Pemandangan
senja yang tenang terbuai angin mulai menyapa Ray didepan pintu rumahnya.
Dengan tubuh yang telah segar selepas mandi, Ray memejamkan mata menikmati hembusan
angin yang menyentuh tubuhnya. Mata indahnya menatap langit senja yang jingga
cerah dengan awan-awan yang tertata rapi. sungguh keagungan Sang Pencipta yang
ditunjukkan lewat secarik langit senja. Helaan nafas panjang dari Ray mencoba
menghirup udara sore yang dia rasakan ketenangannya. Wajah tampan dan manisnya
terlihat sedang memikirkan sesuatu yang entah apa. Tangannya mengetuk-ngetuk
lantai menggunakan ujung telunjuknya dengan ritme konstan. Ray tampaknya sedang
melamun. Pikiran Ray masih tak karuan saat memikirkan kejadian tadi malam. Dia
juga memiliki hati dan tentunya dia memikirkan apa yang Fiko rasakan. Fiko
tentu sangat tidak terima dengan perlakuan Adam dan begitu pula Ray yang sangat
mengutuk perbuatan Adam tadi malam.
Melihat
Ray termenung didepan pintu, Fiko yang baru keluar dari arah dapur dengan
membawa dua buah apel segar menghampirinya. Fiko mengambil posisi duduk disebelah
Ray sambil menyodorkan apel di tangan kanannya.
Ray
kemudian seperti tersadar dan langsung mengambil apel dari tangan Fiko.
“Terimakasih
Fiko”. Ray menunjukkan senyum terpaksa.
Dengan
sebuah gerakan mulut, Fiko menggigit apelnya. “Hmmmmm… Enak sekali Ray. Coba
kamu makan apelnya. Aku tadi beli dari nyonya Ichi”, kata Fiko sambil tangannya
menyuruh Ray menggigit apel pemberiannya.
Ray
hanya tersenyum dan seperti agak ragu dia menggigit apel itu sedikit. Gerakan
rahangnya terlihat pelan menikmati tekstur renyah dari daging buah apel itu.
“Bagaimana
rasanya Ray? Enak?”, tanya Fiko sambil kembali menggigit apel ditangannya.
Ray
mengangguk kemudian dia berkata, “Enak sekali rasa apel ini. Manis lagi”.
Mereka
tersenyum bersama-sama sambil menikmati indahnya langit senja dari tempat itu.
Ray mulai merasa lebih baik dan kembali tersenyum seperti biasa. Ini semua
berkat Fiko.
“Gigit
Ray… Aaaa…Am…”, Fiko kembali menyuruh Ray menggigit apel. Selagi Ray mengigit
apel yang Fiko arahkan kebibir Ray, Fiko pun mendekatkan bibirnya kesisi lain
dari apel tersebut dan mengigitnya berbarengan dengan Ray. Tatapan mereka
bertemu sesaat namun Ray menepisnya dan segera menuntaskan gigitannya.
Sepertinya Ray masih merasa malu pada Fiko.
Fiko
menggigit apel itu dan mengunyahnya. Mata Fiko tak beralih dari wajah Ray. Mata
itu seperti ingin menyampaikan sesuatu yang artinya Fiko selalu menyayangi Ray.
Mereka berdua terdiam sejenak untuk menikmati
kunyahan dimulut mereka. Mata Ray sekarang tak berani beradu pandang dengan
Fiko dan dia hanya bisa tertunduk menatap kebawah. Mungkin Ray malu menatap
mata Fiko yang sangat tulus padanya. Ray merasa sudah tak pantas lagi
mendapatkan cinta Fiko itu. Walau kejadian itu bukanlah keinginannya namun dia
kini sudah tidak sepenuhnya utuh untuk Fiko. Semua yang ada dipikirannya mulai berkecamuk
hebat dan bergejolak. Guncangan kebingungan yang tak bisa dia pahami untuk apa
dan bagaimana ini terjadi pada hatinya. Jika ketulusan yang Fiko tunjukkan tak
bisa meredam hempasan kebingungan di pikiran Ray, maka saat inilah Ray berada
disituasi yang sulit untuk dijelaskan.
Sikap
dewasa Fiko menyuruhnya untuk memegang tangan Ray dan berusaha mencari tahu
kegalauan hati yang Ray rasakan saat ini.
“Tatapan
apa itu barusan Ray? Kamu masih sayang kan denganku?”. Inilah yang bisa Fiko
tunjukkan saat ini pada Ray.
Ray
membisu dan tak tahu harus mengatakan apa pada Fiko. Disatu sisi dia sangat tak
ingin kehilangan Fiko tetapi disisi lain dia merasa sudah tidak pantas untuk
menjadi Kekasih Fiko.
“Ray?
Aku cinta kamu bukan karena apa-apa. Aku cinta kamu karena kamu pantas untuk aku
cintai. Salahkah aku mencintaimu Ray? Disaat aku yakin dengan dirimu, aku tak
pernah memikirkan hal lain yang mungkin lebih berarti untuk hidupku. Sekarang
dan nanti, aku ingin kamu adalah satu-satunya orang yang sangat berarti”. Wajah
tampan Fiko mulai memelas sebuah jawaban dari Ray.
“Seberapa
pantas aku menjadi kekasihmu Fiko? Aku sekarang sudah tidak seperti dulu lagi”.
Ray berusaha menjelaskan alasannya. “Aku …”.
“Sttttt”,
Fiko meletakkan ujung telunjuknya di bibir Ray. “Tak pantas bibir manis ini
mengucapkan kata-kata itu Ray. Sadar atau tidak, kamulah orang yang mampu
merubahku. Kamu itu spesial bagiku”. Tatapan Fiko sangat meyakinkan Ray.
Ray
menatap dalam-dalam mata Fiko yang melihatnya dan menemukan suatu ketulusan itu.
Fiko menecup tangan Ray lalu memeluk tubuh Ray.
“Terimakasih
banyak Fiko. Aku juga sebenarnya sangat menyayangimu namun aku hanya merasa
kebingungan saja saat ini. Aku sadar bukan apa-apa yang menjadi sesuatu tetapi
sesuatu lah yang menjadi apapun”. Ray merasakan kehangatan dekapan tubuh Fiko.
Ketika
mereka asik berpelukan, dari arah dahan pohon besar yang rindang didekat rumah
mereka, suara seseorang membuat Ray mendorong tubuh Fiko yang memeluknya. Suara
siapakah itu?
“Tuan
Fiko Vocare yang terhormat. Tidak aku sangka anda mencintai Ray. Hahaha…”,kata
lelaki itu dari balik lebatnya daun pohon.
Fiko
bangkit berdiri dan melihat keatas pohon yang merupakan asal suara itu. “Siapa
anda?!”, tanya Fiko.
Orang
itu tidak langsung menjawab dan kemudian dia turun melompat dari atas pohon
ketanah. Pakaiannya yang hitam tampak tak asing dimata Fiko.
“Yuari?”.
Fiko tampak kaget melihat pria itu.
“Kaget?
Takut? Tak perlu memasang wajah seperti itu didepanku tuan. Aku tahu anda
adalah orang yang sangat kejam. Sekarang anda boleh melihat saya dengan tatapan
begitu, tetapi setelah itu anda harus bersiap-siap untuk meregang nyawa
ditangan kami”, ancam Alian yang masih berdiri tegak.
“Kami?
Dimana teman-temanmu?”. Fiko mulai siaga.
“Aku
disini tuan”, panggil Koloji dari balik batang pohon.
“Disini
juga ada tuan”. Cre melompat dari atap rumah Ray kemudian menghampiri Alian.
“Wah…
Aku terakhir deh memperkenalkan diri. Aku Vehu tuan. Salam kenal…”, kata Vehu
setelah keluar dari atas pohon.
“Kalian
pasti yuari Vocare. Apa mau kalian kemari, hah?!”, tanya Fiko yang mulai agak
marah.
“Wah
ternyata galaknya sudah mulai keluar. Takut….”, ejek Cre.
“Ray
manis… Sini ikut aku ke Naolla”, kata Koloji sambil menggerak-gerakkan jari
telunjuknya. Dia berjalan mendekati Alian. Matanya beradu pandangan dengan Fiko
yang tampak tidak senang dengan kehadiran para Yuari itu.
“Siapa
kalian ini?”, tanya Fiko memperjelas keadaan.
“Ehem-ehem.
Baiklah langsung saja saya perkenalkan diri. Saya adalah Alian, ini Creasa Fru
, Vehu Te dan Koloji. Kami adalah Yuari khusus yang ditugaskan untuk membawa
Ray ke Naolla. Sekarang kamu tidak usah berlagak kuat didepanku. Kamu tak lebih
dari pelarian saja dimata para yuari Vocare”, kata Alian.
Fiko
menatap mereka dengan pandangan waspada. Ray yang ada dibelakang Fiko berdiri
mendekati Fiko dan Fiko melindungi Ray dibelakangnya. “Kamu tetap berada
didekatku Ray. Mereka berempat bukan musuh sembarangan”.
Alian
bergerak maju dengan santainya menuju ke arah Fiko. “Buat apa anda melindungi
azzo tak berguna itu, tuan Fiko? Anda adalah seorang raja. Pernahkah anda
berfikir untuk menjadi raja yang hebat dengan memiliki azzo itu ditubuh anda?”,
tanya Alian sambil mendekat.
“Berhenti!
Jangan coba-coba mendekat kearah kami lagi! Berhaenti!”, perintah Fiko.
“Hahaha…
Siapakah anda? Kami hanya patuh pada perintah tuan Sukaw. Anda bukan apa-apa
jika dibandingkan dengan kami berempat. Mungkin dulu anda adalah seorang yuari
hebat di Hrewa Kufe, tetapi lihat tubuh anda. Anda yang terhormat itu sudah
kehilangan taji nya”. Alian semakin dekat kearah Fiko.
“Ray…
Tolong percaya padaku”. Fiko tampaknya sudah bersiap-siap mengeluarkan linggi
api ditangannya. “Mundur! Hiatttt!!!!”. Subuah linggi api keluar dari tangan
Fiko dan dia lemparkan kearah Alian.
Alian
dapat menghindari linggi itu dan terus berjalan mendekati Fiko. Sekali lagi
Fiko membuat linggi dan dia lemparkan ke Alian namun lagi-lagi masih bisa Alian
hindari. Setelah itu, Fiko bertubi-tubi melemparkan linggi yang kesemuanya bisa
dihindari Alian dengan mudah.
“Jangan
meremehkan aku tuan Fiko!”. Alian mengeluarkan linggi batunya yang cukup besar
dan dengan sekali hentakkan ketanah mampu membuat tanah itu retak menganga
hingga kearah Fiko.
Fiko
kaget dengan apa yang baru saja dilihatnya. Fiko membuat linggi dan dengan
cepat menuju Alian sambil berlari. Melihat itu, Alian tak tinggal diam dan segera
membuat linggi untuk melawan Fiko. Adu linggi tak bisa terhindarkan.
Pertarungan antara satu melawan satu itu tampak sengit dan masing-masing tak
mau kalah. Inilah yang dinamakan Fiko pertarungan untuk melindungi sesuatu yang
dia cintai. Para Yuari yang notabenenya memiliki fisik beotot kekar akibat
latihan itu memang tak bisa dipungkiri memiliki kemampuan hebat dan patut di
acungi jempol untuk kepiawaian mereka bertarung dan menggunakan linggi. Fiko
yang merupakan mantan Yuari terbaik Vocare tampak seimbang melawan Alian.
Linggi-linggi hebat tampak sesekali memercikkan api kesekitar area pertarungan
mereka berdua. Entah mengapa tiga orang yuari yang berdiri didepan sana tampak
tak mau memperdulikan temannya yang bertarung. Mungkinkah mereka acuh atau
memang mereka mempunyai kemampuan yang hebat sekali sehingga merasa cukup melawan
Fiko hanya dengan satu orang.
Mata
Ray terus mengawasi ketiga orang itu dan tetap waspada. Tiba-tiba dua orang yuari
yang berada didepan sana sudah menghilang dan tak tahu entah kemana. Mereka lenyap
dari pandangan Ray. Ray meningkatkan kewaspadaannya kesekitar tempat dia
berdiri. Hari yang telah gelap membuat pandangan Ray tak sejelas tadi lagi. Ray
benar-benar gugup dan berkeringat dingin melihat kekiri dan kanannya. “Kemana
mereka pergi? Aku harus berusaha melawan mereka”.
Dari
arah atap rumah, munculah Koloji dan Cre dan mereka melompat kearah Ray. Ray
kaget dan tak bisa menghindar lagi. Dia terjatuh dan berhasil ditangkap Cre.
“Sudah
aku bilang kan, Koloji, bahwa azzo ini sangat lemah”, kata Cre sambil menangkap
kedua tangan Ray ditanah.
“Jangan
macam-macam kalian!”. Ray berusaha berontak melepaskan tangannya.
“Marah
dia. Ayo kita cepat bawa”, kata Koloji.
“Fiko!”,
teriak Ray.
Fiko
yang masih melawan Alian menengok ke arah Ray dan membuatnya lengah sehingga
bahunya tertebas linggi Alian dan mengeluarkan darah.
“Jangan
lengah Fiko!”, kata Alian.
Fiko
memegang bahu kirinya yang mengeluarkan darah segar dan dengan sigap membakar
linggi Alian. Fiko berlari mengejar Ray yang telah dibawa lari Cre dan Koloji.
Ray terlihat dipanggul oleh Cre yang terus berlari memasuki rindangnya hutan
yang gelap. Fiko benar-benar marah dan membuat linggi besar kemudian linggi itu
dia lempar kearah Cre dan Koloji dengan kekuatan penuh.
Trakkkk!!
Koloji menahan linggi Fiko dengan linggi batunya yang besar sampai dia sendiri terseret
akibat saking hebatnya linggi Fiko. Cre yang terus menjauhi Fiko menuju lokasi
hajunba terbuka yang Vocare janjikan. Vocare memang telah berhasil memodifikasi
hajunba kuat khusus untuk membawa Ray ke Naolla.
“Dimana
hajunba itu berada?”. Cre kebingungan menemukan lokasi hajunba.
Fiko
yang semakin dekat dengan Cre akhirnya berhasil menyusul Cre dan dia pun
langsung memukul Cre kuat-kuat hingga Cre ambruk bersama Ray ketanah.
Segera
Fiko melepaskan ikatan ditangan Ray dan membawanya menjauh dari Cre. Namun
dibelakang mereka telah berdiri tiga Yuari yang siap dengan linggi
masing-masing.
“Hiaaatttt!”.
Fiko
melindungi Ray dengan sekuat tenaganya dan penuh perjuangan. Ini akan menjadi
perlawanan yang sulit mengingat tubuhnya yang sudah terluka dan musuh berjumlah
empat orang membuat Fiko sangat terdesak. Ray yang melihat ini langsung
bertindak untuk membantu Fiko. Dia mengambil dahan pohon dan menjadikannya
tongkat. Tak disangka-sangka ternyata Ray sangat mahir melakukan atraksi menggunakan
tongkat. Gerakan Ray tampak teratur dan tepat sasaran yang membuat Fiko sedikit
terbantu. Ray tampak mengegerakkan tongkatnya dengan hebat hingga membuat para
Yuari kewalahan menghadapi Fiko dan Ray.
“Tenyata
azzo itu hebat juga”, kata Vehu yang terkena pukulan tongkat dilehernya.
“Lari
Fiko!”. Ray tampak memanjat pohon dan Fiko pun mengikuti Ray.
Ray
dan Fiko tampak cepat melompat dari pohon satu kepohon lain seperti seekor
tupai.
“Kejar!
Jangan sampai azzo itu lari!”, perintah Alian.
Para
yuari itu mulai mengejar Fiko dan Ray. Diatas pohon mereka tampak terlibat adu
lempar linggi dan sesekali hampir mengenai tubuh musuh-musuhnya.
“Gawat
Fiko. Kita ternyata menuju desa”, ucap Ray panik.
Fiko
terus melanjutkan larinya dan tak tahu harus lari kemana lagi selain menuju
desa.
“Terpaksa
Ray. Ayo kita tuntaskan, aku siap jadi tanganmu!”. Fiko melompat dari atas
pohon ke atap rumah seorang penduduk dan kemudian turun ketanah. Ray juga melakukan
hal yang sama.
Fiko
dan Ray terus berlari menjauhi para Yuari melewati gang-gang di antara rumah
penduduk. Cukup jauh juga mereka berlari sehingga tak tampak lagi para yuari
yang mengejar mereka.
“Host.host.host..
Kita bersembunyi disini dahulu Ray”, ajak Fiko.
Mereka
berbelok kearah sebuah tempat yang sepertinya adalah sebuah gudang milik
penduduk. Dengan nafas terengah-engah Ray bersandar didinding gudang itu. “Kamu
tidak perlu melinungiku dari linggi mereka Fiko. Karena sebenarnya linggi akan terserap oleh tubuhku jika linggi-linggi
itu masuk. Tubuhku memakan linggi”, kata Ray menjelaskan pada Fiko.
“Apa?
Lalu apakah kamu tidak akan sakit seperti waktu itu?”, tanya Fiko.
“Tentu
aku akan sakit. Namun karena ini darurat maka aku akan berusaha menghindari
linggi karena aku hanya akan menyerap linggi dalam keadaan terpaksa”.
Fiko
menggenggam tangan Ray dan tampak waspada melihat keluar. Tak ada tanda-tanda
para yuari itu mengejar mereka. Ini aneh bagi Fiko. “Tampaknya ada yang tidak
beres Ray”.
“Apa
Fiko?”, tanya Ray.
“Para
yuari itu tidak mengejar kita sampai sini. Ini mustahil untuk para yuari”. Fiko
menatap Ray.
“Strategi.
Pernahkah kamu memikirkan strategi terbaik untuk melawan para yuari seperti
mereka itu, Fiko?”, tanya Ray serius sambil melepaskan pegangan tangan Fiko di tangannya.
Fiko
menggelengkan kepalanya.
“Ini
kemungkinanku saja Fiko. Kalau mereka menjalankan rencana khusus, kita tidak
akan tahu itu tetapi aku tahu bagaimana cara yang tepat untuk mengacau mereka.
Mereka memiliki azzo tanah dan linggi batu jadi mungkin kah mereka menyerang
kita menggunakan tanah disekitar sini?”, tanya Ray.
“Tidak
mungkin Ray. Karena tanah di sini cukup luas dan mereka tidak mungkin
menyebarkan azzo ditanah dengan cakupan seluas ini. Pengguna azzo juga memiliki
batas untuk mengeluarkan azzo dari tanah”.
Ray
berfikir sejenak dan kembali bertanya. “Apa yang membuat ini tidak mustahil?”.
Fiko
menatap wajah Ray sepertinya dia mendengarkan sesuatu bergerak mendekati
mereka.
Srrrrraaaakkkkkk!!!
Sebuah linggi raksasa memotong rata setengah bagian rumah sehingga rumah-rumah
penduduk tak memiliki atap lagi.
“Tolong…
...Tolong… …”, teriak para warga berhamburan keluar karena rumah mereka sudah
ditebang para yuari.
Di
tengah desa berdiri merapat berbentuk lingkaran para yuari diatas tangkai
linggi tertancap yang sangat tinggi menjulang sekitar 20 meter dari tanah.
Tubuh mereka yang tegap terpapar sinar rembulan yang terang. Angin malam
sesekali meniup tubuh mereka.
“Itu
mereka! Ini mustahil Ray, linggi tadi benar-benar mesin pembunuh yang hebat.
Para Yuari ini memang tak bisa kita hadapi dengan keadaan seperti ini”, kata
Fiko sambil memeluk Ray dan berusaha melindunginya.
“Siap
atau tidak, kita tak boleh mengorbankan keselamatan penduduk pulau ini Fiko.
Kita harus bertindak”. Ray bangkit dan bergerak keluar persembunyiannya.
“
Yuari! Aku mau menyerahkan tubuhku pada kalian, asalkan kalian tidak berbuat
macam-macam lagi”. Teriak Ray.
“Gila
kamu Ray! Kamu sadar bahwa tubuhmu lah yang diharapkan oleh para yuari dan
Sukaw”. Fiko mencegah Ray.
“Naolla
ada disana dan Toshirojima disini. Aku akan melindungi orang yang aku lihat
terlebih dahulu ketimbang yang tidak aku lihat, Fiko”.
Para
Yuari melihat Ray.
“Itu
dia si azzo sialan! Ayo kita selesaikan misi kali ini. Pintu hajunba sudah
terlalu lama menunggu kita”, kata Cre.
Mereka
mulai menggerakkan kaki dan entah apa tujuannya hingga tiba-tiba…
Krak-krak-krak-krak..
wushh… crak-crak! Apa yang tidak mungkin sekarang tampak sangat mungkin.
Bagaimana bisa mereka sekarang mengeluarkan ribuan linggi dari dalam tanah
sehingga lingi-linggi itu berterbangan mengenai apa saja di atas tanah.
“Berlindung!”.
Ray menuju Fiko dan menjadikan dirinya penyerap lingi-lingi yang akan mengenai
Fiko dari arah belakang.
“Ray?!”,
Fiko berusaha mendorong Ray namun tak bisa. Fiko sendiri mengeluarkan linggi
untuk menangkis ratusan linggi yang mengarah kepadanya.
Beberapa
warga yang tak sempat menghindar atau bersembunyi tampak terkapar tak bernyawa.
“Fiko…
Buyarkan konsentrasi mereka diatas sana dengan melempar linggimu! Cepat!”,
perintah Ray.
Fiko
langsung megeluarkan linggi sambil terus berusaha menangkis lingi-linggi
didepannya. Fiko melemparkan linggi api nya ke arah para Yuari namun belum
sampai linggi itu mendekati sasaran, para Yuari telah berhasil menangkisnya.
“Bertubi-tubi
Fiko! Kerahkan semua yang kamu bisa”, kata Ray.
Fiko
berusaha membuat linggi dalam jumlah banyak dan melemparkannya bertubi-tubi
kearah para Yuari.
“Terus
Fiko. Terus!”, dorong Ray agar Fiko terus berusaha.
Ray
mulai memperhatikan jurus para yuari itu. Mata Ray yang teliti dengan cepat
menangkap kejanggalan jurus para yuari diatas sana.
“Terus
Fiko. Kita bergerak mendekati tiang itu. Aku sepertinya tahu sesuatu”. Ray
berlari menuju para yuari.
Fiko
mengikutinya dan terus melempar linggi kearah Yuari sambil dia sendiri
menangkis dan menghindari linggi-linggi yang keluar dari tanah.
Drap,drap,drap,drap,drap…
Bunyi langkah kaki Ray dan Fiko yang berlari mendekati tempat para Yuari itu.
Entah
apa yang ada dipikiran Ray, tetapi sepertinya dia tahu apa yang akan dia
lakukan. Yuari-yuari itu masih saja menyerang Ray dan Fiko menggunakan
linggi-linggi yang keluar dari tanah. Memang mereka tidak mengetahui kemampuan
Ray yang bisa menyerap linggi sehingga mereka terus berusaha menyerang Ray.
Fiko
mulai memikirkan cara lain yang mungkin bisa mengatasi serangan linggi tanah
ini. Dia mulai melihat jenis linggi yang digunakan para yuari musuhnya untuk
tempat berpijak diatas sana. Linggi bertangkai panjang itu memiliki mata kapak
yang mirip seperti cula badak. Dengan kemampuan tingkat tinggi seperti itu, dia
pasti bisa membuat linggi sebesar yang dimiliki para yuari. Fiko kemudian
memeperhatikan arah linggi yang keluar dari tanah yang sedari tadi dia tangkis
dan hindari. Fiko mulai menganalisa, “Teryata linggi-linggi ini hanya memiliki
arah serang pendek. Dia tidak akan mampu mencapai tempat-tempat yang tinggi
lebih dari dua meter. Aku akan coba naik ke reruntuhah bangunan itu”. Fiko
mulai menuju sebuah puing bangunan yang dia yakini memiliki tinggi lebih dari
dua meter dan naik keatasnya. Benar saja setelah Fiko naik keatas bagian
bangunan itu, linggi-linggi yang menyerangnya tadi tidak lagi bisa
menyentuhnya. Melihat itu Fiko langsung mengeluarkan lingginya dan melemparkannya
ke para yuari. Namun ternyata tak semudah kelihatannya, dia tetap tak bisa
mengenai para yuari karena para yuari itu juga bisa mengeluarkan linggi dari
ganggang kapaknya.
Fiko
menghindari linggi-linggi itu. “Sial!”.
Ray
yang sudah berada didekat mata kapak raksasa itu mulai menekan tangannya ke
ujung mata kapak dan menyerap salah satu linggi itu kedalam tubuhnya.
“Argghhhh…!!!”,
Ray kesakitan menyerap linggi itu.
“Apa
yang terjadi ini? Bagaimana bisa?”. Alian tak mengerti dengan keadaan lingginya
yang tiba-tiba tenggelam kebawah.
Hujaman
linggi yang keluar dari tanah dan ganggang linggi tadi kini berhenti.
“Argghhhh…
Hiattttt… Fiko!! Linggi!”, Ray meminta Fiko untuk mengeluarkan lingginya.
Fiko
mengerti dan dia dengan cepat menuju Ray dan mengarahkan linggi apinya kearah
Alian yang sedang terjatuh. Dengan sekali tebasan, Alian sudah tidak bernyawa
dan terjatuh ketanah.
Sementara
Ray akhirnya pingsan dan jatuh tak sadarkan diri setelah menyerap linggi yang
begitu besar. Hidung Ray mengeluarkan darah segar. Fiko yang melihat ini
langsung mendatangi Ray dan menggendongnya. Fiko hanya ingin membawa Ray sejauh
mungkin dari tempat itu. Koloji, Cre dan Vehu turun kebawah mendatangi jasad
Alian. Mereka tampak sedih dan marah. Air mata Cre menetes dipipinya dan
mengangkat tubuh tak bernyawa Alian untuk dia gendong ke tempat hajunba.
“Kalian berdua lanjutkan misi ini. Azzo itu ternyata cukup sulit untuk
dikalahkan. Cepat!”, perintah Cre pada Vehu dan Koloji.
Vehu
dan Koloji pun segera pergi mengejar Fiko yang membawa Ray.
Fiko
tak tahu harus kearah mana lagi selain kedermaga dan masuk kedalam salah satu
perahu milik nelayan untuk bersembunyi.
“Ray…
Tolong jangan begini Ray. Ray… Maafkan aku Ray. Aku tidak bisa menjagamu. Ray
sadar, Ray”. Fiko memeluk Ray erat-erat namun Ray tetap tak sadarkan diri.
Fiko
meneteskan air mata dan mengusap darah dihidung kekasihnya itu. Fiko
benar-benar tak bisa menjaga Ray dengan baik. Dia tidak bisa melindungi Ray
seperti yang dia janjikan pada tuan Loka. Bahkan kali ini, Fiko lah yang merasa
di lindungi Ray.
“Fiko”,
panggil suara dari luar jendela. “Fiko”. Suara itu terdengar lagi sehingga
membuat Fiko waspada.
Fiko
merebahkan tubuh Ray dilantai dan mengintip keluar jendela perahu nelayan itu.
Dia tak melihat apa-apa. Jheibo yang memanggil nama Fiko tadi mendekati Fiko.
Dia membuat Fiko kaget dengan kemunculannya yang tiba-tiba. Jheibo menyerahkan
hajunba yang dititipkan padanya untuk Fiko.
“Apa
ini? Siapa kamu?”.
“Aku
Jheibo. Itu hajunba”, jawabnya singkat.
Fiko
melihat Jheibo yang cukup asing dimata Fiko. Dia mengingat-ingat sedikit
tentang Jheibo dan dia temukan diingatannya apa itu Jheibo.
“Kamu
dari Naolla? Apakah kamu diminta oleh Loka untuk membantuku dan Ray?”, tanya
Fiko yang dijawab Jheibo hanya dengan anggukan. Fiko tahu bahwa Jheibo tidak
boleh berbicara terlalu banyak.
“Hajunba
itu hanya bisa digunakan satu kali semalam”,kata Jheibo.
“Bagaimana
cara menggunakan hajunba ini?”, tanya Fiko lagi.
Jheibo
bingung mau jawab apa karena dia sudah tidak bisa mengucapkan kata-kata lebih
dari tadi lagi. Maka Jheibo mengambil hajunbanya dan menaruhnya ditepi jendela
kemudian dia buka jendelanya yang tiba-tiba tampak sebuah kawah gunung besar
yang memiliki air berwarna biru. Namun tak lama kemudian kembali seperti semula
lagi setelah beberapa detik. Jheibo kembali mempraktekkan bahwa sebelum
hajunbanya tertutup, mereka harus mengambilnya kembali.
Fiko
masih agak kurang paham. “Jadi hajunba ini hanya perlu beberapa detik untuk
stabil setelah itu hilang lagi?”.
Jheibo
mengangguk dan mengambil hajunba yang belum dia gunakan untuk Fiko simpan
digenggaman tangannya. Hajunba yang telah digunakan tadi dia taruh dicelana
Fiko seperti memberi tahu bahwa hajunba itu malam ini sudah tidak bisa
digunakan lagi.
Fiko
mulai paham dengan apa yang disampaikan Jheibo. Dengan kata lain, mereka hanya
memiliki satu kesempatan lagi untuk bersembunyi atau kabur dari pasukan yuari
menggunakan hajunba itu.
“Ini
yang terakhir. Ayo kita keluar dari tempat ini”, ajak Fiko pada Jheibo. Dia
menggendong Ray dan keluar meninggalkan kapal.
Ternyata
diluar kapal telah berdiri Vehu dan Koloji dengan wajah yang sangat tidak
bersahabat menatap Fiko. Mereka menggenggam linggi di tangannya. Ini memang
sulit bagi Fiko yang harus dihadang oleh dua orang yuari dalam situasi yang
tidak menguntungkan seperti ini. Ray masih tidak sadarkan diri sedangkan dia
sendiri terluka. Fiko tampak agak ragu untuk melangkahkan kaki kearah mana.
Mungkin Fiko berfikir bahwa dia sekarang tak bisa lagi lari menghindar keculai
dia melawan kedua yuari itu.
“Penasaran
aku dengan azzo itu. Aku baru tahu ternyata dia kebal pada linggi”,Vehu
mendekat kearah Fiko.
“Aku
juga tidak habis fikir tentang azzo itu. Sepertinya dia sengaja terlihat lemah
untuk mengelabui kita dan Naolla. Aku hanya ingin memastikan satu hal saat ini.
Yang sebenarnya hebat itu, Fiko atau Dia?”, kata Koloji.
“Jangan
banyak bicara lagi, ayo kita buktikan sekarang juga!”. Vehu berlari menuju Fiko
sambil mempersiapkan linggi ditangannya.
Koloji
pun tak mau hanya tinggal diam maka dia pun mengikuti langkah Vehu dan
menyerang Fiko. Ini sebetulnya situasi yang tidak menguntungkan bagi Fiko.
Jheibo melekat pada leher Fiko bagian belakang. Fiko berusaha menghindari
linggi-linggi yuari dengan melompat keatas kapal dan menendang berang-barang
apa saja yang dapat dia gunakan untuk membelokan atau melumpuhkan pergerakan
linggi para yuari. Beberapa kali melakukan hal yang sama ternyata tak ada
perubahan. Para yuari masih terus mengeluarkan linggi dan Fiko tidak mempunyai
barang-barang disekitar jangkauan kakinya untuk ditendang lagi. Dengan penuh
perhitungan, Fiko hanya dapat menghindari linggi-linggi yang mengarah
kepadanya. Fiko masuk kedalam kapal dan menutup pintu. Trak! Sebuah linggi
tertancap tembus dipintu dan hampir mengenai kepala Fiko.
“waduh,
hampir saja”. Fiko mengunci pintu kapal dan menjauh dari pintu itu. “Jhei,sepertinya
sudah tak ada waktu lagi. Ambil hajunba dikantongku yang satunya sekarang juga dan
cepat kamu buat jalan pelarian”, pinta Fiko.
Jheibo
langsung menuju kantong Fiko dan mengembil hajunba didalamnya. Dia meletakkan
hajunba itu di jendela kapal agar bisa membuka dimensi ruang ketempat lain.
Brrrruuuaaakkk!
Para yuari berhasil mendobrak pintu dan masuk kedalam kapal. Untung saja Jheibo
telah berhasil membuka hajunba dan Fiko sudah masuk kedalamnya beserta Ray.
Para yuari mengejar mereka namun tak sempat karena hajunba itu sudah hampir
tertutup. Jheibo mengambil hajunba yang mereka pakai dan buru-buru masuk kelubang
hajunba yang semakin kecil itu. Beruntung ukuran tubuh Jheibo menyelamatkan
nyawanya diakhir-akhir pelarian.
“Sial!
Mereka ternyata memiliki hajunba!”, kata koloji setelah terlambat menangkap
Jheibo.
Dimensi
ruang kali ini membawa Fiko, Ray dan Jheibo kesebuah tempat yang asing bagi
mereka. Tempat ini merupakan kawasan perkotaan yang teratur dan tentu sangat
berbeda dari Toshirojima. Mereka sedang berada diatas sebuah gedung yang
tinggi. Fiko melihat kebawah sana. Entah mengapa Fiko kaget dan segera menjauh
dari tepi atap gedung tersebut agar tidak jatuh.
“Tempat
apa ini? Dimana kita Jhei? Ini sangat aneh bagi ku. Bukankah hajunda itu
dimensi ruang saja tetapi mengapa disini pagi hari. lihat matahari itu Jhei.
Itu matahari yang baru keluar dari persembunyiannya. Ini pagi hari! ini
mustahil”. Fiko agak kikuk dengan situasi sekitar. Dia tengah berada di lantai
empat sebuah gedung yang masih dalam tahap pengerjaan. Fiko melihat ada tangga
disudut sebelah sana dan dia menuruni tangga itu agar sampai kebawah.
Perkotaan
yang berada disamping bukit dengan gedung-gedung yang padat membuat Fiko sangat
waspada dengan daerah barunya itu. Fiko menuju jalanan dan dijalan itu dipenuhi
mobil-mobil yang berlalu lalang. Hampir saja Fiko tertabrak.
“Hai,
kalau menyeberang jangan asal begitu!”, tegur seorang pria tua dari dalam
mobilnya.
Fiko
hanya melirik sebentar kearah mobil itu dan melanjutkan untuk menyeberang
jalanan. Kota besar itu tampak kering dan tidak sesejuk Toshirojima. Di samping
kota tampak bukit-bukit yang menunjukkan kekokohannya. Fiko terus berjalan
menyusuri jalanan sampai dia berpapasan dengan salah seorang pria muda yang
cukup tampan. Fiko bertanya kepada lelaki itu. “Maaf, saya boleh bertanya
sesuatu?”.
“Ya
silahkan”. Pria itu tampak ramah.
“Ini
dimana? Kota apa ini? Apakah ini masih dibumi?”, tanya Fiko bertubi-tubi.
Lelaki
itu mengernyitkan dahi tanda kurang mengerti. “Ya ini bumi. Aneh kamu. Ini di
La Paz. Apakah kamu bukan orang bumi?”, tanya pria itu sedikit menyelidik.
“Oh,
maksud saya. Kota ini sangat indah dan ini tampak seperti bukan dibumi”, Fiko
berkelit.
Jheibo
perlahan masuk ke dalam baju Ray. Dia tak ingin kelihatan orang itu.
“Terimakasih
atas pujiannya. Kenapa temanmu itu? Kelihatannya kalian sedang terluka?”.
“Iya
kami…”, Fiko berfikir sejenak untuk mengatakan alasan yang tepat agar orang itu
tak curiga. “Kami baru saja dirampok. Ya dirampok”.
“Wow,
Kasihan. Kenalkan namaku Alvaro”, dia mengulurkan tangan.
Fiko
menyalami orang itu sambil berkata, “Aku Fiko dan ini Ray”.
“Kalian
tampaknya bukan orang sini. Ayo aku antar kalian keklinik didekat sini. Temanmu
itu harus segera dapat pertolongan dan tampaknya lukamu juga perlu diobati”.
Orang itu mengajak Fiko mengikutinya kesebuah klinik kesehatan yang tidak jauh
dari situ. Mereka berjalan melewati trotoar.
“Kalian
dari mana?”.
“Kami
dari Toshirojima”.
“Dimana
Itu? Aku baru dengar”. Alvaro menatap kearah Ray yang tengah tergolek pingsan
dipunggung Fiko.
“Itu
di Jepang. Kalau ini dimana? Apakah waktu disini berbeda dengan Toshirojima?”,
tanya Fiko.
“Kamu
baru kali ini kesini, ya? Ini di Bolivia. Tentu waktu disini sangat berbeda
jauh dengan Jepang. Mungkin disana sekarang malam hari”, kata Varo.
Sekarang
Fiko mulai paham dengan keadaan disini. Jadi sebenarnya tadi dia tidak melewati
dimensi waktu tetapi memang sedang berada di zona waktu yang memiliki selisih
cukup jauh dengan Jepang makanya hari masih pagi ditempat ini. Dengan
mengetahui itu, Fiko sedikit tenang melangkahkan kakinya mengikuti pemuda
tampan yang baru dia kenal. Kelihatannya dia pemuda yang baik. Ini kali
pertamanya Fiko dan Ray menginjakkan kaki di belahan bumi lain selama
bersembunyi. Walau yang pertama tetapi tidak membuat Fiko takut atau bingung
mau berbuat apa, tetapi dia hanya berusaha lagi untuk membaur dengan
orang-orang yang baru dia kenal.
Langkah
kaki mereka menyusuri jalan telah sampai pada sebuah klinik kecil diantara
deretan toko-toko. Alvaro masuk keklinik tersebut dan berbicara pada seorang petugas
disana kemudian Fiko disuruhnya membawa Ray kedalam untuk segera mendapatkan
pertolongan.
Waktu
berjalan cukup sepat sehingga tak terasa hari telah siang. Fiko yang telah
berada dirumah Alvaro sekarang tengah berganti pakaian. Pakaian itu dipinjamkan
Alvaro untuk Fiko. Walau tubuh Alvaro kekar dan tinggi, tetapi ternyata tubuh
Fiko memiliki ukuran lebih besar sehingga baju Alva yang dia kenakan agak pas
dengan bentuk tubuh Fiko yang berotot.
“Wah,
ternyata masih terlalu nge-pas ya baju itu”, kata Alva.
“Oh
tidak apa-apa. Aku berterimakasih karena kamu telah mengijinkan Aku dan Ray
untuk tinggal disini sementara waktu”, ucap Fiko sambil menatap tubuhnya
dicermin.
Alva
kembali menutup lemarinya.
“Gawat!”.
Fiko tampak seperti terkejut dan buru-buru mencari baju kotornya di tempat
cucian kotor milik Alva. Dia ambil baju itu dan dia kibas-kibaskan, tetapi
tetap tidak dia temukan.
“Ada
apa Fiko?”.
“Lihat
bunga berwarna biru dibaju ku, tidak?”. Wajah Fiko agak cemas.
“Bunga?
Biru? Tidak ada. Kamu memangnya membawa bunga tadi?”.
Fiko
mengecek kedalam tempat baju kotor itu dan mengeluarkan seluruh isinya dilantai
lalu dia cari disetiap baju dan celana kotor itu. Tak ada tanda-tanda bunga
yang dia cari. Bunga itu adalah Jheibo. Kemana Jheibo? Jangan-jangan terjatuh
dijalan dan terlindas mobil.
“Aneh
kamu ini Fiko. Pria se-macho kamu suka bunga”. Alva ikut mencari bunga yang
dicari Fiko.
Dari
arah jendela kamar itu,tampaklah seekor hewan aneh merangkak masuk kejendela.
Dia sepertinya tak bisa terbang lagi. Dengan susah payah di masuk kejendela
kamar Alva dan akhirnya terjatuh kelantai. Bentuknya yang kecil berwarna biru
langsung menarik perhatian Fiko.
“Jheibo?”.
Fiko menghampiri Jheibo dan meletakkan Jheibo di telapak tangannya.
Jheibo
tergolek lemas dan akhirnya menggulung menjadi bunga. Selain karena terdesak,
Jheibo juga bisa menggulungkan badannya mirip seperti bunga pada saat dia
tertidur. Fiko membawa Jheibo ke ranjang yang telah ditempati Ray yang masih
tertidur. Jheibo ia letakkan di samping Ray.
“Apa
itu yang kamu cari tadi? Aku baru tahu ada bunga yang bisa bergerak seperti
dia”. Alva mengamati Jheibo.
“Ini…
i-ni… sebenarnya bukan bunga tetapi serangga langka dari Toshirojima. Hehe… “.
Fiko tampak menutupi sesuatu.
Fiko
melihat ada sisik Jheibo yang terlepas dan mungkin ini dikarenakan Jheibo
tertabrak atau terjatuh. Fiko menyentuh kening Ray dengan punggung tangannya
untuk mengecek apakah demam Ray sudah turun.
“Oh
iya, kamu kakaknya Ray? Dia sebenarnya kenapa?”, tanya Alvaro.
“Begitulah.
Dia saudara tiriku, Kami berdua beda ibu. Ray sepertinya mengalami sakit yang
aneh, dia tidak bisa men.. maksudku berektifitas terlalu keras. Kondisi tubuh
Ray tidak bisa mentolerir pengeluaran tenaga yang berlebihan”. Fiko membohongi
Alva.
Alvaro
hanya mengangguk-angguk tanda dia paham. “Aku mau keluar dulu ya. Kamu
beristirahat saja disini dan anggaplah ini rumahmu sendiri. Mungkin aku sore
nanti baru pulang”. Alvaro meninggalkan Fiko dan Ray dikamarnya. Sepertinya dia
memang orang yang baik karena tidak sedikitpun dia menaruh curiga pada Fiko dan
Ray padahal mereka adalah orang yang baru dia kenal.
Asap
mengepul diatas bangunan Hrewa Kufe yang menandakan bahwa Vocare sedang
berduka. Dari arah jembatan penghubung ke Hrewa Kufe tampak rombongan dengan
beberapa kaguka sedang membawa sesosok tubuh ketengah jembatan. Sukaw dan para
petinggi Istana Hrewa Kufe juga tampak di rombongan itu. Ini merupakan
penghormatan terakhir yang mereka berikan pada Alian yang telah gugur dalam
tugas. Mereka semua akan melaksanakan upacara Uomamol atau upacara kematian.
Pada Uomamol, jasad yang telah mati akan dipersembahkan kepada ikan. Warga
Vocare percaya bahwa jasad yang dimakan
ikan sampai habis akan menuju tempat terindah dengan mengendarai ikan. Upacara
ini dipimpin oleh tetua Vocare bernama Xucla.
“Segera
kita mulai Sukaw?”, tanya tuan Xucla memastikan.
“Silahkan
paman Xucla”. Sukaw mulai mendekat kearah jasad Alian dan dia kemudian melakukan
hormat Yuari dengan mengepalkan tangannya didahi sebagai penghormatan terakhir.
Setelah
Sukaw, satu per satu para petinggi Hrewa Kufe melakukan hal yang sama lalu
kemudian para sahabat dan Yuari yang ada untuk melakukan hormat secara
bersama-sama.
“Dengan
ini akan aku mulai. Sangalabai era ar tololabai bai bai la albijjo sruwe oko
onnera sangalabai. Sangalabai eekza tfo tei araskiai sorzai. Uumoon ar xede
qyoro arejutolla, ojazzhu, mared ka. Sangalabai, sangalabai kzab yuy laseruwnao
coderar sorzai. Badi bhu amai, sorzai mizvalouammuco eekza ilbba sangalabai. Ao
ar ia labai-ih sangalabai. Iyu laseruwnao, aibai Qu-Naollaza bai!”. Mantra
upacara Uomamol telah selesai dibacakan tuan Xucla sambil merentangkan tangannya
kearah danau.
Dibawah
danau telah terdapat beberapa Sorze dan juga telah berjaga Minsha untuk
memastikan jasad alian nantinya akan habis dimakan para Sorze. Para yuari telah
mengangkat tubuh Alian yang telah diwarnai dengan warna merah. Jasad Alian
diberi penjepit terbuat dari bambu hitam yang bermakna jasad telah siap untuk
maninggalkan Naolla dan tidak akan menerima lagi rohnya.
Sukaw
menganggukkan kepala tanda dia siap menyaksikan Uomamol tahap ini, pada para
Yuari. Yuari-yuari itupun segera menjatuhkan jasad Alian kedalam danau
Opgareca. Inilah cara penghormatan terakhir di Vocare.
Setelah
jasad itu tercebur keair maka dengan segera para Sorze menyambarnya dan memakan
habis jasad itu. Deburan air yang besar akibat sorze-sorze yang berebut jasad mencapai
atas jembatan. Para Minsha hanya diam meliahat sambil mengawasi para sorze.
Beberapa saat kemudian, deburan itu berhenti yang menandakan Uomamol telah
berakhir. Para sorze pun kembali berenang kedasar danau dan meninggalkan lokasi
itu.
Sukaw
dan yang lainnya mulai membubarkan diri dan kembali ke Hrewa Kufe lagi. Uomamol
memang terlihat sadis dan kejam tetapi itulah kepercayaan yang dianut Vocare.
Disini penghormatan terakhir diperlihatkan sebagai penghargaan pada sang jasad
atau sangalabai, dalam bahasa Naolla.
Diperjalanan
pulang, terlihat Juyu dan Tuan Kamamuja sedang berbincang-bincang. Wajah tuan
Kamamuja tampak serius ketika berbicara dengan Juyu. Bunyi langkah kaki mereka
terdengar mengiringi percakapan itu.
“Aku
tak habis pikir. Ternyata Ray memiliki kemampuan yang tersembunyi dan kita
tidak tahu itu. Bagaimana bisa tubuhnya menyerap linggi? Mungkin kah ini
dikarenakan dia seorang azzo?”, kata Juyu.
“Begitulah
kata Vehu kepadaku tadi. Kemampuan Ray tentu akan merubah strategi penangkapan
kita”.
Juyu
melihat kearah belakang seperti takut kedengaran orang. “Apakah kita harus
masuk kebumi dan mencari Ray?”.
“Gila
saja. Kita tidak akan diijinkan Sukaw kebumi. Karena ini masih belum
dikategorikan gawat”. Kamamuja mencoba menjelaskan.
Juyu
terdiam sejenak. “Lalu siapa yang akan kita tugaskan sebagai pengganti Alian?”
“Aku
tahu siapa orang yang sesuai”.
Mereka
melanjutkan perjalanan menuju Hrewa Kufe. Puluhan orang yang baru bubar itu
tampak menuju satu tempat yang tak lain adalah Punden megah yang menjadi pusat
pemerintahan Vocare itu. Difu dan Aste dari tadi bercanda manis diatas langit
Naolla seperti sedang main kejar-kejaran. Dedaunan kering berwarna kuning yang
terbawa angin juga melayang jatuh melintasi jembatan dan singgah keatas danau.
Disini begitu damai dan tentram tak ada yang mengusik kesenangan raja dan
rakyatnya, namun diluar sana begitu banyak rakyat Naolla menderita akibat raja
Sukaw.
***
“Apa!
Mana bisa? Aneh kamu ini Juyu. Tidak mau ah. Malas aku”, tolak Diagta.
Juyu
masih berusaha membujuk pria itu. “Kamulah yang bisa menjadi pengganti ketua pasukan
khusus dibumi, Diagta. Kamu pasti bisa menghadapi Fiko dan Ray”, bujuk Juyu.
“Lho,
kok aku? Aku kan bukan Yuari seperti kalian. Aku hanya orang lepas. Mana bisa
aku melawan orang sehebat Tuan Fiko. Tidak mau aku”. Diagta kembali berjalan
meninggalkan ruangan itu.
Juyu
mengejarnya. “Tunggu Diagta. kamu memang bukan anggota Yuari tapi kamu punya
kemampuan untuk itu. Walau kamu sering membuat kami jengkel, kamu tetap orang
yang istimewa dimata Sukaw”.
“Aduhhhh…
Jadi aku istimewa ya? Hahaha… Pergi sana, jelek!”.
“Ya
sudah kalau begitu. Mungkin kamu akan segera diusir tuan Sukaw dari Hrewa
Kufe”. Kata-kata Juyu seperti mengancam kemudian dia berbalik arah dan pergi.
“Hu-uh…”.
Diagta menarik nafas sambil terus melanjutkan langkah kakinya.
Langkah
kaki seorang pria melewati gang semakin cepat dan sedang terburu-buru.
“Ayo
Zowm, lebih cepat lagi jalannya. Barang-barang tuan Vede tidak bisa naik keatas
kapal dengan sendirinya”, ucap Xano memperingatkan Qwed agar mempercepat
jalannya.
Qwed
mengerti dengan perkataan Xano. Langkah kakinya dia percepat agar semakin lekas
sampai kerumah tuan Vede. Tubuhnya yang besar sesekali menyenggol lampu
jalanan.
Rumah
besar itu sudah menunggu mereka dengan tumpukkan barang-barang yang telah
terbungkus rapi daan siap dikirim menggunakan kapal ke tempat pemesan. Didepan halaman telah berdiri tuan Vede yang
berkaca mata menghitung jumlah barang yang akan dikirim. Beberapa orang kuli
telah tampak mulai mengangkuti barang-barang tuan Vede menuju kekapal.
“Waduh,
lama sekali kalian berdua ini. Ayo lekas bawa barang ini keatas kapal”,
perintah tuan Vede sambil menunjuk kepada tumpukkan barang.
“Baik
tuan”, sahut Xano.
Dengan
segera Xano menghampiri barang itu dan menaruhnya dipunggung. Qwed juga ikut
membantunya. Tenaga Qwed dibayar
menggunakan daun Hfuju. Walau begitu Qwed tetap semangat agar dia tidak
terlalu membebani Xano. Qwed mengangkat delapan barang dalam sekali angkut
sehingga dia disukai oleh tuan Vede. Barang-barang yang akan dibawa Qwed diikat
terlebih dahulu menjadi empat barang satu ikat agar mempermudah mengangkatnya.
Walau pada awalnya tuan Vede sempat menaruh curiga pada Qwed, tetapi dia tidak
mempermasalahkannya dan mengijinkan Qwed membantu Xano.
Hanya
beberapa kali mengangkut, semua barang itu sudah selesai diangkut oleh Qwed dan
kuli-kuli lainnya. Untuk upah Qwed, tuan Vede sudah menyiapkan sepuluh lembar
daun Hfuju segar dan Xano diupah sebanyak satu anuk bojce.
“Aku
senang dengan hasil kerjamu Zowm. Kamu kuat sekali, hebat lagi”, puji tuan Vede
sambil mengelus lengan Qwed.
“Ahhhggggg…”.
Qwed mengangguk-anggukan kepalanya.
“Terimakasih
tuan. Saya mau permisi dulu”, kata Xano.
“Iya”,
ucapnya singkat.
Xano
dan Qwed meninggalkan halaman rumah tuan Vede. Warna kuning tubuh Qwed masih
belum luntur namun bukan berarti tidak akan luntur. Langkah kaki keduanya
menuju kawasan pasar untuk membeli makanan. Disana ada warung langganan Xano
jika ingin makan. Disamping warung sederhana itu terdapat sebuah pohon besar
yang rindang sehingga Qwed bisa duduk disitu sambil menunggu Xano makan.
“Wah
sudah saya cari-cari sejak tadi tuan Trop ini. Saya pikir anda tidak makan
disini hari ini”, kata wanita tua penunggu warung yang sudah hafal dengan
jadwal makan Xano.
“Bibi
sudah hafal ya ternyata. Haha.. Igureto Klyu nya pakai Huni sedikit Bi”, pinta
Xano.
Igureto
Klyu adalah makanan dari hati ikan laut berukuran sedang yang dimasak seperti
sup goreng ditambahkan beberapa sayuran setengah matang dan mentah lalu
diletakkan diatas sunku kukus, biasanya di santap bersama Huni yaitu umbi yang
telah direbus bercita rasa asam dan asin. Sunku yang digunakan biasanya hanya
setengah biji saja mengingat ukurannya yang besar.
Tak
berapa lama, sebuah pasor tiga sekat berisi Igureto Klyu, Huni dan Sunku
tersaji di meja Xano. Igureto Klyu yang masih panas begitu menggoda mata Xano.
“Silahkan
dinikmati tuan”,kata Bi Aumo setelah meletakkan pasor itu dimeja.
“Terimakasih
ya Bi”. Fiko mulai mengambil alat makannya dam menyuapkan makanan itu kedalam
mulutnya. Dia tampak begitu menikmati makanan kesukaannya tersebut. Sesuap demi
sesuap makanan itu masuk kedalam mulutnya untuk dikunyah.
Beberapa
menit kemudian makanan di pasor Xano telah habis. Xano kemudian membayar harga
makanannya kepada wanita penjaga warung lalu pamit pergi. Dia tampak membersihkan
sisa makanan yang masih tersangkut digiginya dengan menggunakan cuit gigi.
Diluar warung telah menunggu Qwed yang masih mengunyah daun Hfujunya.
“Qwed,
sudah makannya?”, tanya Xano.
“Grmmmm…”.
Qwed masih sibuk mengunyah daun lezat itu tanpa mempedulikan Xano.
Xano
mendatangi Qwed dan mengambilkan daun Hfuju yang masih utuh untuk diberikan ke
Qwed. Qwed mengambilnya dan mengunyah daun itu. Xano bersabar menunggu Qwed
yang tengah menikmati makanannya hitung-hitung dia sedang mencerna makanan yang
dia makan tadi.
Daun
terakhir telah selesai dikunyah Qwed. Tanpa dikomando lagi dia beranjak dari
duduknya dan berjalan bersama Xano untuk segera menuju tempat kerja berikutnya
yaitu pembelahan Leat.
Kita
melihat sebentar kenegeri matahari terbit, ke pulau Toshirojima yang telah
porak poranda akibat kejadian tadi malam. Tampak sebagian warga Toshirojima
yang masih baik-baik saja membersihkan tempat yang masih bisa dibersihkan.
Orang-orang yang terluka diobati dan jasad-jasad tak bernyawa diletakkan
ditempat khusus. Dari kerumunan orang-orang itu tampak tuan Takeshi yang tengah
mencari-cari Fiko dan Ray dibalik puing-puing reruntuhan bangunan. Dia
mengais-ngais disekitar tumpukkan itu mengangkat satu per satu kayu yang
menimbun rumah Ray tetapi tidak dia temukan jasad atau tubuh kedua orang itu.
Dia terus saja mencoba menyingkirkan reruntuhan bangunan yang sekiranya
menutupi ruangan penting dirumah Ray. Tampaknya memang tidak ada orang yang
tertimbun dirumah itu. Kalau Ray dan Fiko tidak ada dirumah dan juga didesa,
lalu kemana mereka? Inilah yang menjadi pertanyaan tuan Takeshi yang sudah
mencari Ray dan Fiko sejak tadi.
“Tuan
Shiba yakin bahwa Fiko dan Ray tidak ada dipulau ini?”, tanya tuan Takeshi pada
tuan Shiba.
“Saya
sudah menanyakannya pada penduduk namun mereka tidak menemukan Ray ataupun Fiko
disekitar sini”. Tuan Shiba masih berusaha mencari keberadaan tetangganya itu
dengan melihat-lihat ketumpukkan bangunan.
“Aneh.
Pertama orang-orang jin itu sekarang Ray dan Fiko yang menghilang. Apa mungkin
orang itu ada hubungannya dengan Fiko dan Ray?”.
“Sebenarnya
sempat ada yang melihat Fiko dan Ray terlibat pertarungan dengan orang-orang
itu namun tidak ada yang tahu apakah mereka selamat atau malah sudah
meninggal”.
“Fiko….
Ray…. Kalian dimana? Apakah kalian masih hidup?”, teriak tuan Takeshi sambil
menunduk kearah reruntuhan.
“Apakah
mungkin mereka diculik orang-orang itu?”, tanya tuan Shiba.
“Mana
mungkin. Lagian untuk apa orang-orang itu menculik Ray dan Fiko? Mereka kan
bukan orang kaya”, kata tuan Takeshi.
“Memangnya
tuan bisa membuktikan bahwa mereka bukan orang kaya? Apakah tuan tahu bagaimana
kehidupan mereka sebelum tinggal dipulau ini?”.
Tuan
Takeshi terdiam sejenak. “Ya… Saya sih tidak tahu tetapi bukankah Ray dan Fiko
tidak memiliki rumah dan pekerja biasa disini”.
“Itu
bukanlah pembuktian. Saya rasa mereka dulu adalah keluarga bangsawan atau
sejenisnya. Dari cara mereka berbicara dan gaya tubuh mereka, sepertinya mereka
bukan orang sembarangan. Saya memang hanya menebak saja dan tidak punya bukti
kuat, tetapi saya yakin mereka bukan orang biasa”, ucap tuan Shiba mengemukakan
opininya.
“Hmmmppp…
Mungkin. Dulu Fiko juga pernah menanyakan tentang kerajaan kepada saya. Saya
sempat mengira bahwa dia menanyakan itu untuk dirinya. Apa mungkin Fiko atau
Ray adalah keturunan Raja? Mereka melarikan diri kesini karena kerajaan mereka
kalah perang?”. Tuan Takeshi mengingat-ingat.
“Aneh
saja anda ini tuan. Mana ada kerajaan yang berperang dizaman sekarang. Inikan
zaman modern, segala konflik perang pasti akan segera tersohor keseluruh
negara, apalagi jika mereka adalah sebuah kerajaan. Kita cari lagi saja, siapa
tahu Fiko dan Ray ada disuatu tempat dan sedang tak sadarkan diri”
Mereka
kembali bergerak mencari keberadaan Fiko dan Ray. Meskipun mereka sudah mencari
kedua anak muda itu disela-sela puing bangunan namun mereka hanya ingin
memastikan sekali lagi apakah Fiko dan Ray benar-benar sudah tidak ada dipulau.
Hembusan
angin pagi di Toshirojima membelai lembut seekor tubuh kucing yang terkapar tak
bernyawa didekat anak tangga. Bulu-bulu halusnya bergerak tersentuh angin dan
ada percikan darah dikepala hewan itu.
Dari
arah atas anak tangga, langkah kaki seseorang mengenakan sepatu Yuari bergerak
turun kebawah. Tidak hanya satu orang tetapi tampaknya ada empat orang Yuari.
Mata
itu tampak seperti sedang marah besar memandangi tubuh kucing yang telah mati.
Dia ambil kucing yang menghalangi jalannya kemudian dilemparkan kearah
puing-puing bangunan disisi kirinya. Benar-benar kejam.
“Ini
tidak akan mudah”. Orang itu berpaling dan dia ternyata adalah Diagta.
Diagta
mau kebumi karena Sukaw mengancam akan menendangnya dari Hrewa Kufe jika dia
tidak mau menuruti perintah Sukaw.
“Bagaimana
kita menemukan Ray, Diagta? Mereka telah kabur menggunakan hajunba dan sekarang
entah berada dimana”, kata Cre.
“Ayo
kita mulai mencari apa saja yang berhubungan dengan Ray”, ajak Diagta.
“Tunggu
dulu Diagta. kita sepertinya tidak bisa menemukan Ray dengan mudah karena dia
tidak meninggalkan jejak sama sekali”. Cre mengemukakan pendapatnya.
“Tapi
pasti ada baju atau barang-barang yang berhubungan dengan Ray, bukan?”, sahut
Diagta.
“Tidak
Diagta, hajunba hanya bisa menterjemahkan perintah barang jika barang itu masih
dipakai atau barang yang tidak berubah. Mana mungkin Ray atau Fiko tidak
membuang Baju atau apapun yang mereka bawa dari tempat ini untuk menghilangkan
jejak”, Cre memberitahu.
“Yang
ketua itu aku atau kamu, hah?! Dasar!”. Diagta mulai menunjukkan sifat aslinya.
“Kamu”,
jawab Cre kesal.
“Nah,
sudah jelaskan? Makanya jangan membantah aku”.
Ketiga
yuari itu hanya bisa melempar senyum palsu karena mereka sebenarnya tak senang
dengan sifat Diagta yang aneh itu. Mereka mengikuti langkah kaki Diagta menuju
sebuah tempat yang mereka yakini sebagai kediaman Ray dan Fiko sewaktu dibumi.
Reruntuhan
bangunan akibat kejadian tadi malam menimbulkan tanya di kepala Diagta.
“Mengapa semua bangunan disini menjadi porak-poranda? Bagaimana kalian
melakukannya?”, tanya Diagta.
“Hanya
jurus gabungan biasa”, jawab Koloji.
Diagta
menyusupkan tubuhnya kedalam puing-puing bangunan dan masuk kedalam ruangan
yang sudah tidak berbentuk itu. Koloji, Cre dan Vehu hanya bisa mengikutinya
dari belakang.
“Ini
baju siapa ya?”. Diagta memegang baju abu-abu yang tampak kebesaran jika itu
adalah baju Ray. “Baju Fiko sepertinya. Tidak penting”. Diagta melepaskan baju
itu dan kembali masuk lebih jauh untuk mencari baju Ray.
“Diagta,
ini baju Ray”. Koloji mengangkat baju berwarna hitam itu yang dia yakini baju
Ray.
Diagta
menghampiri Koloji. “Hahaha… Baju Ray basah? Jangan-jangan…”, Diagta tersenyum
penuh arti.
“Jangan-jangan
apa Diagta?”, tanya Vehu.
“Jangan-jangan
lupa dijemur lah, hahaha… Cepat kita keluar. Bau kalian yang tercampur membuat
aku mau muntah”. Mulut Diagta memang tak pernah dijaga.
Mereka
berempat kemudian keluar dari sisa bangunan itu. Entah apa yang dipikirkan
Diagta mengambil baju itu yang pada dasarnya tidak bisa digunakan untuk mencari
keberadaan Ray.
“Untuk
apa baju itu? Kita kan membawa Eratoh”. Cre menunjukkan kotak sebesar dadu yang
disebut Eratoh.
Diagta
terdiam sambil memandang eratoh ditangan Cre. “Baju buat… emmm… Buat
membersihkan sepatuku. Lihat ini, kotor bukan?”, kelit Diagta.
Cre
hanya diam dan mulai meletakkan eratoh itu ditanah. Cara tercepat untuk membuka
eratoh adalah dengan mengusap eratoh itu dengan menggunakan linggi. Cre
mengeluarkan lingginya dan mengusapkan keeratoh beberapa kali. Cre mengeluarkan
hajunba dan meletakkannya didekat eratoh itu dan mulai membuka hajunba
tersebut. Dari dalam hajunba itulah eratoh akan mencari Ray dengan terlebih
dahulu mengenali Ray lewat apa saja yang berhubungan dengan Ray. Dari sisi yang
digosok, keluarlah benang putih yang sangat kecil. Benang itu semakin panjang
lalau kemudian terus menjulur dan bertabah panjang. Tetapi benang itu tidak bergerak
masuk ke hajunba.
“Mengapa
begini? Bukankah hajunba sudah terbuka?”. Cre bingung.
“Coba
gosok lagi linggimu, Cre”, usul Koloji.
Cre
menuruti saran Koloji dan menggosokan lingginya kembali ke sisi eratoh. Tetap
hasilnya tetap sama yaitu eratoh masih tidak masuk kehajunba.
“Dasar
Yuari-yuari ini. Kalian memangnya tidak tahu kalau eratoh itu perlu hajunba
yang sama atau lokasi pemasangan hajunba yang sama, setidaknya. Memangnya Ray
dan Fiko mengeluarkan hajunba disini?”, tanya Diagta.
Cre
malu lalu menutup eratoh dan hajunbanya. Dia ambil barang-barang itu dan
dimasukkan kekantong celananya kembali. “Dimana Koloji, tempat Fiko membuat
hajunba?”.
“Dijendela
kapal, didermaga”, jawab Koloji.
“Tunggu
apa lagi. Ayo, kita kesana!”, ajak Diagta.
Mereka
berempat segera menuju tempat yang dimaksud untuk mencari bekas hajunba Fiko
dibuat. Selang beberapa saat, sampailah mereka didermaga. Vehu dan Koloji
mencoba mengingat-ingat perahu tempat Fiko kabur tadi malam. Mata Vehu
menangkap sebuah kapal yang memiliki pintu rusak.
“Itu
disana!”, tunjuk Vehu.
“Ya
itu dia tidak salah lagi. Kami sempat melemparkan linggi ke pintu kapal itu
tadi malam”, timpal Koloji.
Mereka
menuju kapal itu dan masuk kedalamnya. Tanpa membuang waktu lagi, Cre sudah
bersiap didepan jendela yang ditunjuk Vehu untuk membuka satu lagi hajunba dan
eratohnya.
Hajunba
telah terbuka, namun tak tampak ada dimensi ruang terbuka. Cre mengecek kembali
letak hajunbanya kalau-kalau masih belum pas. “Tidak bisa”, katanya.
“Disini
tadi malam Fiko membuka hajunba miliknya. Aku yakin sekali Cre”, kata Vehu.
“Berisik!
Sini biar orang hebat yang membukanya”. Diagta menyenggol Cre agar menyingkir
dari sisinya. Diagta hanya diam sambil memperhatikan ruangan kapal dengan agak
takjub.
“Kalau
tidak tahu apa-apa mending kamu menyingkir dari situ Diagta. Aku sudah muak
dengan tingkahmu!”. Koloji akhirnya tak bisa menyimpan kekesalannya lebih lama
lagi.
“Hahaha..
Marah. Memangnya kamu bisa, apa? Kalian ini yuari tetapi tidak tahu apa-apa
mengenai eratoh. Kalian harus bersyukur Sukaw cerewet itu memilih aku sebagai
ketua kalian. Hajunba yang menggunakan cara seperti ini perlu waktu beberapa
saat untuk menstabilkan dimensinya. Inikan berarti hajunba mode mencari, jadi
kita tidak langsung melihat dimensi. Kecuali hajunba yang kita gunakan adalah
hajunba yang sama dengan yang digunakan Fiko. Mengerti tidak?”. Diagta tampak
sedikit menunjukkan wajah kurang senangnya.
Ketiga
yuari itu hanya terdiam merasa bodoh didepan orang seperti Diagta. diagta
memang kadang-kadang tampak bodoh namun sebenarnya dia adalah orang yang, bisa
dikatakan, jenius.
Tak
lama kemudian hajunba mulai menunjukkan secara samar tempat yang sangat gelap
sekali. Memang itu bukan tempat dimana Fiko dan Ray berada akan tetapi itu
menunjukkan bahwa ruang dimensi telah terbuka walau tidak membuka kelokasi Fiko
berada. Perlahan-lahan benang eratoh mulai memanjang dan masuk kedalam dimensi
itu untuk segera menjalankan tugasnya mencari Ray dan Fiko. Benang itu masuk
kelorong hitam dan akhirnya sampai di dimensi ruang yang entah dimana. Tak lama
setelah itu ujung dari benang putih eratoh menyentuh kotaknya yang menunjukkan
bahwa dia tidak bisa menemukan keberadaan Fiko ataupun Ray.
“Gagal”,kata
Cre lemas.
“Sial!!!
Kita kehilangan azzo itu lagi. Benar-benar merepotkan ya? Kita mendingan
berlibur di pulau ini saja untuk sementara waktu, Cre. Kita senang-senang.
Kalau kembali sekarang pasti Sukaw tua itu menyuruh kita untuk mencari Ray dan
Fiko lagi. Mau ya? Ya?”, bujuk Diagta.
Mereka
terdiam dan saling pandang lalu Koloji berbicara, “Tidak. Kamu mau digantung
Sukaw? Kami pulang saja. Kalau kamu mau tinggal disini silahkan. Aku berharap
semoga kamu menikmati liburan terakhir dalam hidupmu. Ayo Cre, Vehu”.
Cre
mengikuti Koloji dan mengambil hajunba dan eratohnya.
“Huuuuu…
Dasar orang-orang pembantu Sukaw! Silahkan saja datang dan makan makanan sisa
Sukaw sana! Aku akan tinggal disini”, Diagta bersikeras untuk tinggal dipulau
itu.
Ketiga
yuari tadi telah menuju kejalan dan benar-benar akan meninggalkan Diagta
dipulau. Mereka menuju ketepi hutan tempat hajunba menuju dan ke Naolla mereka
dibuka.
“Hahaha…
Benar-benar tidak waras Diagta itu. Dia berani menentang Sukaw. Aku tidak habis
fikir, mengapa tidak sejak dulu Sukaw membuang atau membunuhnya? Apa mungkin
dia anak Sukaw?”, kata Vehu.
“Jangan
asal bicara kamu Vehu. Sukaw hanya tertarik dengan kemampuan langka Diagta
saja”. Cre menyahuti.
“Kemampuan
langka? Apa itu Cre?”, tanya Vehu Te lagi.
“Kemampuan
merubah linggi menjadi azzo”, jawab Cre.
“Wow?
Memang ada orang yang seperti itu?”. Koloji ikut bicara.
“Ada.
Kemampuan yang hanya dimiliki keluarga Diagta”. Cre membuka hajunba yang telah
siap dibuka kapan saja itu lalu masuk kedalamnya bersama Koloji dan Vehu.
Setelah mereka masuk semua, hajunba itupun menutup kembali.
Seekor
serangga kecil terbang dari balik pohon menuju keluar hutan dan sampai ditepi
pantai. Cahaya matahari yang mulai meninggi menyinari tubuh kecilnya.
Deburan
ombak dipantai mengenai perahu yang tertambat disana. Hamparan padang savana
luas menyambut mata kita ketika berada dipulau ini. Inilah pulau Fugk yang
indah dan mempesona sebagian orang. Ditengah-tengah pulau yang luas itu
terdapat beberapa kota besar dan salah satunya kota yang ditempati Loka sebagai
pusat pemerintahan. bangunan-bangunan yang menjulang tinggi dan tertata rapi
memanjakan mata kita yang melihatnya. Disalah satu gedung yang menjulang itu,
ada beberapa orang tengah mempersiapkan hajunba baru sebagai penghubung
ketempat Ray dan Fiko.
“Hajunba
ini sudah siap diuji coba, Taun Qaza?”, tanya Loka sambil memperhatikan hajunba
baru itu.
“Tentu
tuan. Apakah anda mau melihat percobaanya sekarang juga?”.
“Ya,
mengapa tidak. Aku akan senang jika kamu mau melakukannya sekarang
dihadapanku”.
“Siot,
cepat kemari!”, panggil Qaza.
“Ada
apa tuan?”, tanya Siot ketika menghampiri tuan Qaza.
“Tuan
Loka mau melihat hajunba ini bekerja. Tolong kamu persiapkan”.
Siot
menganggukan kepala dan mulai mempersiapkan untuk membuka kunci hajunba itu.
Hajunba baru yang terbuat dari kayu Zokle ini memang dibuat khusus dengan
tambahan kunci rahasia. Kunci hajunba itu telah dibuka Siot dan dengan segera
dia letakkan kunci itu disisi hajunba untuk ketahap selanjutnya yaitu membuka
dimensi ruang. Tampaklah sebuah ruangan gelap yang menandakan dimensi telah
siap mencari lokasi dimana saja sesuai perintah atau benda. Sebagai penjelasan,
cara memberikan perintah suara hanya bisa dilakukan pada lokasi-lokasi tertentu
yang sangat dipahami oleh hajunba itu sebelumnya yang mana lokasi itu bukan
lokasi sembarangan dan hanya berada di Naolla. Perintah benda yang berhubungan
dengan sesuatu yang dicari lebih efektif jika kita ingin mencari orang atau
lokasi yang jauh sekalipun.
“Kepekatan
hitam yang bagus tuan Qaza”, puji Loka ketika melihat dimensi itu.
“Inilah
dimensi terbaik yang kita miliki saat ini, tuan. Kami para anggota penelitian
pulau telah membuat hajunba ini selama
beberapa minggu”.
“Bisakah
kita bertemu dengan Fiko atau Ray sekarang. Aku rindu dengan Ray”, kata Loka.
“Ermmm..
Sebaiknya jangan sekarang tuan. Kita berjanji bahwa kita tidak mau ikut campur
banyak dengan mereka dibumi. Mereka sudah kita sembunyikan disana dengan tujuan
agar mereka menjadi manusia bumi. Kita hanya bisa membantu mereka jikalau ada
kekuatan Naolla yang mengganggu mereka”, terang tuan Qaza.
“Tapi
Qaza, untuk kali ini ijinkan aku melihat Ray sebentar saja. Hanya melihatnya”,
pinta tuan Loka.
Tuan
Qaza terdiam dan mempertimbangkannya sejenak.
“Tadi
kami telah mengecek keadaan mereka, Loka. Mereka sudah berhasil mengamankan
diri dari para yuari Vocare. Fiko terluka dan Ray sedang sakit. Jheibo juga
sedang pingsan”.
“Aku
mohon tuan Qaza. Hanya melihat dari sini saja sebentar”.
Melihat
tuan Loka yang sudah tidak sabar, tuan Qaza pun menuruti untuk membuka dimensi
ketempat Ray sebentar. “Baiklah tuan. Siot tolong kamu taruh sisik Jheibo itu
dipencariannya”.
“Baik
tuan”. Siot mengambil sisik Jheibo dan menaruhnya di tampat untuk mencari
lokasi dihajunba itu. Tak lama kemudian, sebuah kamar tidak terlalu besar tampak
telah terbaring Ray yang tengah Sakit dan Jheibo disampingnya. Tuan Loka hanya bisa
memandangi Ray dengan senyuman.
“Tutuplah,
Siot. Aku sudah cukup melihat Ray. Dia pasti berada ditempat yang nyaman dan tentunya
bersama Fiko. Oh, iya. Tadi aku tidak melihat Fiko. Dimana dia?”, tanya Loka.
“Mungkin
sedang mandi atau sedang mencari makanan tuan”, sahut Qaza.
Siot
menutup hajunba itu kembali dan kemudian permisi dari hadapan Loka dan tuan
Qaza.
Loka
dan Tuan Qaza juga meninggalkan ruangan itu. Tampaknya Loka hanya mau mengecek
kesiapan hajunba baru Fugk yang mereka persiapkan jika Vocare menyerang Fiko
dan Ray.
Sementara
dikamar Alvaro, Ray yang tengah tertidur pulas tak menyadari kehadiran Alva.
Alva yang baru datang itu langsung menuju tempat tidur dimana Ray terbaring.
Dia melepaskan kantong plastik yang ada ditangannya lalu menyentuh dahi Ray.
“Kelihatannya
orang ini masih panas sekali badannya. Ternyata kalau dilihat-lihat dia manis
juga. Aduh, kenapa aku bisa bicara asal begini. Fiko dimana ya?”. Alva tampak
tersadar dari kekagumannya pada Ray dan mencari Fiko.
Dia
mencari kearah dapur dan disana juga tidak ada. Dia ketuk kamar mandi namun
disana juga tidak ada. Dia telah mencari kesemua ruangan di apartemennya namun
Fiko tidak dia temukan. Entah dimana Fiko berada sekarang. Karena tidak
menemukan Fiko, Alva mengambil makanannya dikamar tadi yang lupa dia bawa
kedapur. Sekali lagi matanya menatap Ray yang tengah tertidur pulas. Dengan
perlahan dia duduk disamping Ray dan memandangi wajah azzo itu. Tatapan yang
sulit untuk diterjemahkan bahkan oleh Alvaro sendiri. Tiba-tiba Ray bergerak
dan meraih tangan Alva. Alvaro yang tak sempat menghindar akhirnya membiarkan
tangannya dipegang Ray.
“Aduh,
pakai acara memegang tanganku segala”. Pelan-pelan Alva menarik tangannya
hingga terlepas dari genggaman Ray.
Walaupun
Alvaro tinggal di Bolivia, tetapi dia tak tampak seperti orang sana. Matanya
sipit dan hidungnya mancung. Kulitnya yang coklat memiliki wajah yang ditumbuhi
kumis dan jambang yang kelihatannya baru mau tumbuh sangat kontras dengan
bibirnya yang tipis. Tubuh yang tinggi kekar sungguh menambah kesan macho dari
Alvaro.
Ray
yang masih tertidur mengigau, “Fiko… Kamu jangan...”.
Alva
hanya diam memperhatikan Ray yang tengah mengigau lalu dia menyelimuti tubuh
Ray dengan selimutnya. Ketika Alva menyelimuti Ray, dari arah pintu muncul
Fiko. Melihat Alva sedang mendekati Ray, Fiko langsung bertanya-tanya dalam
pikirannya.
“Alva?
Kamu sedang apa?”, tanya Fiko ketika berada dibelakang Alvaro.
Alvaro
menoleh dan salah tingkah. “ A..aku Ta.. Maksudku, Ray tadi mengigau menyebut
nama kamu. Karena selimutnya turun, jadi aku betulkan saja. Oh, iya kamu dari
mana?”, Alva mengalihkan pembicaraan.
“Sampah
dirumahmu sudah penuh jadi aku buang saja ke tong sampah diluar”, jawab Fiko
yang masih menatap Alva curiga.
“Maaf
merepotkanmu. Aku bawa makanan nih, kalau kamu mau makan ambil saja nanti
didapur ya tak perlu malu. Anggap saja ini rumahmu sendiri”, kata Alva. “ Aku
mau mandi dulu ya, soalnya harus segera ketempat kerja”. Alva meninggalkan
Fiko.
“Tunggu
Alva. Aku tidak mau merepotkanmu lebih banyak lagi, jadi kalau kamu ada
pekerjaan untukku tolong beri tahu aku ya”.
“Sampai
adikmu sembuh dulu baru cari kerja. Kasihan dia”. Alva meninggalkan Fiko
dikamar.
Fiko
duduk disamping Ray dan mengusap dahi kekasihnya itu. “Wah, masih panas. Tubuh
Ray pasti sangat menolak linggi-linggi yang diserapnya kemarin. Kasihan Ray”.
Fiko medekatkan bibirnya kepipi Ray dan dia cium mesra pipi Ray.
“Ermmm…
Aku mau mengambil handuk. Maaf…”.
Ternyata
dibelakang Fiko ada Alvaro yang melihat Fiko sedang mencium Ray. Ray hanya bisa
terdiam dan tak mampu berkata-kata lagi. Dia yakin Alva melihat dia menciumi
Ray barusan. Untuk menutupi ketakutannya, Fiko hanya bisa senyum sambil agak
salah tingkah. Dia takut, Alva tidak bisa menerima mereka dan langsung mengusir
Fiko dan Ray. Fiko sendiri tidak takut kalau Alvaro sampai mengusirnya namun
kondisi Ray yang masih sakit memaksanya untuk mencoba tenang dan berharap ini
tak akan menimbulkan masalah serius bagi dirinya.
Alva
buru-buru mengambil handuk dan kembali keluar kamar kemudian menutup pintu
kamar tersebut. Diperjalanan menuju kamar mandi Alva terlihat berfikir, mungkin
dia sedang memikirkan kejadian yang baru dia lihat dikamar. Namun segera semua
itu dia lupakan dan masuk kedalam kamar mandi. Pertama-tama Alva menaruh
handuknya lalu mulai melepas satu persatu pakaian yang melekat hingga
telanjang. Dia menghidupkan shawer untuk membasahi tubuhnya. Dia masih tampak
memikirkan Fiko dan Ray. Dia curiga bahwa Fiko dan Ray bukanlah kakak adik seperti
yang Fiko bilang, melainkan sepasang kekasih. Ciuman Fiko dipipi Ray yang dia
lihat itu bukanlah ciuman seorang kakak untuk adiknya namun lebih mirip ciuman
seorang pacar pada kekasihnya. Meski Alvaro masih terus memikirkan apa yang
telah dia lihat tadi, tetapi dia tampak fokus menikmati guyuran air ditubuhnya.
Tetesan air yang membasahi kulit sawonya terlihat mengalir menuruni setiap
lekuk tubuhnya yang berotot. Tubuh besarnya itu memang tidak memiliki perut
kotak-kotak seperti Fiko namun masih terlihat menggoda mata.
Alvaro
akhirnya selesai dengan acara mandinya lalu kemudian dia masuk kekamar dan
mengenakan pakaian rapi. Ternyata dia adalah seorang pelayan restoran. Setelah
berpamitan dengan Fiko, Alva menuruni lift dan langsung berjalan menuju ketempat
kerjanya. Malam itu tampaknya berawan dan akan turun hujan. Angin diluar juga
mulai kencang menerpa pepohonan dipinggir jalan. Dari atas sebuah gedung,
tampak sesosok tubuh berpakaian tertutup mengintai Alvaro. Entah apa tujuannya,
namun setelah itu dia akhirnya menghilang.
Dikamar,
Jheibo terbangun dan segar kembali. Jhei mulai terbang dan mendatangi Fiko.
Pembawaan Jheibo yang lincah dan ceria membuat Fiko tersenyum.
“Jheibo?
Hati-hati terbangnya. Hap!”. Fiko berusaha menangkap Jheibo namun tak bisa.
Jheibo
berhenti terbang dan bertengger diujung jari Fiko. Senyumnya yang manis membuat
Fiko gemas melihat tingkah laku Jheibo.
“Syukurlah
kamu tidak apa-apa Jhei. Kamu tadi mengapa bisa pingsan?”, tanya Fiko.
“Aku
menabrak sepeda tadi”, jawab Jheibo singkat.
“Untung
saja kamu tidak dimakan kucing jalanan. Oh iya, kamu sebenarnya bisa makan apa?
Aku mau kasih makanan ke kamu takutnya kamu tidak mau makan”.
Jhei
terbang keatas menyentuh lampu dilangit-langit kamar lalu menjulurkan lidahnya.
“Maksud
kamu, makanan kamu adalah lampu?”, tanya Fiko.
Jhei
menggelengkan kepalanya.
“Cahaya?”,
tebak Fiko lagi.
Jheibo
langsung mengangguk dan menjulurkan lidahnya seperti menjilat-jilat sesuatu.
Ternyata makanan Jhei sungguh sederhana dan mudah didapat jadi Fiko tak perlu
khawatir terhadap makanan hewan itu.
Ray
tampak bergerak dan membuka matanya. “Fiko…”, panggilnya.
Dengan
segera Fiko menghampiri Ray diranjang. “Ada apa sayang? Ini aku disini”. Fiko
memegang tangan Ray sambil dia mengusap-usap kepala Ray.
“Kita
dimana? Rumah siapa ini?”, tanya Ray lemas.
“Kita
sudah berada jauh dari Yuari-yuari itu Ray. Sekarang kita dirumah orang yang
baik. Dia juga membayarkan biaya berobat kamu tadi”, jawab Fiko.
“Dimana
orang itu? Aku mau berterimakasih padanya”.
“Dia
sedang berangkat kerja. Kamu istirahat saja sayang, jangan banyak bergerak
dulu”, saran Fiko.
Tetapi
Ray malah bangkit duduk.
“Sayang?
Kamu mau kemana?”, tanya Fiko khawatir.
“Aku
Cuma mau duduk Fiko… Aku capek tidur terus”.
“Ya
sudah. Kamu sandaran didada aku saja ya”. Fiko naik keatas ranjang dan duduk
dibelakang Ray setelah itu dia merebahkan kepala Ray didada bidangnya. Fiko
memeluk tubuh Ray dengan penuh kasih sayang. Jheibo yang melihat mereka hanya
bisa tersenyum manis.
“Apa
itu Fiko? Lucu sekali”, kata Ray ketika dia melihat Jheibo terbang didepannya.
“Itu
Jheibo. Dia yang telah menyelamatkan kita. Dia bisa berbicara lho, tapi hanya
sedikit. Jhei sini”, panggil Fiko.
Jheibo
langsung terbang dengan semangatnya lalu memeluk pipi ray manja.
“Wah,
Jhei… lucu sekali ya”. Ray yang tadinya sakit tiba-tiba tersenyum melihat
tingkah lucu Jheibo. Ray mengambil Jheibo dan menaruhnya ditangan. “Terimakasih
ya Jhei, sudah membantu kami”.
Jhei
tersenyum manis pada Ray. Dia lalu berbaring manja ditangan Ray yang mampu
membuat Fiko dan Ray tertawa menyaksikan kelucuan Jheibo.
Diluar
sana hujan mulai turun dari atas langit membasahi tanah yang kering. Udara
dingin pun mulai merasuki tubuh Ray dan Fiko. Tak terasa cuaca dingin itu
membuat Fiko dan Ray semakin mempererat pelukannya dan memejamkan mata hingga
terlelap tidur.
Di
atas istana Hrewa Kufe, raja Sukaw tampak kesal karena ulah Diagta. “Dasar anak
tidak tahu diuntung Diagta itu. Aku sudah memberikan semua yang dia butuhkan di
Hrewa Kufe ini namun tetap saja dia menjadi orang yang pembangkang. Sudahlah
Cre, biar saja dia dibumi dan anggap saja kita memenjarakan dia secara mudah
disana. Aku juga sangat muak dengan lagaknya yang selangit itu”, kata Sukaw
pada Cre.
“Dia
yang meminta untuk tinggal disana tuan, jadi kita tak perlu memikirkannya”.
“Soal
orang itu kita lupakan saja. Aku hanya mau tahu bagaimana perkembangan tentang
Ray dibumi? Apakah kalian telah berhasil mengkapnya?”, tanya Sukaw.
Cre
terdiam sejenak sebelum menjawab pertanyaan Sukaw. “Sebetulnya, Ray dan Fiko
berhasil melarikan diri menggunakan Hajunba, tuan. Kami tidak bisa mengejarnya
lagi. Kami kehilangan jejak”, kata Cre.
“Apa?!!
Kamu bercanda denganku Cre?”, tanya Sukaw dengan nada meninggi.
“Maaf
kan kami Tuan. Jejak Ray tidak bisa kami diteksi. Maaf tuan, maaf”.
Sukaw
mengepalkan tangannya dan memukul pipi Cre. “Bodoh! Mengapa kalian yang merupakan yuari khusus bisa
sedungu ini? Kalian tidak membuat kematian Alian itu berharga? Dasar!!”. Sukaw
tampak marah besar kepada Cre.
“Saya
mohon maaf tuan. Kemampuan azzo itu sungguh diluar perkiraan kami”. Cre membela
diri.
“Aku
benar-benar marah, Cre. Cepat kamu pergi dari hadapanku sebelum aku
mengeluarkan linggi untuk mengirimmu ke upacara Uomamol”.
“Saya
permisi tuan”. Cre memberi hormat yuari pada Sukaw lalu segera meninggalkan
ruangan itu. Dia takut kalau Sukaw benar-benar memenggal kepalanya dan
mengirimnya keupacara kematian.
Langkah
kaki orang yang berlari terdengar jelas dilorong gang disalah satu sila Hrewa
Kufe. Entah siapa yang membuat suara itu, tetapi keadaan desa yang hening
membuat suara larinya semakin jelas terdengar dan mendekat. Orang itu tiba-tiba
lewat dengan membawa linggi api di tangannya. Siapakah dia?
Dia
berhenti dan mulai berjalan santai memasuki gang. Terlihat dia
berbincang-bincang dengan para yuari yang dia temui dijalan lalu yuari itu
mengikutinya. Dari wajahnya, tak salah lagi orang itu adalah Andnut yang sedang
mengejar seorang pencuri.
“Kalian
berpencar!”, perintahnya pada para Yuari.
Andnut
bisa dibilang yuari khusus yang menjadi ketua salah satu kelompok yuari. Dia
terkenal karena kemampuannya menggunakan linggi api.
Saat
itu dia sedang mengejar salah serang pencuri dirumah penduduk. Dengan berlari
cepat dia mengejar pencuri itu. Gang-gang telah dia lalui namun tetap tidak dia
temukan pencuri yang dia maksud. Dibalik sebuah tong sampah, tampak seseorang
tengah bersembunyi. Andnut menghampirinya dan menarik orang itu keluar.
“Berdiri
kamu!”, perintahnya.
“Ampun
tuan… jangan penggal kepala saya”, pinta anak perempuan itu.
“Dasar
pencuri kecil. Ayo ikut saya kemarkas Yuari”. Dia seret anak itu.
“Tidak….
Jangan… Jangannnn… Akkkkk!”, anak itu menangis dan histeris karena tidak mau
dibawa Andnut ke markas yuari. Dia tahu jika pencuri dibawa kesana maka akan
dihukum oleh yuari penghukum. Gadis lusuh itu terus menangis meronta-ronta dan
tak bisa berbuat banyak untuk melepaskan cengkraman tangan Andnut ditubuh
kecilnya.