Hunk Menu

Overview of the Naolla

Naolla is a novel which tells about life of Hucky Nagaray, Fiko Vocare and Zo Agif Ree. They are the ones who run away from Naolla to the Earth. But only one, their goal is to save Naolla from the destruction.

Book 1: Naolla, The Confidant Of God
Book 2: Naolla, The Angel Falls

Please read an exciting romance novel , suspenseful and full of struggle.
Happy reading...

Look

Untuk beberapa pembaca yang masih bingung dengan pengelompokan posting di blog ini, maka saya akan memberikan penjelasannya.
(1)Inserer untuk posting bertemakan polisi dan dikutip dari blog lain;(2)Intermezzo adalah posting yang dibuat oleh pemilik blog;(3)Insert untuk cerita bertema bebas yang dikutip dari blog lain;(4)Set digunakan untuk mengelompokan posting yang sudah diedit dan dikutip dari blog lain;(5)Posting tanpa pengelompokan adalah posting tentang novel Naolla

Jumat, 30 Agustus 2013

IntermezzoX: Straight To Gay Part 2


Hola! Dree is back everyone. Kayaknya gue harus bikin fanbase, buat kalian-kalian yang suka baca cerita gue. Well, gue sih officialnya kasih cerita-cerita gue ke Bayu, owner blog novelbaru69.blogspot.com, tapi dua minggu yang lalu gue menemukan cerita gue dimuat di Facebook page “Cerita Gay Pilihan” dan respon pembaca yang like page itu bener-bener bikin gue tersanjung. Gracie, gracie J
Nah, untuk kali ini gue mau melanjutkan kisah perjalanan hidup Briptu Hendra yang seorang gay staight crush du jour. Yang sebelumnya gue sudah menyajikan cerita Hendra bersama sahabatnya semasa SMA – Farid, Bokapnya sendiri, dan seorang Polisi berpangkat Briptu dari kota J yang bertemu dengan Hendra di sebuah acara seminar di kota M – Dhanny. Untuk kali ini gue mau suguhkan cerita yang agak berbeda dari jalan-jalan cerita sebelumnya.
Mungkin ada dari para pembaca sekalian yang mendapati kesamaan dalam setiap cerita yang gue buat. Ayo, siapa yang bisa nebak? Well, yup... gue selalu memasukkan adegan onani di cerita-cerita gue? Hum, ada yang tanya kenapa? Well, gue bener-bener menyukai kegiatan itu. Sampai sekarang gue juga masih onani, dan gue bener-bener suka baca-baca cerita gay lain yang menyuguhkan adegan onani di dalam ceritanya. Gue juga punya koleksi video bokep gay yang lagi onani baik yang lokal atau bule. Well, kalau dari kalian yang punya video kolekis serupa, bisa kirim videonya ke gue lewat email dreetheauthor@yahoo.com PS : Video kalian lagi onani juga boleh. Gue kadang juga suka ngerekam kegiatan solo itu untuk lucu-lucuan *buka aib*
Nyooo, balik ke pokok cerita. Selamat membaca!

Note for Bayu : Thanks bro!

The nightmare question for the gay bachelor like me!
Ada satu hal yang bikin jengah para bujangan dan perawan di dunia ini, apabila mereka datang menghadari acara keluarga, yang sebut saja arisan dan kondangan. Tahu nggak apa yang bikin mereka jengah? Ada yang bisa jawab? Well, kalian pernah denger pertanyaan ini nggak saat salah seorang saudara kalian mendekatimu saat kalian sedang enak-enaknya makan opor ayam sewaktu lebaran? Kerjaan kamu gimana? Kalian jawab. Baik. Baru dipromosikan jadi manager *Bangga*, terus masuk ke pertanyaan kedua. Kapan nikah? JLEEEEEB! Rasanya bener-bener kayak ditusuk sama pisau. Kenapa semua orang kepo banget pengen tahu masalah percintaan orang lain. Well, bagi mereka yang udah punya pasangan mungkin pertanyaan itu nggak terlalu menakutkan. Mereka mungkin saja bisa menjawab Belum ada tanggal yang pas, Udah ada rencana tapi sibuk kerja, Keluarga udah setuju, tinggal bikin acara lamaran. Hahahhahah! Nah, bisa bayangin nggak gimana reaksinya kalau pertanyaan itu ditujukan kepada kaum jomblo? Sebagus apapaun pekerjaan yang kalian lakukan, jabatan yang kalian dapatkan, kesuksesan yang kalian raih, rasanya bakal sia-sia saja kalau pada akhirnya kalian nggak bisa punya pasangan yang mau diajak ke pelaminan.
Meskipun dunia udah moderen dan dipadati oleh orang-orang berpikiran maju, buktinya pertanyaan seperti itu diakui sebagian para bujangan dan perawan sukses sebagai hal yang menyakitkan apabila dilontarkan. Hal serupa juga dialami oleh Hendra. Bisa bayangin nggak kalau seorang gay atau lesbian mendapatkan pertanyaan seperti itu dari keluarga mereka? Mana bisa mereka menjawab, Kalau nikah harus ke Australia dulu, kan di sana bisa menikah sesama jenis. Jleeeegerrrrr *petir menyambar*
Hendra bener-bener pusing saat seorang Tante dari kerabat nyokapnya menanyakan the nightmare question for the bachelor itu di sebuah acara arisan keluarga di rumah sepupu Hendra. Hendra, sih cuman bisa senyum-senyum, dan jawab sebisanya.
“Belum mikir ke situ, Tante.” Setelah menjawab, gue meneguk segelas air sampai tandas. Duh, bener-bener bikin tenggorokan gue kering.
Sebelum pertanyaan-pertanyaan lain keluar dari bibir berlipstik merah itu terlontar, lebih baik gue buru-buru menyingkir. Alasan ke kamar kecil emang paling ampuh untuk menolak secara halus ajakan ngobrol seseorang yang bikin kita nggak nyaman.
“Eh, Tante. Hendra permisi mau ke kamar mandi.”
Si Tante langsung senyum dan bergeming untuk mencari teman ngobrol yang lain. Gue langsung mendesah begitu Tante gue itu pergi. Sambil berjalan ke kamar mandi, gue mengecek blackberry gue. Wah ada BBM dari Dhanny. Sontak wajah ganteng Briptu itu terlintas di kepala gue. Udah empat bulan gue nggak ketemu sama dia. Well, singkat cerita setelah seks liar gue dengan Dhanny di acara seminar itu, gue dan dia resmi pacaran. Kalian nggak kasih selamat ke gue? HEY, GUE UDAH NGERUBAH DHANNY YANG SEORANG STRAIGHT MENJADI SEORANG GAY, LHO???? Should I get the credit?
Aku ke surabaya besok. Can’t wait to meet you. <3
Gue malah senyum-senyum sendiri kayak ABG labil yang lagi kasmaran. Yah, gimana nggak labil gue, orang baru pertama kali ini ada cowok yang suka ngegombal ke gue. Hahhahaha! Duh, bener deh... BF gue yang satu itu ternyata adalah cowok yang romantis. Dia suka kirimin SMS atau BBM yang isinya gombalan pujangga. Kalau ada Casanova atau Shakespare, Dhanny ini cocok banget kalau di sandingkan dengan mereka.
Gue emang terkadang masih suka ngerasa bersalah karena ngerubah Dhanny yang seorang straight menjadi gay, tapi gue sendiri nggak bisa menolak pesonanya dia. Kalau kalian inget, gue pernah janji ke Farid pas gue ngobrol sama dia mengenai pasangan. Well, singkat cerita gue pernah janji kalau bakal menerima seorang cowok straight yang berhasil gue rubah menjadi gay sebagai BF gue. Dan hadirlah Dhanny dalam kehidupan gue. Cowok straight itu jatuh cinta sama gue. Awalnya gue pikir karena alasan seks. Well, kita beruda bener-bener bisa saling memuaskan saat melakukan hubungan itu. We match each other. We take and giving, dan sebelum-sebelumnya gue nggak pernah mendapatkan balasan setimpal dari pasangan seks gue, kecuali rasa puas karena udah bikin striaght menjajal seks gay.
Tapi baru setelah 4 kali bercinta dengan Dhanny, terhitung sejak acara seminar itu Dhanny rajin beli tiket pesawat straight to fly to my city on the weekend just to met me, gue baru tahu kalau dia jatuh cinta gue bukan hanya karena kita adalah partner yang kompak di atas tempat tidur, tapi juga karena gue adalah orang yang bisa mengerti dia. Menurut Dhanny nggak seorangpun dari cewek-cewek yang pernah dipacarinya, yang bisa menggerakkan hatinya seperti yang gue lakukan. Hey, I didn’t do anything but seks, tapi Dhanny bersih keras kalau gue adalah hal terbaik di dalam hidupnya untuk sekarang ini.
Namanya juga cinta. Nggak bisa dijelaskan. Saat cupid melepaskan anak panahnya, it just happened, and it change your world. Turst me!
Sebagai BF, Dhanny bukan tipe cowok yang posesif. Dia ngebebasin gue untuk berteman dengan siapa-siapa saja. Gue sendiri belum tahu gimana reaksinya kalau gue masih punya hasrat besar untuk menggoda seorang straight dan bercinta dengan mereka. Kalau kalian udah punya pasangan, bukannya kalian bakal setia dan hanya melakukan seks dengan mereka saja? Well, bercinta dengan Dhanny itu menyenangkan. Selalu berkesan. Tapi, gimana jadinya kalau gue sendiri masih kepingin ML sama cowok straight yang gue taksir? Gue nggak nyangka kalau petualangan gue bakal berakhir secepat ini hanya karena gue udah menemukan pasangan gue. Kok, gue jadi nggak rela begini.
Dhanny akan datang besok, itu artinya gue harus jadi pacar dan tuan rumah yang baik buat dia. Well, kebiasaan kalau dia dateng ngapel ke kota gue sih standar-standar saja. Paling kita pergi nonton, makan malam, as just as like a usual two dudes best friend do. Kita nggak bisa melakukan PDA, well, nggak nyaman saja kalau nunjukin ke depan umum kalau ada dua orang cowok yang lagi kasmaran. Bisa dirajam sama batu deh. Jadi yahhh kita berdua cuman bisa pura-pura kayak dua sahabat karib kalau lagi jalan bareng.
Selain nonton, makan malam, kita berdua cuman ngobrol-ngobrol saja. Masalah kerjaan, masalah kehidupan masing-masing kita. Gue di sini, dia di sana. LDRS. Fiuhhhh! Long Distance Relationship. Siapa, sih yang bisa tahan melakukan hubungan nggak sehat kayak gitu? Well, bagi pasangan normal mungkin itu sangat berat. Tapi bagi kamu gay kayak gue itu hal yang lain. Dhanny masih belum yakin seratus persen kalau dia gay. Dia pernah bilang gini ke gue pas kita telepon-teleponan pada suatu hari.
“Gue masih belum yakin kalau aku ini gay.” Celetuk Dhanny.
“Maksud kamu?” Nada bicara gue naik satu oktaf.
Yah, kebiasaan pasangan yang baru jadian. Gaya bicara jadi berubah. Yang awalnya lo-gue, jadi aku-kamu. Owhhh, oh so damn cute isn’t it???? *ngeludah*
“Kalau gue gay, gue pasti juga demen ngelihat cowok lain. Let’s say kayak cowok yang ngelihat cewek sexy pakai rok mini lagi turun di eskalator mall. Aku nggak ngerasain apa-apa meskipun udah ketemu banyak cowok yang bertampang ganteng dan berbody yahud.”
I see...” Gue menggumam.
But, Hen. With you, aku merasakan yang lain. Kok, tanggapan kamu cuman segitu?” Dhanny kedengaran nggak puas mendengar reaksi gue.
“Menurut aku itu wajar, kok.”
“Bukannya bagus kalau aku cuman bisa memandang ke satu arah saja. Ke kamu.”
Deg. Ahhh, again and again. Gombalan dia bikin gue blushing.
“Tapi kamu beneran nggak suka cewek lagi?”
“Ya ampun, sayang! Udah berapa kali kita ngebahas hal ini. Yang bisa aku pikiran sekarang adalah gimana caranya mencuri pintu kemana sajanya doraemon, supaya aku bisa ketemu kamu setiap hari, suapa aku bisa setiap saat menyelinap ke dalam kamar kamu, memelukmu saat tidur, dan tiba-tiba.... ahhhhh... I’m hard. God! Kenapa dengan ngobrol sama kamu bawaanya aku selalu horney.
Gue nahan ketawa. Bener-bener, deh. Muka gue udah kayak udang rebus saking merahnya karena tersanjung denger gombalan Dhanny.
“Tuh, kan! Cara pandang kamu ke aku memang satu arah. Just seks.” Gue mendengus.
“Nggak, lah! Aku sayang lahir batin ke kamu.”
Blushing lagi.
Udah, deh. Kalau ngebayagin malam itu bawaanya kontol gue langsung ngaceng. Emang kita suka bertengkar kecil waktu telepon, tapi pas Dhanny menawari untuk melakukan phone seks, emosi kesal gue ke dia langsung saja hilang kayak angin lalu. Kalau udah sama-sama kangen dan pengen ML, yahhhh phone seks cuman bisa jadi salah satu alternatif selain skype seks, yang belakangan hari ini bikin kita geram karena koneksi internetnya nggak mendukung. Biasanya kan kita saling memandang tubuh telanjang masing-masing sambil onani. What a fucking awsome momemnt!
Well, jumat malam Dhanny nyampek di bandara, itu artinya dia bakal nginep dua malam di rumah gue. Hum, bukan masalah besar, sih. Cuman gue rada khawatir sama gimana cara Bokap memandang gue kalau Dhanny tiba-tiba berkunjung ke kota gue lagi. Tahu, kan kalau Bokap gue udah tahu gue ini adalah gay. Yah, gue pernah having seks sama dia, tapi cuman sekali doang, kok. Satu kali, dua kali, Dhanny ke kota gue, Bokap ngira Dhanny ini temen deket gue as like Farid as he knows, tapi lama-lama Bokap kayaknya mulai curiga kalau kunjungan Dhanny mulai rutin dilakukan selama dua kali dalam satu bulan.
Yah, nggak apa-apa, sih kalau Bokap tahu Dhanny itu BF gue. So what? Gay nggak harus jomblo, kan? Sambil terus mengetikkan jemari di atas keypad blackberry, gue berjalan menuju kamar mandi. Saat itu juga gue kepikiran jalan keluar. Yah, mungkin akan menjadi masalah kalau setiap kali Dhanny dateng apel, dia selalu nginepnya di rumah gue? Jelas, dong Bokap bakal curiga, dan terlebih-lebih, Nyokap juga mulai mengendus gelagak aneh dari Dhanny dan gue.
Pernah lho, Nyokap menangkap basah Dhanny mandangin wajah gue dengan mata berbinar penuh cinta pas kita semua lagi makan malam di meja makan. Nyokap sampai ngelirik ke Bokap, tapi Bokap pura-pura cuek saja. Nyokap pernah negur gue, dan mengetakan semua hasil spekulasi dan teori di kepalanya, tapi buru-buru gue mentahkan perkataan Nyokap, dan menegaskan bahwa Dhanny cuman teman. Yah, Nyokap emang curiga kalau Dhanny itu gay. Mana ada sih temen yang rutin beli tiket pesawat dua kali sebulan  demi mengunjungi temannya yang tinggal di kota lain. Wajar saja Nyokap curiga, dan nggak tahu saja kalau dari awal yang gay itu Dhanny. Sorry, Mom!
Solusi paling ampuh untuk mengatasi masalah ini adalah pindah dari rumah. Gue bisa beli rumah sendiri, atau ngontrak, atau ngekost. Ahhhh, kenapa nggak kepikiran, ya? Dengan gue tinggal sendiri, akeses Bonyok untuk tahu kehidupan gue juga semakin berkurang. Dhanny bisa dengan bebas dateng mengunjungi gue tanpa harus merasa sungkan dengan Bonyok gue. Ya! Keputusan pindah emang ide yang cemerlang. Gue mau konsultasikan ini dengan Dhnnay. Buru-buru gue dial nomor hapenya. Tak lama suara berat sexynya terdengar di telinga gue.
“Ya, sayang????”
Ahhh, blushing again.

The solution and the tempting nightmare came on the same package part 1
Jadi di sini gue bakal tinggal? Tanya gue dalam hati saat memandang kamar kosong yang cukup luwas dengan dinding bercat biru langit yang dalam sekejap membuat gue merasa nyaman.
Well, gue ada di sebuah rumah di bilangan bagian utara kota tempat tinggal gue. Cukup jauh dari lokasi rumah gue. Di tempat ini gue akan tinggal. Yup! Rencana awal gue untuk moving from my house, udah disetujui sama Bonyok gue, meskipun harus melewati proses yang cukup alot. Siapa, sih orang tua yang mau ngelihat anak semata wayang mereka lebih memilih tinggal sendiri, padahal orang tua gue menjamin segala kenyamanan dan fasilitas yang bikin orang lain kadang iri sama gue?
Hendra mau mandiri. Hendra nggak mau ngerepotin Mama-Papa. Hendra mau punya space untuk tumbuh kembang Hendra. Kan mau kalau umur segini masih tinggal sama orang tua. Yah, alasan-alasan seperti itulah yang membuat Bonyok gue bergetar dan akhirnya mengizinkan gue untuk meninggalkan rumah, yah meskipun setiap sabtu dan minggu gue harus nginep di rumah untuk melepas rindu. Yang menurut gue ohhhh so lame itu, tapi juga sempet bikin gue ngerasa nggak tega sama mereka. Gue bener-bener melakukan semua ini demi kenyamanan Dhanny yang bisa apel sesuka hati dia. Sorry, Pop-Mom!
Di rumah ini gue rencananya mau ngekost. Gue suka banget sama konsep rumah yang akan menjadi tempat tinggal gue. Di beberap meter persegi tanah milik keluarga Budiman ini didirikan dua bangunan tempat tinggal. Rumah utama di di bagian depan, sedangkan bagunan ke dua yang berupa paviliun berada di halaman belakang. Dua bagunan ini letaknya lumayan jauh, hampir lima belas meteran, dan hanya dihubungan oleh jalan berbatu yang melewati sebuah halaman yang cukup luas.
Rencanya awalnya rumah paviliun ini akan menjadi kostan gue. Rumah paviliun ini dilengkapi dengan ruang tamu – merangkap ruang tengah tempat televisi bertengger, dapur, dua kamar mandi (satu di lantai bawah, satu di lantai dua), dan dua kamar tidur (dua-duanya di lantai dua). Rumah paviliun ini disewakan seharga satu setengah juta rupiah setiap bulannya. Yah, buat gue sih itu bukan masalah. Gue udah bekerja dan gue punya penghasilan tambahan lewat bisnis gue. Well, gue ada cafe yang didanai langsung sama Bonyok yang katanya untuk investasi masa tua gue. Thanks Pop-Mom. Gue bener-bener merasa berdosa karena udah menghianati mereka demi Dhanny.
Yang gue suka dari tempat ini adalah peraturannya. Gue cukup bebas pulang di jam berapapun, dan boleh membawa teman menginap. Pakaian juga dicucikan. Dan yang lebih bikin gue suka adalah gue nggak boleh bawa pacar masuk ke rumah. Maksudnya ya, cewek. Tapi, kan gue nggak demen cewek. Gue sih senyum-senyum saja. Makannya gue langsung deal dan bayar uang bulan itu sekalian ke tuan rumahnya. Besok rencananya gue bakal pindah.

The solution and the tempting nightmare came on the same package part 2
Keluarga Budiman yang bakal menjadi tuan rumah gue adalah keluarga harmonis Indonesia. Terdiri dari Bapak dan Ibu Budiman beserta dua anak mereka. Farah, cewek cantik berbadan proposional yang baru lulus SMA tahun ini, dan Rio, anak bungsu yang masih duduk di bangku kelas tiga SMP. Keluarga Budiman bener-bener menjadi keluarga kedua buat gue. Mereka semua baik, dan terkadang suka mengajak gue makan malam di rumah utama. Rasanya seperti sudah menjadi bagian dari keluarga ini sendiri, bahkan Farah dan Rio pun tak ragu-ragu lagi menyebut gue ‘Mas Hendra’ seolah-olah gue ini adalah kakak kandung mereka. What a beautiful life isn’t it? Gue punya keluarga kandung yang baik, BF yang cinta mati sama gue, dan here they are now, my new family. Hidup gue udah kayak di surga.
Dari keseluruhan hal yang membahagiakan itu ada satu hal yang menganggu gue. Gue nggak tahu harus menggolongkan yang satu ini ke mana? Haruskah gue menyukainya atau menghindarinya? Rio. Ini tentang Rio. Bocah ingusan yang menarik perhatian gue. Cowok dengan tinggi 168cm dan berat 50kg dengan kulit seputih susu itu mengingatkan gue akan cowok-cowok boyband imut asal korea. Entah kenapa gue ngerasa ngelihat peri kalau ngelihat Rio. Senyum anak ABG itu terlalu manis, lesung pipinya saat menarik bibirnya untuk mengungkapkan kesenangannya benar-benar sudah mengetarkan hati gue. Gue nggak pernah ngelihat senyum semenawan itu. Kalau Senyum Farid atau Dhanny bisa bikin gue horny dalam lima detik, senyum Rio bisa bikin gue melayang ke surga dalam sekejap. Dia itu seperti anak anjing yang mengigil kedinginan. Rasanya gue pengen memeluk dan membelainya. Ingin melindunginya. Ingin selalu berada di dekatnya untuk menyayanginya. What happen with me? This is not like what I thinking? Gue harus menghilangkan perasaan ini. Gue udah ada Dhanny.
Gue nggak mungkin jatuh cinta. Munculnya kata-kata itu di kepala gue sontak membuat keringat gue mengucur deras. Telapak tangan gue basah. Fuck! Kok, bisa? Gue harus bener-bener menghindari kontak jenis apapun dengan Rio. Setiap kali gue berpas-pasan dengan Rio, anak itu selalu memamerkan senyumnya, dan pada saat itu juga gue berhasrat untuk menariknya dalam pelukan gue. Rio yang begitu polos dan bertingkah kekanak-kanakan, kenapa bisa memporakporandakan pertahanan gay yang suka dengan cowok-cowok maskulin seperti gue ini? Apakah gue bosan dengan tipe yang seperti itu? Apakah sekarang gue beralih menyukai cowok-cowok imut?
Sore itu dengan seragam dinas yang masih menempel, gue melangkahkan kaki melewati jalan setapak yang membelah halaman belakang keluarga Budiman menuju rumah paviliun. Begitu sibuknya gue melamunkan Rio, tiba-tiba sosok yang gue hindari untuk muncul di depan gue.
“Mas Hendra!” Bocah ABG itu nyengir dan memamerkan wajah lucunya ke gue.
DEG! Jantung gue rasanya mau koleps. “Haii...Ri...Rio...” Kok, gue jadi gagap.
“Baru pulang kerja, Mas?”
“Iya...” GOD! Kenapa mata gue nggak bisa berhenti memandangi bibir merah bocah ABG itu. Well, bibir Rio bener-bener bikin gue kehabisan napas meskipun dengan memandanginya saja. Bibirnya tipis di kedua bagian dan sama-sama berwarna merah muda pucat.
“Polisi itu selalu bawa pistol ke mana-mana, ya Mas? Mas Hendra punya pistol?”
“Punya.” Gue masih berdiri kayak patung dan masih memandangi wajah Rio yang sekarang berdiri sejauh dua meter dari gue hanya dengan mengenakan pakaian sehari-harinya yang berupa celana kolor dan kuas distro yang populer di kalangan ABG.
“Boleh, lihat nggak?” Mata bulat berbinar itu mengedip.
Perlu ya tanya-tanya begitu dengan nada manja???? Agrhhhh! Gue frustasi bukan main. Pengen rasanya gue memeluk dan mendekapnya.
Yang di sarung pistol atau di balik celana? Begitu tanya gue di dalam hati, tapi yang terlontar dari gue cuman ini... “Boleh.” Seperti tersihir gue mengeluarkan sepucuk senjata api dari sarung pistol yang selalu siap sedia di pinggang gue.
“WAW!” Sekarang Rio memamerkan ekspresi kegirangan. Napas gue terengah-engah.
Fokuskan hal lain Hendra! Fokus! Fokus, sebelum lo gelap mata dan memerkosa bocah ingusan ini di halaman sekarang juga. Gue mencoba mengembalikan kesadaran gue. Gue butuh kepala gue jernih dari hal-hal yang tidak senonoh. Setiap jengkal dari tubuh Rio sangat memanjakan mata gay gue. Ibaratnya gue seperti melihat ice cream yang meleleh terbakar matahari, terlalu sayang kalau dibiarkan mencair, dan bukannya berakhir sebagai pemanja lidah.
“Kok, pintu paviliunnya kebuka? Kan tadi pagi, Mas kunci.” Thanks God! Akhirnya ada hal lain yang menarik perhatian gue. Emang sekarang pintu rumah paviliun itu sedang terbuka lebar dan Rio jelas-jelas baru keluar dari sana.
Belum sempat Rio menjawab, gue melihat sosok Ibu Budiman, Nyokapnya Rio keluar dari dalam rumah paviliun. Gue makin binggung, tapi gue suka, karena gue bisa mengalihkan sejenak pikiran gue dari Rio yang manis ini.
“Hendra! Maaf, tante perlu ngomong sama kamu.” Ibu Budiman berjalan mendekati kami berdua. Rio langsung berdiri di samping Nyokapnya.
“Ada apa, tante?”
“Begini... tante mau minta izin ke kamu untuk memakai satu kamar kosong di lantai dua untuk jadi kamar sementaranya Rio. Bagaimana?”
DEG! “Maksudnya?”
“Kamar Rio lagi kebocoran. Pipa dari kamar mandi atas yang pas di atasnya kamar Rio bocor...”
“Kamar Rio kayak laut, deh. Ayo, aku tunjukin kalau Mas Hendra nggak percaya!” Rio memotong kalimat Nyokapnya itu dengan penuh antusias.
Gue memutuskan langsung percaya meskipun tidak memastikannya sendiri. “Kok, bisa?”
“Mungkin udah waktunya ganti pipa. Emang keadaanya udah gawat setahun yang lalu, tapi masih nggak mengkhawatirkan, eh sekarang malah bikin bencana kecil.” Ibu Budiman tertawa.
“Terus Rio mau pindah kamar sementara, begitu maksudnya?”
Rio mengangguk semangat. Duh, berbuat begitu saja udah bikin gue berdesir. Kok, bisa tingkah manja anak ABG menggetarkan Polisi gagah kayak gue.
“Bagaimana Nak Hendra? Boleh?”
Gue melirik ke Rio. Bocah imut itu bakal tinggal di sebelah kamar gue, dalam satu atap, dan dia jelas-jelas akan menghabiskan waktunya di rumah paviliun yang gue tempatin. it’s a nightmare. YES IT IS. OBVIOUSLY! Gue menelan ludah. Bagaimana gue bisa bertahan menghadapi serangan peri imut satu ini?
“Berapa lama tante?” Tanya Gue ingin memastikan sebarapa lama gue harus tersiksa dari hasrat ingin menempelkan tubuh telanjang gue ke tubuh sintal telanjang ABG imut di depan gue ini.
“Mungkin lima hari saja.”
“Boleh, ya Mas Hendra. Biar Mas Hendra ada temannya? Nanti kita bisa main PS!”
Ahhh, susah menghiraukan permintaan seseorang yang sudah memutar-balikkan kutub kehidupanmu. “Boleh.”
Rio langsung melompat kegirangan. Terpaksa senyum ini tersungging untuk menambah kebahagiaan bocah ABG yang sekarang masih gue nggak ketahui apa isi kepalanya. Kenapa dia sesemangat dan sesenang itu tinggal bersama gue?
“Rio emang masih kayak anak kecil. Aduh, tante jadi nggak enak ngerepotin kamu.” Ibu Budiman tiba-tiba nyeluk, membuyarkan kesibukan gue memandangi Rio yang sedang kegirangan.
“Nggak apa-apa tente. Aku juga suka ngerasa kesepian. Kalau ada Rio pasti kayak pasar malam.”
Tiba-tiba Rio langsung menyodorkan tangannya dan langsung gue sambut dengan berhigh five layaknya dua sahabat karib. Dalam sekejap Rio langsung meninggalkan gue dan Ibu Budiman untuk mengambil barang-barang miliknya yang dia pengen boyong pindah ke kamar baru.
“Katanya Rio mau jadi Polisi kayak kamu, lho Nak Hendra...”
Gue tersenyum mendengar perkataan Ibu Budiman.
“Rio itu dari dulu pengen punya kakak cowok yang bisa diajak main. Untuk ada Nak Hendra di sini, apalagi Nak Hendra ini Polisi, bisa jadi contoh yang baik buat Rio. Terima kasih lho Nak Hendra. Saya permisi dulu...”
Gue menelan ludah. Contoh yang baik? Kalau saja Ibu Budiman tahu gue ini sebenarnya siapa? Mana mau dia menjadikan gue sebagai panutan putra bungsungnya. Ahhh, gue tiba-tiba merasa hina karena nggak bisa menjadi contoh yang baik buat Rio.
“Oh, iya! Nak Hendra sudah makan siang?” Pertanyaan Ibu Budiman membuyarkan lamunan gue. Gue spontan menggeleng.
“Kalau begitu makan gabung di dalam yuk!”
Gue langsung mengangguk. Beban ini nggak bisa gue simpen sendiri. Haruskah gue cerita ke Dhanny? Apa ke Farid saja, ya? Ahhhh, itu anak sekarang udah sibuk bisnis cafenya juga, jadi udah jarang telepon dan ketemu. Nggak enak kalau tiba-tiba pengin curhat ke dia masalah begini. Masalah gay pula. Masalah normal saja bikin Farid kelimpungan, apalagi sama masalah complicated yang sama sekali nggak dia ngerti. Alamat bakal tersiksa gue sampai lima hari ke depan.

Five days living in a hell. Should I jump in, or stay on the edge?
Gue nggak nyangka kalau akan seakrab ini gue dengan orang yang udah bikin hidup gue seperti di neraka. Rio sudah dipastikan akan menghabiskan waktunya di rumah paviliun. Gue ngerasa jadi nggak punya privasi, tapi gue ngerasa nggak keberatan, apalagi kalau udah ngelihat muka bahagia Rio yang kelihatan menikmati waktunya yang jauh dari pengawasan Nyokapnya yang sibuk riwa-riwi di rumah utama, dan hanya datang satu-dua kali untuk mengingatkan soal sholat, belajar, mandi, dan makan.
Seperti hari ini, setelah usai makan malam gue dan Rio berjalan beriringan menuju rumah paviliun. Biasanya setelah makan malam gue sih santai-santai dulu sambil nonton teve, tapi berhubung ada Rio kebiasaan gue jadi berubah. Gue sering nungguin dia belajar di ruang tamu, meskipun itu agak menyiksa ya karena gue ketagihan memandangi wajahnya yang bisa menunjukkan segala jenis ekspresi aneh di kala Rio mengerjakan PRnya. Cuman dengan ber SMS Dan ber BBMan dengan Dhannylah, gue bisa mengalihkan pikiran gue sejenak dari Rio.
“Mas Hendra udah sunat belum?”
Deg! Pertanyaan anak SMP ini menarik perhatian gue. Spontan gue menoleh karena pertanyaan tersebut berhubungan dengan kontol.
“Sudah, dong. Sunat kan wajib.” Gue memandangi wajah Rio yang seketika itu berubah sayu. Lho, kok... “Kamu belum sunat?”
Rio tampak terkejut. Ekspresinya yang setengah terkejut dan setengah malu itu sudah cukup untuk menjadi jawaban pertanyaan gue. Betul apa dugaan gue. Sekarang Rio mengangguk untuk membenarkan dugaan gue.
“Takut?”
Rio mengangguk.
“Nggak sakit. Cuman pertamanya saja kayak digigit nyamuk, setelah itu nggak terasa apa-apa.” Jelas gue seadaanya sambil terus melangkahkan kaki menuju rumah paviliun.
“Ah, jawaban klise. Mama juga bilang begitu. Tapi namanya takut ya takut. Lagian Rio udah seraching di internet, kalau nggak sunat pun Rio masih bisa bikin cewek hamil.”
Ahhhh, jawaban sepolos itu mampu bikin gue tersenyum dan mengeluarkan tawa renyah dan bersahabat dalam sekejap.
“Bukan masalah hamil-nggak bisa hamil, tapi masalah kesehatan.”
“Buktinya bule-bule masih sehat walafiat meskipun nggak di sunat.”
Ah, susah deh kalau mendebat jalan pikiran bocah ingusan seperti ini. Cara cepat untuk mengakhiri depat seperti ini adalah mengalah. “Iya, deh terserah kamu. Nggak di sunat juga nggak apa-apa.” Kemudian hening sejenak sampai akhirnya kaki kami melangkah menaiki serambi depan penuju pintu paviliun.
“Rio boleh lihat kontol Mas Hendra yang di sunat nggak?”
“Hah?” Gue kaget bukan main. Gimana, nih? “Hahhahaha! Nggak mau, ah! Mana ada cowok tunjukin kontolnya ke cowok lain, yang ada tunjukin ke ceweknya. Hehhehe!”
“Tapi temen-temen Rio suka saling pamer kontol waktu ganti baju pas olahrga.”
“Oh, jadi kamu juga ikut-ikutan kayak mereka?”
Rio menggeleng. “Nggak, dong Mas! Nanti Rio malah diketawain kalau mereka tahu aku belum di sunat.”
“Nah, kalau gitu nggak perlu minta orang lain nunjukin kontolnya ke kamu, kalau kamu sendiri nggak mau.” Mendengar teguran seperti itu wajah Rio langsung berubah murung. Wah, kayaknya gue salah ngomong, tapi gue perlu berbuat ini karena ini penting untuk melatih jalan pikirannya untuk menjadi cowok yang dewasa.
Sampai di dalam kami bedua memutuskan untuk menonton televisi. Lagi-lagi Rio membuka pembicaraan. Kayaknya Rio emang suka jadi pusat perhatian. Gue bisa ngelihat betul usaha dia supaya gue tertarik dengan apa yang dia bicarakan. Ah, khas anak ABG, yang mau show off dan ingin menunjukkan siapa dirinya ke semua orang.
“Mas Hendra udah punya pacar?”
Gue tersenyum tipis. “Udah.”
“Namanya siapa?”
Dhanny. “Dian...” Lha, kok malah nama Dian Ayu Permata yang muncul di kepala gue? Juihhhh! Ogah. Untung Farid udah putus sama nenek sihir itu.
“Berarti Mas Hendra udah pernah ML dong?”
Deg! Wah, Rio sepertinya ingin membahas hal-hal berbau dewasa bersama gue. Ya, gue tahu. Gue udah dewasa, jadi gue mampu menilai situasi seperti ini. Menurut gue, Rio ini masih muda, labil, dan masih penasaran dengan banyak hal yang belum dia ketahui, termasuk masalah seks. Jelas dia suka membicarakan ini dengan teman-teman cowoknya. Nggak mungkin dia membicarakan ini sama Papa-Mamanya, tapi bersama gue, orang yang Rio anggap sebagai kakaknya, sosok yang jauh lebih dewasa, berharap gue bisa menjadi sumber pengetahuannya.
“Rahasia! Kamu sendiri masih kecil udah tanya begituan? Keseringan nonton Bokep kamu, ya?”
Rio langsung nyengir sambil garuk-garuk rambut. “Aku nyimpen video di hape, ada juga VCD, lho, Mas. Aku beli dari temen.”
Khas ABG cowok. Wajar, lah. Gue nggak seharusnya menghakiminya karena gue dulu juga begitu, cuman dulu gue koleksinya udah VCD bokep gay.
“Tapi kamu awas jangan coba-coba ML, ya? Nanti kalau pasangan kamu hamil masa depanmu bisa hancur. Kamu harus menikah lho sebagai bentuk pertanggung jawabannya. Bayangin, deh kalau kamu masih sekolah dan hidup masih dibiayai orang tua kamu, mana bisa kamu menghidupi istri dan bayi kamu. Mau kerja? Mana ada tempat yang mau memperkerjakan anak SMP. Coba diresapi omongan Mas ini...” Ahhhh, gue ngerasa hina banget jadi panutan dan edikator begini.
“Iya, Mas... Rio paham kok! Rio nggak berani.”
“Bagus. Janji, ya sama Mas Hendra!”

Malam hari ke esokan harinya...
Hari ini gue emang sengaja pulang terlambat. Gue sengaja mampir main footsall bareng temen-temen, ceritanya anak Sabara Versus Lantas. Beruntung kemenangan ada di tim gue, tim Sabara. Kenapa gue sengaja nggak pulang ke kostan sore tadi, karena gue tahu kalau rumah lagi sepi. Keluarga Budiman pergi ke rumah sanak saudara mereka pagi tadi dan sempat pamit ke gue sebelum berangkat kerja. Yang jadi alasan gue ogah pulang karena Rio nggak ikut rombongan keluarganya pergi ke luar kota.
Bisa bayangkan kan kalau gue dan Rio ada di dalam satu atap tanpa ada siapa-sapa di sekitar kita? Well, mungkin bakal akan ada yang terjadi. Sesuatu yang buruk, yang mungkin akan membawa kesenangan dalam sesaat, tapi bisa saja berubah menjadi mala petaka pada akhirnya. Well, gue bakal merasa hina banget kalau sampai menjerumuskan seorang ABG polos ke dunia hitam ini. Ehhhh, Rio is a straight, terbukti beberapa kali dia pamerin majalah dewasa yang terkenal di Indonesia ke gue, dan tentu saja foto gebetannya. Gebetannya lho, ya... bukan pacarnya. Rio ceritanya lagi bertepuk sebelah tangan karena cewek yang ditaksirnya malah naksir teman sekelasnya yang lain.
Ngelihat tanda-tandanya saja dan bagaimana kondisi emosi Rio, jelas dia mudah sekali untuk dipengaruhi dan diputar balikkan ke arah lain oleh gay seperti gue. Stright to gay porject gue masih berjalan, dan gue berusaha menjauhkan Rio dari sasaran target misil gue. Ini nggak boleh terjadi.
Waktu menunjukkan pukul tujuh malam. Sebaiknya gue pulang dan langsung mengunci diri ke kamar. Inget, kamar harus di kunci karena Rio punya kebiasaan suka nyelonong masuk ke kamar. Pernah lho gue hampir kepergok lagi berfrench kiss sama Dhanny cuman gara-gara pintu kamar nggak gue kunci dan Rio masuk begitu saja. Untung waktu itu gue dan Dhanny lagi dalam proses menarik napas dan nggak sedang berpagutan bibir dan lidah.
Tepat setengah jam kemudian gue sampai di rumah. Dari halaman depan gue langsung melewati akses jalan menuju halaman belakang lewat lorong di samping rumah, dari sana langsung tembus ke jalan setapak menuju rumah paviliun. Dengan langkah berat karena kaki pegal karena seharian ini dia latihan baris berbaris dan bermain footsall, gue membuka pintu depan rumah paviliun yang semenjak Rio tinggal di sini bareng gue dari kemarin, nggak pernah gue kunci lagi.
Beruntung Rio nggak berada di ruang tamu untuk nonton televisi, itu tandanya gue disarankan untuk langsung menuju ke kamar dan mengunci pintu. Pelan-pelan gue menaiki anak tangga menuju lantai dua dan masih tidak ada tanda-tanda ada keberadaan Rio di rumah paviliun ini. Mungkin saja dia ada di rumah utama. Mendesah lega gue melangkahkan kaki menuju kamar. Sesampainya di dalam gue menutup pintu dan mengunci kamar. Gue langsung mengganti seragam gue dengan pakaian santai. Sambil rebahan gue berusaha memejamkan mata. Nggak ada yang bisa gue lakukan di dalam kamar ini. Berhubung gue capek berat, tidur adalah solusi ampuh untuk mengalihkan pikiran dari mendaratkan ujung lidah gue di kulit putih susu Rio.
Lima menit gue masih belum tidur, tapi mata gue masih terpejam. Tiba-tiba saja... Kruuuuyuuuuuk! SIALAN! Perut gue portes pengen di isi. Gimana, nih? Gue bangkit dari tempat tidur dan terduduk diam sambil bersila. Gue pertajam pendengaran gue. Rumah paviliun ini emang sepi, kayaknya cuman ada gue. Akhirnya gue memutuskan untuk turun ke dapur dan memasak mie instan.
Selagi menunggu mie matang, perhatian gue teralih pada pintu rumah paviliun yang terbuka. Sosok yang gue takuti muncul di depan pintu. Rio tersenyum ke arah gue. Gue lihat dia sedang menenteng bungkusan plastik berlogo minimarket.
“Dari minimarket?” Tanya gue yang beruntung bisa bersikap wajar.
Rio mengangguk. Gue melirik bungkusan plastik itu lagi. Hanya ada satu benda di dalam plastik itu. Botol plastik ukuran 100ml yang gue kenal betul bentuknya.
Handbody!” Celetuk Rio kemudian memberikan jawaban atas pertanyaan yang hanya melintas di kepala gue saja.
“Cieeee, cowok pakai handbody!
“Biarin!” Rio menujurkan lidahnya. Sontak gue tersentak karena pertama kali yang terlintas di kepala gue adalah lidah merah muda itu membasahi ujung kepala kontol gue. SIALAN! “Aku naik dulu, ya Mas! Selamat masak!”
Gue cuman nyengir saja sambil menatap tajam bokong penuh Rio yang terbungkus celana pendek andalannya. Gimana rasanya kontol gue menghujam lubang anusnya? Rasanya pengen banget kedua tangan ini meremas-remas kedua bokong itu dan meninggalkan jejak cap tangan merah di sana. SIALAN! Gue bener-bener hina, masih saja pikiran kotor itu melintas di kepala gue.
Gue selalu menjadi gay bottom. Dengan Dhanny yang udah jadi partner rutin seks gue pun juga begitu. Tapi entah kenapa kali ini, di kala gue melihat Rio seperti singa kelaparan yang melihat bayi rusa yang terpisah dari kelompoknya, gue ingin menjadi gay top. GOD DAMN IT! STOP THINKING DIRTY!
Mie instan gue udah siap. Pas suapan pertama gue tiba-tiba saja tercenung. Kok, bisa sih gue makan sendirian. Gue tiba-tiba beranjak dari meja makan dan naik ke lantai atas menuju kamar Rio. Gue ketuk pintu kamarnya beberapa kali, tapi nggak ada sahutan dari dalam. Gue ketuk lagi, tapi tetap saja nihil.
“Yo! Rio!” Gue memanggil namanya, tapi nggak ada jawaban. Mata gue tertumbuk pada gagang pintu kamar Rio. Apa gue masuk saja langsung, ya? Kok, gue jadi ngerasa deg-degan gini, sih? Toh, Rio sendiri asal nyelonong masuk saja kalau ke kamar gue. Kok, gue malah jadi sopan dan terlalu manner gini, sih? Gue bener-bener udah berada di ambang batas nggak normal.
Klek! Gue membuka pintu kamar Rio. Nggak terlalu lebar, cuman sejengkal kaki doang, dan gue bisa melihat semuanya, dan gue tercekat. Tenggorokan gue langsung kering. Saat itu gue melihat Rio tengah berlutut di lantai dalam kondisi telanjang bulat dengan menghadap ke tempat tidurnya, laptop menyala yang sedang menayangkan video porno unisex orgy (Seks campuran laki-laki vs perempuna, laki-laki vs laki-laki, perempuan vs perempuan), headseat yang tersambung ke laptop yang menjadi jawaban kenapa Rio nggak mendengar panggilannya, dan juga yang terakhir, tangan kanannya yang berlumuran handbody, yang tengah sibuk mengocok kontolnya.
Gue menelan ludah. SHIT! Kenapa gue melihat kejadian yang seperti ini lagi? Kayaknya ini udah jadi awal dari tanda-tandanya gue bakal having seks sama Rio. Dulu sebelum ML sama Farid gue mergokin dia onani di kamar kakaknya, terus ada Bokap gue yang onani di kamar mandi, terus Dhanny yang onani di kamar mandi asrama, sekarang Rio. Dan setelah gue menyaksikan dia onani, pasti selanjutnya adalah...
GOD!
“Ahhhh...Ahhhh...Ahhhh!” Rio mendesah-desah, tak menyadari kalau pintu kamarnya terbuka dan gue sedang berdiri di sana memandanginya dengan tatapan kosong karena gue masih kadang suka disolve ke alam lain, alam imajinasi, dan balik lagi ke alam nyata.
Pinggul Rio ikut menari, mendorong kontolnya yang sepanjang 17cm itu untuk tergosok-gosok oleh tangannya yang bertengger diam di depan selangkangannya.
“Ahhhh, Ahhhhh!” Bahkan Rio mendesah saat layar laptopnya sedang menayangkan adegan seorang cowok bule menghujamkan kontol big sizenya itu ke anus seorang cowok bule lain. Sepanjang lima menit adegan gay berlangsung di depan mata Rio, tapi tak ada tanda-tanda jengah dari Rio. Rio malah menikmati setiap adegannya, malah sempat Rio menyamakan ritme kocokan kontolnya dengan ritme kocokan tangan seorang cowok bule yang sedang mengonanikan kontol seorang cowok bule yang lain.
“Hohhh, Hohhhh, yeah... ahhhhh!”
Gue menelan ludah. Gue tahu kalau Rio sebentar lagi akan menjadi klimaksnya. Di tempat gue berdiri sekarang gue nggak bisa mengalihkan perhatian gue dari kontol Rio yang bengkok ke atas itu. Kontol yang tampak putih, basah karena keringat plus percum itu, benar-benar mampu membangkitkan kontol gue di balik celana. Kontol gue berkedut-kedut makin hebat sewaktu Rio mendesah dan mendongahkan kepalanya ke atas saat dia menikmati ambang orgasmenya yang nanti akan membimbingnya menuju klimaks sesaat yang rasanya tiada tara itu.
Kontol Rio yang nggak di sunat itu emang kelihatan berbeda. Sewaktu mengocoknya Rio nggak sengaja menarik kulit pelirnya ke bawah sehingga kepala kontolnya terbuka, tapi Rio tetap membiarkan kepala kontolnya tertutup, dan hanya menyisahkan bagian ujung lubang kencingnya yang baru saja mengeluarkan percum.
“Heeeem, heeeemm, Ahhhhh, Ahhhhhh!” Gerakan tangan Rio semakin cepat saat mengocok kontolnya, dan dalam sekejap gerakan itu dirubah menjadi gerakan mengokang senjata shotgun yang diiringi dengan erangan Rio yang tertahan.
“Eeehhhhhhhh...” Rio melengkungkan punggungnya ke depan, dan gue melihat kontolnya mengeluarkan sperma. Spermanya tidak sampai muncrat tapi hanya mengalir keluar dan mengalir menuruin batang kontolnya dan menetes jatuh ke lantai.
Sekarang gue bisa melihat dengan jelas kalau Rio belum ditumbuhi jembut. Gue nggak melihat bekas cukuran juga, jadi Rio bener-bener masih belum puber. Mungkin pertumbuhan hormonnya agak lambat. Sperma yang dikeluarkan juga nggak banyak.
Hanya ada dua hal yang bisa gue lakukaan saat ini. Diam di tempat dan menunggu Rio memergoki gue atau segera menutup pintu kamarnya dan pergi menjauh. Keduanya adalah langkah besar. Kalau gue memilih diam gue tahu betul apa yang terjadi selanjutnya, dan tentunya nggak ada ada bedanya dari kejadian-kejadian yang sebelumnya gue pernah alami. Tapi kalau gue memilih pergi, gue bakal merasa lega sekaligus kecewa. Lega karena berhasil berpikir jernih, dan kecewa karena membiarkan diri gue berpikir jernih. SIALAN! Serumit inikah kehidupan gue sebagai gay.
Klek! Gue kembali menutup pintu kamar gue dan turun ke bawah. Lebih baik gue selesaikan makan gue dan gue segera pergi dari rumah ini. Malam ini sebaiknya gue nggak perlu ada di rumah. Gue ke Polsek saja, meskipun bukan tugas gue untuk piket malam. Sepuluh menit kemudian gue mengambil jaket dan pergi dengan motor gue.

Ke esokan harinya di ruang tamu...
“Papa-Mama, sama Kakak kamu pulang malam ini, ya Yo?”
Rio yang sedang menemani gue menonton televisi mengangguk, sambil tangannya terus sibuk menganti saluran televisi lewat remote control di tangannya. Andai saja remote control itu kontol gue. Pengen deh rasanya tangan Rio yang masih mulus itu mengenggam kontol gue dengan mantap. Anak ABG seperti Rio emang doyan onani, dan kocokan mereka biasanya lebih hebat dan lebih bersemangat. Agrhhhh, mupeng berat pengen dionaniin Rio. Kali ini gue membiarkan pikiran kontor gue bekerja aktif.
Gue pikir menahan hasrat dan gairah gue adalah perbuatan yang tidak menyehatkan. Gue selalu jujur terhadap diri gue sendiri, dan gue berani jujur bahwa sekarang gue tertarik sama Rio. Bukan seperti kertarikan gue kepada seorang straight seperti biasanya, tapi kali ini gue baru merasakan apa yang Dhanny rasakan ke gue. Gue jatuh cinta. Panah cupid sudah menembus jantung gue dan menyebarkan racun cinta di dalamnya. Gue nggak pernah bisa berhenti memikirkan Rio. Sosoknya terus terbayang-bayang di kepala gue. Kilasan ingatan akan pemandangan yang gue temukan kemarin malam mengiringi permainan imajinasi gue sewaktu onani di pagi hari tadi. Yup, gue nggak  tahan pengen melampiaskan segala bentuk perasaan gue ke Rio.
Dan jangan pernah coba-coba melawan atau menolak perasaan cinta. Jangan coba-coba untuk menarik keluar panah cupid dari dadamu karena itu akan sangat menyakitkan. Darah penyasalanmu akan tumpah keluar lewat lubang yang telah kamu buat sendiri. Kata-kata bijak yang entah berasal dari mana itu terucap berulang kali di dalam kepala gue. Secara spontan tangan gue menyentuh bagian dada, tepat di atas jantung gue yang sekarang berdegup normal. Di sinilah panah cupid itu mendarat, menembus melewati kulit, otot, daging, dan tulang, hingga akhirnya sampai ke jantung gue, melubanginya dan merusaknya dengan racun  cinta yang melapisi permukaan anak panahnya.
Gue menoleh ke arah Rio yang duduk di sebelah gue. Pandangannya terfokus ke acara televisi yang sedang berlangsung. Sudut mata gue menangkap posisi tangan gue yang merentang di atas sandaran sofa, tepat di atas bahu Rio. Sekilas gue menyunggingkan senyum dan gue menjatuhkan lengan kokoh gue ke atas bahu yang tak begitu lebar itu. Sekarang lengan gue tengah merengkuh bahu Rio dan mendekapnya hangat, nyaman, dan melindungi. Gue menunggu reaksi yang diberikan Rio. Rio masih terfokus ke layar televisi, dan entah kenapa gue merasa kecewa. Dekapan gue nggak berarti apa-apa bagi Rio. Segera gue tarik lengan ini pergi menjauh dari bahu yang tak lebar itu, tapi tiba-tiba saja kepala Rio berasandar di sana, di atas bahu gue.
Gue membeku, gue bertahan, dan kembali mendaratkan pelukan di atas bahunya. Gue rengkuh semakin kuat dan Rio menerimanya dengan meringsek semakin menempel ke tubuh gue. God! Jantung gue berdetak tak beraturan. Apakah Rio bisa mendengar detak jantung gue yang bertalu-talu seperti genderang perang ini? Rio kemudian melingkarkan tangannya ke perut gue, diikuti kakinya yang mengait ke atas pangkuan gue. What the???? Gue nggak berpikir sejauh ini Rio akan menanggapi rengkuhan lengan gue. Tak tahan akhirnya tawa renyah gue terlontar, dan menarik perhatian bocah yang sekarang mendekap gue manja itu.
“Kenapa, Mas?”
“Kamu ini manja kayak anak kucing.”
Meoong...
Jich! Gue malah ketawa menanggapinya. Sesuatu yang absurd menurut gue tak lagi berlaku saat gue bersama Rio. Hal-hal kekanakan dan konyol begitu rasanya sah-sah saja.
“Yo... Mas Hendra mau jujur sama kamu...” Bibir ini seolah bergerak sendiri. Suara gue bergetar. Ini adalah sebuah ekspresi yang tak bisa lagi dibendung.
“Iya, Mas? Kok hawanya berubah begini, ya?”
Awkaward moment, Rio merasakannya dengan menarik tubuhnya menjauh. Ditinggalkan seperti itu spontan reaksi gue terpicu dan tubuh kurus Rio tak kuasa melawan tangan gue yang menahan posisinya di sana. Rio kembali menjatuhkan kepalanya di bahu gue, tapi tangan itu tak lagi merengkuh tubuh gue. SIALAN!
“Mas Hendra sayang sama kamu...”
Beat. Freezing moment.
“Rio juga sayang sama Mas Hendra...”
“Lega mendegarnya. Tapi, kamu tahu nggak sayangnya yang bagaimana?”
Freezing moment again. Kali ini lebih lama. Rio kemudian bangkit dari posisi rebahannya. Dia bersimpuh di samping gue, memandang muka gue langsung, seluruh tubuhnya sekarang telah naik ke atas sofa. Mata bertemu dengan mata, kedua napas saling menderu berat, dan kedua ujung bibir kami saling berkedut. Apakah ini pertanda kalau...
Do it now, or killing your self after this! Gue menangkup wajah Rio dan mencium bibirnya. Bibirnya begitu lembut seperti permen kapas. Mata gue terpejam menikmatinya dan tak lama kemudian gue melepas ciuman itu, dengan kedua tangan masih menangkup kedua pipi Rio. Sumpah gue melihat pipi cowok ABG itu memerah.
“Mas sayang sama kamu dengan cara seperti barusan.”
Mata Rio berkedip-kedip seolah mencerna situasi yang sedang terjadi. Tapi kemudian sebuah kalimat terlontar dari bibir Rio yang bergetar. “Mas Hendra gay?”
“Shuuuuuut, kamu nggak perlu bertanya kalau kamu sudah tahu jawabannya...”
Rio membenarkan posisi tubuhnya, sekarang dia terduduk tegak di atas sofa, dan gue juga melakukan hal yang sama. Kami berdua sama-sama tegang dan nggak tahu harus bebuat bagaimana dan harus mengatakan apa. Gue yang memulai ini dan gue harus menyelesaikannya.
“Mas Rio cuman berusaha jujur sama diri sendiri. Mas Rio tertarik sama kamu...”
“Jatuh cinta gitu maksudnya?” Tanya Rio polos. Dia sama sekali kelihatan nggak tersinggung.
Gue mengangguk. “Sikap kamu yang manja, kekanakan, dan masih imut, membuat Mas Hendra ingin menyayangi kamu dan melindungi kamu.”
Rio diam saja.
“Maafin Mas Hendra ya Rio. Mas Hendra hanya mau jujur saja. Nggak sehat kalau Mas Hendra melawan perasaan ini. Mas Hendra sudah punya pacar, cowok juga, tapi entah kenapa rasa sayang Mas Hendra ke kamu ini, berbeda dengan yang Mas rasakan ke Dhanny, pacar, Mas...”
“Maksudnya?”
Gue mikir sejenak. Gimana caranya menyampaikan ini kepada seorang anak ABG supaya bisa dicerna dan diterima degan mudah. “Perasaan Mas Hendra ke Dhanny adalah perasaan cinta dan sayang kepada orang yang lebih dulu mencintai dan menyayangi kita. Ibaratnya sebagai balasan. Kalau kita dicintai, kita harus balik mencintai. Tapi, apa yang Mas Hendra rasakan ke kamu, itu pure, murni, rasa sayang, yang datangnya langsung dari hati.”
Rio tersenyum.
“Mas tahu kalau keadaan akan berubah di antara kita mulai dari sekarang. Dan kalau kamu keberatan dengan keberadaan Mas Hendra, Mas akan...”
“Nggak, kok! Jangan coba-coba pergi...”
Deg! Kok? “Maksud kamu?”
“Kalau Mas mau jawabannya, Mas mau cium aku sekali lagi?”
Deg! Deg! Deg! Gue kok malah terdiam. Bengong karena kenyataanya nggak sesuai dengan prediksi. Rio langsung cemberut begitu perkataanya disambut datar oleh gue. Dua jari panjangnya mencubit perut gue dengan manja. Sontak gue mengaduh, tapi itu hanya meninggalkan rasa sakit sementara, karena berikutnya gue tahu ekspresi wajah seperti itu umumnya diekspresikan oleh seorang yang cewek yang ngambek sama cowoknya. Jadi...
Cup! Bibir ini mendarat sekali di atas bibir merah muda itu. Kami membuka mata bersamaan saat bibir kami berhenti memagut. Kami saling memandang. Semua terjelaskan hanya lewat pandangan mata. Gue menginginkan Rio, dan Rio menginginkan yang sama. Bibir ini tersenyum, tak cukup lebar karena dalam proses ke sana bibir ini sudah terkunci karena Rio yang mendaratkan kecupan. Bibir kami saling beradu dan memagut, lidah mulai ikut bermain, dan suhu tubuh kami meningkat drastis.
Rio naik ke atas tubuh gue dan gue menerimanya dengan senang hati. Untuk pemula, Rio gue akuin cukup terampil. Dia tahu bagaimana caranya untuk mengendalikan napas, tahu bagaimana menjaga gigi kami agar tak saling beradu.
“Ini masih membingungkan buat Mas Hendra, Yo!” Gue melepaskan ciuman dan bersandar di sandaran sofa. Rio masih berada di atas tubuh gue. Sesuatu di balik celana gue sudah terbangun, begitu juga dengan milik Rio yang sekarang menempel pasrah di atas perut gue.
“Hal yang sama juga Rio rasakan... tapi boys just wanna have fun, right?
“Bukan seperti itu, Rio. Ini nggak main-main buat Mas Hendra. Mas serius menaruh rasa ke kamu...”
“Terus ceritanya mau mendua, ya?”
Deg! Kalimat itu seperti silet yang mengiris kulit. “Mas bakal memperbaiki ini...”
“Oke... tapi bisa nggak kita lanjutkan yang satu ini sebelum mereka pulang?”
Gue berpikir sejenak. Kesadaran masih berserang di dalam diri gue meskipun sebagian lainnya sudah disingkirkan oleh napsu secara paksa. Gue mencintai Rio, tapi di sini lain ada Dhanny yang mencintai gue. Well, apa gue cinta sama Dhanny? Ehhhh... karena Dhanny mencintai gue, gue wajib balik mencintai dia. Bukan kah begitu seharusnya?
Cup! Rio mendaratkan ciuman di bibir. “Kok, malah ngelamun?”
Are sure you wanna do this?
Rio memutar bola matanya. “To late to answere that question. Shut up, and teach me how to kiss...” Bibir merah muda itu membungkam bibir gue.
Lembut terasa seperti permen kapas dan berlahan sekali bibir ini menikmati setiap kelembutan yang manis itu. Bibir kami saling memagut, bermain lidah, dengan diiringi orkestra napas berat, desahan, lenguhan, dan tawa canda yang meramaikan suasana. Sekarang gue beralih menciumi leher Rio. Bocah ABG itu mendesah-desah keenakan. Hal yang serupa juga dilakukannya ke gue. Bibir tipis itu lincah memainkan kulit di sekujur leher gue sementara jari-jari panjangnya masuk menyusup melewati bagian atas celana gue.
Do it as just as like the blue movie you watch last night!”
“Mas Hendra ngintipin aku lagi onani?!”
“Ups..” Cuman itu yang terlontar dari bibir gue yang udah bengkak karena permainan panas bibir kami.
Just like the movie, hah?
Just like the movie...”
Rio sekarang berlutut di depan selangkangan gue. Gue bersiap diri sambil menyandarkan tubuh gue semakin dalam ke sandaran sofa. Rio membuka kancing celana gue, menurunkan reslitingnya, dan dalam sekejap mengeluarkan kontol gue dari balik celana dalam. Sambil menahan kontol gue agar tetap tegak ke atas, bibir merah muda itu langsung menghujamkan belasan kecupan di sekujur batang dan kepala kontol gue.
“Ahhhhh...” Gue mendesah tertahan.
Rio tampak ragu ingin memasukkan kontol gue ke dalam mulutnya, tapi setelah kontol gue itu dipandanginya lama-lama, akhirnya bibir itu terbuka dan kepala kontol gue masuk ke dalam mulutnya. Dingin, bercampur hangat, air liur Rio membasahi kulit kepala kontol gue yang kemerahan, memicu segala saraf yang tinggal di sana untuk bekerja.
“Ahhhh...”
Clop..clop... Rio menghisap kepala kontol gue. Terus bertahan di sana, dia nggak ingin memasukkan kontolnya lebih dalam lagi.
“Kocok, Rio... jangan cuman diemut saja. Sambil di kocok.”
Rio menuruti keinginan gue. Tangan itu begitu teramping mengurut-urut batang kontol gue, tanpa pelicin dan sedikit perih saat telapak tangannya menggesek kontol gue.
“Ahhh Rio... basahi tanganmu dulu biar nggak lecet punya Pas Hendra...”
Rio meludahi tangannya dan mengusap-usapkan tangannya yang penuh air liur itu ke batang kontol gue. Sekarang tangan Rio meluncur dengan mudah saat mengocok batang kontol gue.
“Ahhh, Yeeeaahhh, Ohhhh...”
Rio menjilat-jilat kepala kontol gue seperti ice cream, sementara gue berusaha memiliah-milah kenikmatan dan kesadaraan, sebagai sumber kendali agar tidak cepat keluar. Well, Rio belum terampil dalam melakukan oral, itu wajar. Berbeda dengan Dhanny yang saat itu begitu mengejutkannya membalas setiap apa yang gue berikan ke dia. Rio lebih halus, lebih berhati-hati, dan gue sangat menghargai itu.
Tangan gue menahan kepala Rio dan menjauhkan mulutnya dari kontol gue. “Sekarang giliran kamu.”
Rio mengangguk. Gue memintanya untuk bangkit berdiri. Sekarang wajah gue tepat berada di depan selangkanganya. Dengan cepat gue memlorotkan celana kolor dan celana dalamnya. Kontol Rio yang belum di sunat nyembul di depan wajah gue. Benar ternyata. Area pribadinya belum ditumbuhi rambut. Gue menggengam batang kontolnya yang seukuran punyaku, tapi membengkok ke atas itu. Berlahan gue tarik kulit pelirnya untuk melihat sebera besar kepala kontolnya.
Kepala kontol Rio memerah dan tampak menggoda untuk segera dinikmati dengan ujung lidah. Bibir gue mengecup tepat di permukaan depan kepala kontolnya dan Rio bergetar hebat.
“Aww, geli!”
Gue berhenti sejenak. Gue menyentuh kulit kepala kontolya dengan jari, dan Rio menggelinjang lagi. Ternyata kulitnya masih belum bisa menerima sentuhan, dan masih terlalu sensitif. Gue tutup kembali bagian itu dengan kulit pelirnya. Kini hanya ujung lubang kencingnya saja yang terlihat.
“Kamu nikmatin saja. Begini cara yang benar...” Dan gue langsung memasukkan kontol Rio ke mulut gue. Gue menghisapnya sampai pangkal dan membenamkan kontol bocah ABG itu di dalam mulut gue sambil terus lidah ini bermain memanjakan Rio.
“Ahhh, Ahhhh, Ahhhh...”
Berlahan gue tarik kulit pelirnya lagi dan pelan-pelan gue hisap kepala kontol Rio. Rio menggelinjang, pinggulnya bergetar, dan tangannya mencengkram kepala gue.
“Geli, Mas... geli.. tapi Rio suka...”
Itu artinya pertanda gue untuk melanjutkan. Setelah saraf-saraf di sana mulai terbiasa mendapatkan sentuhan dan Rio mulai terlihat nyaman tanpa harus meringis karena geli, akhirnya gue minta dia untuk melakukan posisi 69. Kami berdua sama-sama mengoral. Kali ini Rio berani memasukkan kontol gue seluruhnya ke dalam mulutnya. Kini dia mulai terampil dalam melakukannya.
Saat kami berdua hampir berada di puncak, gue merubah posisi. Rio berbaring di sofa, dan gue menindihi tubuhnya. Kami berciuman dan memainkan lidah kami bagai dua ujung pedang kesatria yang beradu untuk beberapa saat. Bengkak kedua bibir kami, tapi kami terus melanjutkan.
“Kalau di film sebentar lagi Mas Hendra mau menyodomi aku?”
“Nggak. Mas Hendra belum mau sampai ke situ. Mas, kasihan sama kamu.”
“Kenapa?”
“Rasanya sakit buat kamu Rio. Mas Hendra nggak tega.” Gue mencium bibir merah muda itu sekali lagi untuk meredakan napasnya yang memburu lebih cepat dari napas gue. “Tapi kamu bisa masukin kontol kamu ke anus, Mas. Mas Hendra udah biasa dimasukin...”
“Ohhhhh... rasanya sakit?”
“Sakit, tapi nggak sesakit waktu pertama kali.”
Sambil mengadu bibir kami, gue langsung merubah posisi. Sekarang gue yang ada di bawah dan Rio yang ada di atas. Gue memposisikan anus gue sedikit ke atas supaya kontol Rio bisa dengan mudah masuk. Tanpa dikomando Rio mendorong kontolnya masuk ke dalam anus gue.
“Ehhhhh...” Gue mengeluh begitu kontol itu masuk seluruhnya ke dalam anus gue.
“Sempit sekali Mas.”
“Genjot Rio. Genjot kontol kamu di dalam anus, Mas!”
Rio melakukan gerakan maju-mundur menghujam anus gue. Gue mendesah-desah, dan gue menarik Rio mendekat untuk membungkam mulut gue yang nggak bisa diam ini dengan ciumannya. Gue ketagihan merasakan lembut bibirnya yang sehalus permen kapas. Plop! Plop! Plop! Plop! Begitulah suara yang dihasilkan kontol Rio yang menghunus anus gue, sementara gue merasakan nikmat tak tertahankan saat perut datar Rio menggesek-gesek kontol gue.
“Ahh, ahhh, ahhh, enak sekali rasanya Mas!” Begitulah racau Rio setelah lewat tiga menit melakukan anal seks ke gue.
“Kamu mau keluar Rio?”
Rio mengangguk sambil terus bergerak. Gue menarik pinggul Rio ke atas dan sekali tarik pula kontol Rio terlepas dari lubang anus gue yang meninggalkan jejak warm hole seukuran batang kontol Rio. Dengan cepat gue merubah posisi dengan Rio kembali berada di bawah dan gue langsung menindihi tubuhnya. Kontol kami saling beradu dan gue menggosok-ngosokkan kontol kami untuk memompa gairah menuju gairah.
Sementara dua kontol sedang beradu jotos kami berdua berciuman kembali. Bibir kami beradu, lidah, dan kedua pinggul saling bergerak aktif untuk merangsang satu sama lain.
“Ahhhhhh!”
“Ahhhhhh!”
Gue merasakan sesuatu yang lengket, basah, dan hangat di perut gue. Kontol Rio tengah berkedut-kedut dan mengeluarkan sperma. Rio sudah mencapai klimaks. Bibirnya mengunci bibir gue begitu erat saat Rio mencapai puncak kenikmatan. Clepok! Bibir kami terlepas dan terasa sangat bengkak sekali karena Rio menghisap bibir gue terlalu kuat.
“Agrhrhhhhh, Mas Hendra juga mau keluar...”
Rio mendorong bokong gue turun supaya kontol gue semakin menempel erat di kontolnya. Rasa hangat dan ketat itu menggelitik sekujur tubuh gue dan mengirimkan gue ke langit ke tujuh. Begitu nikmat dan gue langsung menggerang berat saat sperma gue muncrat.
“AHHHHHHHHHHHHHH!” Gue merebahkan diri di atas tubuh Rio.
Kami bertahan cukup lama dalam posisi ini, cuman untuk kali ini gue yang ada di bawah karena kasihan juga kalau tubuh kurus Rio sampai harus menahan tubuh berotot gue di atas tubuhnya. Tubuh mungil itu mendekap tubuh gue di atas sofa. Kaki kami saling menjalin dan Rio merebahkan kepalanya di dada gue, menikmati tarikan napas gue sebagai penghipnotis ketenangan.
“Rio sayang sama Mas Hendra. Mas Hendra pacar Rio...”
Begetar hati ini dikala suara lembut itu menyebut nama gue. Gue merengkuh bahunya, mengusap-usap rambutnya, dan mengatakan.
“Mas Hendra juga sayang sama Rio. Iya, Mas Hendra sekarang pacarnya Rio...”
Jadi bagaimana dengan Dhanny? Untuk sekarang gue nggak mau memikirkan cowok itu. Gue sedang ingin mencintai dan bukannya dicintai.

:The end:

Dree