Cortesy : Certia ini pada dasarnya milik
& dikarang oleh owner dari blog
novelbaru69.blogspot.com. Saya mendapatkan izin untuk membuat cerita yang disesuaikan dengan
gaya penulisan saya dan ceritanya
agak sedikit berbeda dari cerita writer aslinya tetapi cerita ini sudah
mendapat izin dari
pemilik cerita dan dia tidak mepermasalahkan hal itu. Semoga para pembaca menikmati cerita saya.
Terimakasih…
***
Akhirnya penantianku selama lima bulan
ini terbayar sudah. Selama itu aku dan Kak Satria putus hubungan. Kami sudah
jarang bertemu, berkencan, apalagi bercinta. Yah, kami sibuk dengan urusan masing-masing. Kak
Satria yang seorang Polisi berpangkat Brpitu, sibuk dengan segala rutinitas
latihannya sebagai anggota sabara. Aku sendiri, baru saja diterima bekerja di
sebuah koran lokal sebagai anggota tim redaksi. Sepertinya kami memang butuh
waktu sendiri-sendiri, itung-itung me
time season, yang bermanfaat untuk mempererat ikatan emosi diantara kita
berdua. Terkadang kalau sepasang kekasih rutin bertemu, pastinya akan mengalami
yang namanya bosan. Me time season, memang
apik dipalikasikan bagi pasangan seperti kami.
Buat kalian yang belum mengenal aku.
Perkenalkan. Namaku Bayu Antoni (20 tahun) punya tampang imut. Aku bukanlah cowok
bertubuh atletis namun tidak
terlalu kurus, putih, dan tinggiku cuman sampai 170cm.
Meskipun begitu aku punya dayatarik lebih, sehingga mampu menaklukan seorang
Polisi, bernama Briptu Satria Hermawan – yang aku panggil Kak Satria, (26
tahun). Kak Satria bener-bener tipe Polisi yang make you melt in one sight. Tubuhnya berisi, tak begitu berotot,
hanya padat dan sintal, berkulit cokelat muda – aku lebih suka menyebutnya
cokelat madu, dengan tinggi 184cm dan berat rata-rata 76kg. Benar-benar hot stuff. Aku beruntung bisa
mendapatkan Polisi sekeren dia.
Yes, I’m a gay. Dan petualangan cintaku nggak hanya sebatas dengan satu
orang saja. Ada juga Polisi keren yang menjadi simpananku. Dia adalah Briptu
Suwando Hairul Aji – biasa aku panggil Bang Wando (27 tahun). Bang Wando juga
tipe Polisi yang make you melt in one
sight. Tubuhnya berisi, tak begitu berotot, hanya padat dan sintal,
berkulit cokelat muda – cokelat madu I
heart it, dengan tinggi 182cm dan berat.... eeehhhh, lupa nimbang.
Pokoknya, he’s so damn hot!
Mungkin kalian semua bertanya-tanya, “kok bisa
ya Bayu mendapatkan cowok sekeren dan se-perfect mereka. Memangnya ada yang
begitu?”
Itu semua
sudah sering aku dengar dan sudah basi untukku. Tapi itulah kenyataanya. Mungkin
aku hanya beruntung dari segi nasib saja. Hehehe…
Kembali
kecerita. Aku memang bermain api (babi ngepet dong?).
Beresiko besar bukan kalau mempunyai dua pacar yang sama-sama Polisi? Apa
jadinya kalau masing-masing diantara mereka tahu kalau aku menduakan mereka
berdua? Well, just one gun shot, and I’ll
be died. Silangin jari, berdoa supaya aku dijauhkan dari malapetaka itu. Well, as long as I can keep bouth of them
behind the shadow, evertyhing it’s gonna be alright. Isn’t it?
Untuk sekarang aku nggak bakal
membahas Bang Wando. Aku nggak tahu dia ada di mana sekarang? Nggak ada kabar. Terakhir
aku ketemu sama dia, kami berdua lagi make out di atas
bukit. Such a mother fucker moment. Tubuhku
terkadang masih suka bergetar kalau mengingat betapa hebatnya Bang Wando ketika di sore yang
mendung itu di atas bukit. But now, seluruh
jiwa dan ragaku akan aku berikan pada Kak Satria seorang.
We’re
dating today. Oh, so freaking awsome, right? Tiba-tiba
saja pas subuh menyingsing Kak Satria telepon dan mengajakku untuk seharian ini
menghabiskan waktu bersama dirinya. Yang namanya ngedate itu gimana, sih? Ahh, ya, yang generic, lah. Paling juga nonton, makan, dan berakhir di atas
ranjang. Ouh, can’t wait the last part. Kangen
banget gue sama pistolnya Kak Satria.
Well,
dari penjelasannya, sih. Kak Satria bakal jemput aku
di rumah tepat pukul sepuluh pagi. It’s
Sunday bitch, jadi aku menghabiskan waktu untuk merapikan kamar. Hari ini
adalah kencan pertama kita setelah lima bulan sibuk dengan me time season. Wajar, dong kalau aku harus berpenampilan stunning di depan Kak Satria. Aku
sendiri yakin kalau Kak Satria juga sedang melakukan hal yang sama, toh dia
tipe cowok yang suka memperhatikan penampilan.
And
finally, after 2 hours left, I spent for just facing my self on the mirror, akhirnya pilihanku jatuh kepada, kemeja denim berwarna biru aqua, yang aku padankan dengan blue khaki pants. Kemejanya emang bahan
dasarnya kusut, tapi aku tetep keren. Untuk sepatu aku memakai converse hitam. Buat rambut gue spike pakai gel. Aksesoris nggak boleh
lupa. Aku memakai black cap yang
bikin tatanan rambut gue makin kelihatan oke, dan tak lupa jam tangan buat
pelengkap. Look at me! Aku kelihatan
siap banget buat kencan hari ini.
Sambil menunggu waktu, aku mengecek
kembali penampilan setiap lima menit sekali. Kalau-kalau hidungku mulai
berminyak atau, aroma perfume burberry yang
udah jadi signature-ku mulai luntur
ketelen keringet. Nggak lupa aku mengecek dompet, hum masih ada duit gaji bulan
kemarin. Emang aku nggak beli apa-apa bulan lalu. Dan nggak lupa, yang wajib
dibawa meskipun nggak butuh. Kondom. Kondom durex
fetherlite, yang jadi favorite kita berdua.
Dreeet! Hapeku berderit. Kurogoh saku
belakang celanaku. Ada BBM masuk dari Kak Satria. Bunyinya “Say, nggak bisa
jemput, motor ban bocor. Ketemu kamu di gramedia mall biasa saja, ya?”
Bibirku langsung berkerut. “Oke! See you later.” Tanpa basa-basi lagi aku
langsung meluncur ke mall biasa aku dan Kak Satria suka ngedate.
****
Kebayang nggak 10 menit perjalanan
naik ojek, plus 30 menit naik bus kota. Penampilanku mirip karyawan yang baru
pulang kantor senin sore. Kucel. Sia-sia aku berdandan keren sejak pagi tadi.
Ini lagi, baru jam setengah sebelas, mall masih tutup. Alhasil aku ngendon
dengan beberapa pengunjung kepagian mall yang lain di pintu masuk. Pas pukul
sebelas mall baru dibuka. Aku buru-buru ngacir ke toilet. Berhubung baru buka,
toilet cowok lagi sepi. Aku bisa membereskan penampilan dengan qucik touch up. Cuci muka. Setelah itu
aku langsung naik ke lantai dua, ke gramedia, dan menunggu Kak Satria di sana.
Sambil menunggu aku asyik bertengger
di rak-rak majalah. Mataku dimanjakan oleh cover
story majalah Men’s Health edisi September 2013, yang memajang Ali Hammoud
Mr. Interntional 2012. Tampak pria Lebanon itu hanya mengenakan jins dan
memamerkan bagian atas tubuhnya yang so
damn hot itu. Apalagi kedua puting dadanya melenting merah. Uh, lala!
“Hai sayang...” Suara yang serak itu
memanggil dari arah belakang punggungku. Seklias aku mencium bau aroma perfume hugo boss XY summer, dengan aroma cinnamon bark, & patchhouli, yang
begitu maskulin dan menggetarkan. Aku tahu siapa itu, dan aku menoleh...
Kak Satria berdiri satu meter di
depanku. Kelihatan ganteng dengan balutan brown
leather jacket, dari Massimo Dutti, yang
belinya kapan hari itu bareng aku, yang dipadu-padankan dengan dark blue sweater, dari Banana Republic. Memandang bagian bawah,
Kak Satria mengenakan celana khaki abu-abu
dari TopMan. Sepatunya, loafer dari Crocs. He’s so damn hot! Badanku tak kuasa merinding saat memandang
dagu dan rahang Kak Satria yang stubble –
bakal janggut yang tumbuh, dari pria yang 2-3 hari tidak bercukur,
mengingatkanku pada Ario Bayu.
“Hei,
Hot stuff...”
Kak Satria langsung tersenyum
mendengar godaanku. Tubuh kami saling mendekat, dan dikecupnya bibirku ringan.
Aku mendoronya mundur, terlalu terkejut karena public display of affection, yang Kak Satria tunjukkan. Untung di
sektor ini nggak ada pengunjung atau pegawai gramedianya yang lalu lalang.
“Kamu kelihatan keren
hari ini...” Pujiku.
“So
you are! Nggak nyangka kita sama-sama pakai warna biru.”
Ding! Aku baru nyadar kalau kita
kembaran. Sialan! Bisa ketahuan kalau couple
nih. Aku emang agak khawatir kalau jalan berdua Kak Satria di tempat umum.
Kadang Kak Satria itu nunjukin banget rasa sayangnya ke aku di depan umum
dengan menggandeng tangan, yang orang lain lihat pasti ngiranya... Yah, we’re gay, tapi aku nggak mau mengumbar
statusku di depan umum. Makannya aku suka jaga jarak kalau di depan umum biar
orang ngelihat aku dan Kak Satria itu sebagai sepasang sahabat atau kakak-adik.
“Seharian ini mau ngapain?” Tanyaku
sambil mengikuti Kak Satria ke area komik-komik.
“Nonton. Filmnya lagi ada yang keren.
The Conjuring.”
Deg! “Horror!” Aku emang nggak suka
film horror.
“Tapi filmnya keren. Kalau kamu takut
kamu kan bisa bersembunyi dibahuku...”
Wajahku sontak memerah mendengar
gombalan Kak Satria. He’s such a romantic
guy. The alpha gay, emang selalu harus begitu. Karena udah lama nggak
mendengar gombalannya, aku jadi blushing begini.
Ahahhahahahhaha.
Akhirnya setelah nonton – which is selama satu jam sembilan puluh
menit itu aku menutup mata di saat hantunya muncul, Kak Satria mengajakku untuk
makan siang. Solaria menjadi pilihan kami. Aku memesan nasi goreng sosis dengan
banana juice, sebagai pelepas dahaga.
Kak Satria malah memilih kopi dan nggak mengisi perutnya.
“Lagi diet?” Tanyaku membuka
pembicaraan seusai makan.
“Di kesatuan lagi ketat-ketatnya
latihan. Banyak Polisi tambun yang kena hukuman. Aku harus jaga badan biar
nggak jadi sasaran tendangan komandan.”
“Meskipun kamu gendut atau atletis,
aku tetep suka...”
Kak Satria terkekeh mendengar
gombalanku. “Lima bulan ini kamu sibuk ngapain, sayang?”
Aku melirik ke sekeliling takut orang
lain mencuri dengar Kak Satria memanggilku sayang. Meskipun Solaria lagi ramai,
mereka sibuk mengobrol sendiri-sendiri. Hufh, aku agak bernapas lega kalau
nggak ada kuping nganggur yang curi-curi denger.
“Sibuk kerja, dikejar deadline, merana karena kangen kamu, dan
sibuk wara-wiri sana-sini nggak jelas...”
“Aduh, masa sampai tersiksa begitu?
Maaf, deh... kamu sendiri kan yang minta waktu me time season, pas ngebaca majalah waktu itu.”
Aku mengangguk. Emang aku dapet ide
itu dari majalah. Meskipun menyiksa batin, tapi efeknya bener-bener mujarab.
Buktinya aku masih terus berbunga-bunga kali pertama bertemu dengan Kak Satria
setelah lima bulan putus hubungan.
“Kamu nggak tanya aku sibuk apa’an?”
“Ah, paling juga sibuk latihan, sibuk
baris berbaris, sibuk jaga pos, sibuk mengawal pendemo.” Polisi kerjaanya
apa’an sih kalau nggak gitu-gitu saja.
“Aku juga merana karena kangen kamu,
sayang. Aku kangen bibirmu berada di atas kulitku.”
Aku segera melempar tissue ke wajah
Kak Satria. SIALAN! Kalau orang lain denger gimana? Aduh, bener-bener sport
jantung kalau punya pacar yang doyan PDA begini.
“Setelah ini kita ke mana? Aku juga
nggak sabar sampai ke bagian terakhir...” Kujilat bibirku yang kering di depan
Kak Satria untuk memanaskan suasana.
“Sekali lagi kamu berbuat seperti itu,
aku akan menelanjangimu di sini. Sekarang juga!”
“Coba saja kalau berani...” Aku
beranjak berdiri. “Mau keliling kota pakai motor kamu?”
Kak Satria nyengir karena dia kalah
satu ronde dalam bermain kata. Setelah membayar bill, Kak Satria berjalan tepat
di belakangku, menuju lapangan parkir. Keliling kota, dengan honda tiger warna hitam milik Kak
Satria. Ahhhh, membayangkan ini akan seindah adegan romantis di film Joy Ride.
****
Menjelang matahari terbenam Kak Satria
terus melajukan motornya ke daerah pinggiran kota. Tanganku tak pernah lepas
memeluk perut Kak Satria, menyandarkan tubuhku pada punggungnya, bertahan di
sana, dan meresapi kehangatan tubuhnya. Kali ini aku acuh saat melihat pengendara
motor lain memandang aneh ke arah kami sewaktu berhenti di lampu merah. Aku
sama sekali tak melepaskan pelukanku dari Kak Satria. Bangga rasanya aku
memiliki dia, toh kami sama-sama memakai helm teropong, jadi tak perlu khawatir
orang lain akan mengenali kami.
Honda
tiger Kak Satria berlabuh di pinggir pantai, tempat
kebanyakan muda-mudi berkumpul untuk menikmati pemandangan matahari terbenam.
Banyak motor terparkir di atas jalan aspal, ditinggalkan begitu saja oleh
pemiliknya yang sibuk membenamkan kaki di atas pasir putih. Kak Satria
menggandeng tanganku, menggiring langkahku di atas pasir putih menuju gugusan
bebatuan di bagian timur pantai. Kaki telanjang kami menikmati gelitikan pasir,
sedangkan tangan kami yang bebas membawa sepatu kami masing-masing.
Semakin ke timur semakin sepi. Kak
Satria lebih berani untuk mendekatkan tubuhnya ke tubuhku. Nggak banyak orang
di tempat ini karena memang kebanyakan lokasi ini kurang apik untuk menikmati
pemandangan matahari terbenam. Beberapa deret kios yang menjajakan minuman
tampak kosong dan hanya ditunggui pemiliknya.
“Aku sayang kamu, dek...” Celetuk Kak
Satria membisik di telingaku.
Bergetar tubuh ini saat mendengarnya.
Aku sedikit berjinjit kala berusaha meraih pipinya dan mendaratkan sebuah
ciuman singkat di sana. Wajah Polisi gagah itu tampak kikuk sesaat, dan aku
hanya bisa mentertawainya.
Sampailah kami di gugusan batu karang.
Debur ombak memecah keheningan senja, burung-burung nazar berterbangan
menyambut malam yang akan segera datang. Langit seolah terbakar, tampak merah
di kejauhan. Kak Satria membantuku untuk naik ke atas salah satu batu karang
yang tajam. Tubuh tegapnya dengan begitu mudah membantuku yang kurus ini. Aku
kelihatan lemah bila dekat dengannya. Kami menyusuri setiap lekuk batu karang
dan menemukan sebuah celah yang memiliki kolam yang tak begitu dalam. Kak
Satria mencuci kakinya yang penuh pasir di kolam itu sementara aku
memperhatikan wajahnya yang begitu tampan, disinari menatari senja yang
kemerahan. Sekali lagi aku merasa beruntung memilikinya.
Kak Satria beranjak berdiri, menarikku
dalam pelukannya secara tiba-tiba. Didekapnya tubuhku, dan kami berciuman.
Ciuman yang halus, tak begitu menuntut, dan mendamba. Bibir kami memagut, tanpa
permainan lidah. Aku masih bisa merasakan aroma kopi dari mulutnya, pahit,
manis, bercampur menjadi satu.
“Kak Satria...” Aku mendesahkan
namanya saat Kak Satria melepaskan ciumannya.
“Hemm?”
“Aku mencintai...” Belum selesai mulut
ini berucap, bibirku malah terkunci oleh bibir Kak Satria. Kami kembali
berciuman dengan penuh gairah. Tanganku melingkar di lehernya, menekan
kepalanya untuk terus menempel, sedangkan Kak Satria mengirimkan gelenyar
sengatan listrik di sekujur tubuhku di saat kedua tangannya sibuk membelai bahu
dan tulang punggungku.
****
Kami berdua sedang menikmati jagung
bakar sambil menikmati malam yang sudah berkuasa di pinggir pantai. Matahari sudah
tebenam sejak tiga jam lalu. Angin berhembus kencang, membuat badanku menggigil
meskipun aku sudah mengenakan jaket kulit Kak Satria. Rasa gurih mentega yang
membalur jagung bakar milikku, membuat bibirku bengkak. Jich! Bisa-bisanya aku
menyalahkan mentega dalam urusan ini. Bibirku bengkak karena terlalu
bersemangat berciuman dengan Kak Satria, non stop selama sepuluh menit.
He’s
a master of kissing. Jago banget ciumannya. Aku saja
sampai kewalahan melawan genjatan bibir dan lidahnya yang bersilat. Malam akan
segera berakhir, dan aku tahu akan ke mana arahnya setelah ini... dalam diam
aku menunggu Kak Satria membuka suara. Dia terlalu sibuk mengunyah jagung bakar
miliknya, tak mengetahui kalau kekasihnya ini sedang dibakar gairah.
“Habis makan aku anter kamu pulang...”
Deg! Lho, kok langsung pulang? Melihat
ekspresiku yang kecewak Kak Satria akhirnya mengetahui penyebabnya. “Aku juga
pengen sayang, tapi tempatnya nggak memungkinkan...”
“Cerita lama!” Aku mendengus seraya
melempar jagung bakar yang sudah habis setengah ke atas pasir.
Selalu. Selalu masalah tempat. Kak
Satria tinggal di sebuah rumah kontrakan hasil joinnya bersama seorang teman
sesama anggota Polisi. Yang artinya, kita nggak bisa bebas buat ngapa-ngapain
di sana. Sedangkan di rumahku sendiri, tahu sendiri kalau aku masih tinggal
bareng orang tua, dan malah nggak memungkinkan kalau kita ngapa-ngapain di sana
juga. Kecuali, dua lokasi itu lagi sepi, kita bebas mau bergulat di sana. Dan untuk menunggu kesempatan sepi itu,
perbandingnya besar sekali. Kak Satria sendiri ogah cek in karena resiko besar kalau sewaktu-waktu ada razia datang,
yang which is bisa mengacam karirnya.
So, kemana lagi kita harus mengakhiri malam ini?
Batal sudah segala jenis fantasi yang
terbentuk sejak pagi tadi. Malam ini Kak Satria akan langsung mengantarnya
pulang, dan see you good bye! Selama
perjalanan pulang kami berdua sama-sama membisu. Pelukanku juga nggak seerat
tadi. Malam ini aku ingin segera tidur dan melanjutkan hidup, kembali tenggelam
bersama rutinitas, dan entah kapan lagi bisa bertemu dengan Kak Satria. Rasanya
ingin tumpah air mata ini, air mata frustasi karena hasrat yang tak
tersalurkan. Ogah! Nggak bakal. Tabu banget aku menangis.
Sesampai di rumah aku tanpa basa-basi
langsung melepaskan helm, dan menunggu Kak Satria berlalu meninggalkanku. Nggak
ada acara mampir-mampir segala, udah kelewat gondok tahu nggak.
“Kamu marah, dek?”
Aku diam saja, berusaha memasang wajah
datar. “Lain kali, kan bisa. Aku ngerti kok kondisinya.” Yang di mulut lain
sama yang di hati.
“Kalau malam ini kita sexphone aja gimana?”
Aku melirik Kak Satria dengan sebelah
mata. Kamu di sana, aku di sini, tersambung di telepon, ngocok kontol
masing-masing, sambil mendengarkan suara desahan lewat telepon. Duh, nggak
banget. Terlalu desperate! Mending
nggak sama sekali. Aku menggeleng.
“Udah nggak apa-apa, kok. Santai saja.
Pulang, gih... udah malem!”
Tiba-tiba pintu depan rumah terbuka.
Ibu keluar dari dalam. “Eh, ada Nak Satria. Masuk?”
“Nggak, Bu! Udah mau pulang. Ada
urusan...” Nada bicaraku kasar banget. Kasihan juga ngelihat Kak Satria.
Kayaknya usahanya untuk seneng-seneng hari ini gagal tertiup angin.
“Oh, ya sudah. Lain kali mampir ya.
Kalau jalan bareng bilang-bilang, dong... Ibu kan bisa masak lebih.”
Duh, Ibuku ini terlalu baik. Kak
Satria memang sudah dianggap anaknya sendiri, sejak aku pertama kali membawanya
berkunjung ke rumahku dan kukenalkan pada seluruh anggota keluargaku. Kak
Satria sebagai teman dekat di club badminton, bukan sebagai kekasih. Tapi, Ibu
sendiri pernah menaruh curiga karena terlalu sering mendapati Kak Satria rajin
apel setiap hari sabtu dan minggu, meskipun kecurigaan Ibu itu disampaikan
dengan nada bercanda dan lalu begitu saja. “Kok suka ngapel malam minggu.
Emangnya dia nggak punya pacar, kok ngapelnya ke sini terus. Jangan-jangan kamu
ini pacarnya. Hahahahhahahha!” Wajahku saat itu langsung berubah dingin, tapi
begitu menyadari Ibu cuman bercanda, aku juga ikut-ikut tertawa meskipun
teriris hati ini rasanya.
“Aku pulang dulu, ya Bay.” Bayu.
Bukan, sayang, soalnya ada Ibu. “Bu, saya permisi pulang. Maaf udah menculik
Bayu sampai selarut ini, saya butuh temen main soalnya...”
“Hati-hati ya Nak Satria. Beneran
nggak mampir dulu, minum kopi?”
“Tadi, sudah, Bu. Terima kasih.” Kak
Satria mengenakan helmnya. Agrhhh, sebentar lagi akan berpisah. “Aku pulang
dulu, ya. Marahnya jangan lama-lama. Lain kali aku tebus...”
Aku memaksakan senyuman. “Sampai di
kontrakan telepon, ya?”
“Oke!” Mesin dinyalakan. Suara halus
mesin motor Kak Satria memanjakan telingaku. Kuresap suaranya karena mungkin
besok aku nggak bakal mendengar suara motor ini lagi.
“Bye...”
“Bye!”
Dan Kak Satria pergi. Malam ini batal,
jablai, dan desperate akut.
****
Capek. Cuman satu kata itu yang bisa
menggambarkan kondisiku hari ini. Senin sore, sepulang kantor, aku sibuk
membereskan berbagai macam hasil liputan yang sudah dalam bentuk print out, tinggal dimintai acc ke editor. Beres. Sore ini aku mau mandi air hangat dan langsung
tidur. Bukan cuman capek fisik, tapi capek batin gara-gara kencan kemarin yang
gagal total itu masih membekas sampai senin ini. Agrhhh, aku menggerang saat
masuk ke dalam lift yang membawaku turun. Dengan gontai aku berjalan melintasi
lobi gendung kantorku yang sudah sepi. Cuman ada seorang cleaning servcie yang tengah mengepel lantai.
Bayangan harus berjubel dengan
penumpang lain di Bus, membuatku merasa enggan pulang ke rumah. Seperti biasa
aku menunggu Bus di halte. Tumben banget cuman ada aku di halte ini. Mungkin
udah kelewat sore, jadi banyak pegawai kantor gedung sekitar yang udah pada
pulang sejak jam empat sore tadi.
“Butuh tumpangan, Dek?”
Deg! Aku mencium hugo boss XY Summer bercampur keringat. Aku menoleh ke samping. Dia
berdiri di sana. Kak Satria dengan seragam polisinya. Meskipun hati lagi gondok
aku akhirnya tersenyum juga. Aku nggak mimpi, atau lagi berhayal, kan? Kok,
bisa-bisanya sosok Polisi tinggi tegap ini berdiri di sebelahnya, dan lagi
senyum-senyum geje ke arahnya pula.
“Sebelum kamu tanya, aku mau bilang,
kalau aku sengaja menunggumu di sini.”
Aku diam saja. Mataku melirik melewati
punggung Kak Satria. Honda Tiger warna
hitamnya terparkir di depan kios rokok.
“Sebelum kamu minta maaf, lagi aku mau
bilang, kalau aku maafin kamu.”
Kak Satria mendekatiku, dan meletakkan
tangannya di bahuku. “Aku nggak suka ngelihat kamu marah...”
“Aku juga nggak mau marah-marah terus.
Penantian selama lima bulan dan berakhir nggak sesuai harapan, wajar dong kalau
kita menaruh banyak kekecewaan di dalamnya.”
Kak Satria mengangguk menyetujui.
“Maka dari itu aku kemari, berinat untuk membayarnya.”
“Oh, ya?”
“Kita makan malam berdua.”
“Makan malam?”
Kak Satria menyadari kalau aku tidak
menyukai gagasanya. Aku pikir kita berdua akhirnya bisa... Agrhhh, makin kecewa
deh rasanya.
“Sayang, bisa nggak kamu melihat
hubungan kita dari sudut pandang yang lain. Di luar seks.”
Aku mengerti apa maksud Kak Satria.
Ya, ampun! Aku egois banget, ya. Tapi, aku nggak buru-buru merubah ekspresi
wajahku. Egoku masih menekan, dan berusaha untuk menang sendiri.
“Apakah dengan melewatkan waktu
bersama tanpa adanya seks itu kurang buatmu?”
Aku nggak mau dihakimi. Apalagi kalau
tahu akunya yang salah. “Maaf, Kak. Aku emang egois. Namanya juga gejolak anak
muda, hormonnya masih suka nggak stabil.”
Dret! Dret! Dret! Hapeku berbunyi. Ada
panggilan dari atasan. “Bentar, Kak. Bos telepon.”
Kak Satria mengangguk dan memberi
jarak untukku agar merasa nyaman menerima telepon. Setelah bercakap-cakap
dengan Bos, akhirnya pembicaraan diakhiri dengan agenda yang menjengkelkan. Aku
diminta balik ke kantor, dan mengirimkan hasil liputan yang sudah disusun oleh
Tim redaksi sewaktu rapat harian tadi pagi, lewat email. Itu artinya aku harus
balik jalan ke kantor.
“Tugas mendadak. Sepuluh menit. Be right back! Kamu tunggu di sini.”
“Lho, kemana?” Kak Satria protes.
“Ke kantor. Ada tugas mendadak.”
“Terus kamu ninggalin aku sendirian di
sini?”
“Cuman bentar, di suruh ngirim hasil
liputan ke email Bos!”
“Aku ikut!”
“Hah?”
Akhirnya setelah berdebat seperti dua
bocah ingusan, akhirnya aku mengalah dan mengajak Kak Satria balik ke kantor.
Motornya di parkir di halaman kantor, bahkan pas melewati lobi kantor, banyak cleaning servie dan Satpam yang langsung
shock tahu ada Polisi masuk ke kantor mereka.
“Ada apa Mas Bayu. Kok ada Pak
Polisi?” Tegur seorang Satpam. Tampang Kak Satria emang terlalu kaku saat itu,
jadi memancing ketegangan.
“Nggak ada apa-apa, Pak. Ini teman
saya. Saya diminta Pak Hendro ke kantor. Teman saya ini maksa ikut. Boleh
masuk,kan Pak?”
“Oh, boleh! Saya kira ada apa-apa.
Silahkan!” Dengan senang hati Satpam itu membukakan lift untuk kita berdua.
Dengan gaya sok macho Kak Satria
memberikan salam hormat yang langsung di balas dengan nggak kalah machonya
dengan Pak Satpam. Setelah pintu tertutup aku langsung tertawa. Kak Satria
cuman nyengir-nyengir saja. Sampai di kantor di lantai tujuh, aku buru-buru
mendekati kubikelku. Suasana kantor memang sudah supi. Lampunya sudah
dimatikan, dan agak seram juga. Tapi berhubung aku bersama Kak Satria pikiranku
nggak ngelantur ke hal-hal yang aneh.
Segera aku menyalakan komputer.
Kukirimkan data-data yang diminta Bos. Nggak sampai lima belas menit
pekerjaanku selesai. Aku mengetik pesan singkat ke Bos, bilang kalau
data-datanya sudah dikirim, saat tiba-tiba Kak Satria menarikku ke pelukannya
dan mencium bibirku.
Glek! Aku menelan ludah. WAHHHHHHH!
Tanpa peringatan. Kakiku langsung lemas seperti agar-agar. Ciuman Kak Satria
agak memaksa, tapi cukup membangungkan gairahku. Tapi aku segera mendorong
mundur Kak Satria setelah aku menyadari ada di mana kami sekarang ini.
“Kak, ini di kantorku. Kita nggak bisa
macam-macam di sini.”
“Nggak ada orang di sini, sayang...”
Kak Satria meraih pinggangku dan merapatkan tubuh kami dalam satu pelukan.
“Iya, nggak ada orang, tapi ada CCTV.”
Kak Satria mengedarkan pandangan dan
menemukan ada beberapa kamera CCTV yang terpasang di langit-langit. Kak Satria
mengumpat kasar, aku sendiri sempat terkejut dan mati kaku, takut kalau Kak
Satria marah.
“Bay, aku menginginkan kamu saat ini
juga, di sini...”
Aku memandang wajah Kak Satria dengan
takjub. Apa maksudnya di sini sekarang juga?
“Bercintalah denganku. Aku tidak
perduli!”
“Jangan macem-macem, Kak! Pikirkan
baik setiap perkataanmu.”
“Everything
it’s gonna be alright, trust me. Just come here and kiss me...”
Aku menggeleng masih takut untuk
mengambil langkah ekstrim yang Kak Satria tawarkan. Aku juga ingin bercinta
dengan Kak Satria, tapi tidak begini caranya. Lebih baik bercinta di dalam
kamar, dengan orang tuaku berkeliaran di luar, dengan tanpa desahan, yang
membakar ranjang.
“Percaya sama aku. Aku tahu gimana
caranya supaya kita aman...”
Bercinta di sini, sekarang juga,
dengan CCTV yang merekam setiap detiknya, dan yang lebih parah lagi ada Satpam
yang menonton di ruang monitor. Bukan ide yang bagus. Terlalu beresiko. Sangat
besar dan membahayakan. Tapi raut wajah Kak Satria benar-benar meyakinkan.
Diulurkannya tangannya, menunggu tanganku meraih tangannya dan membiarkan Kak
Satria memulai.
Bagaimana ini? Aku melirk ke arah CCTV
paling dengan kubikelku. Ciuman tadi pasti terekam. Sialan! Kalau sudah menyelam,
sekalian saja minum air. Jadi... aku menerima uluran tangan Kak Satria.
Ditariknya tubuhku hingga jatuh ke pelukannya.
“Sialan, Bay! Kamu tega sekali
menyiksaku.” Protes Kak Satria sambil medekapku lebih erat.
“Bukan begitu maksudku, Kak.”
“Shuuttt...” Dibungkamnya mulutku
dengan kecupan bibirnya.
Hangat, manis, dan sedikit terasa mint
di lidah. Kak Satria selalu mengunyah mentos setiap saat. Kali ini aku sedikit
ragu dalam membalas ciumannya. Ada beberapa pasang kamera yang mengawasi dan
mungkin ada sepasang mata yang melihat dari ruang monitor. Ini benar-benar
gawat. Bibirku masih diam saja, saat Kak Satria berusaha mendesak masuk dengan
lidahnya.
“Sialan, Bay! Cium aku!”
Kubuka bibirku pelan-pelan. Memang
mengecewakan kalau lawan mainmu tidak beraksi. Kalau aku jadi Kak Satria
mungkin aku juga akan mengumpat kesal. Kukecup bibir atasnya, kujilat bibir
bawahnya sebelum akhirnya lidah kami beradu. Kak Satria menggerang, yang
kemudian mendorong tubuhku mundur sampai pantatku menyentuh meja kerjaku. Dipenjarakannya
aku di sana, di antara tubuhnya dan meja kerjaku, sementara bibir kami masih
saling mencumbu.
Didorong oleh gairah yang sudah
mengambil fungsi otakku, aku melepaskan ciuman dengan paksa, dan mendengarkan
erangan memprotes Kak Satria. Senang sekali rasanya aku melihat Kak Satria
frustasi karena intrupsi yang aku lakukan. Kugigit bibir bawahnya tiba-tiba
untuk menenangkannya, yang dibalas dengan ciuman kasar, tapi segera aku
mendorongnya mundur. Aku yang memegang kendali sekarang.
Kuarahkan jemariku untuk melepas
seragamnya. Pelan-pelan, sambil memandang dua mata yang begitu bergairah. aku
seperti sedang beradu dengan singa yang kelaparan. Aku seperti rusa tak berdaya
yang berusaha untuk membujuk Sang singa agar tidak memangsanya.
Seragam Kak Satria terbuka, tapi aku
tak melepasnya. Kondisinya tak memungkinkan bagi kami berdua untuk telanjang
bulat. Dengan lincah tanganku menaikkan kaus dalam cokelat hingga ke dada Kak
Satria. Tubuh sintal Kak Satria terpampang di depanku. Segera kumainkan kedua putingnya
dengan hisapan bibirku yang sudah terlatih. Rindu sekali bibir dan lidah ini
mengecap dan menikmati tubuh Kak Satria.
“Arghhhhh....” Kak Satria menggerang.
Bagian puting Kak Satria memang yang paling sensitif.
Kucium bibirnya, kugigit lehernya, dan
kurenggut putingnya dengan ujung lidahku yang menari-nari, kemudian kembali ke
bibir, leher, dada, terus berulang-ulang sampai mendengar Kak Satria
memohon-mohon padaku.
“Agrrhhh, Bay! Jangan berhenti!
Agrhhh, hisap! Agrhhhhh!”
Kusentuh seonggok daging yang mengeras
di balik celana cokelat Kak Satria. Kak Satria mengejang dan matanya terpejam.
Kugosok-gosok benda yang mulai berkedut-kedut itu.
“Ini apa, Kak?” Tanyaku dengan suara
menggoda
“Hah?” Sebegitu bergairahnya Kak
Satria, sampai-sampai ia tak bisa menangkap apa yang aku katakan. Aku bisa
merasakan suhu tubuhnya memuncak. Kugosok benda di balik celana itu lagi dengan
telapak tanganku, dan Kak Satria menggerang buas, yang kemudian dibalasnya
dengan mengigit leherku seperti vampir.
“Auhhhhh!” Aku mengaduh.
“Berhenti menyiksaku, sayang...”
“Aku suka menyiksa kamu! Jarang sekali
melihat seorang Polisi bertekuk lutut di hadapanku...”
Kak Satria menggerang, bibirnya
berusaha meraih bibirku, tapi tanganku dengan mudah mendorong dadanya mundur.
“Aku ingin kamu cium seluruh bagian tubuhku, dua kali di setiap tempat! Jangan
ada yang tertinggal...”
Aku terkekeh. Menikmati peranku
sebagai seorang penyiksa. Segera aku menuruti permintaan Kak Satria. Kuberikan
ciuman panas di lehernya dua kali, sampai lehernya basah dan Kak Satria
mendengkur seperti Babi hutan, tangannya mencengkram pantatku kuat-kuat saat
gelitik listrik itu menyerang seluruh saraf-sarafnya. Setiap bagian tak ada
yang terlewat. Tubuh Kak Satria basah karena keringat dan air liurku.
“Kamu suka ini?” Tanganku berusaha
menyusup ke balik celana lewat bagian atas, masuk ke dalam celana dalamnya, dan
merasakan segumpal daging yang keras.
“Agrrrhhhhhh...” Kak Satria
mengadahkan wajahnya.
Direnggutnya bibirku. Aku yang tak
sigap kali ini gagal mempertahankan diri. Bibirku dilumat dnegan buas sampai
aku merasakan ada rasa darah di lidahku. Entah darah siapa? Ciuman kami begitu
liar. Entah berapa banyak waktu yang kami habiskan untuk saling menyiksa ini?
Sampai detik ini tak ada seorang satpam pun yang mendatangi kami. Asumsiku,
tidak ada orang yang melihat kami lewat kamera CCTV. Aman.
“Ayo kita segera akhiri permainan ini,
karena aku lapar. Kamu janji traktir aku makan, kan, Kak?”
Kak Satria tidak menjawab. Ia sibuk
membuka ikat pinggang, kancing celana, resletingnya, dan sluuuuuurp! Celana itu
lolos sampai jatuh ke mata kakinya. Kak Satria sedang mengenakan celana dalam boxer brief abu-abu. Warna yang sanggup
membangkitkan gairahku seribu kali lipat. Nggak ada yang lebih seksi dari Kak
Satria dengan celana dalamnya. Wujudnya bisa disandingkan dengan David Gandy yang memamerkan koleksi
celana dalam terbaru dari D&G
tahun lalu.
Aku segera berlutut tepat di depan
selangkangan Kak Satria, menurunkan celana dalamnya dengan mudah hingga turun
sampai ke lutut. Kontolnya yang berdiri tegak, 19cm itu meluncur seperti
pelontar meriam di depan wajahku. Kugenggam dengan mantap batang kontolnya, dan
Kak Satria mendesah merasakan cengkraman tanganku yang mantap. Tanpa ragu lagi
aku memasukkan kontol Kak Satria ke dalam mulutku, melumat kepalanya, dan
memainkan lubang kencingnya dengan ujung lidahku.
Slurp, Slurp, Slurp! Bagaikan
menikmati ice cream, kali ini dengan
rasa percum yang hambar. Kak Satria akan mencapai puncak sebentar lagi, aku
tahu itu. Kontolnya terus berkedut-kedut di dalam mulutku, dan siap melontarkan
lava putihnya. Kukeluarkan kontol itu dari mulutku dengan bunyi, pufh, seperti bunyi tutup botol anggur
yang terbuka.
“Sini, biarkan aku yang timpa kamu,
mengguling tubuhmu, dan menaiki kamu sampai kamu klimaks. Membakar meja kerja
seperti di video porno koleksi kamu. Huhhhh...”
Kak Satria sudah tak bisa berkata
apa-apa. dia membiarkan aku yang memegang kendali. Kudurung tubuhnya sampai
tertidur di atas meja, yang sebelum itu benda-benda di atasnya sudah berserakan
di atas lantai. sebelum menunggai tubuh kuda jantan ini, aku kembali melumat
kontolnya di dalam mulutku. Tak lama kemudian aku memainkan buah zakarnya yang
ditumbuhi bulu-bulu halus itu dengan lidahku, menghisap masing-masing bijinya,
sampai Kak Satria mendesah.
“Yes!
Betul, tetap di ujung situ, ya babe,
Ah!”
“Ahhhh!” Aku sendiri mendesah lirih
saat merasakan kontolku sendiri mengeluarkan air percum. Melihat lawanku
terangsang, aku pun juga ikut terstimulasi lewat pikiran. Aku sungguh puas
kalau bisa memuaskan Kak Satria.
Kemudian aku naik ke atas meja, ke
atas tubuh Kak Satria lebih tepatnya. Aku berlutut di atas tubuhnya, kontolku
tepat mengarah di depan wajahnya. Kak Satria menggengam kontolku dan
mengocok-ngocoknya. Aku mendesah menikmati kocokannya, tapi aku tahu kalau aku
belum menyelesaikan apa yang menjadi tugasku.
Hot
Hula. Begitu gaya ini dinamakan. Aku duduk di atas
pinggulnya, dengan tangan dan kaki tepat di samping torsonya – bagian samping tubuh dari dada hingga ke perut. Posisi
itu membuat lubang anusku berada tepat di atas kontol Kak Satria, dan berlahan
aku mendorong kontol itu masuk ke dalam anusku. Blusssss! Tak perlu waktu lama.
Dengan mudah kontol Kak Satria masuk ke rumah kenikmatan yang sudah lama tidak
ia kunjungi.
“AHHHHHH!”
“AHHHH!”
Kami sama-sama mendesah saat tubuh
kami menyatu. Kepalaku mendongah ke atas, begitu juga dengan Kak Satria.
Sesudah memastikan posisi ini nyaman untuk kami berdua, lalu dimulailah gerakan
memutar itu. Aku menggerakan pinggul dari kiri ke kanan, dan diputar-putar
seperti saat kita sedang bermain hulahop. Karena itulah gaya ini diberi nama hot hula.
Batang kontol Kak Satria bergerak
bebas di dalam anusku, dan menusuk setiap sudutnya, yang jelas mengirimkan rasa
nikmat ke seluruh bagian tubuhku.
“Ah, ya! Putar, sayang. Agrhhhhhh!”
Kuremas-remas dada Kak Satria
sementara pinggulku memutar-mutar kontol Kak Satria di dalam anusku. Kuremas,
kuplintir putingnya, sampai Kak Satria menaikkan pinggulnya ke atas, tubuhnya
mengeliat-liat, dan semakin membuat kontolnya merojoki anusku.
“Ahhhh, kalau kamu juga ikut bergerak
aku semakin nikmat, Kak!”
Akhirnya setelah beberapa saat Kak
Satria mendorong pantatku ke atas, sehingga keluarlah kontolnya dari lubang
anusku. “Kamu sekarang yang berbaring santai, sayang...”
“Oke...” Aku merebahkan tubuhku ke
atas meja, dengan Kak Satria masih berada di atas meja juga, dan sedang
berlutut tepat di depan selangkanganku.
Di dorongnya setengah tubuhku jatuh ke
bawah, sehingga dari dada sampai kepalaku menggantung ke bawah. Kemudian Kak Satria
membuka dan mengangkat kedua pahaku, merapatkan tubuh kami, dan memasukkan
kontolnya ke anusku dalam sekali dorong. Aku menggerang dan secara refleks
kedua tanganku meregang ke atas kepala, jatuh ke udara begitu saja. Tulang
belakangku terasa sakit karena harus menempel dengan pinggiran meja yang kasar,
tapi rasa sakit itu berusaha aku hiraukan karena aku menikmati sensai yang
terjadi.
Karena setengah tubuh bagian atasku
jatuh dan melayang ke bawah, semua
aliran darah akan memuncak di kepala, dan itu memberikan sensai yang tiada kira
untukku. Kak Satria terus menyodok kontolku. Dari posisinya yang berada di
atas, tangannya dengan mudah mengocok kontolku.
“Kak, aku mau keluar! Kocok, terus
Kak, jangan berhenti.”
“Apapun buatmu, sayang. Rasakan
ini...” Kak Satria membasahi telapak tangannya dengan air liur, kemudian
kembali mengocok kontolku yang sudah licin dengan air liurnya.
“Ahhh, sebentar lagi, Kak! Ahhhh,
ahhhh, ahhhhh!” Lava putih berbau khas itu keluar dari ujung lubang kencingku,
membasahi tangan Kak Satria dan sebagian lagi lengket dan menggenang di
selangkanganku yang berbulu.
Kak Satria sendiri masih betah
merojoki anusku yang sekarang sudah terasa panas dan berkedut-kedut. Gairahku
sudah menghilang seiring dengan orgasme yang aku rasakan berkat kocokan kontol
Kak Satria, tapi aku berusaha menjaga kondisi tubuhku tetap prima karena Kak
Satria belum mencapai puncak.
“Aku mau ganti gaya, Bay. Kamu turun,
aku sodok dari belakang...”
Aku mengangguk, dan aku turun dari
meja. Aku berlutut di depan meja, dan merebahkan tubuhku ke depan sehingga
bagian pantatku terangkat dan lubang anusku terbuka di depan kepala kontol Kak
Satria yang berwarna merah mengkilat. Kak Satria mendorong kontolnya masuk dan
digenjotnya aku dari belakang. Kedua tangannya dengan lincah meremas-remas
pantatku.
“Ahhh, Ahhh, Ahhh! Fuck, yes! Oh, yeah, Ahhhhh!”
“Ah, Kak Satria! Ahhhh, Ahhh, Ahhhh!”
“Kontol Kakak mau putus rasanya.
Anusmu enak banget, Bay!”
“Ahhhh, Ahhhh, Ahhhh.” Kugerakkan
pinggulku memutar-mutar, dan hal itu semakin memberikan gelitikan hebat bagi
kontol Kak Satria.
“BAY! AKU MAU KELUAR! AHHHHH! AHHHHH!
OH, OH, YAH! AGRHHHHHHH!”
Kontol Kak Satria mengeluarkan lava
putihnya di dalam anusku. Aku merasakan anusku basah dan lengket. Benih
kejantannya menyembur masuk ke dalam ususku. Perutku terasa dikocok-kocok, aku
merasa mual, tapi aku menahannya.
Kak Satria memutar tubuhku. Kami
berhadapan sekarang, dan dilumatnya bibirku dengan gairah yang masih tersisa.
“Kak Satria sayang sama kamu, Bay!
Terima kasih!”
“Aku juga sayang kamu, Kak! Aku
mencintaimu!”
Kami berciuman lagi, sambil cekikikan.
Kami membereskan arena pertarungan. Barang-barang yang berjatuhan di lantai
kami kembalikan ke tempat semula. Jejak-jejak sperma juga sudah dibersihkan
dengan bantuan tissue, dan dalam sekejap kami sudah berpakaian lengkap lagi.
Sebetulnya aku cuman meloloskan celanaku saja dan nggak sampai melepas kemeja.
Yang paling parah, memang Kak Satria, yang memang hampir telanjang.
“Sekarang gimana kalau percintaan kita
direkam kamera CCTV?” Tanyaku dengan nada khawatir saat kami berdua masuk ke
dalam lift yang membawa kami ke lantai dasar. “Kamu siap masuk penjara di
pecat? Aku juga bakal dipecat, dan kita berdua akan menemui ajal kalau rekaman
itu tersebar luas.”
“Jangan khawatir...” Kak Satria memegang
daguku. “Kak Satria yang membereskan.”
“Gimana caranya?”
“Ruang monitornya di mana?”
“Mau ngapain?” Tanyaku yang masih
binggung.
“Sudah, tunjukin saja.”
“Di ruang personalia. Ada post satpam
di sana.”
Setelah sampai di lobi aku membawa Kak
Satria menuju ruang monitor. Bukan main rasanya perut ini diaduk-aduk saking
tegangnya. Gawat! Keringat mulai mengucur, apalagi aku mendapati post satpam
dalam keadaan ramai. Beberapa satpam sedang mengobrol di depan pintu ruangan
monitor yang terbuka. Jangan-jangan mereka menonton masal pertunjukan yang
tersaji lewat kamera CCTV.
Saat para satpam itu menyadari
kedatangan kami, wajah mereka tampak tegang. Karena postur tubuh Kak Satria
lebih besar dari satpam-satpam itu, aura mengintimidasi segera tercipta di antara
mereka.
“Ada yang bisa saya bantu, Pak?” Tanya
salah seorang satpam.
“Saya boleh lihat rekaman CCTVnya?”
Kak Satria malah balas bertanya.
“Memangnya ada apa dengan kamera
CCTVnya?”
“Saya cuman perlu menghapus rekaman
yang tidak berkenan buat saya dan pacar saya. Bisa bantu anda?”
GLEK! Aku menelan ludah. Wajahku
langsung pucat. Aku nggak berani memandang wajah para satpam yang saat itu
sedang memandangi kami secara bergaintian.
“Kalian nggak usah banyak tanya.
Kalian melihat apa tadi?”
“Anu, maaf, Pak! Kami memang selalu
mengawasi CCTV selama 24 jam.”
“Jadi kalian melihat apa yang terjadi
di dalam kantor tadi?” Tanya Kak Satria dengan nada mengancam.
Salah seorang satpam mengangguk.
“Tolong. Ini privasi saya dan pacar
saya. Saya mau rekamannya di hapus, atau kalian akan berurusan dengan saya.”
Kak Satria masuk ke dalam ruangan
monitor, dan diikuti oleh empat orang satpam yang jelas telah menonton adegan
panasku bersama Kak Satria secara beramai-ramai. Aku malu bukan main. Bagaimana
ini? Tubuhku seolah membatu. Aku mematung di tempat. Rasannya ingin menangis,
dan kalau bisa ia ingin tanah membelah dan menelannya hidup-hidup. Atau ia
kabur saja ke ujung dunia dan nggak akan pernah kembali. Apakah ini akhir dari
kehidupannya? Aku percaya dengan Kak Satria. Dia bisa mengatasi ini.
Kak Satria keluar dari ruangan
monitor. “It’s done, Bay. Everything it’s
gonna be alright. Satpam-satpam itu nggak bakal berani macem-macem.”
Aku menatap wajah satpamitu satu
persatu. Wajahku sendiri kelihatan malu.
“Tenang saja Mas Bayu. Kami akan tutup
mulut.”
Aku menggelengkan kepala dan berlari
keluar dari tempat itu. Kak Satria memanggil namaku. Suaranya bergema di lobi.
Dari belakang aku mendengar suara Kak Satria mengejar.
“Bay, semua akan baik-baik saja. Kamu
percaya sama aku. Bukan kamu saja yang berada di situasi ini. Aku juga ikut
bertanggung jawab. Ada aku yang selalu bersama kamu, Bay. Kamu nggak
sendirian.”
Aku nggak bisa berkata apa-apa lagi.
Aku kemudian jatuh ke pelukan Kak Satria yang menenangkan. Hari ini aku
mengalami kejadian paling mendebarkan dalam hidupku. Tidak terduga dan
benar-benar menggairahkan. Ada perasaan takut bercampur senang. Takut kalau
semua ini akan berakhir dengan mala petaka, dan senang karena aku tidak
sendirian di sini. Ada Kak Bayu. Kekasihku, pujaan hatiku, yang selalu
mendampingiku. Rasanya berhadapan dengan neraka sekali pun, aku akan berani,
asalkan Kak Satria ada di sampingku.
“Semuanya akan baik-baik saja, Bayu.
Percaya. Hanya Percaya.”
Aku merapatkan pelukanku. Tak ada
seorangpun di tengah lobi kantorku yang gelap itu, di malam hari, pukul tujuh
malam.