah dan baik. Tetapi kalau
ada komplain dari tamu kan aku dapat teguran juga dari nyonya Aiko”.
“Benar
juga sih. Di sekitar sini aku bisa ikut memancing ikan tidak Ray?”.
“Kamu mau
memancing?”.
“Iya nih
aku mau coba memancing”.
“Ada kok,
tapi jika kamu dapat ikan nanti dibagi ke para kucing ya”.
“Mengapa
begitu Ray?”. Adam ingin tahu.
“Kalau
kamu mau kaya dan beruntung maka harus memberi kucing-kucing itu. Para nelayan
pun sering memberikan beberapa ikan hasil tangkapannya pada kucing”. Ray
menjelaskan pada Adam sambil dia duduk di dekat Adam.
“Tentang
kucing di pulau ini, apakah mereka memang dikembang biakan Ray? Banyak sekali
kucing hidup bebas dipulau ini”.
“Aku tidak
tahu pasti, namun berkat kucing-kucing itulah pulau ini jadi tujuan wisata”.
“Lalu dari
mana kucing sebanyak itu berasal?”.
“Aku
pernah di ceritakan oleh tetangga ku, kata beliau, dahulu kala
penduduk pulau mengembang
biakan ulat sutera. Namun karena ulat-ulat sutera
tersebut selalu dimakan para tikus maka di peliharalah beberapa kucing untuk
menanggulanginya. Selain
sutera, pemberat jaring juga
sangat populer di pulau ini setelah Periode Edo dan membuat para nelayan dari daerah-daerah lain akan datang
kepulau
ini serta tinggal untuk
beberapa waktu. Seiring
dengan datangnya para nelayan, maka para kucing yang lapar akan pergi ke penginapan untuk mengais sisa-sisa makanan. Para nelayan yang melihat
tingkah laku kucing itu, sangat senang sehingga mereka mengamati tingkah laku para kucing dan
bisa menafsirkan tindakan mereka itu sebagai cara untuk memprediksi cuaca. Suatu hari, ketika para nelayan sedang mengumpulkan batu
untuk digunakan dengan pemberat jaring, batu tersebut jatuh dan membunuh salah satu kucing. Para
nelayan, merasa menyesal atas kehilangan kucing sehingga dikuburkan dan diabadikan di pulau. Semenjak itulah kucing berkembang
biak dengan baik di sini”.
Adam
tersenyum melihat Ray berbicara.
“Kamu lucu
dan menggemaskan Ray”.
Ray
bingung mendengar ucapan Adam yang tidak ada sangkut pautnya dengan pembicaraan
ini.
“Terimakasih.
Aku mau kembali ke dalam dulu ya”. Ray bangkit dan mengambil tempat sampah
kosong tadi.
“Lho kok
buru-buru. Biar aku bantu untuk membawa tempat sampah itu Ray”. Pinta Adam
sambil mencegah tangan Ray untuk mengangkat tempat sampah itu.
“Jangan
Adam nanti dilihat nyonya Aiko”.
“Tidak
apa-apa. Sini”. Adam membawa tong sampah dan berjalan mengikuti Ray.
“Taruh
disini Adam”, tunjuk Ray pada sisi dinding dilorong menuju kamar.”Terimakasih
atas bantuannya ya”. Ray tersenyum dan berniat meninggalkan Adam.
“Tunggu
Ray”, Adam memegang tangan Ray dan “Muachhh”. Sebuah ciuman mendarat dipipi
Ray.
Ray tampak
marah, dengan cepat dia mencengkram leher Adam dan mendorongnya kedinding.
“Anda
jangan melecehkan saya tuan Adam! Saya bisa bertindak kasar sama anda”.
Tangannya mencengkram erat-erat leher Adam.
Dengan
berusaha menarik nafas yang tertahan cengkraman Ray, Adam meminta maaf. “ Maaf
kan aku Ray. Aku tidak bermaksud…”.
Ray
melepaskan cengkraman tangannya dan bergegas meninggalkan Adam.
Dilautan
lepas yang biru Fiko sedang membuat sashimi untuk makan siangnya bersama tuan
Takeshi. Di terpa angin laut yang sedikit kencang membuat kapal mereka
bergoyang namun tetap terasa asik sambil menikmati segarnya daging ikan.
Disela-sela
makan mereka tampak bercanda. “Pernahkah kamu melihat ikan sebesar rumah kamu
Fiko?”.
“Hah?
Sebesar itu? Mana ada yang begitu tuan. Ikan obesitas kali. Hahaha”, canda
Fiko. Memang selama dibumi dia masih belum tahu dan belum pernah melihat ikan
lebih besar dari ikan tuna atau hiu.
“Bukan.
Ini hiu paus. Ikan terbesar dari semua ikan”. Tuan Takeshi sambil memakan
sashiminya.
“Bagaimana
kalau dia muncul di sini tuan? Kita bisa ditelan dengan perahunya sekalian”,
tanya Fiko dengan wajah resah.
“Tenang
Fiko, ikan itu tidak punya gigi jadi kita aman”.
“Ternyata
Tuhan itu maha adil ya. Kalau ikan sebesar itu punya gigi bisa gawat kita para
nelayan”.
“Benar
sekali Fiko aku setuju”.
Mereka
melanjutkan acara makannya dan kemudian bersiap-siap untuk mencari lokasi dengan
banyak ikan yang bisa ditangkap.
Setidaknya
Fiko benar-benar merasa hidup ketika dibumi. Dia menikmati apapun yang dia
kerjakan tidak seperti saat dia menjadi Raja di Vocare. Segala sesuatu yang
serba ada dan memiliki kekuasaan kadang membuatnya lupa akan kehidupan di dasar
Hrewa Kufe. Mungkin sebagian alur takdir ini memang rencana yang sengaja di perlihatkan
untuk diambil hikmahnya oleh Fiko. Dia memang berbeda jauh sekali di
kehidupannya yang sekarang.
***
Fugk yang
damai terlihat lengang sekali. Di gang antara dinding rumah susun padat
penduduk di pulau Fugk tampak segerombolan brandalan memeras remaja lelaki.
“Mana uang
mu? Hah! Cepat…”, pinta salah seorang yang megenakan penutup kepala.
“Saya
tidak punya tuan”, rengek remaja itu.
“Bohong!”.
Tanpa basa-basi dia memukul remaja itu hingga tersungkur ke tanah.
“Sudahlah
kak, langsung aja kita bunuh dia”, kata lelaki berbaju hitam.
“Jangan
tuan… tolong biarkan saya lewat”.
“Bodoh
sekali kami mendapatkan mangsa sepertimu di lepaskan begitu saja. Periksa
kantong celananya!”, pinta lelaki bertutup kepala pada temannya.
Dengan
segera lelaki berbaju hitam merogoh saku celana orang itu dan tidak menemukan
apa-apa.
“Dibawah
sepatunya!”.
“Jangan
tuan…”.
“Diam!”,
bentak lelaki baju hitam sambil jongkok memeriksa sepatunya.
Melihat peluang
untuk kabur, akhirnya pemuda itu nekat untuk berlari sekencang-kencangnya.
“Hai! Awas
kau ya. Mati kau!!!”. Para berandalan itu mengejar remaja tadi.
Aksi
saling kejar-kejaran pun akhirnya tak terelakkan. Namun nasib sial sedang
melanda sang remaja, dia terjebak di jalan buntu.
“Mau lari
kemana kamu? Bodoh!”, kata pria bertutup kepala.
“Hiat!”,
pemuda itu melemparkan tutup tong sampah ke arah para berandalan. Karena tidak
ada jalan, maka dia merentangkan kedua kakinya untuk memberi tekanan pada kedua
dinding dan mengangkat tubuhnya ke atas gedung. Melihat itu para berandalan
mengikutinya dan mengejar pemuda itu hingga atap gedung. Aksi kejar-kejaran
antar berandalan dan pemuda diatap gedung tak terhindarkan. Pemuda itu terus
berlari melompati gedung satu kegedung lainnya hingga sampai pada gedung yang dipisahkan
jalan.
“Wah..
gimana ini?”. Tentu saja dia tidak bisa melompati gedung itu karena jaraknya
yang jauh.
“Mau lari
kemana kamu? Hahaha”, tanya lelaki berpenutup kepala.
Pemuda
yang terdesak tampak tak bisa berbuat apa-apa lagi. Para berandalan itu pun
menghantamkan beberapa pukulan ke wajah dan tubuhnya, walau dia berusaha
melawan sebisa mungkin namun karena dia hanya sendiri akhirnya pukulan-pukulan
itu pun mengenainya.
Dia
mengerahkan seluruh tenaganya untuk lari ke sisi gedung. Dia lihat kearah bawah
yang tampak kecil karena tingginya gedung ini. “Aku tak mau mati sia-sia”.
Tanpa pikir panjang dia terjun kebawah dan…
“Kamu mau
mati?!”. Ternyata seorang Yuari yang sempat menolongnya dengan mengendarai
burung mesin.
“Terimakasih
tuan”.
Melihat
ada Yuari yang mengejarnya, para berandalan itupun lari agar tidak tertangkap.
Jatuhan serpihan batu yang terkena kaki para berandalan mengenai seorang anak
kecil di bawah gedung. Si anak menoleh ke atas dan tampak Yuari sedang
kejar-kejaran dengan para berandalan.
“Penjahat!”.
Dia lari masuk rumah sambil matanya menahan tangis akibat tubuhnya terkena
serpihan batu.
Sementara
di sebuah ruangan tertutup, beberapa orang yang ahli dalam bidang Hajunba
sedang berusaha mencari cara agar bisa menggunakan batu karang kecil itu untuk
ke bumi.
“Harus
mencari cara lain lagi,Somba”, kata Are pada rekan wanitanya.
“Somba
tidak tahu harus bagaimana lagi tuan Are”, sahut Somba.
“Diantara
batu sebanyak ini tak ada satu pun yang berhasil membuka jalan ke bumi. Apakah
batu ini tidak mampu menuju bumi?”. Wqo menaruh sebuah batu ke atas meja.
“Batu ini
sebenarnya bisa kita gunakan, tetapi untuk efektifitas nya kita harus menemukan
media yang tepat untuk membuka dimensi ke bumi”. Tuan Are bicara sambil
memebetulkan kacamatanya.
“Bagaimana
kalau kita menggunakan benda lain yang bisa dibuka seperti jendela atau laci?”,
saran Wqo. Pria brewokan ini beranjak dari tempat duduknya.
“Ide bagus
itu, kita bisa mencobanya. Kita harus segera menyuruh para Yuari untuk
mengumpulkan beberapa barang yang bisa di buka”. Kata Somba.
“Biar saya
saja yang mendatangi tuan Karveo untuk bisa menyiapkan para Yuarinya. Kalian
disini saja sambil mempersiapkan beberapa batu yang tersisa untuk percobaan
berikutnya”, kata Wqo. Dia pun melangkahkan kaki keluar ruangan dan menuju
gedung Yuari.
Gedung
Yuari, gedung pemerintahan dan gedung-gedung penting lainnya memang terletak
disatu komplek. Deretan bangunan besar ini berdiri kokoh di tengah pulau Fugk.
Setelah
mendatangi tuan Karveo dan mengutarakan maksudnya pada beliau, Wqo segera
menuju ruang latihan Yuari dan menceritakan tujuannya meminta bantuan para
Yuari. Segera saja para Yuari itu membubarkan barisan untuk mencari barang-barang
yang dimaksud. Satu per satu para Yuari mengumpulkan barangnya diruangan kerja para
ahli Hajunba. Ada yang membawa gelas, ada yang membawa tas, dan barang-barang
penting yang memiliki ruangan berongga.
“Apakah
masih kurang tuan Are?”, tanya Karveo.
“Untuk
sementara kita coba barang-barang ini terlebih dahulu tuan karena saya khawatir
dengan persediaan Hajunba yang tinggal sedikit lagi”.
“Baiklah
kalau begitu tuan, anda tahu dimana saya berada apabila anda perlu bantuan
Yuari lagi”. Tuan Karveo segera meninggalkan ruangan itu.
“Segera
kita pelajari setiap perkembangan terkecil. Untuk itu siapkan seluruh kemampuan
otak kalian agar tak luput dari tanda sekecil apapun”, kata tuan Are.
“Pertama-tama kita bagi batu ini menjadi tiga. Karena yang tersisa hanya 74
buah, maka kalian akan aku beri masing-masing 25 biah sedangkan aku sisanya.
Siap?”.
“Siap
tuan”, sahut Wqo.
“Segera
laksanakan”, kata Somba.
Merekapun
mengambil barang-barang yang diperlukan dan meletakkan batu Hajunba dibagian
tertentu dari barang yang dipilih.
Setiap
barang yang selesai di coba, tidak akan diulang lagi sebab Hajunba itu perlu
menunggu waktu semalaman Naolla untuk berfungsi kembali. mereka bertiga sangat
serius merasakan keberadaan Hajunba menuju bumi.
Hari yang
sangat melelahkan namun mereka berhasil mengidentifikasi sepuluh barang yang
memiliki kekuatan Hajunba lebih dari yang lain.
“Kita bawa
barang ini untuk dilaporkan pada tuan Qaza”, kata tuan Are pada para
asistennya.
Merekapun
membawa barang itu dalam sebuah tas hitam. Dari ukuran tas dan banyaknya tas
yang dibawa, tampaknya Hajunba yang bisa digunakan itu memiliki ukuran
kecil-kecil.
Di ruang
Qaza, tuan Are membuka tasnya dan memperlihatkan isi dari tas tersebut.
Tuan Qaza
berkomentar,”Apakah kalian serius? Ini ada sepuluh barang yang ukurannya kecil
aku yakin kaki kalian pun tak bisa masuk ke benda ini”. Tuan Qaza mengangkat
gelas kaca.
Di tas
tersebut terdapat vas bunga, gelas, mangkuk, kotak perhiasan, botol, pipa,
cangkir, tempat tisu, kaleng dan sepuluh dengan tas yang mereka bawa.
“Saya
tidak tahu mengapa tuan tetapi alangkah terkejutnya kami saat mengetahui bahwa
Hajunba ini memiliki kestabilan didalam pipa kecil ini. Saking stabilnya kami
bisa melihat secara samar manusia dibumi. Kami yakin pipa inilah satu-satunya
barang yang bisa membuka jalan ke bumi”, terang tuan Are.
“Kalau
hanya pipa ini, bagaimana kita menolong Ray?”.
“Kami
harus memikirkan cara terbaik untuk itu. Kami tadi yakin sekali bahwa bayangan
yang kami lihat adalah manusia bumi, hanya saja Hajunba yang kami pergunakan
adalah Hajunba yang kurang bagus kualitasnya”.
“Kita juga
harus membicarakan hal ini dengan Loka. Ini sangat aneh Are. Aku tak bisa
berbuat banyak kalau begini. Strategi baru harus kita bentuk sekarang”. Tuan
Qaza duduk sambil tampak berfikir.
***
Matahari
sudah terbenam dibarat mengisayaratkan malam akan segera datang. Fiko yang baru
sampai rumahnya, memarkir sepeda dan segera masuk kedalam rumah. Rumah tampak
gelap dan tidak ada orang. Kali ini bukan karena Ray ketempat tetangga tapi
karena Ray sekarang pulang malam. Fiko benar-benar merasa kangen akan makan
bersama dengan Ray seperti beberapa hari yang lalu. Walau Ray baru menjalani
shif malamnya namun Fiko merasa kesepian kalau makan sendirian.
“Ray
sekarang hanya bisa aku pandang saat tidur sebelum berangkat melaut. Kami akan kembali
merasa jauh seperti dulu padahal baru
saja kami akrab”.
Fiko masuk
kamarnya dan mengambil handuk kemudian mandi membersihkan tubuh yang penuh dengan
bau ikan. Setelah dia telanjang bulat perlahan air mulai mengguyuri tubuh
kekarnya. Otot-otot itu tidak menyembul dengan sendiri melainkan hasil bentukan
selama dia berlatih sebagai pasukan Yuari.
Setelah
bersih, dia keluar kamar mandi dengan melilitkan handuk di pinggangnya. Tak
berapa lama kemudian Fiko telah berada didapur dan mencari bahan makanan di
lemari pendingin. Ternyata tak ada makanan atau sayur yang bisa dia makan.
Untunglah di lemari penyimpanan makanan terdapat beberapa ramen instan yang
siap untuk dimasak. Fiko mulai memasak makanan itu karena dia sudah sangat
lapar sekali. Sebentar saja dia sudah menyelesaikan makannya dan duduk sendiri
dimeja makan.
“Aku mau
ketempat Ray saja ah. Mungkin nyonya Aiko mengijinkan aku membantu pekerjaan
Ray yang belum selesai”. Fiko bergegas berdiri. Dia akan menuju penginapan
tempat Ray bekerja dan meminta nyonya Aiko mengijinkannya bertemu Ray atau
jikalau tidak bisa dia akan menunggu Ray sampai pulang. Wajahnya yang tampan
tampak semakin ceria karena secara tidak langsung matanya tampak memancarkan
rona bahagia dan penuh semangat ingin menemani Ray disana. Dia ambil sepedanya
dan mengayuhnya dengan cepat. Udara dingin diluar seakan tak menyentuh kulitnya
sama sekali mungkin dikarenakan saking dia bahagianya menuju penginapan milik
nyonya Aiko. Tak terasa setelah beberapa menit bersepeda sampailah dia didepan
penginapan nyonya Aiko. Langkah kaki menuntunnya masuk ke meja resepsionis.
“Selamat
malam nyonya”, sapa Fiko sambil membungkukan badan.
“Selamat
malam. Fiko? Ada apa nih? Tumben sekali berkunjung kemari. Ray pulang malam, jadi sekarang dia masih kerja”.
“Saya
sudah tahu itu nyonya. Maksud saya kemari ingin menunggu Ray pulang sekalian
kalau nyonya mengijinkan saya akan bersedia membantu Ray. Bagaimana nyonya?
Itung-itung karyawan gratis”, rayu Fiko agar membuat nyonya Aiko mengijinkannya
bertemu Ray.
Setelah
berfikir sebentar dia bertanya pada Fiko,”Memangnya kamu bisa bantu apa Fiko?”.
“Apa saja
nyonya saya bisa. Saya sudah sering melakukan tugas rumah kok, jadi nyonya tenang aja”.
“Baiklah
kamu silahkan masuk menemui Ray. Ingat, jangan mengganggu Ray yang bekerja
kecuali jika kerjaan Ray sudah beres”.
“Sip
nyonya. Saya masuk ya. Terimakasih banyak nyonya”. Wajahnya tampak senang
sekali. Dengan semangat dia menuju Ruangan karyawan namun disana tidak ada Ray.
Fiko menuju dapur dan menanyakannya pada nyonya Etsuko. “Nyonya, Ray dimana?
Kok tidak kelihatan”.
“Tadi aku
lihat dia sedang beristirahat diteras belakang”.
“Saya akan
cek kesana”. Fiko menuju teras belakang.
Decitan
langkah kakinya berirama diatas hamparan lantai yang terbuat dari kayu.
Tampaklah Ray sedang duduk dengan seorang pria diteras belakang. Fiko
bertanya-tanya didalam hati, apakah pria itu tuan Yamamoto namun dari postur
tubuhnya yang tinggi dia bukanlah tuan Yamamoto. Fiko semakin penasaran dan
menghampiri Ray.
“Hai Ray”,
Fiko tersenyum.
“Fiko?
Sedang apa?”.
“Aku
merasa tidak betah sendirian dirumah jadi aku meminta ijin pada yonya Aiko
untuk membantu mu disini. Hehehe… Kaget ya?”. Fiko duduk di samping Ray.
Ray yang
terapit dua pemuda tampan ini menjawab, “Kaget sih, tapi tidak apa-apa karena
nyonya Aiko sendiri sudah mengijinkanmu masuk. O iya, perkenalkan ini Adam
penyewa kamar dipenginapan ini”. Ray menyuruh Fiko berkenalan dengan Adam.
Fiko yang
agak menebar senyum palsu pada Adam mengulurkan tangan untuk berjabatan dengan
Adam.
“Saya
Adam. Kamu kakaknya Ray?”, tanya Adam.
“Fiko.
Ermmmm… Bisa dibilang begitulah”. Fiko menjawab sambil melepaskan jabat
tangannya.
“Tapi kok
kalian tidak mirip ya?”.
“Kami
memang berasal dari satu ayah namun berbeda ibu”, jawab Fiko.
Ray
berfikir sejenak dan didalam pikirannya dia membenarkan perkataan Fiko barusan yang menyebutkan mereka satu
ayah. Fiko adalah anak biologis dari Raja Vocare sedangkan dia adalah anak
Azzonya.
“Benar
Adam”, kata Ray menimpali perkataan Fiko.
Tatapan
mata Fiko terlihat kesal memandang gelagat Adam yang memiliki tujuan tertentu
dengan Ray. Sesekali tangan Adam terlihat menyentuh tubuh Ray. Entah mengapa
Fiko agak marah melihat ini karena dia sendiri bingung dengan perasaanya
sendiri. Dengan mengumpulkan keberaniannya, dia menegur Adam.
“Kamu bisa
kan tidak merangkul-rangkul Ray seperti itu? Disinikan tempat umum”.
Ray yang
memang risih dengan tingkah Adam sehingga
dia juga tampak sesekali menghindar. Namun karena dia terhimpit ditengah-tengah
maka dia tidak bisa berbuat banyak.
“Oh, ini
kan tanda aku ingin bersahabat. Tidak apa-apa kan Ray?”.
“Kami
memiliki cara tersendiri untuk menunjukan persahabata, Adam”, jawab Ray.
“Aku
paham. Maaf Ray aku tidak tahu”. Dia melepaskan rangkulannya. Dahi Adam tampak
terangkat tanda dia tidak senang dengan Fiko.
“Ray masuk
saja yuk. Disinikan dingin, nanti demammu kembali lagi”. Fiko menarik tangan
Ray.
“Karena
didalam suntuklah kami disini. Nanti saja masuknya, kasian Ray sudah bekerja
seharian dan sekarang dia baru mau santai eh di ajak masuk kedalam lagi”,
perotes Adam menarik tangan Ray satunya.
Fiko
mengalah dan kembali melepaskan tangan Ray.
“Kamu tahu
California Ray?”. Adam menyambung pembicaraanya yang sempat terpotong dangan
hadirnya Fiko.
“Tidak
tahu”. Ray melepaskan pegangan tangan Adam.
“Aku tanya
kok kamu selalu tidak tahu. Kalau di
Itali orang tua kamu tinggal di bagian mananya Ray?”.
Ray
bingung mau jawab apa. Dia menoleh ke Fiko seolah-olah memberi isyarat bahwa dia sedang mengarang-ngarang cerita
untuk meyakinkan Adam.
“Aku sajak
kecil sudah di adopsi di oleh salah seorang warga disini jadi aku tidak tahu
mengenai asli orang tuaku”.
“Mungkin
kamu tidak tahu tapi kakakmu tahu kan? Kamu tahu Fiko?”.
Fiko
terdiam dan sedikit berfikir untuk menutupi identitas mereka. “ Kamu siapa sih?
Tampaknya kamu mau tahu semua tentang kami. Urus saja masalahmu sendiri”. Fiko menjawabnya
dengan nada yang agak judes. Sebenarnya dia sangat kesal pada Adam namun
sebagian lagi dimaksudkan untuk menghindari pertanyaan Adam berikutnya.
“Yah,
marah deh. Maaf ya”.
Tanpa
memperdulikan Adam, Fiko berdiri dan meninggalkan Ray bersama Adam. Melihat itu
Ray menyusul Fiko untuk menjelaskan apa saja yang sudah ia katakan pada Adam.
Ray berfikir bahwa Fiko marah akibat Adam yang kurang sopan padanya.
“Fiko
tunggu”.
Fiko
menghentikan langkah kakinya. “Biarkan aku pergi Ray. Silahkan kamu santai
bersama Adam”.
“Tidak.
Aku rasa sebaiknya aku melanjutkan pekerjaan saja ketimbang santai ditemani
Adam”.
Fiko
menarik tangan Ray dan membawanya ke toilet.
“Fiko? Ada
apa?”. Ray bingung dengan sikap Fiko.
Fiko
menutup pintu toilet dan mendorong tubuh Ray kedinding. Tangannya yang berotot
ia rentangkan dengan bertumpu pada dinding agar Ray tidak bisa pergi. “ Aku
tidak suka kamu bergaul dengan orang itu Ray. Dia sepertinya tidak bisa
dijadikan temanmu”.
“Aku dan
dia sebatas penyewa kamar dan pegawai penginapan saja, Fiko”.
“Aku mau
tanya ke kamu, adakah penyewa kamar berani merangkul-rangkul seperti tadi?”.
Mata Fiko tampak kesal sekali.
Ray
mencoba menterjemkan cahaya mata Fiko. “Kamu kenapa Fiko?”. Ray mengelus wajah
Fiko. Dia mencoba memahami apa yang Fiko mau.
“Ray… Kita
bukan orang bumi. Sadarkah kamu tadi dia curiga pada kita? Mungkin untuk saat
ini dia hanya curiga pada kita, kalau suatu saat semua orang Toshirijima tahu
kita adalah penghuni Naolla, bagaimana?”. Fiko berusaha menahan rasa yang
berkecamuk di dalam dirinya. “Aku menyayangi mu Ray. Aku tidak mau kamu
kenapa-napa”.
Ray
memegang wajah Fiko dan mengarahkannya untuk menatap matanya.
“Ijinkan
aku menjaga diriku Fiko. Kita tidak selamanya bersama dan aku juga harus tahu,
cara menjaga orang-orang yang aku sayang agar aku tidak menjadi beban”.
Fiko
terdiam, dia mulai tenang. Tatapan matanya seolah menyampaikan isi hatinya pada
Ray. Kini Ray menemukan maksud dari ucapan Fiko. Tatapan mata mereka bertemu
pada satu titik yang menarik wajah Fiko mendekat ke wajah Ray. Karena Ray lebih
pendek dari Fiko maka Fiko menundukkan kepalanya dan perlahan-lahan meminta Ray
membuka bibir untuk segera menerima kecupan darinya.
Bibir
mereka mulai saling menyentuh dan ciuman hangat itupun terjadi. Fiko menggigit
bibir atas Ray dan Ray mengigit bibir bawah Fiko. Fiko merasakan setiap mili
bibir Ray. Lidahnya meminta untuk segera bertemu dengan lidah Ray. Lidah Fiko
menyeruak masuk ke mulut Ray dan menyentuh Lidah Ray. Ray berusaha membalas
perlakuan lidah Fiko. Lidah Fiko tahu pasti bahwa lidah Ray memang sangat
lembut untuk dimainkan. Ray juga lihai sekali mempermainkan tempo gerakan
lidahnya agar Fiko bisa menikmati kecupannya.
Fiko mulai
menggigit bibir bawah Ray dengan bibirnya. Ray mulai menikmati kecupan Fiko
tanpa berfikir lagi seperti pertama mereka melakukannya di malam itu. Liur Fiko
memasuki mulut Ray dengan pelan namun pasti. Ray tahu bahwa rasa air ludah ini
bukan miliknya namun dia menerima liur Fiko dan meneguknya. Fiko pun tak mau
kalah, dia menyedot lidah Ray selembut mungkin agar Ray tidak gelabakan. Selagi
asik berciuman, tiba-tiba secara mengejutkan seseorang membuka pintu.
“Ray?”.
Dengan tampang wajah bertanya-tanya, Adam agak kaget juga melihat Ray dan Fiko
berciuman dengan panasnya sementara mereka mengaku kakak beradik.
Tampaknya
Fiko tidak menyadari bahwa Adam sedang melihatnya menciumi bibir Ray dengan
mesra. Fiko terus saja menikmati sapuan lidah Ray pada lidahnya. Namun Ray
tampak menyadari kehadiran Adam sehingga
membuatnya buru-buru melepaskan sedotan Fiko pada lidahnya.
“Kenapa
Ray? Sakit ya”. Fiko mengarahkan jempolnya untuk menyeka air liur yang sedikit
membasahi tepian bibir Ray.
Ray
menatap kaget ke arah Adam yang berdiri didepan pintu toilet. Melihat Ray
memandangi sesuatu dari arah belakangnya, Fiko juga ingin tahu apa yang membuat
Ray menghentikan ciuman mereka. Dia menoleh kebelakang dan kagetlah dia setelah
melihat sesosok tubuh yang tak lain adalah Adam berdiri menyaksikan ciuman
mereka.
Ray
menyingkirkan tangan Fiko yang membentang mengapit tubuhnya dan buru-buru
mendorong Fiko menjauhi tubuhnya.
Fiko dan
Ray terdiam mematung. Ray agak gugup pada Adam karena Adam melihat dia
berciuman dengan Fiko. Untuk menghilangkan kegugupannya, dia akhirnya berjalan
meninggalkan Fiko serta Adam keluar dari toilet kemudian menuju ke arah depan.
Fiko pun menyusul Ray dan ketika berpapasan dengan Adam yang berdiri didepan
pintu, dia menatap Adam dengan tatapan sinis. Adam membalas tatapan mata Fiko
sambil tersenyum seribu arti. Fiko tahu bahwa ini akan membuat Ray kurang
nyaman bekerja nantinya. Fiko merasa ini semua salah dia yang tidak mampu menahan rasa aneh didalam
dirinya untuk Ray. Mungkin saat ini Ray benar-benar marah padanya.
Saatnya
untuk Ray pulang kerumah setelah bekerja hampir dua belas jam. Dia terlebuh
dahulu mengunci pintu-pintu yang harus dia kunci dan meninggalkan penginapan
itu. Nyonya Aiko dan tukang jaga sebenarnya masih ada di penginapan itu jadi
sebagian pintu masih tidak dikunci Ray. Dia melangkah kan kaki ke tempat parkir
sepedanya sementara disana telah menunggu Fiko yang tampak memejamkan mata
dengan beralaskan tangannya di stang sepeda. Ray tampak acuh pada Fiko.
Fiko yang
terkejut akibat bunyi Ray mengambil sepeda tersentak dan mengucek matanya.
“Ray, tunggu!”.
Ray terus
saja menggiring sepedanya ke jalan dan menaikinya tanpa memperdulikan Fiko. Di
dalam sebagian dirinya, Ray merasa Fiko tidak salah. Kejadian tadi sebetulnya bisa
dihentikan apabila dia tidak menerima ciuman Fiko. Heningnya malam seakan mengeraskan
suara gerakan mereka.
Fiko
mengejar Ray sambil mengayuh sepedanya. Diatas sepeda Fiko masih berusaha
meminta maaf pada Ray. “Ray jangan diamin aku lagi dong. Aku memang salah tadi
karena… “, Fiko menghetikan ucapannya karena dia bingung akan perasaannya
sendiri. Sekuat tenaga dia berusaha menterjemahkan apa yang dia rasakan pada
Ray dan ketika keberanian itu menjadi kekuatan, dia potong jalan Ray sekingga
Ray berhenti. Langsung Fiko turun dari sepedanya dan mendatangi Ray. Sepeda
Fiko ia letakan begitu saja di jalan. “Ray… Aku… Aku cinta padamu! Aku tahu ini
aneh namun aku juga tidak tahan jika terus membohongi diriku. Maafkan aku Ray”,
ucap Fiko serius sambil memegang bahu Ray erat-erat.
Ray
terdiam, matanya berkaca-kaca menahan air mata marah. “Dasar Raja bodoh! Bodoh!
Lepaskan aku sekarang!”, pinta Ray sambil berusaha melepas cengkraman Fiko.
Setelah lepas dia turun dari sepeda dan berusaha meninggalkan Fiko dengan berjalan
kaki saja.
Suasana
dipinggiran laut itu sangat mendukung untuk sepasang kekasih. Rembulan yang
cantik di atas langit bersama ribuan gemerlap bintang terpantul manis diatas
air laut bergelombang kecil. Sesekali terdengar nyanyian ombak ditepi pantai
yang sangat lengang dari aktifitas manusia. Sapuan angin menerpa tubuh mereka
berdua.
Fiko tak
mau kehilangan momen ini, dia raih tangan Ray agar dia mau mendengarkan isi
hati yang sebenar-benarnya dari seorang raja bodoh. Fiko benar-benar bingung
pada perasaannya hingga dia meneteskan air mata dan memeluk Ray erat. “ Ray…
Aku memang bodoh! Tapi aku tidak munafik bahwa aku hanya ingin bersamamu. Aku
sadar bahwa aku salah dan aku sadar bahwa rasa sayangku selama ini untukmu
ternyata sebuah cinta yang terkubur di ruang keraguanku. Ray aku sayang dengan
mu. Aku cinta kamu Ray. Maafkan perasaan raja bodoh ini”. Fiko menangis sambil
memeluk Ray.
Ray
benar-benar kaku lidahnya sehingga tak bisa berbicara apa-apa. Dia berusaha
agar menahan air matanya supaya tidak menetes.
“Aku harus
katakan ini padamu Ray, sekarang atau aku akan terus dalam kebingungan
perasaanku sendiri”.
Dengan
berusaha memahami apa yang Fiko rasakan saat ini Ray mencoba mengatakan apa
yang dia juga rasakan untuk Fiko. “Bodoh… Dungu… Otak udang. Raja bodoh!
Bodoh,bodoh,bodoh…”. Nada suaranya terdengar
menahan marah. “Aku juga tak mau munafik Fiko. Aku juga menyukai sifatmu
yang selalu menyayangi dan melindungiku. Aku tahu kamu tulus melakukan itu.
Tapi ternyata rasa sayangku juga tak hanya sebatas kakak padamu. Aku tak bisa
menolak dirimu Fiko. Karena nyatanya aku juga jatuh cinta dengan mu”. Ray
memeluk tubuh kekar Fiko.
“Siap atau
tidak aku akan menerima resiko jika aku harus bersamamu Ray. Kamu pernah menginginkan
aku untuk menjadi tanganmu. Sekarang aku ingin menjadi tanganmu selama aku
bisa, sampai takdir menghapus nya. Maukah kamu menjadi bagian dari raja bodoh
ini Ray?”. Fiko menatap mata Ray.
Ray
mengangguk pelan.
Fiko yang
melihat ini merasa sangat senang sekali. Tetesan air yang turun dari kelopak
matanya kini mengering seketika karena melihat anggukan Ray. Dia memeluk erat
tubuh Ray kembali sehangat-hangatnya. Membuat Ray tenang merasakan dada bidang
Fiko yang memperdengarkan detak jantungnya.
Semua ini
memang baru awal dari kenyataan pahit berikutnya. Sadar atau tidak cinta mereka
adalah cinta yang mustahil dan terlarang. Mereka bukan hanya tidak diijinkan
bersama tetapi status dan asal mereka benar-benar jauh beda. Fiko seorang raja
Vocare dan Ray adalah rakyat biasa. Dilihat dari siapa mereka, Ray adalah Azzo
yang sebenarnya tidak ada dan Fiko adalah manusia Naolla. Ini bukan perkara
mudah bagi mereka kedepannya. Selagi ada
Naolla dan Vocare, cinta mereka akan menemui kendala sulit yang sangat-sangat
sulit. Sekarang Ray telah menjadi otak Fiko dan Fiko adalah tangan Ray. Mereka
akan berjalan bersama-sama melewati sisa-sisa hidup di bumi namun mereka juga
harus siap jika suatu saat mereka harus pulang ke Naolla.
Embun
mulai turun mendatangi malam yang sudah menuju pagi itu. Disana waktu telah
menunjukkan pukul 00.54. Dengan berangkulan mereka menuju sepeda. Mereka
mengambil sepeda masing-masing dan menuju rumah dengan perasaan lega.
Disaksikan rembulan, cinta mereka baru dimulai dari jalan ini.
***
Melihat
pemandangan pagi di Toshirojima yang dingin semakin membuat Adam tertarik untuk
berlari lebih jauh. Pagi ini Adam memang sedang jogging di sekitaran jalan
Toshirojima. Keadaan desa yang tenang membuat Adam betah untuk tinggal beberapa
saat disini. Disalah satu sudut jalan, tampak seorang nelayan sedang memberi
makan beberapa kucing. Karena penasaran, Adam mendatangi orang itu.
“Pagi tuan.
Sedang memberi makan kucingnya ya?”, tanya Adam.
“Pagi nak.
Ini kucing liar yang kami sering beri makan”, jawabnya ramah.
“Bolehkah
saya ikut memberi makan kucing ini tuan?”.
“Silahkan.
Ini ada ikan yang telah saya persiapkan. Tinggal di berikan pada mereka saja”.
Tuan itu menyerahkan beberapa ikan segar didalam sebuah mangkuk pada Adam.
Adam
mengambil mangkuk tersebut dan mulai memberi makan kucing-kucing itu. Beberapa
kucing tampak tak sabaran menunggu makanan dari Adam sehingga mereka mencakar
mangkuk yang dipegang Adam.
“Lucu
sekali mereka ini ya tuan. Tuan belum melaut?”.
“Saya
melaut malam sampai subuh saja”.
“Wah sudah
habis nih, ikan dimangkuk saya. Kalau begitu saya mau jogging lagi tuan.
Terimakasih ya sudah mengajak saya memberi makan kucing”. Adam berdiri.
“Selamat
bersenang-senang anak muda”.
Adam
melanjutkan lari-lari kecilnya.
Sementara
dirumah Fiko, Fiko sedang tampak bahagia memeluk Ray. Dia terbangun karena
dibawah sana sesuatu beregerak-gerak karena tegang. Benda kejantanan Fiko
mengacung tinggi seperti kerucut pada celananya. Dia sangat terangsang pagi
ini, maklumlah kalau pagi-pagi benda pria sejati akan mengacung tegak seperti
ini. Dia benar-benar pusing menahan hasratnya apalagi didepannya telah tidur
pulas Ray yang tampan. Pelan-pelan dia lepaskan pelukannya dan meraih benda
yang masih terbungkus celana itu dengan tangannya. Fiko mulai mengurut penisnya
sedramatis mungkin. Dia sesekali memandangi wajah Ray sambil mengurut penisnya
yang besar itu. Fiko tak tahu lagi harus seperti apa, dia tak sanggup menahan
hasratnya. Dengan nekat, dia raih tangan Ray dan mengarahkannya ke penis
terbungkus itu. Karena dirasa Ray masih tidur, dia pun berani memelorotkan
celananya hingga mencuatlah batang besar yang indah itu. Batang kejantanan Fiko
besar dan panjang dengan bentuk yang indah pula. Ternyata Fiko tidak mengenakan
celana dalam sehingga ketika celananya diturunkan mencuatlah benda indah itu.
Saking besarnya, tangan Ray tidak sanggup menggenggam penuh batang Fiko. Fiko
benar-benar terangsang berat kali ini. Tangan Ray dia gerakkan turun naik
mengocok penisnya. Fiko terpejam merasakan lembutnya tangan Ray yang menyentuh
bendanya. Namun karena Ray bergerak, dia buru-buru melepas tangan Ray dan
memasukan penisnya kedalam celana kemudian bangun dari tempat tidur. Dia segera
kekamar mandi sebelum berangkat melaut.
Setelah
rapi mengenakan baju, Fiko kembali kekamarnya mendatangi Ray yang masih tetidur
pulas.
“Ray, aku
berangkat dulu ya sayang. Jangan nakal di tempat kerja”. Sebuah kecupan lembut
mendarat di pipi Ray. Segera Fiko bangkit meninggalkan Ray dikamar dan menuju
ketempat tuan Takeshi.
Mengayuh
sepeda menyusuri jalan memang sudah biasa bagi Fiko. Wajah tampannya tampak
bersemangat sekali pagi ini. Di ujung pandangannya tampak seseorang sedang
berjalan. Semakin dekat, wajah orang itu semakin jelas dan ketika mereka sudah
dekat, orang itu menghalangi jalan Fiko.
“Maaf
Fiko. Aku mau tanya sesuatu denganmu”. Orang itu adalah Adam.
Tanpa
turun dari sepedanya, Fiko tampak tidak senang dengan adanya Adam.
“Pasang
wajah biasa saja dong nelayan. Jangan sinis begitu. Hahaha… Bagaimana ciuman
tadi malam? Tampaknya kamu tidak rela aku ganggu”. Adam mengejek Fiko.
“Mau kamu
apa Adam? Mau mengancam Ray? Atau mau mengancam aku?”, tanya Fiko.
“Hrrmmmm …
Aku berfikir, dari pada aku mengancam Ray lebih baik aku menikmati Ray. Aku
penasaran dengan bibirnya yang membuat kamu tampak sangat menikmatinya tadi malam”.
Fiko
akhirnya turun dari sepeda dan menjambak baju Adam. “Kamu mau mati Adam? Mau ku
penggal kepalamu?”.
“Mengancam?
Aku tidak takut!!!”. Adam memukul perut Fiko hingga Fiko mundur kesakitan dan
melepaskan tangannya.
Fiko
menyerang balik dan dengan cepat sekali dia telah berada di belakang Adam lalu
ditarik baju pemuda itu kemudian dia lemparkan kepinggir jalan seperti sebuah
mainan kecil.
Adam kaget
bukan kepalang melihat kecepatan dan kekuatan Fiko.
Fiko
mendekati Adam yang terduduk ditanah.
Fiko melihat kesekitar daerah itu seperti memeriksa apakah keadaan
disana aman dari orang yang melihat. Sejenak kemudian, Fiko mengeluarkan
lingginya.
“Fi-Fi…Ko?
K..Ka..Kau. Si-si-a-pa?”. Adam tampak gugup melihat Fiko yang bisa mengeluarkan
kapak berapi dari tangannya.
“Jangan
macam-macam denganku Makhluk bumi!”. Fiko menodongkan lingginya ke wajah Adam.
Matanya sangat marah sekali. “Ini baru awal”. Blap! Linggi itu lenyap dari
tangannya. Fiko sebenarnya tidak mau melukai siapapun kecuali dia memiliki
linggi sama seperti dia. Karena ia rasa tidak terlalu penting membunuh Adam
maka diapun mengambil sepedanya dan meninggalkan Adam yang masih
tebengong-bengong memandanginya hingga jauh menghilang dibelokan jalan.
Dibalik
bukit Toshirojima ada empat orang aneh berpakaian hitam tampak duduk
berbincang-bincang di bawah sebuah pohon.
“Akhirnya
kita sampai dibumi. Dimana orang-orang ya?”, tanya Creasa.
“Jangan
pedulikan manusia, sebaiknya kita segera menangani Fiko dan Ray”, kata Alian.
“Aduh
capek sekali tubuhku. Tadi jatuh bebas sih”. Koloji memegang pinggangnya yang
tampak sakit.
“Sudah aku
bilang kita akan sampai tetapi kamu masih duduk tadi. Seharusnya kan kamu
pasang kuda-kuda. Untung kita tidak mendarat di pinggir jurang kalau tidak,
bisa mati kamu”, Vehu menyahut perkataan Koloji.
“Mataku
mengantuk nih, aku mau tidur sebentar ya”. Alian merebahkan tubuhnya dan
menggunakan kedua tangannya yang dilipat kebelakang sebagai bantal.
“Jangan
terlalu nyenyak tidurnya”, tegur Koloji.
“Kita akan
mulai mencari Ray setelah memulihkan tenaga sebentar. Ingat Ray, bukan
Fiko”,tegas Creasa.
“Sebenarnya
aku tidak begitu mengerti mengenai strategi penangkapan kita kali ini Cre.
Bagaimana dengan Fiko? Apakah Ray sudah cukup?”, tanya Vehu.
“Mungkin kamu
bisa jelaskan pada Vehu, Koloji”.
“Baiklah.
Sejak awal kita tahu bahwa Fiko membenci tuan Sukaw. Dia akan berusaha merebut
kembali Hrewa Kufe suatu saat nanti. Fiko bersedia menjadi pelindung Ray untuk
Naolla agar tuan Sukaw yang menginginkan tubuh Ray tidak mudah mengambilnya
begitu saja. Selain itu Fiko juga orang yang tepat karena dia adalah Yuari
eksekutor terlatih maka dari itu Loka Fugk memilihnya bersama Ray dipersembunyian”,
Koloji menjelaskan.
“Kalau
Fiko berbahaya bagi kedudukan tuan Sukaw mengapa kita fokuskan pada Ray saja?
Bukankah kita sebaiknya membunuh Fiko dan merebut Ray?”. Vehu tampak masih
bingung.
Cre
mengambil ulat yang tampak meniti daun disampingnya, kemudian dia putus tubuh
ulat itu menjadi dua. Perlahan dia arah kan kebarisan semut ditanah dan
tampaklah beberapa semut berusaha mengangkat tubuh ulat itu untuk di bawa
kesarang. Cre langsung mengambil tubuh ulat itu yang telah di penuhi semut
kemudian membunuh satu persatu semut itu hingga tak bersisa dan mengambil tubuh
ulat kembali sambil memeperlihatkannya pada Vehu. “Fiko adalah semut dan Ray
adalah ulat. Sekarang kamu mengerti kan Vehu?”, tanyanya.
Vehu
mengangguk-angguk paham.
Bunyi
dedaunan kering tertiup angin terdengar merdu. Sesekali terlihat dedaunan itu
baru jatuh dari dahan atau rantingnya.
Hari
semakin meninggi yang akan membawa semangat Ray tertuju pada penginapan nyonya
Aiko untuk bekerja. Setelah makan, diapun mengayuh sepedanya menyusuri jalan
menuju tempat kerja dibawah sinar matahari yang berada diatas kepalanya.
Sebenarnya dia masih agak takut untuk kepenginapan itu karena insiden tadi
malam yang seakan membuat wajahnya hilang ketika nanti bertemu dengan Adam.
Tetapi dia sudah siap untuk menghadapi Adam jikalau dia macam-macam dengannya.
Tak berapa lama dia sampai di penginapan nyonya Aiko. Dia masuk keruang kerja
untuk berganti baju terlebih dahulu kemudian mengambil penyedot debu. Sesekali
dia menoleh kearah kamar Adam yang nampak tertutup rapat. Baru Ray
memperhatikan kamar itu, munculah Adam dengan mengenakan singlet putih keluar
dari kamar sambil membawa tas punggungnya.
“Hai Ray.
Baru datang ya?”, tanya nya Ramah. Adam mengenakan kacamata hitam. Sepertinya
dia mau keluar.
Ray tidak
menjawab pertanyaan Adam dan berharap agar Adam lekas meninggalkannya.
Adam hanya
tersenyum nakal sambil mengerakkan bibirnya seperti mengecup kepada Ray. Benar
saja, Adam ternyata mau keluar entah kemana yang jelas sepertinya dia mau
jalan-jalan.
“Ray…
kemari sebentar”, panggil nyonya Aiko dari arah luar.
Segera Ray
meletakkan penyedot debunya dan menghampiri nyonya Aiko. Tampak dengan senyum
mesum Adam berdiri didepan meja resepsionis memandang Ray. Ray agak aneh dengan
tatapan Adam. Apakah Adam sudah menceritakan kejadian tadi malam pada nyonya
Aiko?
“Ya nyonya
ada apa?”, tanya Ray.
“Tuan Adam
ingin kamu menemaninya berkeliling disekitar sini jadi kamu tidak usah
membereskan kamar-kamar terlebih dahulu”.
“Tapi
saya…”. Ray berusaha mencari alasan.
“Saya rasa
nyonya Etsuko bisa menggantikan mu untuk sementara waktu. Pergilah Ray”.
“Baiklah
nyonya”. Ray tidak berani membantah perintah atasannya dan tampaknya nyonya
Aiko telah menerima uang dari Adam sehingga apabila dia menolak mungkin nyonya
Aiko akan bersikap kurang ramah padanya. Dengan segera Ray mengambil jaketnya
dan menemani Adam berjalan-jalan disekitar pulau.
“Ray, kok
diam? Aku tidak membayarmu untuk diam kan?”.
“Siapa
yang menyuruh kamu memberi uang pada nyonya Aiko?”, tanya Ray ketus.
“Bukan
siapa-siapa sih tapi aku kan mau ditemani sama kamu Ray”.
Ray berjalan
agak cepat seolah-olah akan meninggalkan Adam.
“Sewot
nih…”, goda Adam. “Tunggu dong Ray”.
“Badan aja
kekar, tapi jalan kaya keong!”.
Adam
berlari kecil mengejar Ray dan kemudian memegang tangan Ray. “Ray, kamu mengapa
begini? Apa aku salah denganmu?”.
Ray
berhenti sejenak. “ Aku tidak suka dengan sikapmu yang tidak sopan Adam”.
“Maafkan
aku Ray. Aku tidak bermaksud apa-apa kok. Aku hanya ingin menjadi pacar mu Ray.
Aku sakit! Aku suka dengan pria sepertimu”.
Ray
terdiam menata mata Adam. Didalam pancaran mata Adam dia temukan sesuatu yang
berbeda dari sekedar cinta. Tentu saja ini bukan perkara mudah untuk membaca
mata orang lain namun ternyata Ray bisa melakukannya.“Aku sudah punya kekasih”,
tolak Ray.
“Fiko? Dia
kah orangnya? Apa kamu tidak tahu bahwa Fiko itu iblis? Dia bisa mengeluarkan
kapak berapi dari tangannya”, kata Adam.
Ray
terdiam kaget karena dari mana Adam tahu kalau Fiko bisa mengeluarkan linggi
dari tangannya. “Kamu sebenarnya mau kemana?”. Ray berusaha mengalihkan
pembicaraan.
“Kebukit
itu Ray”, tunjuk Adam.
“Jalan
sini saja”. Ray melepaskan pegangan tangan Adam dan mengajaknya mengikuti
langkah kakinya.
Sebenarnya
bukit yang dimaksud hampir mirip gundukan tanah yang ditumbuhi pohon saja.
Namun dari atas sana bisa memandang lautan luas dengan suasana yang teduh dan
nyaman.
Setelah
menaiki jalannan yang agak menanjak, sampailah mereka diatas bukit tersebut.
“Akhirnya
sampai juga. Wah indah sekali pemandangan dari sini Ray”. Adam berdiri
memandang takjub lautan luas yang terhampar didepannya.
Sementara
Ray duduk di tanah dengan kaki diluruskan dan bertumpu pada tangannya.
“Ray foto
aku dong”. Adam mengeluarkan sebuah kamera digital dari tasnya dan menyuruh Ray
mengambil beberapa gambar untuk kenang-kenangan. “Sekarang aku yang fotoin kamu
Ray”. Adam mengambil kameranya untuk gantian memoto Ray yang tengah duduk. “Ih,
kamu cakep sekali Ray”, puji Adam.
“Tidak
juga”.
Adam duduk
disamping Ray dan merangkulnya, dia bermaksud mengambil foto mereka sedang
berngkulan.
“Jangan
kurang ajar ya Adam. Lepaskan tangan kamu dari pundakku”.
“Aku mau
kita berdua foto bareng Ray”.
“Tapi
nggak usah pakai rangkul aku gitu dong”. Ray mulai tidak nyaman dengan sikap
Adam.
“Baiklah”.
Adam melepas rangkulannya dan mulai mengambil beberapa foto mereka berdua.
“Coba kamu
lihat Ray, baguskan foto-foto kita?”, tanya Adam sambil melihat hasil foto-foto
mereka dikamera digital.
Cuaca
memang cerah dan bersahabat. Diatas
bukit ini suasana sepi dari orang-orang namun entah mengapa dari tadi Ray
mendengar ada orang yang sedang berbincang. Ray bangkit dari duduknya dan
mencoba mencari asal suara itu. Dia perhatikan sekeliling bawah bukit dan
tampak disamping sebuah pohon, empat orang mengenakan pakaian hitam sedang
duduk berbincang-bincang. Mereka adalah Yuari Vocare yang mengincarnya.
“Ayo kita
segera melaksanakan tugas. Lebih cepat lebih baik”, kata Alian.
Ketiga
temannya pun bangkit mengikuti langkah kaki Alian.
“Ada apa
Ray kok terlihat bersembunyi begitu?”, tanya Adam yang menghampiri Ray.
“Stttt…
Diam Adam. Ikuti aku”. Ray mengendap-endap menjauh dari orang-orang itu.
“Siapa
mereka Ray? Mereka tampak seperti penjahat?”.
“Sudah
jangan banyak bicara. Kamu mau dipenggal kepalamu?”.
“Mereka
temannya Fiko?”. Adam ingat omongan Fiko tadi pagi yang sama dengan apa yang
diucapkan Ray dan dia berfikir bahwa orang-orang berbaju hitam itu adalah teman
Fiko.
Kaca mata
Adam yang dia taruh di kerah bajunya terjatuh maka dengan segera Adam mengambil
kacamata itu. Namun nasib sial menghampiri Adam, tanpa sengaja dia terpeleset
setelah menginjak sebuah batang kayu. “Wawww!!!”. Buru-buru dia menutup
mulutnya agar ai berhenti besuara.
“Ada orang
yang mengintai kita. Disana!”, tunjuk Vehu pada Adam yang masih terjatuh.
Melihat
orang-orang itu mengejarnya, Adam tak lagi memperdulikan kacamatanya dan lari
menjauh.
“Ray
kabur….”. Adam lari cepat sekali.
Melihat
Adam berlari ketakutan, Ray akhirnya lari sekuat tenaga dan sejauh mungkin agar
tidak terkejar. Dibelakangnya tampak Adam dan para Yuari yang berlari mengejar
mereka.
Ray terus
berlari menerobos lebatnya pepohonan didepan matanya. Trak! Sebuah linggi batu
hampir mengenai kepalanya namun meleset dan tertancap di batang pohon.
“Adam
kesini!”, Ray berbelok kekanan mengikuti nalurinya.
Dengan
cepat Adam mengikuti Ray. Dia nampak tegang dan tak tahu harus bagaimana?
Kondisi tanah yang bergelombang dan dipenuhi akar-akar pohon memerlukan
konsentrasi untuk berlari agar tidak terjatuh. Jikalau mereka sampai terjatuh,
maka habislah riwayat Ray. Adam sekarang sudah tahu siapa Fiko dan sebaiknya
dia juga tahu siapa Ray agar nantinya dia tidak menyesal pernah menyukai Ray.
Ray memeperlambat larinya. Setelah cukup lama berlari akhirnya para Yuari tak
terlihat lagi mengejar. Nafas mereka terengah-engah dan sejenak mereka berhenti
untuk menarik nafas.
“Si-apa
mereka Ray?”, tanya Adam sambil menarik nafas.
“Adam…
tolong kamu rahasiakan ini pada orang-orang diluar sana ya. Mereka, aku dan
Fiko adalah orang dari luar bumi. Kami berdua bersembunyi dibumi dari kejaran
orang-orang tadi. Fiko adalah raja yang tahtanya direbut oleh tuan dari orang
berpakaian hitam tadi. Jadi jangan heran kalau mereka berniat menangkapku
karena kami adalah buronan mereka”. Ray menerangkan permasalahnanya pada Adam
sambil duduk.
“Kalian
penjahat Ray?”, tanya Adam.
“Aku
adalah orang yang dicari mereka karena aku bisa memberi mereka jutaan kapak
seperti tadi. Aku dilindungi Fiko agar dunia kami tidak dikuasai oleh si jahat
tuan Sukaw, pemberontak kerajaan yang dipimpin Fiko. Namun sangat disayangkan,
aku tidak bisa membuat kapak untuk diriku sendiri. Jadi ini sebenarnya situasi
gawat Adam. Namun jangan khawatir, kita harus tetap fokus dan mencari rumah
penduduk dan jika aku tertangkap aku sarankan kamu segera menemui Fiko”.
“Lalu
bagaimana nasib kita Ray? Aku benar-benar syok berat kali ini. Aku seperti bermimpi”.
Matahari
mulai condong kebarat yang menandakan hari telah sore dan sebentar lagi
senja. Di antara lebatnya pepohonan,
tampak bayangan para Yuari. Dengan segera Ray memberi kode pada Adam aagar
mengendap-endap manjauhi mereka. Ketika sedang berusaha kabur sebuah kapak batu
kembali melayang kearah meraka dan kini mengenai dada kanan Adam walau tidak
terlalu dalam namun membuat dada Adam mengeluarkan darah segar dan bajunya
sobek.
“Arggghhh,
aku terkena Ray”. Adam memegang dadanya dan tetap berlari.
“Kejar
mereka!!!”, teriak Cre.
Trak,trak,trak,trak!
Bertubi-tubi linggi mereka melayang menuju Adam dan Ray namun masih sempat
dihindari. Keberuntungan yang dimiliki Ray adalah karena sekarang berada
dihutan yang dipenuhi kayu sehingga sangat sulit terkena linggi itu.
Para Yuari
Vocare itu tampak sulit untuk dikalahkan. Mereka adalah Yuari terlatih
dibidangnya.
Tiba-tiba Adam
terjatuh sehingga Ray menghentikan larinya dan menghampiri Adam.” Adam ayo”.
“Tidak
Ray, mereka mengincarmu dan sebaiknya kamu cepat lari tak usah menghiraukan
aku. Aku baik-baik saja. Cepat Ray!”.
“Tidak
Adam! Aku harus membawamu hidup-hidup”.
“Hahahaha..
ulat kita datang kesarang burung sendirinya”, kata Koloji.
“Benar-benar
tepat sekali Hajunba itu”. Alian mendekati tubuh Ray yang tampak melindungi
Adam yang terjatuh.
“Aku bisa
saja memberikan tubuhku pada orang ini jadi jangan coba-coba mendekatiku atau
kalian pulang dengan tangan hampa”, ancam Ray.
“Kamu kira
kami bodoh Ray? Dia itu manusia bumi jadi mana mungkin kamu bisa memberikan
tubuhmu padanya”, kata Alian.
Ray
benar-benar terdesak.
“Orang
asing! Jangan ganggu Ray! Hadapi aku dengan tangan hampa sekarang juga”. Adam
bangkit dan menantang para Yuari.
“Gila kamu
Adam. Jangan bertindak seenakmu. Mereka ini pasukan kerajaan terlatih mana
mungkin kamu menang”. Ray mencegah Adam.
“Kalau
dibiarkan mereka akan dengan mudah mengambilmu Ray”.
“Hiaaattt”,
tanpa banyak bicara lagi Vehu mengacungkan pukulan kearah Adam.
Adam
menangkap tangan Vehu dan terjadilah pertarungan antara satu melawan empat
orang. Adam kewalahan dan nyaris jadi balan-bulanan mereka. Ray mengalihkan
perhatian mereka dengan melemparkan beberapa batu. Sebagian batu itu mengenai
kepala Yuari-yuari itu.
“Sialan!”.
Cre berniat mengeluarkan linggi dan melemparkannya pada Ray namun dengan sigap
Adam yang meilhat kelengahan mereka berempat menendang kaki mereka kuat-kuat hingga
terjatuh dan dia akhirnya lari menghampiri Ray. Mereka kembali berlari
menghindari para Yuari.
“Kamu lari
didepan aku Adam”.
“Tapi
Ray…”.
“Lari cepat!!!”,
Ray tampak marah dengan Adam yang tidak menurutinya.
Hal
terbaik yang harus mereka lakukan adalah terus berlari menerobos pepohonan dan
sesekali menghindari linggi para Yuari itu. Walau kaki mereka sudah jauh
menerobos rimbunan pohon namun tak tampak jalan keluar. Mereka terus berlari
sejauh mungkin. Beruntung mereka menemukan jalan dan rumah penduduk. Segera Ray
bersembunyi disalah satu rumah penduduk itu.
“Ayo
cepat!”, terdengar para Yuari itu melewati tempat persembunyian mereka berdua.
Setelah tak
terdengarlagi suara para Yuari tersebut, mereka keluar dari persembunyian.
“Aduh
perih Ray…”. Luka adam terbuka dan mengeluarkan darah.
“Tahan
Adam. Aku tahu jalan terdekat kepenginapan dari sini. Ayo cepat”. Ray merangkul
badan Adam untuk membantunya berdiri dan segera kembali kepenginapan sebelum
senja.
Suara
burung-burung laut terdengar ditelinga mereka, secara perlahan Ray menuntun langkah
kaki Adam menuju penginapan.
Hari yang
melelahkan untuk Ray karena ternyata pasukan Hrewa Kufe telah tahu bahwa dia
dan Fiko berada ditempat ini. Dia benar-benar khawatir sekarang karena dia dan
Fiko terpisah untuk sementara waktu akibat pekerjaan masing-masing dan jika
mereka tahu ini pasti mereka akan mengintai saat-saat dimana Ray sedang sendiri
dan jauh dari Fiko untuk menangkapnya. Ray tahu bahwa hari ini dia masih
beruntung bisa kabur dari pasukan Yuari itu namun dilain waktu dia tidak bisa
memastikan itu.
Tepat
senja menjelang Adam dan Ray sampai dipenginapan nyonya Aiko. Adam sudah bisa
berjalan sendiri seperti biasa hanya saja luka didada kanannya sulit untuk
tidak terlihat.
“Kenapa
dadamu tuan Adam?”, tanya nyonya Aiko menghampiri Adam yang terluka.
“Tadi
terjatuh lalu tekena serpihan batu nyonya”. Adam berbohong pada nyonya Aiko.
“Saya mau kekamar dulu ya nyonya”.
“Hati-hati
ya Adam”.
Adam masuk
kedalam menuju kamarnya. Didepan pintu berdiri Ray yang membawakan tas Adam.
“Ada apa
sebenarnya Ray? Mengapa Adam bisa terluka begitu? Seperti disayat pisau”,
selidik nyonya Aiko.
“Dia tadi
lari-lari nyonya makanya jatuh dan terkena batu yang tajam”. Ray menutupi
kejadian yang sebenarnya. “Kalau begitu saya pamit mau mengantar ini dulu
nyonya”. Ray mengangkat tas Adam.
Ray
menyusul Adam kekamarnya. Ray membuka pintu kamar Adam dan menaruh tas itu
didekat tempat tidur. Adam melepas bajunya sambil membersihkan luka didadanya
dengan bajunya yang sobek.
“Awwww…
shhhttt”. Tampak Adam meringis menahan perih.
“Adam, itu
kotor! Tunggu sebentar, aku ambilkan
pembersih luka dan perban dulu diruanganku”. Ray pergi sebentar untuk mengambil
perban.
Adam masih
saja membersihkan lukanya menggunakan baju. Dia masih ingat kejadian dihutan
tadi. Dia tak habis pikir mengenai cerita Ray. Mungkin dia tidak pernah
menyangka bahwa Ray adalah makhluk di dunia lain.
Ray
kembali kekamar Adam sambil membawakan kotak pertolongan pertama. Ray duduk
disamping Adam dan mengeluarkan alkohol kemudian meneteskannya pada kapas dan
mulai mengusapkan pada luka Adam yang cukup panjang itu. Selagi Ray mengusapkan
kapas itu, Adam memandangi lekat-lekat wajah Ray dari dekat. Tanpa terasa
tangan Adam bergerak menggenggam tangan Ray. Ray bingung dengan sikap Adam dan
menarik tangannya sampai terlepas dari pegangan Adam. Kembali dia menyeka darah
yang sebagian mulai mengering dan sebagian masih menetes.
“Pelan-pelan
Ray”.
“Iya… kamu
tahan bentar”.
“Aku udah
gak tahan Ray…”. Adam tersenyum mesum pada Ray.
“Jangan
macam-macam Adam… Aku bisa menusuk lukamu ini dengan jariku”, ancam Ray.
Setelah
lukanya bersih, Ray mengambil perban dan melilitkannya pada luka Adam.
“Sekarang
lukamu sudah selesai aku perban. Sebaiknya kamu makan dulu,nanti aku antar
kemari. Jangan lupa juga bersihkan tubuhmu Adam”. Ray merapikan kotak pertolongan
lukanya dan meninggalkan Adam sendiri dikamar.
Adam
membelai lukanya yang terperban rapi. Dia merasakan kehangatan sentuhan Ray
pada dadanya yang terluka tadi. Dia beranjak dari tempat tidur dan mengambil
handuknya untuk segera membersihkan tubuh yang tidak terperban selagi Ray
menyiapkan makan malam untuknya.
Ray telah
membawa makan malam untuk Adam di atas meja dorong. “Adam kayaknya sedang
mandi. Adam… aku taruh disini ya makanannya. Nanti kalau sudah selesai kamu
bisa panggil aku”. Ray meninggalkan makanan Adam dikamar.
Sementara
Adam masih mandi membersihkan tubuhnya yang agak kotor akibat jatuh bangun
dihutan tadi.
Gelap
talah memanggil senja untuk segera bertukar tempat, lampu-lampu dirumah-rumah
pendudukpun telah menyala. Sejenak Adam melamun memikirkan Ray yang bukan
makhluk bumi. Sambil memakan makanan yang telah disiapkan untuknya, Adam
membayangkan Ray memeluknya dan mau dia cumbui dengan mesra diranjang ini. Dia
melampiaskan hasratnya untuk meyetubuhi Ray dengan segera dan mencapai puncak
kenikmatan yang sangat langka selama hidupnya. Memikirkan ini kontan saja
membuat penisnya berdiri dan dengan cepat dia menghentikan lamunannya.
Dia sebuah
penginapan lain, para Yuari itu telah menyamar sebagai tamu dan berpenampilan
layaknya manusia bumi. Mereka tampak lebih segar dengan penampilan barunya.
Walau wajah sangar mereka tetap tidak bisa disembunyikan dari penampilannya.
Mereka menyewa dua kamar untuk mempermudah pengaturan kelompok pencarian dan
pengaturan strategi. Di kamar pertama di tempati oleh Vehu dan Alian sementara
dikamar seberangnya ada Cre dan Koloji. Udara dan pemandangan langit bumi
membuat Vehu ingin memendang bulan yang indah itu.
“Coba kamu
lihat bulan bumi itu Al, tampak seperti kue berbentuk sabit ya”, kata Vehu
sambil memandang bulan dari balik jendela.
“Itu
memang bentuknya tapi ukuran bulan bumi lebih kecil dari bulan kita dan di
sekitar bulan itu ada permata berwarna ternyata”. Alian memandangi langit dari
lantai. Dia duduk terpukau.
Sementara
Vehu duduk dijendela kamar. “Coba kamu lihat Al, ada asap hitam bergerak!”,
Vehu menunjuk ke langit yang tak lain adalah awan.
Alian
bangkit dan menghampiri Vehu untuk melihat benda yang ditunjuk temannya itu.
“Apakah asap itu mau memakan kue langit?”.
“Benar Al
dia bergerak mendekati kue langit itu! Apakah makhluk bumi tidak apa-apa?”.
Vehu sangat khawatir.
“Biarlah
dia memakannya. Manusia saja tidak peduli mengapa kita yang repot?”. Alian cuek
saja.
Awan hitam
itu akhirnya melintasi bulan dan tidak terjadi apa-apa.
“Tidak Al,
dia tidak memakan kue itu. Dia hanya lewat saja. Mungkinkah itu kendaraan manusia
bumi?”.
“Bumi
memang masih asing bagi kita. Selain kita harus waspada, kita juga harus
menjaga diri”.
Alian
beranjak menjauh dari jendela dan merebahkan tubuhnya ketempat tidur.
“Permata
itu banyak sekali ya Al. Aku tak habis pikir melihatnya. Sangat banyak sekali”,
kata Vehu yang memandangi bintang dilangit.
Merekapun
kembali diam dan memandangi langit malam dari balik jendela. Bintang-bintang
diatas sana masih berkedip manja pada siapa saja yang melihatnya malam ini.
Memang Naolla berbeda dengan bumi namun tak sepenuhnya mereka tahu bahwa bumi
itu sekarang sudah renta dan akan segera hancur.
Dimalam
yang kian meninggi hanya dinginlah yang menemani Toshirojima melepaskan
lelahnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar