Hunk Menu

Overview of the Naolla

Naolla is a novel which tells about life of Hucky Nagaray, Fiko Vocare and Zo Agif Ree. They are the ones who run away from Naolla to the Earth. But only one, their goal is to save Naolla from the destruction.

Book 1: Naolla, The Confidant Of God
Book 2: Naolla, The Angel Falls

Please read an exciting romance novel , suspenseful and full of struggle.
Happy reading...

Look

Untuk beberapa pembaca yang masih bingung dengan pengelompokan posting di blog ini, maka saya akan memberikan penjelasannya.
(1)Inserer untuk posting bertemakan polisi dan dikutip dari blog lain;(2)Intermezzo adalah posting yang dibuat oleh pemilik blog;(3)Insert untuk cerita bertema bebas yang dikutip dari blog lain;(4)Set digunakan untuk mengelompokan posting yang sudah diedit dan dikutip dari blog lain;(5)Posting tanpa pengelompokan adalah posting tentang novel Naolla

Senin, 04 November 2013

Intermezzo: Aku dan Om Tyo

Perkenalkan, namaku Dendy (20 Tahun). Aku adalah seorang gay dan tipe pria idamanku adalah pria-pria mature alias Om-om. Hehhehe. Aku menyadari adanya perbedaan dalam orientasi seksualitasku sejak masa SMP. Kala itu entah kenapa aku suka memperhatikan guru olahragaku yang begitu gagah dalam balutan celana training dan kaus ketat. Aku pikir awalnya hanya perasaan kagum saja, tapi lama kelamaan bayangan guru olahragaku itu hadir dalam wujud mimpi basah anak ABG. Dan ketika itulah aku menyadari kalau aku adalah seorang gay. Aku sama sekali tak menyukai perempuan. Biarpun temanku menunjukkan gambar wanita cantik berbalut bikini, aku sama sekali nggak tertarik. Aku bisanya cuman pura-pura suka saja sama perempuan, takut teman-temanku tahu kalau aku adalah gay. Tapi jangan tanya bagaimana reaksiku kala melihat cowok ganteng, cowok telanjang, atau cowok yang pamer badan. Agrhhhh, dalam sekejap kontol aku langsung nganceng. Hehehhe.
Biarpun udah 20 tahun, aku masih belum punya kekasih. Maksudnya pacar cowok ya! Aku juga agak takut masuk ke dunia gay, seperti mendatangi tempat-tempat dimana para gay kotaku bekumpul, berkenalan dengan sesama gay di dunia maya, dan menjalin pertemanan. Aku hanya merasa kalau hal itu beresiko besar. Aku takut ketahuan. Karena jomblo, aku juga jablay, dan desperate banget soal seks dengan sasama laki-laki. Aku mendambakan bagaimana rasanya bercinta dengan sesama lelaki. Bagaimana rasanya kontol saat masuk ke dalam mulut itu? Bagaimana rasanya lubang anus ditusuk oleh kontol tegang? Itu semua hanya menjadi mimpi buatku. Tapi semua penantian dan impian itu akan segera berakhir...

****
Sore itu sehabis pulang dari warnet, aku menemukan kedua orang tuaku sedang menyambut seorang tamu di ruang keluarga. Dari depan rumah aku bisa melihat sebuah motor Honda Tiger yang sepertinya aku kenal. Ibu langsung tersenyum begitu melihatku masuk ke ruang keluarga, dan sosok pria berbadan tegap yang kala itu posisinya membelakangiku, menoleh. Deg!
“Om Tyo!” Seruku dengan wajah sumringah.
Yang bernama Om Tyo lantas tersenyum. Aku pun langsung menelan ludah. Om Tyo, begitu aku memanggilnya. Iptu Ikhsan Prasetyo (33 Tahun) dengan wajah berbentuk persegi yang saat itu sedang ditumbuhi brewok ala goatte – kumis yang menyambung dengan janggut, dengan sambungan di bagian samping mulut. Janggutnya pun tidak panjang, dan tidak sampai area leher. Hanya menutupi dagu. Seperti Fred Durst vokalis Limp Bizkit.
Gila! Seksi banget! Seruku dalam hati. Kepribadianku sebagai seorang gay langsung bereaksi melihat pemandangan indah sosok Om Tyo yang selama ini menghiasi alam imajinasiku kala beronani. Yah, tahu lah... setiap gay pasti punya imajinasi dalam mengantarkan mereka menuju orgasme. Banyak yang memilih sosok-sosok selebriti yang ganteng dan seksi, tapi buat aku, Om Tyo adalah salah satu imajinasi terindah. Selain karena dia tipeku, dia juga sangat perfect dimataku sebagai seorang anggota Kepolisian.
“Sini duduk di sebelah, Om!” Seru Om Tyo sambil menepuk-nepuk sofa kosong di sebelah pantatnya yang saat itu sedang dibalut celana jins.
Gila! Ganteng banget... Aku kembali membatin dalam hati sambil dengan malu-malunya duduk di sebalah Om Tyo.
“Kamu dari mana?” Tanya Om Tyo.
“Dari warnet, Om! Biasa update facebook!”
Om Tyo langsung tersenyum mendengar celotehanku barusan, yang sontak membuat seluruh tubuhku meleleh karena terpesona melihat senyumannya. Agrhhhhh! Ingin sekali rasanya aku melumat bibir kecokelatan yang tebal itu.
“Kerjaannya cuman ke warnet terus, kapan cari kerjanya!” Celetuk Mbak Ratih – kakak perempuanku yang masih berumur 24 tahun.
Aku langsung memasang tampang ketus karena nggak suka topik pembicaraan yang Mbak Ratih lontarkan barusan. Masalah PEKERJAAN. Aku sudah 20 tahun, nggak kuliah, tapi juga nggak kerja. Aduh, gimana bisa dapet kerja kalau aku cuman lulusan SMA. Paling-paling juga jadi store crew minimarket, atau paling banter, jadi cleaning service, dan sales. Aku bukannya malas mencari kerja, tapi setiap kali mengirimkan lamaran, tak satupun perusahaan yang memanggilku untuk wawancara. Aku jadi putus asa, dan lebih banyak menghabiskan waktu membantu Ibu berjualan di warung. Mungkin belum rejeki aku bisa bekerja dan mendapatkan penghasilan tetap.
“Om Tyo tumben main-main kemari?” Tanyaku, yang ingin segera mengalihkan topik pembicaraan.
Sedikit info, neh. Om Tyo baru saja bercerai dari Istrinya tiga bulan yang lalu. Tante Niken, yang selama ini aku hormati itu telah mengecewakan Om kesayanganku. Juih! Tante Niken tega-teganya selingkuh dengan rekan kerjanya. Saat mendengar berita perceraian Om Tyo dan Tante Niken, jujur aku marah besar, dan sampai membuat status penuh makian kepada Tante Niken di facebook. Biar, deh! Biar semua orang tahu kalau dia wanita murahan yang tega mengotori janji suci pernikahannya di depan Tuhan.
Aku kasihan melihat Om Tyo. Sepertinya dia terpukul dengan perceraiannya. Meskipun selama lima tahun pernikahan mereka, Om Tyo dan Tante Niken juga belum dikarunai seorang anak. Om Tyo sangat mencintai Tante Niken, dan butuh waktu sekitar tiga bulan lebih, mungkin sampai sekarang, untuk menenangkan diri dan kembali move on.
“Om dipindah tugaskan ke kota ini.” Jelas Om Tyo. Selama ini Om Tyo tinggal di Makassar bersama Tante Niken.
Makasar dan Sukabumi, adalah dua kota yang jelas berbeda. Aku saja nggak bisa dapet pekerjaan kota ini. Emang enak sih kalau jadi pegawai, kerjaannya pasti dan gajihnya juga mulai  terjamin dan ada tunjangannya. Sebetulnya, dulu, aku pengen sih merantau. Pengen hidup mandiri, tapi aku kok nggak bisa meninggalkan kampung halamanku. Aku nggak bisa meninggalkan kedua orang tuaku, Mbak Ratih meskipun suka resek, dan aku juga punya teman-teman yang baik di sini. Apa yang melatar belakangi Om Tyo mau pindah tugas dan tinggal disini?
“Om’mu mau menginap di sini.” Jelas Bapak.
“Gimana, Den? Om boleh numpang nginep di rumahmu?”
Aku jadi kikuk. Kok, pakai acara minta izin segala, sih. “Ya, boleh dong, om!”
“Kalau begitu ajak Om Tyo ke kamar kamu, ya, Den!” Seru Bunda.
Hah?
Setelah mencerna perkataan Ibu barusan, aku baru menyadari sesuatu. Di rumah hanya ada tiga kamar. Kamar Bapak-Ibu, kamar Mbak Ratih, dan tentunya kamarku. Jadi untuk tiga minggu ke depan, Om Tyo akan tidur bersamaku, di kamarku. OH MY GOD! Tak kuasa dada ini menahan debar jantungku yang mulai berdegup kencang. Membayangkan akan tidur satu kamar dengan Om Tyo, berbagi ranjang dan selimut, mungkin adalah sebuah keajaiban. Ini namanya kejatuhan durian. Gay seperti aku akan sangat senang kalau mendapatkan kesempatan untuk berdekatan dengan sosok yang selama ini dikagumi, dipuja-puja, dan digunakan untuk obyek fantasi kala beronani.
  “Aku bisa tidur di sofa, kok Mbak! Nggak enak sama Dendy, dia kan butuh privasi...” Celetuk Om Tyo kepada ibuku, yang adalah kakak perempuannya.
“Halah! Privasi apa?! Kamu tidur sama Dendy saja. Kalau tidur di sofa mana nyaman. Nanti punggungmu malah bermasalah dan menganggu tugasmu sebagai seorang Polisi.”
Aku mengangguk-angguk membenarkan perkataan Ibu. “Betul, Om! Lagian tempat tidur Dendy bisa muat dua orang. Nggak apa-apa! Om Tyo kan juga butuh privasi. Kita bagi privasinya bersama, orang sama-sama cowok juga.” Aku pun langsung tertawa sambil berjalan menuju kamarku yang nggak jauh dari ruang tengah.
Om Tyo ternyata mengekor di belakangku. Jantungku tak berhenti berdetak kencang. Pikiranku terlalu sibuk membayangkan apa yang akan terjadi kalau aku tidur satu kamar dan satu tempat tidur bersama Om Tyo. Biasakah aku melewati godaa-godaan dalam menjalani hari-hariku ke depan? Bisakah aku akhirnya memenuhi segala imajinasiku tentang Om Tyo? Melihat tubuh telanjangnya? Merasakan kulit kami bersentuhan, dan mengecup bibir seksinya itu? Agrhhhh! Pikiran ini terlalu jauh melayang. Kacau rasanya. Haruskah aku merasa senang, atau tersiksa dengan masuknya Om Tyo ke dalam kamarku?

****
Satu minggu telah berlalu. Satu minggu yang ternyata begitu menyiksa jiwa dan ragaku sebagai seorang gay. Setiap malam aku harus menahan hasrat ingin menyentuh tubuh Om Tyo, yang ternyata kalau setiap akan tidur malam, Om Tyo selalu telanjang dada dan hanya mengenakan sarung. Entah apa yang ada di balik sarungnya itu? Apakah Om Tyo hanya menutupi benda pusakanya itu dengan selembar kain tipis itu? Tak tahan mulut ini membendung air liur yang siap menetes saat kedua mataku menatap dada telanjang Om Tyo yang bidang. Kulitku rasanya berdesir saat dua puting kecokelatan di dadanya itu berada cukup dekat dengan tubuhku saat Om Tyo berbaring tidur di sampingku. Ingin sekali tanganku ini mengusap perut ratanya yang ditumbuhi bulu-bulu halus, membentuk segaris bulu hitam yang cukup lebat di bawah pusar dan menghilang di balik gulungan sarung di pinggangnya. Ahhhh, aku tahu kemana berakhirnya bulu-bulu itu. Area intim Om Tyo pastinya berbulu. Ingin sekali hidung ini menghirup aroma kelamin yang khas itu.
Aku tersiksa. Benar-benar tersiksa. Setiap malam aku terjaga karena perasaan gelisah. Kontolku selalu tegang, tak bisa diajak untuk berkompromi. Tiap malam aku memandangi wajah Om Tyo yang begitu ganteng, dan aku selalu berimajinasi, membayangkan hal-hal diluar jangkauan nalar. Aku benar-benar ingin bercinta dengan Om Tyo.

****
Pada hari selasa di minggu kedua, aku hanya berdua dengan Om Tyo di rumah. Kebetulan Om Tyo sedang tidak masuk dinas dan Kedua orang tuaku sedang pergi berbelanja keperluan dan stock barang di warung di pasar, sedangkan Mbak Ratih pergi bekerja. Berdua saja bersama Om Tyo benar-benar menganggu diriku, apalagi selama di rumah, Om Tyo hanya mengenakan celana pendek dan kaus singlet yang memamerkan lengannya yang berotot, dan ketiaknya yang berbulu lebat. Belum lagi aroma axe perfume menguar dari tubuhnya. Berulang kali lidah ini membasahi bibirku yang kering karena tak kuasa membendung pemandangan sensasional yang mampu memicu gairahku sebagai seorang gay dalam sekejap.
“Den, kamu laper?” Tanya Om Tyo di sela-sela kami menonton acara televisi di ruang tengah.
Aku mengangguk. “Tapi, lagi males makan masakan Ibu. Siang-siang mana enak makan sayur asem. Aku lagi pengen nasi goreng, Om!”
“Om buatin mau?”
“Hah? Emangnya Om bisa masak?!”
“Kamu ini gimana? Tiga bulan nggak ada yang ngurus, jelas Om harus hidup mandiri. Masak masak sendiri, cuci baju sendiri, kayak lagu dangdut itu!”
“Hahahahahhahahaha! Kasihan sekali duda ganteng satu ini...”
“Ganteng?! Ah kamu bisa saja, Den!” Om Tyo lantas ikut tertawa karena mendengar pujianku. Emang betul kali. Om Tyo emang ganteng, tapi sayangnya nasib pernikahannya kurang beruntung.
Om Tyo segera beranjak menuju dapur dan memulai aksinya. Dalam sekejap Om Tyo sudah menyiapkan bahan-bahan untuk membuat nasi goreng. Aku sendiri hanya sibuk memperhatikan, dan sesekali membantu kalau diminta. Om Tyo ternyata jago masak. Tangannya lincah dalam memainkan pisau. Bagaimana kalau tangan itu sedang memainkan kontol? Segera pertanyaan itu muncul di dalam kepalaku. Hah! Apa-apaan, sih? Bisa-bisanya punya pikiran ngeres di kala perut lagi kosong begini.
Dalam lima belas menit nasi goreng dalam bentuk dua porsi – satu untukku, dan satu lagi tentu saja untuk Om Tyo, tersaji di meja makan, lengkap dengan telur ceplok buatanku.
“Di coba nasi gorengnya!” Perintah Om Tyo.
Aku langsung mengambil sendok dan melahap sesuap nasi goreng. Glek! “WAH! ENAK! PEDES! WAH! WAH!” Akhirnya dua-tiga kali suapan menyusul.
Kami berdua makan dalam diam, sampai pada akhirnya OM Tyo nyeletuk untuk membuka obrolan.
“Kamu udah punya pacar, Den?”
Deg! Hah? “Belum, Om.”
“Lho, kenapa? Kamu udah cukup umur, masa kalah sama anak SMP tetangga Om di makasar. Kecil-kecil udah punya pacar.”
“Lagi nggak kepikiran saja, Om...” Mana kepikiran cari pacar kalau yang dimaksud itu pacar cewek. Orang akunya doyan sama cowok. Hehhehehe... “Ibu juga ngelarang kalau belum dapet kerja.”
“Wah, kamu ini polos juga, ya! Umur segini belum tahu apa-apa. Jangan kelamaan lho, nanti kamu keburu jadi bujangan lapuk.”
“Hahhahahaha! Om bisa saja!” Tawaku sambil meneguk air minum. “Om sendiri kenapa nggak cari istri baru?”
Wajah Om Tyo lantas berubah. Waduh, kayaknya aku salah ngomong, nih?
“Maaf, Om. Nggak maksud ngebahas itu...”
Om Tyo tersenyum. “Nggak apa-apa. Santai saja! Udah masa lalu. Lagian nanti Niken besar kepala kalau aku belum saja move on.
“Ah, dasar! Om Tyo kurang apa coba kenapa sampai diselingkuhin.” Entah kenapa emosiku jadi tersulut. Om Tyo malah kelihatan santai.
“Karena Om-mu ini mandul, Den...”
Deg! Jantungku rasanya berhenti berdetak. Hah? Apa? Om Tyo mandul?
“Itu sebabnya Tantemu meninggalkan Om. Waktu periksa emang dokter yang mendiaknosa kalau Om ini ternyata mandul. Sperma Om langsung mati setelah keluar...”
“Aduh, aduh. Om jangan sedih, ya. Dendy ikut prihatin. Udah, bahas yang lain saja, biar Om nggak sedih. Maafin, Dendy ya, Om...”
Om Tyo tersenyum dan lantas mengusap-usap lenganku. Sentuhan kulit dengan kulit. Agrhhhhh! Seperti ada ribuan belut listrik yang menggerayangi tubuhku. Kontolku langsung berkedut-kedut saat tangan Om Tyo mengusap lenganku.
****
Setelah makan siang bersama Om Tyo, pikiranku tak henti-hentinya memikirkan cerita dan pengakuan Om Tyo tentang penyebab perceraiannya dengan Tante Niken tiga bulan yang lalu. Ternyata lima tahun pernikahan mereka tidak dikaruniai seorang anak karena OM Tyo mandul. Itu sebabnya Tante Niken berselingkuh. Tega benar Tante Niken? Bukankah di saat senang atau susah, sepasang suami-istri harus tetap selalu bersama? Aku dibuat cemas bukan main karena setelah membahas masalah itu Om Tyo jadi pendiam. Aku sendiri makin sungkan dan mulai ikut merasa nggak nyaman. Rasanya aneh bila duduk bersisian sambil menonton televisi di ruang tengah tanpa saling bertegur atau mengoborol.
Akhirnya karena tak kuasa terjebak di situasi yang canggung ini, aku pamit ke warnet. Om Tyo hanya mengiyakan sambil bertanya jam berapa kedua orang tuaku dan Mbak Ratih pulang?
“Kalau Bapak sama Ibu mungkin sejaman lagi pulang. Mbak Ratih nanti sore jam tujuh baru pulang.”
“Terus kamu ke warnetnya lama?”
“Yah, aku biasanya sih tiga jaman di warnet. Om nggak apa-apa aku tinggal sendirian?”
Om Tyo mengangguk. “Nggak apa-apa. Have fun, ya!”
 Setelah mengganti pakaian dan mengambil dompet di kamar aku pamit pergi ke warnet.
Sepuluh menit di warnet aku merasa jengah dan jengkel. Koneksi warnet saat itu sedang mengalami gangguan. Aktifitasku dalam mengunduh video bokep gay jadi gagal berantakan. Emosi karena tak ada satupun video bokep yang berhasil diunduh, akhirnya aku menutup akses internet, dan berencana untuk pulang.
Sesampainya di rumah, aku tak menemukan Om Tyo ada di ruang tengah. Televisinya juga mati. Aku langsung berjalan menuju kamarku. Mungkin Om Tyo ada di kamar. Tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu aku langsung membuka pintu kamarku. Klek! Pintu kamar terbuka lebar, dan aku langsung mematung di tempat dengan tangan masih memegang gagang pintu.
Aku melihat Om Tyo sedang duduk di pinggiran tempat tidur dengan celana pendeknya melorot sampai ke mata kaki, dan tangan kanannya sedang menggengam batang kontolnya yang sudah ngaceng. Glek! Aku menelan ludah. Om Tyo dan aku sama-sama kagetnya.
“Ya, ampun! Sorry, sorry, om!” Aku buru-buru menutup pintu kamar. Kubanting pintu kamarku sampai tertutup. Napasku memburu di depan pintu, tanganku juga masih tak lepas dari gagang pintu. Ya, ampun! Apa itu tadi? Barusan Om Tyo lagi onani?
Aku mendengar suara berisik dari dalam kamarku, dan tiba-tiba Om Tyo membuka pintu kamarku. Tanganku yang masih memegang gagang pintu jadi tersentak karena gerakan mendadak dari dalam kamar. Wajah Om Tyo yang memerah muncul di depanku.
“Om Tyo...” Aku jadi nggak bisa berkata apa-apa.
“Maaf, ya Den. Kamu keberatan kalau Om onani di dalam kamar?”
“Hah?” Pikiranku masih kacau karena yang ada di kepalaku sekarang hanyalah pemandangan indah nan menggiurkan yang baru saja terjadi satu menit yang lalu. Buru-buru aku tersadar dari lamunan. “Ahhh, nggak apa-apa, om. Aku yang minta maaf karena nggak ketuk pintu dulu.”
“Itu, kan kamar kamu. Wajar kalau kamu langsung nyelonong masuk. Kalau tahu bakal seperti ini, Om tadi ke kamar mandi saja.”
“Ahhhh! Nggak usah sungkan-sungkan, Om. Kan sesama cowok. Lain ceritanya kalau Ibu atau Mbak Ratih yang mergokin Om lagi onani.”
Om Tyo jadi salah tingkah. Ya, ampun! Kontolnya! Kontolnya gede banget! Sesuai dengan imajinasiku selama ini. Kontol Om Tyo gue tafsir punya panjang 18cm. Aku pun langsung nyelonong masuk ke dalam kamar dan meletakkan dompetku di atas meja belajar. Om Tyo ternyata mengekor di belakangku, masih tampak gelisah.
“Lho, kenapa masih ada di sini Om? Nggak mau dilanjutin?” Tiba-tiba saja kalimat itu meluncur dari mulutku. Wajah Om Tyo semakin memerah. Ahhhhh, kok rasanya aku jadi keranjingan mengerjai Om Tyo, ya. Kunikmati saja kegelisahan dan wajah memerah Om Tyo yang saking malunya karena kepergok sedang onani. Hahahhahahahahhahahha!
“Hah?”
“Om mau onani di sini atau di kamar mandi?”
Om Tyo diam saja, wajahnya makin memerah. Sekarang malah mirip kepiting rebus. “Kalau mau onani di kamar aku permisi keluar.”
“Nggak jadi, deh, Den. Langsung hilang napsunya...” Jelas Om Tyo malu-malu.
“Ahahhahahahahahhahaha! Ya, ampun... sorry, Om. Jadi nggak enak akunya!”

****
Malam harinya, malam yang selalu membuatku tersiksa, apalagi sekarang ditambah dengan memori indah tentang wujud area pribadi Om Tyo yang terus terputar di dalam kepalaku seperti sebuah adegan film yang terus diulang-ulang. Bagaimana bentuk kontol Om Tyo, bagaimana ekspresi wajah Om Tyo yang begitu menikmati kocokan tangannya pada kontolnya, sebelum akhirnya aku memergokinya sedang onani. Semunya diputar ulang, berulang-ulang, di dalam kepalaku. Karena itulah sejak tadi kontolku sendiri sudah berdiri tegak. Susah payah aku menyembunyikan tonjolan di balik celana pendekku ini dari OM Tyo yang berbaring di sampingku, dengan kondisi seperti biasa. Telanjang dada dan hanya mengenakan sarung yang dilingkarkan di sekitar pinggangnya.
Aku berusaha untuk tidur, tapi sekeras apapun aku berusaha, aku malah terjaga meskipun mata ini terpejam. Bagaimana aku bisa tidur kalau pikiranku sedang sibuk memikirkan kontol Om Tyo. Ya, ampun! Ingin sekali aku melihat kontol itu lagi. Apalagi menyentuh dan memasukkannya dalam mulutku. Aku memutar posisi tubuhku menghadap Om Tyo, masih dengan mata terpejam. Hidungku menangkap aroma axe perfume bercampur keringat. Penasaran dan tak tahan memejamkan mata terlalu lama, akhirnya aku membuka mata.
Glek! Om Tyo sedang berbaring terlentang di sampingku, wajahku tepat di depan ketiak sebelah kanannya yang terbuka. Ternyata Om Tyo juga tengah terjaga. Dia sedang berbaring terlentang dengan membuka kedua ketiaknya lebar-lebar dengan merentangkan kedua tangannya di atas kepala. Glek! Aku menelan ludah. Aroma dan pemandangan ketiak Om Tyo yang berbulu, memanjakan panca indraku.
Om Tyo melirikku, atau lebih tepatnya tengah memergoiku yang sedang memandangi ketiak kanannya. Aku menggigit bibir saking kikuknya. Kualihkan pandanganku dari ketiak Om Tyo, eh malah aku memandang dada sebelah kanannya dengan puting melenting cokelat di puncaknya. Glek! Makin kering rasanya tenggorokan ini.
“Kamu belum tidur, Den?”
Aku menggeleng. Dari jam dinding waktu menunjukkan pukul satu dini hari. “Om, sendiri?”
“Lagi gelisah. Malam ini dingin banget, ya?”
“He’eh dingin banget. Kok, sama sih, Om. Aku juga lagi gelisah.”
“Oh, ya? Kamu gelisah kenapa?” Om Tyo malah merubah posisinya. Sekarang dia berbaring menyamping sambil menyangga kepalanya, menghadap ke arahku.
“Hahahhahaha, ceritain nggak, ya?” Mana mungkin aku bilang ke Om Tyo kalau penyebab aku gelisah dan nggak bisa tidur karena aku nggak bisa menghilangkan bayangan Om Tyo lagi onani tadi siang.
“Kok, jadi main rahasia-rahasiaan gitu, sih?” Goda Om Tyo sambil mendorong bahu kananku yang bebas. Agrhhhhh! Aku menggerang dalam hati. Sentuhan kulit dengan kulit lagi. Tubuhku seperti dibakar gairah dalam sekejap. Merinding tubuh ini seperti di sengat oleh listrik.
“Om, sendiri kenapa lagi gelisah?”
“Karena Om lagi horney.
Glek! Aku nggak salah denger, kan? “Hehehhehehe...” Aku jadi kikuk setelah mendengar jawaban Om Tyo. Aku langsung menarik napas untuk menenangkan diri. “Pasti gara-gara batal onani tadi siang, ya makannya nggak bisa tidur? Kasihan. Sorry, deh. Aku jadi nggak enak...”
Om Tyo diam saja sambil memandangi wajahku. Aduh, dipandangi dengan sorot matanya yang sedang horney itu, pikiranku jadi kacau. Jangan-jangan Om Tyo mau mengajakku berhubungan badan lagi? Ahhh, nggak mungkin! Aku, jadinya kok ngayal abis. Om Tyo kan doyannya sama perempuan, mana lagi horney, nggak mungkin lah ML sama cowok.
“Kenapa Om nggak onani saja. Ke kamar mandi gih sekarang...”
Om Tyo malah tersenyum kecut. Ujung bibir kanannya terangkat. “Aku nggak mau onani, maunya ML.”
“Wah kalau nggak ada Istrinya mana bisa, Om! Om juga sih, kenapa nggak cari istri lagi.”
“Percuma, Den. Punya Istri nggak bisa dihamili...” Om Tyo mendesah.
Aku jadi nggak enak lagi menyinggung masalah Istri ke Om Tyo. “Maaf, Om. Kelepasan lagi.”
Om Tyo diam saja, dia malah bertanya. “Kamu ada ide bagaimana Om bisa tidur nyenyak malam ini?”
Hah? Mendengar pertanyaanya saja aku menyadari kalau ini adalah pintu masuk menuju segala macam fantasiku tentang Om Tyo yang akan menjadi kenyataan. Haruskah aku menanggapi umpan ini? Tidak. Terlalu beresiko. Bisa gawat kalau Om Tyo tahu aku ini gay. Aduh gimana, nih? Kesempatan seperti jarang terjadi.
“Ya, harus disalurkan hasrat horneynya, Om...” Celetukku untuk mengisi kekosongan, karena aku terlalu lama berpikir. “Kalau mau ML, Om bisa jajan di luar. Om kan tahu di mana tempatnya...”
“Kalau jajan harus bayar dan bisa ketularan penyakit juga. Terlalu beresiko!”
Aku menggigit bibir. Sebetulnya alternatif yang normal sudah diutarakan. Jawaban apa lagi yang Om Tyo inginkan? Haruskah aku menawarkan diriku untuk membantu melampiaskan gairah Om Tyo?
“Kalau ML sama aku gimana?” Kalimat itu akhirnya terlontar dari mulutku. Ada perasaan lega, tapi kemudian rasa takut segera mendominasi.
Om Tyo terkejut. Dia sedang memandangiku dengan tatapan tajam. “Sama kamu? Jeruk makan jeruk, dong!”
“Hahahahhahaha! Habisnya mau bagaimana lagi Om? Di suruh onani nggak mau, di suruh jajan di luar juga nggak mau. Ya, sudah alternatifnya tinggal satu. ML sama aku.”
“Kamu sendiri kok, bisa-bisanya menawarkan diri? Memangnya kamu mau ML sama laki-laki, sama Om? Kamu ini homo, ya?”
Deg! Pertanyaan itu sungguh menyayat hati. Tapi memang itu kenyataanya. Akhirnya aku mengangguk. Om Tyo lebih terkejut lagi.
“Beneran?”
“Aku gay.”
“Kamu pasti bercanda, Den! Nggak lucu bercandaan kamu!”
Aku bangkit dari tempat tidur dan mengambil handphoneku di atas meja. Kuserahkan handphone itu pada Om Tyo. “Buka folder galerinya, Om!”
Om Tyo awalnya binggung kenapa aku menyerahkan handphoneku kepadanya, tapi segera Om Tyo menuruti perintahku. Wajahnya terlihat terkejut, tegang, dan penasaran. Dan ekspresi yang aku tunggu-tunggu akhirnya tergambar di wajah Om Tyo. Om Tyo tampak terkejut. Dipandanginya layar handphoneku dan wajahku secara bergantian.
Yup. Di folder galeri itu aku menyimpan banyak foto-foto kontol, foto-foto gay seks, foto-foto artis cowok, dan foto-foto cowok bertelanjang dada. Hal itu sudah menjadi bukti bahwa aku benar-benar gay.
“Jadi bagaimana, Om? Mau ML sama aku. Aku akan memuaskan Om. Dijamin Om akan puas dan bisa tidur nyenyak malam ini.”
Om Tyo diam saja, wajahnya masih terlihat kaku seperti tadi.
“Om nggak tahu caranya ML sama cowok, ya? Om buka folder video. Om bisa nonton bokep gay koleksi aku, nanti Om tahu gimana caranya ML sama cowok.”
Om Tyo menuruti saranku. Dalam sekejap aku mendengar suara-suara erangan dari dalam handphoneku. Om Tyo sedang memutar video bokep gay sepasang bule kekar yang sedang melakukan oral seks. Om Tyo menelan ludah, matanya masih tertumbuk ke layar handphoneku.
“Gimana, Om?”
Om Tyo memandangi wajahku. Kalau begini terus bisa-bisa malam ini akan berantakan. Aku harus mengambil inisiatif. Kuarahkan tanganku ke area pangkal paha Om Tyo. Tepat di atas kontolnya, aku meremas-remas area itu dari balik kain sarung. Om Tyo hanya bisa diam sambil memandang tanganku yang sedang beraksi di atas kontolnya. SIALAN! Om Tyo ternyata nggak pakai celana dalam di balik sarungnya. Tanganku dalam sekejap merasakan kontol Om Tyo yang tiba-tiba saja mulai menegang.
“Tinggal bilang ‘ya’ dan Om bisa tidur nyenyak malam ini?”
Om Tyo memandangi wajahku dan tanganku yang ada di selangkangannya secara bergantian. Sayup-sayup handphoneku masih memutar video bokep gay sekarang tengah mempertontonkan adegan anal seks. Setelah menunggu dengan jantung berdebar, sementara tangan ini tak berhenti meremas-remas kontol Om Tyo yang masih setengah bangun, akhirnya kode itu diberikan lewat anggukan kepala Om Tyo.
Aku tersenyum. Kutuntut Om Tyo berbaring di tempatnya. Om Tyo menurut dan berbaring terlentang. Wajahnya memandangiku. Kelihatan tegang sekali. “Santai, Om! Lemaskan otot-ototnya. Jangan tegang. Yang boleh tegang cuman kontolnya.”
Dibantu dengan koleksi video bokep gay, aku mulai melancarkan aksiku. Aku sendiri minus pengalaman seks, dan malam ini akan menjadi yang pertama bagiku. Keperjakaanku akan direnggut oleh Om Tyo. Aku segera turun dari tempat tidur, berniat untuk membuka seluruh pakaianku. Tanpa malu-malu aku telanjang bulat di depan mata Om Tyo. Kontolku sudah berdiri tegak 15cm. Om Tyo tercekat, matanya melotot, tertuju pada benda pusakaku yang siap tempur.
Aku naik ke atas tempat tidur lagi. Kumainkan kontol di balik sarungnya. Kontol itu semakin menegang dan aku bisa menggengam batangnya sekarang. “Boleh aku singkirkan penghalang ini, Om?”
Om Tyo mendesah saat aku mencengkram batang kontolnya. Dia hanya bisa mengangguk. Tampak tak sabar menikmati service yang akan aku berikan padaya. Kubuka segera ikatan sarung di pinggang Om Tyo, dan dengan mudah sarung itu aku loloskan ke bawah. Kontol Om Tyo terlontar bebas, berdiri tegak 18 cm. Tampak kokoh, besar, berurat, dengan batang kontolnya kecokelatan, kepala kontolnya merah keungungan, serta area pubicnya yang ditumbuhi jembut yang cukup lebat. Buah zakarnya tengah tergantung bebas, berbulu jarang-jarang, dan tampak siap untuk dimanjakan dengan lidah.
Kukocok batang kontol Om Tyo. Mendapatkan rangsangan seperti itu mata Om Tyo terpejam dan dia mendesah lirih. Kujilat kepala kontolnya beberapa kali, dan seketika itu juga Om Tyo mendesahkan suara berat dari bibirnya. Lidahku beradaptasi dengan rasa kontol untuk pertama kalinya. Asin karena keringat dan menguarkan bau yang begitu khas memanjakan hidung. Kontol Om Tyo sudah menjadi milikku. Segera kukulum kepala kontolnya, tak lewat juga kumainkan lubang kencingnya dengan ujung lidahku.
“Ahhhhh! Ahhhhh!, Dendy!” Om Tyo mendesahkan namaku.
“Gimana, enak nggak?”
“Masukkan ke mulutmu, semuanya. Emut kontol, Om! Emut Den.. Basahin kontol om dengan lidahmu. Cepat…
“Oke om!” Segera kujalankan permintaan Om Tyo. Kumasukkan kontolnya kedalam mulutku. Rasanya begitu aneh, dan aku hampir tak kuasa meraskan tenggorokanku ditusuk oleh kepala kontol Om Tyo. Ingin sekali aku muntah, tapi aku berusaha untuk menahannya. Kontol OM Tyo sangat panjang. Aku tak sanggup memasukkan kontol kekar itu ke mulutku hingga sampai ke pangkalnya. Aku bisa muntah, jadi kumasukkan kontol OM Tyo sampai setengah batang kontolnya.
“Agrrhhhh, Esssssseessshhhh...” Om Tyo mengerang dan mendesah-desah.
Setelah membiasakan kontol Om Tyo di dalam mulutku, akhirnya kumainkan lidahku, menyapu setiap saraf yang ada di batang kontolnya. Kukulum, dan kujilat-jilat, sampai kontol Om Tyo basah dengan air liurku.
“Kontol Om gede banget. Aku suka. ini Kontol pertama aku!”
“Ahhh, Den! Hisap. Hisap! Agrrhrhh ya, begitu. Agrrhhhh! Hisapanmu dahsyat! Argghhh.. mantap Den..
Setelah puas memainkan kontol Om Tyo aku beralih memainkan buah zakarnya. Kumainkan dua buah benda yang menyimpan sperma itu dengan lidahku. Kuhisap benjolan sebelah kirinya, dan Om Tyo mencengkram kepalaku kuat-kuat. Kuhisap benjolan yang sebelah kiri, dan Om Tyo mulai menjambak-jambak rambutku. Sepertinya dia tak kuasa menahan kenikmatan yang dia rasakan.
Kuhirup aroma kelaki-lakiannya, kuendus-endus bagian pubicnya yang berbulu itu. Aromanya begitu memabukkan. Aku saja hampir bersin saat bulu jembut Om Tyo masuk ke hidungku. Sekarang aku naik ke atas, kumainkan pusar Om Tyo dengan lidahku.
“Ahhhh! Ahhhh, Oh, Oh, Eeeehhhhhssss...”
Meskipun tidak sixpack, tapi perut Om Tyo aku pikir cukup seksi. Kelihatan kencang dan berwarna coklat. Sebentar lagi adalah momen-momen yang paling aku tunggu. Aku naik satu tingkat ke atas, ke bagian dada Om Tyo yang bidang. Tanpa pandang bulu kuhajar dada sebelah kanannya dengan hisapan bibirku. Putingnya yang sudah tegang juga kulumat, kugigit, dan kucubit-cubit.
“Ahhhh!, Oh! Yeah! Yes!  Itu area paling sensitifnya, Om, Den...” Om Tyo memberi penjelasan.
“Kalau begitu aku akan tetap di sini sampai Om mampus!” Sekarang kuhisap dada bagian kirinya.
“Ahhhhhhh! Den, den, hisap puting om!” Perintah Om Tyo.
Kuhisap puting cokelatnya itu, sementara yang sebelah kanan kuusap-usap dengan telapak tanganku yang sudah basah karena keringat dengan gerakan memutar.
“Ohhh, Ohhh, Ohhhh, ohhhh!” Kontol Om Tyo berkedut-kedut dan menyemburkan cairan bening. Om Tyo mengeluarkan percum banyak sekali. Itu merupakan pertanda kalau Om Tyo bisa saja mencapai orgasme sebentar lagi.
“Om mau keluar, ya?”
“Hisapanmu hebat, Den! Om nggak tahan pengen muncrat...”
“Tunggu dulu,  belum ke acara puncaknya.”
“Kamu hebat, Den! Lebih hebat dari Tantemu. Om yakin bisa tidur nyenyak malam ini.”
“Kalau begitu, Om mau ber 69 sama aku?”
Om Tyo tentu tahu apa gaya 69 itu. Yap, gaya yang ditujukan untuk saling mengoral alat kelamin. Om Tyo tampak ragu, tapi segera aku yakinkan kalau berhubungan intim itu harus ada timbal-balik. Kalau Om Tyo merasa puas, aku juga harus dipuaskan. Aku juga ingin merasakan kontolku diemut-emut oleh bibir seksi Om Tyo.
Segera kuarahkan kontolku ke mulut Om Tyo. Om Tyo mendorong wajahnya menjauh, menolaknya, tapi kontolku yang panjang itu menghujam matanya. Digenggamnya kontolku, dan aku mendesah lirih karena sentuhan hangat dan mantap tangan Om Tyo.
“Hisap, Om! Kayak gini, nih...” Aku memberikan contoh. Kuhisap kontol Om Tyo. Om Tyo memejamkan matanya menikmati hisapanku. Sekarang dilihatnya kontolku yang ada di genggamannya. Om Tyo tampak ragu-ragu. Kudorong pinggulku ke wajahnya, yang hasilnya membuat kontolku menusuk pipinya.
Om Tyo lantas membuka mulutnya dan memasukkan kepala kontolku ke dalam mulutnya. Aku merasakan sensai basah, rasa geli, dan panas yang menusuk saat kepala kontolku dihisap oleh Om Tyo. Aku mendesah, kepalaku mendongah ke atas. Aku seperti di lempar ke langit ke tujuh. Dimainkannya kepala kontolku.
“Sekarang masukkan semunya, Om! Hisap.” Pintaku.
Om Tyo mendorong kontolku masuk ke dalam mulutnya. Saat kepala kontolku menyentuh langit-langit mulutnya Om Tyo tersedak, dan langsung mengeluarkan kontolku dari mulutnya, dan Om Tyo terbatuk-batuk. Aku tertawa melihatnya.
“Om nggak tahan baunya, Den. Om kocok-kocok saja, ya kontol kamu?”
Aku mendesah kecewa, tapi akhirnya aku menyetujuinya dari pada aku tidak mendapatkan apa-apa. Akhirnya Om Tyo mengocok-ngocok kontolku, dan aku menghisap kembali kontolnya berulang kali. Suara desahan kami saling bersahutan menghiasi malam. Tak terasa kami sudah melakukan foreplay selama dua jam. Sebentar lagi pasti subuh. Ibu biasa bangun saat subuh. Bisa gawat kalau suara gairah kami terdengar.
“Entotin lubang anusku, Om!” Pintaku dengan semangat. Semua datang secara naluriah. Aku awalnya tak tahu akan menjadi gay bot atau top. Tapi karena kondisi pasaganku malam ini, aku memilih untuk menjadi bot.
Aku segera mengambil posisi menungging. Gaya doggy style. Om Tyo memasang kontolnya di depan lubang anusku. “Ini dibasahin dulu, ya, Den? Kayak di video kamu itu, kan?”
Aku mengangguk mengiyakan. Om Tyo meludahi tangannya, dan segera dibasahinya lubang anusku sampai licin. Tak lupa dibasahi juga kepala kontolnya untuk memperlancar proses penusukan anus untuk pertama kalinya.
Lubang anusku serasa dipaksa untuk melebar. Kepala kontol Om Tyo mendesak masuk. Berlahan tapi pasti lubang anusku yang sempit itu mulai meregang.
“AAAAAAAHHHHUUUUUHHHH! Sakit!” Aku menjerit tertahan. Om Tyo menghentikan gerakannya.
“Belum masuk, nih Den. Baru ujungnya saja...”
Aku menarik napas untuk mengumpulkan tenaga. Aku menahan napas dan meminta Om Tyo untuk memasukkan kontolnya. Om Tyo mendorong kontolnya, kepala kontolnya mendesak masuk, dan sekarang sudah sebagian kepala kontolnya terbenam di dalam anusku. Rasa sakitnya bukan main. Kulitku rasanya seperti teriris, perih sekali. Rasanya hampir sama dengan sembelit. Aku menggigit bantal untuk menahan rasa sakit yang aku rasakan.
Pluk! Kepala kontol Om Tyo masuk. Keringat mengucur dari kening Om Tyo membasahi pantatku yang montok. Memasukkan kontol ke dalam anus perawan memang membutuhkan tenaga yang ekstra. Om tyo melumasi batang kontolnya dengan air liur, dan kemudian di dorongnya kontolnya itu untuk masuk lebih dalam. Jleeeeeeep! Aku menahan napas saat batang kontol Om Tyo menghujam ke dalam anusku. Blessss! Sekarang batang kontol Om Tyo telah terbenam di dalam anusku. Otot-otot yang tadi dipaksa meregang sekarang kembali ke posisi semula, dan mengakibatkan kontol Om Tyo serasa dijepit oleh daging yang hangat.
“AGRHHHH! Sempit, Den. Hangat.”
“Genjot, Om. Tapi pelan-pelan saja.”
Om Tyo menggerakan pinggulnya. Gerakan menyodok itu terjadi berulang kali sampai kedua badan kami basah oleh keringat. Bunyi pantat dan kontol yang beradu memanaskan suasana. Om Tyo mendesah keenakan, sedangkan aku mendesah antara campuran rasa sakit dan rasa nikmat. Anusku berkedut-kedut, pantatku digelitiki oleh jembut Om Tyo. Buah zakar kami saling adu pukul, rasanya begitu nikmat.
“Ahhh, Ahhh, Ahhhh!”
“Ohhhh, Ehhhh, Auwww, Ahhh!”
“Den, Om mau keluar!”
Secepat ini? Wow, ternyata Om Tyo cepat juga mencapai puncaknya. Maklum, mungkin ini pengalaman pertamanya merasakan anus. Ingin sekali aku merasakan sperma Om Tyo. Aku belum tahu bagaimana rasanya. Aku menjilat bibirku yang kering dengan lidah.
“Keluarin di mulut Dendy, Om!”
“Kamu yakin?” Tanya Om Tyo masih sambil menggenjot pantatku.
“Yakin!”
Om Tyo melepaskan kontolnya dari anusku. Aku segera berlutut di depan kontol Om Tyo. Om Tyo berdiri di atas kasur, tangannya mengenggam kontolnya, dan langsung mengocoknya cepatnya. Clok, clok, clok, clok! Bunyi kontol Om Tyo yan dikocok-kocok.
“Om, mau keluar, Den! Ahhhhh, Ahhhh...Ohhh, sebentar lagi...”
Aku membuka mulutku, kujulurkan lidahku, ujungnya tepat berada di bawah lubang kencing OM Tyo. “Yeah, semprot mulut Dendy, Om!”
“Ohhhh, sudah di ujung, Den! AHHHHHHHHHHHHHHHHGRHHHHHHHHH!” Om Tyo menggerang dan dari ujung lubang kencingnya menyembur cairan putih kental. Sangat banyak, dan langsung turun membanjiri lidahku.
Rasanya aneh. Asin, dan berbau amis. Aku nggak bisa menelannya karena jijik, jadi aku memuntahkannya. Sperma Om Tyo melubar keluar dari bibirku. Mulutku seperti belepotan susu kental manis. Om Tyo masih mengocok kontolnya, dan beberapa semburan sperma susulan terjadi dan menghujam wajahku. Aku menggerang menerimanya.
“Gimana, Om ML sama aku enak nggak?”
Om Tyo langsung rubuh ke atas tempat tidur. Kontolnya mulai kembali ke bentuk normal. Keringat membanjiri tubuh Om Tyo. Tanpa ragu aku naik ke atas perut Om Tyo.
“Kocokin kontol aku, Om! Aku juga pengen muncrat...”
Om Tyo tersenyum dan membasahi telapak tangannya dengan air liurnya sendiri. Kemudian dikocoknya kontolku yang berada tepat di atas perutnya itu. Kepala kontolku mengarah ke dadanya siap menyemburkan sperma yang sudah lama tidak di keluarkan.
“Ahhh, ahhh, ahhh, ahhhh! Kocokanmu enak sekali, Om!”
“Oh, Om Tyo! Agrrhhhh!”
“Om! Ahhhh Om Tyo!”
Aku meracau bukan main. Om Tyo memandangi wajah bergairahku dengan tajam. Matanya begitu menunjukkan kekaguman saat melihatku menuju punjak sambil mendesahkan namanya.
“Om Tyo... ahhh, ahhh, Om Tyo! Sudah lama aku menginginkan ini, Om!”
“Kamu naksir Om, Den?”
“Iya, Om! Ahhh, Ohhh, YES! Aku sudah lama naksir Om Tyo!”
“Oh, ya?”
“He’eh... Ahhhh, ahhhh, kocokannya jangan berhenti, Om!”
Kocokan tangan Om Tyo di kontolku semakin cepat. Bunyinya bukan main memeriahkan suasana dan makin menambah gairahku. Aku sudah berada di ambang batas antara realita dan awang-awang. Begitu dahsyat, begitu nikmat, dan mendamba.
“Om, aku keluar! Ahhhhhhhhhgrhhhhhh!” Kontolku melontarkan spermanya sebanyak dua kali semburan. Semburan pertama muncrat jauh sampai mengenai pipi Om Tyo, dan yang kedua hanya membasahi dada Om Tyo.
Om Tyo tiba-tiba menduil sperma di pipi dan dadanya, kemudian dihujamkannya sperma yang membasahi jarinya itu ke mulutku. Aku menghisap jemari Om Tyo dengan buas. Aku merasakan spermaku sendiri.
“Oh, yeahhh... hisap!” Om Tyo mendesah saat bibirku mengulum jari-jarinya.
Setelah jemari Om Tyo bersih, aku segera merebahkan diri di samping Om Tyo. Tanpa ragu aku merebahkan kepalaku di dadanya, kakiku melingkar di atas pahanya, menguncinya dalam dekapan. Kehangatan tubuh kami, bau keringat kami, dan bau sperma kami melebur menjadi satu menguarkan aroma yang sedikit menyengat di udara.
“Makasih, ya, Den. Om puas malam ini...”
“Sama-sama, Om. Dendy juga puas.” Dengan niat menggoda kukecup bibirnya. Om Tyo tampak terkejut. Bibirnya kasar. Mata kami saling memandang, entah apa yang kami lihat dari sorotan mata masing-masing, karena tiba-tiba Om Tyo melumat bibirku dengan bibirnya. Jenggot Om Tyo menggores daguku. Kami berciuman, lidah kami bermain, dan rasanya begitu membangkitkan gairah.
Kami saling mendesah. Om Tyo jago sekali berciuman. Dilepaskannya bibirnya dari bibirku. Aku menggerutu protes. Kuhisap bibir bawahnya dan Om Tyo mengerang. Kami menarik napas untuk mengembalikan tenaga. Ciuman kami benar-benar panas.
“Karena kamu belum punya pacar. Asumsi Om kamu belum ada pasangan gaynya. Bagaimana kalau kamu menjadi budak seksnya, Om Tyo. Om Tyo ketagihan. Kamu mau kan?”
Wajahku langsung berseri-seri. Aku pun langsung mengangguk. Om Tyo juga tak kalah senangnya. Dilumatnya bibirku lagi. Kami berciuman tak lama kemudian, dan lagi-lagi Om Tyo melepaskan bibirnya. Aku memprotes, tapi Om Tyo malah mencubit pipiku.
“Keponakan kesayangan, Om!”
“Om... Oh, Om Tyo...” Aku mendesahkan namanya seperti pemuja berhala.
“Om paling suka kalau kamu mendesahkan nama, Om. Om langsung turn on!
“Kalau begitu siap ronde ke dua, Om?”
Om Tyo tertawa sambil mengusap-usap rambutku penuh kasih sayang. “Kalau kita berdua seberisik tadi nanti ketahuan. Nanti siang kamu ikut, Om, ya?”
“Kemana?”
“Kita liburan. Ke kebun teh. Di sana ada penginapan. Kita bisa melakukan ini berkali-kali di sana. Bagaimana, kamu kamu?”
“Ahhhh, tak sabar aku menunggunya, Om!”
Om Tyo mengusap jejak air liurnya di sekitaran bibirku, tapi kemudian dilumatnya bibirku lagi. Aku mengerang dan membalas ciumannya. Lidah kami beradu seperti pedang. Kontol Om Tyo kembali tegang. Aku mencengkramnya dan mulai mengocoknya. Om Tyo mendesah dan melepaskan ciumannya.
Tanpa aku duga Om Tyo langsung mendekap erat tubuhku dan membuka kedua pahaku lebar-lebar. Tampaknya dia menginginkan ronde kedua terjadi malam ini…
”Arggghhhhhhh… Ommmmm… Awwww…..!!!!”


To be continued…