Hunk Menu

Overview of the Naolla

Naolla is a novel which tells about life of Hucky Nagaray, Fiko Vocare and Zo Agif Ree. They are the ones who run away from Naolla to the Earth. But only one, their goal is to save Naolla from the destruction.

Book 1: Naolla, The Confidant Of God
Book 2: Naolla, The Angel Falls

Please read an exciting romance novel , suspenseful and full of struggle.
Happy reading...

Look

Untuk beberapa pembaca yang masih bingung dengan pengelompokan posting di blog ini, maka saya akan memberikan penjelasannya.
(1)Inserer untuk posting bertemakan polisi dan dikutip dari blog lain;(2)Intermezzo adalah posting yang dibuat oleh pemilik blog;(3)Insert untuk cerita bertema bebas yang dikutip dari blog lain;(4)Set digunakan untuk mengelompokan posting yang sudah diedit dan dikutip dari blog lain;(5)Posting tanpa pengelompokan adalah posting tentang novel Naolla

Sabtu, 29 September 2012

Naolla, The Confidant of Gods : Sicking in La Paz


Pemandangan senja yang tenang terbuai angin mulai menyapa Ray didepan pintu rumahnya. Dengan tubuh yang telah segar selepas mandi, Ray memejamkan mata menikmati hembusan angin yang menyentuh tubuhnya. Mata indahnya menatap langit senja yang jingga cerah dengan awan-awan yang tertata rapi. sungguh keagungan Sang Pencipta yang ditunjukkan lewat secarik langit senja. Helaan nafas panjang dari Ray mencoba menghirup udara sore yang dia rasakan ketenangannya. Wajah tampan dan manisnya terlihat sedang memikirkan sesuatu yang entah apa. Tangannya mengetuk-ngetuk lantai menggunakan ujung telunjuknya dengan ritme konstan. Ray tampaknya sedang melamun. Pikiran Ray masih tak karuan saat memikirkan kejadian tadi malam. Dia juga memiliki hati dan tentunya dia memikirkan apa yang Fiko rasakan. Fiko tentu sangat tidak terima dengan perlakuan Adam dan begitu pula Ray yang sangat mengutuk perbuatan Adam tadi malam.
Melihat Ray termenung didepan pintu, Fiko yang baru keluar dari arah dapur dengan membawa dua buah apel segar menghampirinya. Fiko mengambil posisi duduk disebelah Ray sambil menyodorkan apel di tangan kanannya.
Ray kemudian seperti tersadar dan langsung mengambil apel dari tangan Fiko.
“Terimakasih Fiko”. Ray menunjukkan senyum terpaksa.
Dengan sebuah gerakan mulut, Fiko menggigit apelnya. “Hmmmmm… Enak sekali Ray. Coba kamu makan apelnya. Aku tadi beli dari nyonya Ichi”, kata Fiko sambil tangannya menyuruh Ray menggigit apel pemberiannya.
Ray hanya tersenyum dan seperti agak ragu dia menggigit apel itu sedikit. Gerakan rahangnya terlihat pelan menikmati tekstur renyah dari daging buah apel itu.
“Bagaimana rasanya Ray? Enak?”, tanya Fiko sambil kembali menggigit apel ditangannya.
Ray mengangguk kemudian dia berkata, “Enak sekali rasa apel ini. Manis lagi”.
Mereka tersenyum bersama-sama sambil menikmati indahnya langit senja dari tempat itu. Ray mulai merasa lebih baik dan kembali tersenyum seperti biasa. Ini semua berkat Fiko.
“Gigit Ray… Aaaa…Am…”, Fiko kembali menyuruh Ray menggigit apel. Selagi Ray mengigit apel yang Fiko arahkan kebibir Ray, Fiko pun mendekatkan bibirnya kesisi lain dari apel tersebut dan mengigitnya berbarengan dengan Ray. Tatapan mereka bertemu sesaat namun Ray menepisnya dan segera menuntaskan gigitannya. Sepertinya Ray masih merasa malu pada Fiko.
Fiko menggigit apel itu dan mengunyahnya. Mata Fiko tak beralih dari wajah Ray. Mata itu seperti ingin menyampaikan sesuatu yang artinya Fiko selalu menyayangi Ray.
 Mereka berdua terdiam sejenak untuk menikmati kunyahan dimulut mereka. Mata Ray sekarang tak berani beradu pandang dengan Fiko dan dia hanya bisa tertunduk menatap kebawah. Mungkin Ray malu menatap mata Fiko yang sangat tulus padanya. Ray merasa sudah tak pantas lagi mendapatkan cinta Fiko itu. Walau kejadian itu bukanlah keinginannya namun dia kini sudah tidak sepenuhnya utuh untuk Fiko. Semua yang ada dipikirannya mulai berkecamuk hebat dan bergejolak. Guncangan kebingungan yang tak bisa dia pahami untuk apa dan bagaimana ini terjadi pada hatinya. Jika ketulusan yang Fiko tunjukkan tak bisa meredam hempasan kebingungan di pikiran Ray, maka saat inilah Ray berada disituasi yang sulit untuk dijelaskan.
Sikap dewasa Fiko menyuruhnya untuk memegang tangan Ray dan berusaha mencari tahu kegalauan hati yang Ray rasakan saat ini.
“Tatapan apa itu barusan Ray? Kamu masih sayang kan denganku?”. Inilah yang bisa Fiko tunjukkan saat ini pada Ray.
Ray membisu dan tak tahu harus mengatakan apa pada Fiko. Disatu sisi dia sangat tak ingin kehilangan Fiko tetapi disisi lain dia merasa sudah tidak pantas untuk menjadi Kekasih Fiko.
“Ray? Aku cinta kamu bukan karena apa-apa. Aku cinta kamu karena kamu pantas untuk aku cintai. Salahkah aku mencintaimu Ray? Disaat aku yakin dengan dirimu, aku tak pernah memikirkan hal lain yang mungkin lebih berarti untuk hidupku. Sekarang dan nanti, aku ingin kamu adalah satu-satunya orang yang sangat berarti”. Wajah tampan Fiko mulai memelas sebuah jawaban dari Ray.
“Seberapa pantas aku menjadi kekasihmu Fiko? Aku sekarang sudah tidak seperti dulu lagi”. Ray berusaha menjelaskan alasannya. “Aku …”.
“Sttttt”, Fiko meletakkan ujung telunjuknya di bibir Ray. “Tak pantas bibir manis ini mengucapkan kata-kata itu Ray. Sadar atau tidak, kamulah orang yang mampu merubahku. Kamu itu spesial bagiku”. Tatapan Fiko sangat meyakinkan Ray.
Ray menatap dalam-dalam mata Fiko yang melihatnya dan menemukan suatu ketulusan itu. Fiko menecup tangan Ray lalu memeluk tubuh Ray.
“Terimakasih banyak Fiko. Aku juga sebenarnya sangat menyayangimu namun aku hanya merasa kebingungan saja saat ini. Aku sadar bukan apa-apa yang menjadi sesuatu tetapi sesuatu lah yang menjadi apapun”. Ray merasakan kehangatan dekapan tubuh Fiko.
Ketika mereka asik berpelukan, dari arah dahan pohon besar yang rindang didekat rumah mereka, suara seseorang membuat Ray mendorong tubuh Fiko yang memeluknya. Suara siapakah itu?
“Tuan Fiko Vocare yang terhormat. Tidak aku sangka anda mencintai Ray. Hahaha…”,kata lelaki itu dari balik lebatnya daun pohon.
Fiko bangkit berdiri dan melihat keatas pohon yang merupakan asal suara itu. “Siapa anda?!”, tanya Fiko.
Orang itu tidak langsung menjawab dan kemudian dia turun melompat dari atas pohon ketanah. Pakaiannya yang hitam tampak tak asing dimata Fiko.
“Yuari?”. Fiko tampak kaget melihat pria itu.
“Kaget? Takut? Tak perlu memasang wajah seperti itu didepanku tuan. Aku tahu anda adalah orang yang sangat kejam. Sekarang anda boleh melihat saya dengan tatapan begitu, tetapi setelah itu anda harus bersiap-siap untuk meregang nyawa ditangan kami”, ancam Alian yang masih berdiri tegak.
“Kami? Dimana teman-temanmu?”. Fiko mulai siaga.
“Aku disini tuan”, panggil Koloji dari balik batang pohon.
“Disini juga ada tuan”. Cre melompat dari atap rumah Ray kemudian menghampiri Alian.
“Wah… Aku terakhir deh memperkenalkan diri. Aku Vehu tuan. Salam kenal…”, kata Vehu setelah keluar dari atas pohon.
“Kalian pasti yuari Vocare. Apa mau kalian kemari, hah?!”, tanya Fiko yang mulai agak marah.
“Wah ternyata galaknya sudah mulai keluar. Takut….”, ejek Cre.
“Ray manis… Sini ikut aku ke Naolla”, kata Koloji sambil menggerak-gerakkan jari telunjuknya. Dia berjalan mendekati Alian. Matanya beradu pandangan dengan Fiko yang tampak tidak senang dengan kehadiran para Yuari itu.
“Siapa kalian ini?”, tanya Fiko memperjelas keadaan.
“Ehem-ehem. Baiklah langsung saja saya perkenalkan diri. Saya adalah Alian, ini Creasa Fru , Vehu Te dan Koloji. Kami adalah Yuari khusus yang ditugaskan untuk membawa Ray ke Naolla. Sekarang kamu tidak usah berlagak kuat didepanku. Kamu tak lebih dari pelarian saja dimata para yuari Vocare”, kata Alian.
Fiko menatap mereka dengan pandangan waspada. Ray yang ada dibelakang Fiko berdiri mendekati Fiko dan Fiko melindungi Ray dibelakangnya. “Kamu tetap berada didekatku Ray. Mereka berempat bukan musuh sembarangan”.
Alian bergerak maju dengan santainya menuju ke arah Fiko. “Buat apa anda melindungi azzo tak berguna itu, tuan Fiko? Anda adalah seorang raja. Pernahkah anda berfikir untuk menjadi raja yang hebat dengan memiliki azzo itu ditubuh anda?”, tanya Alian sambil mendekat.
“Berhenti! Jangan coba-coba mendekat kearah kami lagi! Berhaenti!”, perintah Fiko.
“Hahaha… Siapakah anda? Kami hanya patuh pada perintah tuan Sukaw. Anda bukan apa-apa jika dibandingkan dengan kami berempat. Mungkin dulu anda adalah seorang yuari hebat di Hrewa Kufe, tetapi lihat tubuh anda. Anda yang terhormat itu sudah kehilangan taji nya”. Alian semakin dekat kearah Fiko.
“Ray… Tolong percaya padaku”. Fiko tampaknya sudah bersiap-siap mengeluarkan linggi api ditangannya. “Mundur! Hiatttt!!!!”. Subuah linggi api keluar dari tangan Fiko dan dia lemparkan kearah Alian.
Alian dapat menghindari linggi itu dan terus berjalan mendekati Fiko. Sekali lagi Fiko membuat linggi dan dia lemparkan ke Alian namun lagi-lagi masih bisa Alian hindari. Setelah itu, Fiko bertubi-tubi melemparkan linggi yang kesemuanya bisa dihindari Alian dengan mudah.
“Jangan meremehkan aku tuan Fiko!”. Alian mengeluarkan linggi batunya yang cukup besar dan dengan sekali hentakkan ketanah mampu membuat tanah itu retak menganga hingga kearah Fiko.
Fiko kaget dengan apa yang baru saja dilihatnya. Fiko membuat linggi dan dengan cepat menuju Alian sambil berlari. Melihat itu, Alian tak tinggal diam dan segera membuat linggi untuk melawan Fiko. Adu linggi tak bisa terhindarkan. Pertarungan antara satu melawan satu itu tampak sengit dan masing-masing tak mau kalah. Inilah yang dinamakan Fiko pertarungan untuk melindungi sesuatu yang dia cintai. Para Yuari yang notabenenya memiliki fisik beotot kekar akibat latihan itu memang tak bisa dipungkiri memiliki kemampuan hebat dan patut di acungi jempol untuk kepiawaian mereka bertarung dan menggunakan linggi. Fiko yang merupakan mantan Yuari terbaik Vocare tampak seimbang melawan Alian. Linggi-linggi hebat tampak sesekali memercikkan api kesekitar area pertarungan mereka berdua. Entah mengapa tiga orang yuari yang berdiri didepan sana tampak tak mau memperdulikan temannya yang bertarung. Mungkinkah mereka acuh atau memang mereka mempunyai kemampuan yang hebat sekali sehingga merasa cukup melawan Fiko hanya dengan satu orang.
Mata Ray terus mengawasi ketiga orang itu dan tetap waspada. Tiba-tiba dua orang yuari yang berada didepan sana sudah menghilang dan tak tahu entah kemana. Mereka lenyap dari pandangan Ray. Ray meningkatkan kewaspadaannya kesekitar tempat dia berdiri. Hari yang telah gelap membuat pandangan Ray tak sejelas tadi lagi. Ray benar-benar gugup dan berkeringat dingin melihat kekiri dan kanannya. “Kemana mereka pergi? Aku harus berusaha melawan mereka”.
Dari arah atap rumah, munculah Koloji dan Cre dan mereka melompat kearah Ray. Ray kaget dan tak bisa menghindar lagi. Dia terjatuh dan berhasil ditangkap Cre.
“Sudah aku bilang kan, Koloji, bahwa azzo ini sangat lemah”, kata Cre sambil menangkap kedua tangan Ray ditanah.
“Jangan macam-macam kalian!”. Ray berusaha berontak melepaskan tangannya.
“Marah dia. Ayo kita cepat bawa”, kata Koloji.
“Fiko!”, teriak Ray.
Fiko yang masih melawan Alian menengok ke arah Ray dan membuatnya lengah sehingga bahunya tertebas linggi Alian dan mengeluarkan darah.
“Jangan lengah Fiko!”, kata Alian.
Fiko memegang bahu kirinya yang mengeluarkan darah segar dan dengan sigap membakar linggi Alian. Fiko berlari mengejar Ray yang telah dibawa lari Cre dan Koloji. Ray terlihat dipanggul oleh Cre yang terus berlari memasuki rindangnya hutan yang gelap. Fiko benar-benar marah dan membuat linggi besar kemudian linggi itu dia lempar kearah Cre dan Koloji dengan kekuatan penuh.
Trakkkk!! Koloji menahan linggi Fiko dengan linggi batunya yang besar sampai dia sendiri terseret akibat saking hebatnya linggi Fiko. Cre yang terus menjauhi Fiko menuju lokasi hajunba terbuka yang Vocare janjikan. Vocare memang telah berhasil memodifikasi hajunba kuat khusus untuk membawa Ray ke Naolla.
“Dimana hajunba itu berada?”. Cre kebingungan menemukan lokasi hajunba.
Fiko yang semakin dekat dengan Cre akhirnya berhasil menyusul Cre dan dia pun langsung memukul Cre kuat-kuat hingga Cre ambruk bersama Ray ketanah.
Segera Fiko melepaskan ikatan ditangan Ray dan membawanya menjauh dari Cre. Namun dibelakang mereka telah berdiri tiga Yuari yang siap dengan linggi masing-masing.
“Hiaaatttt!”.
Fiko melindungi Ray dengan sekuat tenaganya dan penuh perjuangan. Ini akan menjadi perlawanan yang sulit mengingat tubuhnya yang sudah terluka dan musuh berjumlah empat orang membuat Fiko sangat terdesak. Ray yang melihat ini langsung bertindak untuk membantu Fiko. Dia mengambil dahan pohon dan menjadikannya tongkat. Tak disangka-sangka ternyata Ray sangat mahir melakukan atraksi menggunakan tongkat. Gerakan Ray tampak teratur dan tepat sasaran yang membuat Fiko sedikit terbantu. Ray tampak mengegerakkan tongkatnya dengan hebat hingga membuat para Yuari kewalahan menghadapi Fiko dan Ray.
“Tenyata azzo itu hebat juga”, kata Vehu yang terkena pukulan tongkat dilehernya.
“Lari Fiko!”. Ray tampak memanjat pohon dan Fiko pun mengikuti Ray.
Ray dan Fiko tampak cepat melompat dari pohon satu kepohon lain seperti seekor tupai.
“Kejar! Jangan sampai azzo itu lari!”, perintah Alian.
Para yuari itu mulai mengejar Fiko dan Ray. Diatas pohon mereka tampak terlibat adu lempar linggi dan sesekali hampir mengenai tubuh musuh-musuhnya.
“Gawat Fiko. Kita ternyata menuju desa”, ucap Ray panik.
Fiko terus melanjutkan larinya dan tak tahu harus lari kemana lagi selain menuju desa.
“Terpaksa Ray. Ayo kita tuntaskan, aku siap jadi tanganmu!”. Fiko melompat dari atas pohon ke atap rumah seorang penduduk dan kemudian turun ketanah. Ray juga melakukan hal yang sama.
Fiko dan Ray terus berlari menjauhi para Yuari melewati gang-gang di antara rumah penduduk. Cukup jauh juga mereka berlari sehingga tak tampak lagi para yuari yang mengejar mereka.
“Host.host.host.. Kita bersembunyi disini dahulu Ray”, ajak Fiko.
Mereka berbelok kearah sebuah tempat yang sepertinya adalah sebuah gudang milik penduduk. Dengan nafas terengah-engah Ray bersandar didinding gudang itu. “Kamu tidak perlu melinungiku dari linggi mereka Fiko. Karena sebenarnya linggi  akan terserap oleh tubuhku jika linggi-linggi itu masuk. Tubuhku memakan linggi”, kata Ray menjelaskan pada Fiko.
“Apa? Lalu apakah kamu tidak akan sakit seperti waktu itu?”, tanya Fiko.
“Tentu aku akan sakit. Namun karena ini darurat maka aku akan berusaha menghindari linggi karena aku hanya akan menyerap linggi dalam keadaan terpaksa”.
Fiko menggenggam tangan Ray dan tampak waspada melihat keluar. Tak ada tanda-tanda para yuari itu mengejar mereka. Ini aneh bagi Fiko. “Tampaknya ada yang tidak beres Ray”.
“Apa Fiko?”, tanya Ray.
“Para yuari itu tidak mengejar kita sampai sini. Ini mustahil untuk para yuari”. Fiko menatap Ray.
“Strategi. Pernahkah kamu memikirkan strategi terbaik untuk melawan para yuari seperti mereka itu, Fiko?”, tanya Ray serius sambil melepaskan pegangan tangan  Fiko di tangannya.
Fiko menggelengkan kepalanya.
“Ini kemungkinanku saja Fiko. Kalau mereka menjalankan rencana khusus, kita tidak akan tahu itu tetapi aku tahu bagaimana cara yang tepat untuk mengacau mereka. Mereka memiliki azzo tanah dan linggi batu jadi mungkin kah mereka menyerang kita menggunakan tanah disekitar sini?”, tanya Ray.
“Tidak mungkin Ray. Karena tanah di sini cukup luas dan mereka tidak mungkin menyebarkan azzo ditanah dengan cakupan seluas ini. Pengguna azzo juga memiliki batas untuk mengeluarkan azzo dari tanah”.
Ray berfikir sejenak dan kembali bertanya. “Apa yang membuat ini tidak mustahil?”.
Fiko menatap wajah Ray sepertinya dia mendengarkan sesuatu bergerak mendekati mereka.
Srrrrraaaakkkkkk!!! Sebuah linggi raksasa memotong rata setengah bagian rumah sehingga rumah-rumah penduduk tak memiliki atap lagi.
“Tolong… ...Tolong… …”, teriak para warga berhamburan keluar karena rumah mereka sudah ditebang para yuari.
Di tengah desa berdiri merapat berbentuk lingkaran para yuari diatas tangkai linggi tertancap yang sangat tinggi menjulang sekitar 20 meter dari tanah. Tubuh mereka yang tegap terpapar sinar rembulan yang terang. Angin malam sesekali meniup tubuh mereka.
“Itu mereka! Ini mustahil Ray, linggi tadi benar-benar mesin pembunuh yang hebat. Para Yuari ini memang tak bisa kita hadapi dengan keadaan seperti ini”, kata Fiko sambil memeluk Ray dan berusaha melindunginya.
“Siap atau tidak, kita tak boleh mengorbankan keselamatan penduduk pulau ini Fiko. Kita harus bertindak”. Ray bangkit dan bergerak keluar persembunyiannya.
“ Yuari! Aku mau menyerahkan tubuhku pada kalian, asalkan kalian tidak berbuat macam-macam lagi”. Teriak Ray.
“Gila kamu Ray! Kamu sadar bahwa tubuhmu lah yang diharapkan oleh para yuari dan Sukaw”. Fiko mencegah Ray.
“Naolla ada disana dan Toshirojima disini. Aku akan melindungi orang yang aku lihat terlebih dahulu ketimbang yang tidak aku lihat, Fiko”.
Para Yuari melihat Ray.
“Itu dia si azzo sialan! Ayo kita selesaikan misi kali ini. Pintu hajunba sudah terlalu lama menunggu kita”, kata Cre.
Mereka mulai menggerakkan kaki dan entah apa tujuannya hingga tiba-tiba…
Krak-krak-krak-krak.. wushh… crak-crak! Apa yang tidak mungkin sekarang tampak sangat mungkin. Bagaimana bisa mereka sekarang mengeluarkan ribuan linggi dari dalam tanah sehingga lingi-linggi itu berterbangan mengenai apa saja di atas tanah.
“Berlindung!”. Ray menuju Fiko dan menjadikan dirinya penyerap lingi-lingi yang akan mengenai Fiko dari arah belakang.
“Ray?!”, Fiko berusaha mendorong Ray namun tak bisa. Fiko sendiri mengeluarkan linggi untuk menangkis ratusan linggi yang mengarah kepadanya.
Beberapa warga yang tak sempat menghindar atau bersembunyi tampak terkapar tak bernyawa.
“Fiko… Buyarkan konsentrasi mereka diatas sana dengan melempar linggimu! Cepat!”, perintah Ray.
Fiko langsung megeluarkan linggi sambil terus berusaha menangkis lingi-linggi didepannya. Fiko melemparkan linggi api nya ke arah para Yuari namun belum sampai linggi itu mendekati sasaran, para Yuari telah berhasil menangkisnya.
“Bertubi-tubi Fiko! Kerahkan semua yang kamu bisa”, kata Ray.
Fiko berusaha membuat linggi dalam jumlah banyak dan melemparkannya bertubi-tubi kearah para Yuari.
“Terus Fiko. Terus!”, dorong Ray agar Fiko terus berusaha.
Ray mulai memperhatikan jurus para yuari itu. Mata Ray yang teliti dengan cepat menangkap kejanggalan jurus para yuari diatas sana.
“Terus Fiko. Kita bergerak mendekati tiang itu. Aku sepertinya tahu sesuatu”. Ray berlari menuju para yuari.
Fiko mengikutinya dan terus melempar linggi kearah Yuari sambil dia sendiri menangkis dan menghindari linggi-linggi yang keluar dari tanah.
Drap,drap,drap,drap,drap… Bunyi langkah kaki Ray dan Fiko yang berlari mendekati tempat para Yuari itu.
Entah apa yang ada dipikiran Ray, tetapi sepertinya dia tahu apa yang akan dia lakukan. Yuari-yuari itu masih saja menyerang Ray dan Fiko menggunakan linggi-linggi yang keluar dari tanah. Memang mereka tidak mengetahui kemampuan Ray yang bisa menyerap linggi sehingga mereka terus berusaha menyerang Ray.
Fiko mulai memikirkan cara lain yang mungkin bisa mengatasi serangan linggi tanah ini. Dia mulai melihat jenis linggi yang digunakan para yuari musuhnya untuk tempat berpijak diatas sana. Linggi bertangkai panjang itu memiliki mata kapak yang mirip seperti cula badak. Dengan kemampuan tingkat tinggi seperti itu, dia pasti bisa membuat linggi sebesar yang dimiliki para yuari. Fiko kemudian memeperhatikan arah linggi yang keluar dari tanah yang sedari tadi dia tangkis dan hindari. Fiko mulai menganalisa, “Teryata linggi-linggi ini hanya memiliki arah serang pendek. Dia tidak akan mampu mencapai tempat-tempat yang tinggi lebih dari dua meter. Aku akan coba naik ke reruntuhah bangunan itu”. Fiko mulai menuju sebuah puing bangunan yang dia yakini memiliki tinggi lebih dari dua meter dan naik keatasnya. Benar saja setelah Fiko naik keatas bagian bangunan itu, linggi-linggi yang menyerangnya tadi tidak lagi bisa menyentuhnya. Melihat itu Fiko langsung mengeluarkan lingginya dan melemparkannya ke para yuari. Namun ternyata tak semudah kelihatannya, dia tetap tak bisa mengenai para yuari karena para yuari itu juga bisa mengeluarkan linggi dari ganggang kapaknya.
Fiko menghindari linggi-linggi itu. “Sial!”.
Ray yang sudah berada didekat mata kapak raksasa itu mulai menekan tangannya ke ujung mata kapak dan menyerap salah satu linggi itu kedalam tubuhnya.
“Argghhhh…!!!”, Ray kesakitan menyerap linggi itu.
“Apa yang terjadi ini? Bagaimana bisa?”. Alian tak mengerti dengan keadaan lingginya yang tiba-tiba tenggelam kebawah.
Hujaman linggi yang keluar dari tanah dan ganggang linggi tadi kini berhenti.
“Argghhhh… Hiattttt… Fiko!! Linggi!”, Ray meminta Fiko untuk mengeluarkan lingginya.
Fiko mengerti dan dia dengan cepat menuju Ray dan mengarahkan linggi apinya kearah Alian yang sedang terjatuh. Dengan sekali tebasan, Alian sudah tidak bernyawa dan terjatuh ketanah.
Sementara Ray akhirnya pingsan dan jatuh tak sadarkan diri setelah menyerap linggi yang begitu besar. Hidung Ray mengeluarkan darah segar. Fiko yang melihat ini langsung mendatangi Ray dan menggendongnya. Fiko hanya ingin membawa Ray sejauh mungkin dari tempat itu. Koloji, Cre dan Vehu turun kebawah mendatangi jasad Alian. Mereka tampak sedih dan marah. Air mata Cre menetes dipipinya dan mengangkat tubuh tak bernyawa Alian untuk dia gendong ke tempat hajunba. “Kalian berdua lanjutkan misi ini. Azzo itu ternyata cukup sulit untuk dikalahkan. Cepat!”, perintah Cre pada Vehu dan Koloji.
Vehu dan Koloji pun segera pergi mengejar Fiko yang membawa Ray.
Fiko tak tahu harus kearah mana lagi selain kedermaga dan masuk kedalam salah satu perahu milik nelayan untuk bersembunyi.
“Ray… Tolong jangan begini Ray. Ray… Maafkan aku Ray. Aku tidak bisa menjagamu. Ray sadar, Ray”. Fiko memeluk Ray erat-erat namun Ray tetap tak sadarkan diri.
Fiko meneteskan air mata dan mengusap darah dihidung kekasihnya itu. Fiko benar-benar tak bisa menjaga Ray dengan baik. Dia tidak bisa melindungi Ray seperti yang dia janjikan pada tuan Loka. Bahkan kali ini, Fiko lah yang merasa di lindungi Ray.
“Fiko”, panggil suara dari luar jendela. “Fiko”. Suara itu terdengar lagi sehingga membuat Fiko waspada.
Fiko merebahkan tubuh Ray dilantai dan mengintip keluar jendela perahu nelayan itu. Dia tak melihat apa-apa. Jheibo yang memanggil nama Fiko tadi mendekati Fiko. Dia membuat Fiko kaget dengan kemunculannya yang tiba-tiba. Jheibo menyerahkan hajunba yang dititipkan padanya untuk Fiko.
“Apa ini? Siapa kamu?”.
“Aku Jheibo. Itu hajunba”, jawabnya singkat.
Fiko melihat Jheibo yang cukup asing dimata Fiko. Dia mengingat-ingat sedikit tentang Jheibo dan dia temukan diingatannya apa itu Jheibo.
“Kamu dari Naolla? Apakah kamu diminta oleh Loka untuk membantuku dan Ray?”, tanya Fiko yang dijawab Jheibo hanya dengan anggukan. Fiko tahu bahwa Jheibo tidak boleh berbicara terlalu banyak.
“Hajunba itu hanya bisa digunakan satu kali semalam”,kata Jheibo.
“Bagaimana cara menggunakan hajunba ini?”, tanya Fiko lagi.
Jheibo bingung mau jawab apa karena dia sudah tidak bisa mengucapkan kata-kata lebih dari tadi lagi. Maka Jheibo mengambil hajunbanya dan menaruhnya ditepi jendela kemudian dia buka jendelanya yang tiba-tiba tampak sebuah kawah gunung besar yang memiliki air berwarna biru. Namun tak lama kemudian kembali seperti semula lagi setelah beberapa detik. Jheibo kembali mempraktekkan bahwa sebelum hajunbanya tertutup, mereka harus mengambilnya kembali.
Fiko masih agak kurang paham. “Jadi hajunba ini hanya perlu beberapa detik untuk stabil setelah itu hilang lagi?”.
Jheibo mengangguk dan mengambil hajunba yang belum dia gunakan untuk Fiko simpan digenggaman tangannya. Hajunba yang telah digunakan tadi dia taruh dicelana Fiko seperti memberi tahu bahwa hajunba itu malam ini sudah tidak bisa digunakan lagi.
Fiko mulai paham dengan apa yang disampaikan Jheibo. Dengan kata lain, mereka hanya memiliki satu kesempatan lagi untuk bersembunyi atau kabur dari pasukan yuari menggunakan hajunba itu.
“Ini yang terakhir. Ayo kita keluar dari tempat ini”, ajak Fiko pada Jheibo. Dia menggendong Ray dan keluar meninggalkan kapal.
Ternyata diluar kapal telah berdiri Vehu dan Koloji dengan wajah yang sangat tidak bersahabat menatap Fiko. Mereka menggenggam linggi di tangannya. Ini memang sulit bagi Fiko yang harus dihadang oleh dua orang yuari dalam situasi yang tidak menguntungkan seperti ini. Ray masih tidak sadarkan diri sedangkan dia sendiri terluka. Fiko tampak agak ragu untuk melangkahkan kaki kearah mana. Mungkin Fiko berfikir bahwa dia sekarang tak bisa lagi lari menghindar keculai dia melawan kedua yuari itu.
“Penasaran aku dengan azzo itu. Aku baru tahu ternyata dia kebal pada linggi”,Vehu mendekat kearah Fiko.
“Aku juga tidak habis fikir tentang azzo itu. Sepertinya dia sengaja terlihat lemah untuk mengelabui kita dan Naolla. Aku hanya ingin memastikan satu hal saat ini. Yang sebenarnya hebat itu, Fiko atau Dia?”, kata Koloji.
“Jangan banyak bicara lagi, ayo kita buktikan sekarang juga!”. Vehu berlari menuju Fiko sambil mempersiapkan linggi ditangannya.
Koloji pun tak mau hanya tinggal diam maka dia pun mengikuti langkah Vehu dan menyerang Fiko. Ini sebetulnya situasi yang tidak menguntungkan bagi Fiko. Jheibo melekat pada leher Fiko bagian belakang. Fiko berusaha menghindari linggi-linggi yuari dengan melompat keatas kapal dan menendang berang-barang apa saja yang dapat dia gunakan untuk membelokan atau melumpuhkan pergerakan linggi para yuari. Beberapa kali melakukan hal yang sama ternyata tak ada perubahan. Para yuari masih terus mengeluarkan linggi dan Fiko tidak mempunyai barang-barang disekitar jangkauan kakinya untuk ditendang lagi. Dengan penuh perhitungan, Fiko hanya dapat menghindari linggi-linggi yang mengarah kepadanya. Fiko masuk kedalam kapal dan menutup pintu. Trak! Sebuah linggi tertancap tembus dipintu dan hampir mengenai kepala Fiko.
“waduh, hampir saja”. Fiko mengunci pintu kapal dan menjauh dari pintu itu. “Jhei,sepertinya sudah tak ada waktu lagi. Ambil hajunba dikantongku yang satunya sekarang juga dan cepat kamu buat jalan pelarian”, pinta Fiko.
Jheibo langsung menuju kantong Fiko dan mengembil hajunba didalamnya. Dia meletakkan hajunba itu di jendela kapal agar bisa membuka dimensi ruang ketempat lain.
Brrrruuuaaakkk! Para yuari berhasil mendobrak pintu dan masuk kedalam kapal. Untung saja Jheibo telah berhasil membuka hajunba dan Fiko sudah masuk kedalamnya beserta Ray. Para yuari mengejar mereka namun tak sempat karena hajunba itu sudah hampir tertutup. Jheibo mengambil hajunba yang mereka pakai dan buru-buru masuk kelubang hajunba yang semakin kecil itu. Beruntung ukuran tubuh Jheibo menyelamatkan nyawanya diakhir-akhir pelarian.
“Sial! Mereka ternyata memiliki hajunba!”, kata koloji setelah terlambat menangkap Jheibo.
Dimensi ruang kali ini membawa Fiko, Ray dan Jheibo kesebuah tempat yang asing bagi mereka. Tempat ini merupakan kawasan perkotaan yang teratur dan tentu sangat berbeda dari Toshirojima. Mereka sedang berada diatas sebuah gedung yang tinggi. Fiko melihat kebawah sana. Entah mengapa Fiko kaget dan segera menjauh dari tepi atap gedung tersebut agar tidak jatuh.
“Tempat apa ini? Dimana kita Jhei? Ini sangat aneh bagi ku. Bukankah hajunda itu dimensi ruang saja tetapi mengapa disini pagi hari. lihat matahari itu Jhei. Itu matahari yang baru keluar dari persembunyiannya. Ini pagi hari! ini mustahil”. Fiko agak kikuk dengan situasi sekitar. Dia tengah berada di lantai empat sebuah gedung yang masih dalam tahap pengerjaan. Fiko melihat ada tangga disudut sebelah sana dan dia menuruni tangga itu agar sampai kebawah.
Perkotaan yang berada disamping bukit dengan gedung-gedung yang padat membuat Fiko sangat waspada dengan daerah barunya itu. Fiko menuju jalanan dan dijalan itu dipenuhi mobil-mobil yang berlalu lalang. Hampir saja Fiko tertabrak.
“Hai, kalau menyeberang jangan asal begitu!”, tegur seorang pria tua dari dalam mobilnya.
Fiko hanya melirik sebentar kearah mobil itu dan melanjutkan untuk menyeberang jalanan. Kota besar itu tampak kering dan tidak sesejuk Toshirojima. Di samping kota tampak bukit-bukit yang menunjukkan kekokohannya. Fiko terus berjalan menyusuri jalanan sampai dia berpapasan dengan salah seorang pria muda yang cukup tampan. Fiko bertanya kepada lelaki itu. “Maaf, saya boleh bertanya sesuatu?”.
“Ya silahkan”. Pria itu tampak ramah.
“Ini dimana? Kota apa ini? Apakah ini masih dibumi?”, tanya Fiko bertubi-tubi.
Lelaki itu mengernyitkan dahi tanda kurang mengerti. “Ya ini bumi. Aneh kamu. Ini di La Paz. Apakah kamu bukan orang bumi?”, tanya pria itu sedikit menyelidik.
“Oh, maksud saya. Kota ini sangat indah dan ini tampak seperti bukan dibumi”, Fiko berkelit.
Jheibo perlahan masuk ke dalam baju Ray. Dia tak ingin kelihatan orang itu.
“Terimakasih atas pujiannya. Kenapa temanmu itu? Kelihatannya kalian sedang terluka?”.
“Iya kami…”, Fiko berfikir sejenak untuk mengatakan alasan yang tepat agar orang itu tak curiga. “Kami baru saja dirampok. Ya dirampok”.
“Wow, Kasihan. Kenalkan namaku Alvaro”, dia mengulurkan tangan.
Fiko menyalami orang itu sambil berkata, “Aku Fiko dan ini Ray”.
“Kalian tampaknya bukan orang sini. Ayo aku antar kalian keklinik didekat sini. Temanmu itu harus segera dapat pertolongan dan tampaknya lukamu juga perlu diobati”. Orang itu mengajak Fiko mengikutinya kesebuah klinik kesehatan yang tidak jauh dari situ. Mereka berjalan melewati trotoar.
“Kalian dari mana?”.
“Kami dari Toshirojima”.
“Dimana Itu? Aku baru dengar”. Alvaro menatap kearah Ray yang tengah tergolek pingsan dipunggung Fiko.
“Itu di Jepang. Kalau ini dimana? Apakah waktu disini berbeda dengan Toshirojima?”, tanya Fiko.
“Kamu baru kali ini kesini, ya? Ini di Bolivia. Tentu waktu disini sangat berbeda jauh dengan Jepang. Mungkin disana sekarang malam hari”, kata Varo.
Sekarang Fiko mulai paham dengan keadaan disini. Jadi sebenarnya tadi dia tidak melewati dimensi waktu tetapi memang sedang berada di zona waktu yang memiliki selisih cukup jauh dengan Jepang makanya hari masih pagi ditempat ini. Dengan mengetahui itu, Fiko sedikit tenang melangkahkan kakinya mengikuti pemuda tampan yang baru dia kenal. Kelihatannya dia pemuda yang baik. Ini kali pertamanya Fiko dan Ray menginjakkan kaki di belahan bumi lain selama bersembunyi. Walau yang pertama tetapi tidak membuat Fiko takut atau bingung mau berbuat apa, tetapi dia hanya berusaha lagi untuk membaur dengan orang-orang yang baru dia kenal.
Langkah kaki mereka menyusuri jalan telah sampai pada sebuah klinik kecil diantara deretan toko-toko. Alvaro masuk keklinik tersebut dan berbicara pada seorang petugas disana kemudian Fiko disuruhnya membawa Ray kedalam untuk segera mendapatkan pertolongan.
Waktu berjalan cukup sepat sehingga tak terasa hari telah siang. Fiko yang telah berada dirumah Alvaro sekarang tengah berganti pakaian. Pakaian itu dipinjamkan Alvaro untuk Fiko. Walau tubuh Alvaro kekar dan tinggi, tetapi ternyata tubuh Fiko memiliki ukuran lebih besar sehingga baju Alva yang dia kenakan agak pas dengan bentuk tubuh Fiko yang berotot.
“Wah, ternyata masih terlalu nge-pas ya baju itu”, kata Alva.
“Oh tidak apa-apa. Aku berterimakasih karena kamu telah mengijinkan Aku dan Ray untuk tinggal disini sementara waktu”, ucap Fiko sambil menatap tubuhnya dicermin.
Alva kembali menutup lemarinya.
“Gawat!”. Fiko tampak seperti terkejut dan buru-buru mencari baju kotornya di tempat cucian kotor milik Alva. Dia ambil baju itu dan dia kibas-kibaskan, tetapi tetap tidak dia temukan.
“Ada apa Fiko?”.
“Lihat bunga berwarna biru dibaju ku, tidak?”. Wajah Fiko agak cemas.
“Bunga? Biru? Tidak ada. Kamu memangnya membawa bunga tadi?”.
Fiko mengecek kedalam tempat baju kotor itu dan mengeluarkan seluruh isinya dilantai lalu dia cari disetiap baju dan celana kotor itu. Tak ada tanda-tanda bunga yang dia cari. Bunga itu adalah Jheibo. Kemana Jheibo? Jangan-jangan terjatuh dijalan dan terlindas mobil.
“Aneh kamu ini Fiko. Pria se-macho kamu suka bunga”. Alva ikut mencari bunga yang dicari Fiko.
Dari arah jendela kamar itu,tampaklah seekor hewan aneh merangkak masuk kejendela. Dia sepertinya tak bisa terbang lagi. Dengan susah payah di masuk kejendela kamar Alva dan akhirnya terjatuh kelantai. Bentuknya yang kecil berwarna biru langsung menarik perhatian Fiko.
“Jheibo?”. Fiko menghampiri Jheibo dan meletakkan Jheibo di telapak tangannya.
Jheibo tergolek lemas dan akhirnya menggulung menjadi bunga. Selain karena terdesak, Jheibo juga bisa menggulungkan badannya mirip seperti bunga pada saat dia tertidur. Fiko membawa Jheibo ke ranjang yang telah ditempati Ray yang masih tertidur. Jheibo ia letakkan di samping Ray.
“Apa itu yang kamu cari tadi? Aku baru tahu ada bunga yang bisa bergerak seperti dia”. Alva mengamati Jheibo.
“Ini… i-ni… sebenarnya bukan bunga tetapi serangga langka dari Toshirojima. Hehe… “. Fiko tampak menutupi sesuatu.
Fiko melihat ada sisik Jheibo yang terlepas dan mungkin ini dikarenakan Jheibo tertabrak atau terjatuh. Fiko menyentuh kening Ray dengan punggung tangannya untuk mengecek apakah demam Ray sudah turun.
“Oh iya, kamu kakaknya Ray? Dia sebenarnya kenapa?”, tanya Alvaro.
“Begitulah. Dia saudara tiriku, Kami berdua beda ibu. Ray sepertinya mengalami sakit yang aneh, dia tidak bisa men.. maksudku berektifitas terlalu keras. Kondisi tubuh Ray tidak bisa mentolerir pengeluaran tenaga yang berlebihan”. Fiko membohongi Alva.
Alvaro hanya mengangguk-angguk tanda dia paham. “Aku mau keluar dulu ya. Kamu beristirahat saja disini dan anggaplah ini rumahmu sendiri. Mungkin aku sore nanti baru pulang”. Alvaro meninggalkan Fiko dan Ray dikamarnya. Sepertinya dia memang orang yang baik karena tidak sedikitpun dia menaruh curiga pada Fiko dan Ray padahal mereka adalah orang yang baru dia kenal.
Asap mengepul diatas bangunan Hrewa Kufe yang menandakan bahwa Vocare sedang berduka. Dari arah jembatan penghubung ke Hrewa Kufe tampak rombongan dengan beberapa kaguka sedang membawa sesosok tubuh ketengah jembatan. Sukaw dan para petinggi Istana Hrewa Kufe juga tampak di rombongan itu. Ini merupakan penghormatan terakhir yang mereka berikan pada Alian yang telah gugur dalam tugas. Mereka semua akan melaksanakan upacara Uomamol atau upacara kematian. Pada Uomamol, jasad yang telah mati akan dipersembahkan kepada ikan. Warga Vocare percaya  bahwa jasad yang dimakan ikan sampai habis akan menuju tempat terindah dengan mengendarai ikan. Upacara ini dipimpin oleh tetua Vocare bernama Xucla.
“Segera kita mulai Sukaw?”, tanya tuan Xucla memastikan.
“Silahkan paman Xucla”. Sukaw mulai mendekat kearah jasad Alian dan dia kemudian melakukan hormat Yuari dengan mengepalkan tangannya didahi sebagai penghormatan terakhir.
Setelah Sukaw, satu per satu para petinggi Hrewa Kufe melakukan hal yang sama lalu kemudian para sahabat dan Yuari yang ada untuk melakukan hormat secara bersama-sama.
“Dengan ini akan aku mulai. Sangalabai era ar tololabai bai bai la albijjo sruwe oko onnera sangalabai. Sangalabai eekza tfo tei araskiai sorzai. Uumoon ar xede qyoro arejutolla, ojazzhu, mared ka. Sangalabai, sangalabai kzab yuy laseruwnao coderar sorzai. Badi bhu amai, sorzai mizvalouammuco eekza ilbba sangalabai. Ao ar ia labai-ih sangalabai. Iyu laseruwnao, aibai Qu-Naollaza bai!”. Mantra upacara Uomamol telah selesai dibacakan tuan Xucla sambil merentangkan tangannya kearah danau.
Dibawah danau telah terdapat beberapa Sorze dan juga telah berjaga Minsha untuk memastikan jasad alian nantinya akan habis dimakan para Sorze. Para yuari telah mengangkat tubuh Alian yang telah diwarnai dengan warna merah. Jasad Alian diberi penjepit terbuat dari bambu hitam yang bermakna jasad telah siap untuk maninggalkan Naolla dan tidak akan menerima lagi rohnya.
Sukaw menganggukkan kepala tanda dia siap menyaksikan Uomamol tahap ini, pada para Yuari. Yuari-yuari itupun segera menjatuhkan jasad Alian kedalam danau Opgareca. Inilah cara penghormatan terakhir di Vocare.
Setelah jasad itu tercebur keair maka dengan segera para Sorze menyambarnya dan memakan habis jasad itu. Deburan air yang besar akibat sorze-sorze yang berebut jasad mencapai atas jembatan. Para Minsha hanya diam meliahat sambil mengawasi para sorze. Beberapa saat kemudian, deburan itu berhenti yang menandakan Uomamol telah berakhir. Para sorze pun kembali berenang kedasar danau dan meninggalkan lokasi itu.
Sukaw dan yang lainnya mulai membubarkan diri dan kembali ke Hrewa Kufe lagi. Uomamol memang terlihat sadis dan kejam tetapi itulah kepercayaan yang dianut Vocare. Disini penghormatan terakhir diperlihatkan sebagai penghargaan pada sang jasad atau sangalabai, dalam bahasa Naolla.
Diperjalanan pulang, terlihat Juyu dan Tuan Kamamuja sedang berbincang-bincang. Wajah tuan Kamamuja tampak serius ketika berbicara dengan Juyu. Bunyi langkah kaki mereka terdengar mengiringi percakapan itu.
“Aku tak habis pikir. Ternyata Ray memiliki kemampuan yang tersembunyi dan kita tidak tahu itu. Bagaimana bisa tubuhnya menyerap linggi? Mungkin kah ini dikarenakan dia seorang azzo?”, kata Juyu.
“Begitulah kata Vehu kepadaku tadi. Kemampuan Ray tentu akan merubah strategi penangkapan kita”.
Juyu melihat kearah belakang seperti takut kedengaran orang. “Apakah kita harus masuk kebumi dan mencari Ray?”.
“Gila saja. Kita tidak akan diijinkan Sukaw kebumi. Karena ini masih belum dikategorikan gawat”. Kamamuja mencoba menjelaskan.
Juyu terdiam sejenak. “Lalu siapa yang akan kita tugaskan sebagai pengganti Alian?”
“Aku tahu siapa orang yang sesuai”.
Mereka melanjutkan perjalanan menuju Hrewa Kufe. Puluhan orang yang baru bubar itu tampak menuju satu tempat yang tak lain adalah Punden megah yang menjadi pusat pemerintahan Vocare itu. Difu dan Aste dari tadi bercanda manis diatas langit Naolla seperti sedang main kejar-kejaran. Dedaunan kering berwarna kuning yang terbawa angin juga melayang jatuh melintasi jembatan dan singgah keatas danau. Disini begitu damai dan tentram tak ada yang mengusik kesenangan raja dan rakyatnya, namun diluar sana begitu banyak rakyat Naolla menderita akibat raja Sukaw.
***
“Apa! Mana bisa? Aneh kamu ini Juyu. Tidak mau ah. Malas aku”, tolak Diagta.
Juyu masih berusaha membujuk pria itu. “Kamulah yang bisa menjadi pengganti ketua pasukan khusus dibumi, Diagta. Kamu pasti bisa menghadapi Fiko dan Ray”, bujuk Juyu.
“Lho, kok aku? Aku kan bukan Yuari seperti kalian. Aku hanya orang lepas. Mana bisa aku melawan orang sehebat Tuan Fiko. Tidak mau aku”. Diagta kembali berjalan meninggalkan ruangan itu.
Juyu mengejarnya. “Tunggu Diagta. kamu memang bukan anggota Yuari tapi kamu punya kemampuan untuk itu. Walau kamu sering membuat kami jengkel, kamu tetap orang yang istimewa dimata Sukaw”.
“Aduhhhh… Jadi aku istimewa ya? Hahaha… Pergi sana, jelek!”.
“Ya sudah kalau begitu. Mungkin kamu akan segera diusir tuan Sukaw dari Hrewa Kufe”. Kata-kata Juyu seperti mengancam kemudian dia berbalik arah dan pergi.
“Hu-uh…”. Diagta menarik nafas sambil terus melanjutkan langkah kakinya.
Langkah kaki seorang pria melewati gang semakin cepat dan sedang terburu-buru.
“Ayo Zowm, lebih cepat lagi jalannya. Barang-barang tuan Vede tidak bisa naik keatas kapal dengan sendirinya”, ucap Xano memperingatkan Qwed agar mempercepat jalannya.
Qwed mengerti dengan perkataan Xano. Langkah kakinya dia percepat agar semakin lekas sampai kerumah tuan Vede. Tubuhnya yang besar sesekali menyenggol lampu jalanan.
Rumah besar itu sudah menunggu mereka dengan tumpukkan barang-barang yang telah terbungkus rapi daan siap dikirim menggunakan kapal ke tempat pemesan.  Didepan halaman telah berdiri tuan Vede yang berkaca mata menghitung jumlah barang yang akan dikirim. Beberapa orang kuli telah tampak mulai mengangkuti barang-barang tuan Vede menuju kekapal.
“Waduh, lama sekali kalian berdua ini. Ayo lekas bawa barang ini keatas kapal”, perintah tuan Vede sambil menunjuk kepada tumpukkan barang.
“Baik tuan”, sahut Xano.
Dengan segera Xano menghampiri barang itu dan menaruhnya dipunggung. Qwed juga ikut membantunya. Tenaga Qwed dibayar  menggunakan daun Hfuju. Walau begitu Qwed tetap semangat agar dia tidak terlalu membebani Xano. Qwed mengangkat delapan barang dalam sekali angkut sehingga dia disukai oleh tuan Vede. Barang-barang yang akan dibawa Qwed diikat terlebih dahulu menjadi empat barang satu ikat agar mempermudah mengangkatnya. Walau pada awalnya tuan Vede sempat menaruh curiga pada Qwed, tetapi dia tidak mempermasalahkannya dan mengijinkan Qwed membantu Xano.
Hanya beberapa kali mengangkut, semua barang itu sudah selesai diangkut oleh Qwed dan kuli-kuli lainnya. Untuk upah Qwed, tuan Vede sudah menyiapkan sepuluh lembar daun Hfuju segar dan Xano diupah sebanyak satu anuk bojce.
“Aku senang dengan hasil kerjamu Zowm. Kamu kuat sekali, hebat lagi”, puji tuan Vede sambil mengelus lengan Qwed.
“Ahhhggggg…”. Qwed mengangguk-anggukan kepalanya.
“Terimakasih tuan. Saya mau permisi dulu”, kata Xano.
“Iya”, ucapnya singkat.
Xano dan Qwed meninggalkan halaman rumah tuan Vede. Warna kuning tubuh Qwed masih belum luntur namun bukan berarti tidak akan luntur. Langkah kaki keduanya menuju kawasan pasar untuk membeli makanan. Disana ada warung langganan Xano jika ingin makan. Disamping warung sederhana itu terdapat sebuah pohon besar yang rindang sehingga Qwed bisa duduk disitu sambil menunggu Xano makan.
“Wah sudah saya cari-cari sejak tadi tuan Trop ini. Saya pikir anda tidak makan disini hari ini”, kata wanita tua penunggu warung yang sudah hafal dengan jadwal makan Xano.
“Bibi sudah hafal ya ternyata. Haha.. Igureto Klyu nya pakai Huni sedikit Bi”, pinta Xano.
Igureto Klyu adalah makanan dari hati ikan laut berukuran sedang yang dimasak seperti sup goreng ditambahkan beberapa sayuran setengah matang dan mentah lalu diletakkan diatas sunku kukus, biasanya di santap bersama Huni yaitu umbi yang telah direbus bercita rasa asam dan asin. Sunku yang digunakan biasanya hanya setengah biji saja mengingat ukurannya yang besar.
Tak berapa lama, sebuah pasor tiga sekat berisi Igureto Klyu, Huni dan Sunku tersaji di meja Xano. Igureto Klyu yang masih panas begitu menggoda mata Xano.
“Silahkan dinikmati tuan”,kata Bi Aumo setelah meletakkan pasor itu dimeja.
“Terimakasih ya Bi”. Fiko mulai mengambil alat makannya dam menyuapkan makanan itu kedalam mulutnya. Dia tampak begitu menikmati makanan kesukaannya tersebut. Sesuap demi sesuap makanan itu masuk kedalam mulutnya untuk dikunyah.
Beberapa menit kemudian makanan di pasor Xano telah habis. Xano kemudian membayar harga makanannya kepada wanita penjaga warung lalu pamit pergi. Dia tampak membersihkan sisa makanan yang masih tersangkut digiginya dengan menggunakan cuit gigi. Diluar warung telah menunggu Qwed yang masih mengunyah daun Hfujunya.
“Qwed, sudah makannya?”, tanya Xano.
“Grmmmm…”. Qwed masih sibuk mengunyah daun lezat itu tanpa mempedulikan Xano.
Xano mendatangi Qwed dan mengambilkan daun Hfuju yang masih utuh untuk diberikan ke Qwed. Qwed mengambilnya dan mengunyah daun itu. Xano bersabar menunggu Qwed yang tengah menikmati makanannya hitung-hitung dia sedang mencerna makanan yang dia makan tadi.
Daun terakhir telah selesai dikunyah Qwed. Tanpa dikomando lagi dia beranjak dari duduknya dan berjalan bersama Xano untuk segera menuju tempat kerja berikutnya yaitu pembelahan Leat.
Kita melihat sebentar kenegeri matahari terbit, ke pulau Toshirojima yang telah porak poranda akibat kejadian tadi malam. Tampak sebagian warga Toshirojima yang masih baik-baik saja membersihkan tempat yang masih bisa dibersihkan. Orang-orang yang terluka diobati dan jasad-jasad tak bernyawa diletakkan ditempat khusus. Dari kerumunan orang-orang itu tampak tuan Takeshi yang tengah mencari-cari Fiko dan Ray dibalik puing-puing reruntuhan bangunan. Dia mengais-ngais disekitar tumpukkan itu mengangkat satu per satu kayu yang menimbun rumah Ray tetapi tidak dia temukan jasad atau tubuh kedua orang itu. Dia terus saja mencoba menyingkirkan reruntuhan bangunan yang sekiranya menutupi ruangan penting dirumah Ray. Tampaknya memang tidak ada orang yang tertimbun dirumah itu. Kalau Ray dan Fiko tidak ada dirumah dan juga didesa, lalu kemana mereka? Inilah yang menjadi pertanyaan tuan Takeshi yang sudah mencari Ray dan Fiko sejak tadi.
“Tuan Shiba yakin bahwa Fiko dan Ray tidak ada dipulau ini?”, tanya tuan Takeshi pada tuan Shiba.
“Saya sudah menanyakannya pada penduduk namun mereka tidak menemukan Ray ataupun Fiko disekitar sini”. Tuan Shiba masih berusaha mencari keberadaan tetangganya itu dengan melihat-lihat ketumpukkan bangunan.
“Aneh. Pertama orang-orang jin itu sekarang Ray dan Fiko yang menghilang. Apa mungkin orang itu ada hubungannya dengan Fiko dan Ray?”.
“Sebenarnya sempat ada yang melihat Fiko dan Ray terlibat pertarungan dengan orang-orang itu namun tidak ada yang tahu apakah mereka selamat atau malah sudah meninggal”.
“Fiko…. Ray…. Kalian dimana? Apakah kalian masih hidup?”, teriak tuan Takeshi sambil menunduk kearah reruntuhan.
“Apakah mungkin mereka diculik orang-orang itu?”, tanya tuan Shiba.
“Mana mungkin. Lagian untuk apa orang-orang itu menculik Ray dan Fiko? Mereka kan bukan orang kaya”, kata tuan Takeshi.
“Memangnya tuan bisa membuktikan bahwa mereka bukan orang kaya? Apakah tuan tahu bagaimana kehidupan mereka sebelum tinggal dipulau ini?”.
Tuan Takeshi terdiam sejenak. “Ya… Saya sih tidak tahu tetapi bukankah Ray dan Fiko tidak memiliki rumah dan pekerja biasa disini”.
“Itu bukanlah pembuktian. Saya rasa mereka dulu adalah keluarga bangsawan atau sejenisnya. Dari cara mereka berbicara dan gaya tubuh mereka, sepertinya mereka bukan orang sembarangan. Saya memang hanya menebak saja dan tidak punya bukti kuat, tetapi saya yakin mereka bukan orang biasa”, ucap tuan Shiba mengemukakan opininya.
“Hmmmppp… Mungkin. Dulu Fiko juga pernah menanyakan tentang kerajaan kepada saya. Saya sempat mengira bahwa dia menanyakan itu untuk dirinya. Apa mungkin Fiko atau Ray adalah keturunan Raja? Mereka melarikan diri kesini karena kerajaan mereka kalah perang?”. Tuan Takeshi mengingat-ingat.
“Aneh saja anda ini tuan. Mana ada kerajaan yang berperang dizaman sekarang. Inikan zaman modern, segala konflik perang pasti akan segera tersohor keseluruh negara, apalagi jika mereka adalah sebuah kerajaan. Kita cari lagi saja, siapa tahu Fiko dan Ray ada disuatu tempat dan sedang tak sadarkan diri”
Mereka kembali bergerak mencari keberadaan Fiko dan Ray. Meskipun mereka sudah mencari kedua anak muda itu disela-sela puing bangunan namun mereka hanya ingin memastikan sekali lagi apakah Fiko dan Ray benar-benar sudah tidak ada dipulau.
Hembusan angin pagi di Toshirojima membelai lembut seekor tubuh kucing yang terkapar tak bernyawa didekat anak tangga. Bulu-bulu halusnya bergerak tersentuh angin dan ada percikan darah dikepala hewan itu.
Dari arah atas anak tangga, langkah kaki seseorang mengenakan sepatu Yuari bergerak turun kebawah. Tidak hanya satu orang tetapi tampaknya ada empat orang Yuari.
Mata itu tampak seperti sedang marah besar memandangi tubuh kucing yang telah mati. Dia ambil kucing yang menghalangi jalannya kemudian dilemparkan kearah puing-puing bangunan disisi kirinya. Benar-benar kejam.
“Ini tidak akan mudah”. Orang itu berpaling dan dia ternyata adalah Diagta.
Diagta mau kebumi karena Sukaw mengancam akan menendangnya dari Hrewa Kufe jika dia tidak mau menuruti perintah Sukaw.
“Bagaimana kita menemukan Ray, Diagta? Mereka telah kabur menggunakan hajunba dan sekarang entah berada dimana”, kata Cre.
“Ayo kita mulai mencari apa saja yang berhubungan dengan Ray”, ajak Diagta.
“Tunggu dulu Diagta. kita sepertinya tidak bisa menemukan Ray dengan mudah karena dia tidak meninggalkan jejak sama sekali”. Cre mengemukakan pendapatnya.
“Tapi pasti ada baju atau barang-barang yang berhubungan dengan Ray, bukan?”, sahut Diagta.
“Tidak Diagta, hajunba hanya bisa menterjemahkan perintah barang jika barang itu masih dipakai atau barang yang tidak berubah. Mana mungkin Ray atau Fiko tidak membuang Baju atau apapun yang mereka bawa dari tempat ini untuk menghilangkan jejak”, Cre memberitahu.
“Yang ketua itu aku atau kamu, hah?! Dasar!”. Diagta mulai menunjukkan sifat aslinya.
“Kamu”, jawab Cre kesal.
“Nah, sudah jelaskan? Makanya jangan membantah aku”.
Ketiga yuari itu hanya bisa melempar senyum palsu karena mereka sebenarnya tak senang dengan sifat Diagta yang aneh itu. Mereka mengikuti langkah kaki Diagta menuju sebuah tempat yang mereka yakini sebagai kediaman Ray dan Fiko sewaktu dibumi.
Reruntuhan bangunan akibat kejadian tadi malam menimbulkan tanya di kepala Diagta. “Mengapa semua bangunan disini menjadi porak-poranda? Bagaimana kalian melakukannya?”, tanya Diagta.
“Hanya jurus gabungan biasa”, jawab Koloji.
Diagta menyusupkan tubuhnya kedalam puing-puing bangunan dan masuk kedalam ruangan yang sudah tidak berbentuk itu. Koloji, Cre dan Vehu hanya bisa mengikutinya dari belakang.
“Ini baju siapa ya?”. Diagta memegang baju abu-abu yang tampak kebesaran jika itu adalah baju Ray. “Baju Fiko sepertinya. Tidak penting”. Diagta melepaskan baju itu dan kembali masuk lebih jauh untuk mencari baju Ray.
“Diagta, ini baju Ray”. Koloji mengangkat baju berwarna hitam itu yang dia yakini baju Ray.
Diagta menghampiri Koloji. “Hahaha… Baju Ray basah? Jangan-jangan…”, Diagta tersenyum penuh arti.
“Jangan-jangan apa Diagta?”, tanya Vehu.
“Jangan-jangan lupa dijemur lah, hahaha… Cepat kita keluar. Bau kalian yang tercampur membuat aku mau muntah”. Mulut Diagta memang tak pernah dijaga.
Mereka berempat kemudian keluar dari sisa bangunan itu. Entah apa yang dipikirkan Diagta mengambil baju itu yang pada dasarnya tidak bisa digunakan untuk mencari keberadaan Ray.
“Untuk apa baju itu? Kita kan membawa Eratoh”. Cre menunjukkan kotak sebesar dadu yang disebut Eratoh.
Diagta terdiam sambil memandang eratoh ditangan Cre. “Baju buat… emmm… Buat membersihkan sepatuku. Lihat ini, kotor bukan?”, kelit Diagta.
Cre hanya diam dan mulai meletakkan eratoh itu ditanah. Cara tercepat untuk membuka eratoh adalah dengan mengusap eratoh itu dengan menggunakan linggi. Cre mengeluarkan lingginya dan mengusapkan keeratoh beberapa kali. Cre mengeluarkan hajunba dan meletakkannya didekat eratoh itu dan mulai membuka hajunba tersebut. Dari dalam hajunba itulah eratoh akan mencari Ray dengan terlebih dahulu mengenali Ray lewat apa saja yang berhubungan dengan Ray. Dari sisi yang digosok, keluarlah benang putih yang sangat kecil. Benang itu semakin panjang lalau kemudian terus menjulur dan bertabah panjang. Tetapi benang itu tidak bergerak masuk ke hajunba.
“Mengapa begini? Bukankah hajunba sudah terbuka?”. Cre bingung.
“Coba gosok lagi linggimu, Cre”, usul Koloji.
Cre menuruti saran Koloji dan menggosokan lingginya kembali ke sisi eratoh. Tetap hasilnya tetap sama yaitu eratoh masih tidak masuk kehajunba.
“Dasar Yuari-yuari ini. Kalian memangnya tidak tahu kalau eratoh itu perlu hajunba yang sama atau lokasi pemasangan hajunba yang sama, setidaknya. Memangnya Ray dan Fiko mengeluarkan hajunba disini?”, tanya Diagta.
Cre malu lalu menutup eratoh dan hajunbanya. Dia ambil barang-barang itu dan dimasukkan kekantong celananya kembali. “Dimana Koloji, tempat Fiko membuat hajunba?”.
“Dijendela kapal, didermaga”, jawab Koloji.
“Tunggu apa lagi. Ayo, kita kesana!”, ajak Diagta.
Mereka berempat segera menuju tempat yang dimaksud untuk mencari bekas hajunba Fiko dibuat. Selang beberapa saat, sampailah mereka didermaga. Vehu dan Koloji mencoba mengingat-ingat perahu tempat Fiko kabur tadi malam. Mata Vehu menangkap sebuah kapal yang memiliki pintu rusak.
“Itu disana!”, tunjuk Vehu.
“Ya itu dia tidak salah lagi. Kami sempat melemparkan linggi ke pintu kapal itu tadi malam”, timpal Koloji.
Mereka menuju kapal itu dan masuk kedalamnya. Tanpa membuang waktu lagi, Cre sudah bersiap didepan jendela yang ditunjuk Vehu untuk membuka satu lagi hajunba dan eratohnya.
Hajunba telah terbuka, namun tak tampak ada dimensi ruang terbuka. Cre mengecek kembali letak hajunbanya kalau-kalau masih belum pas. “Tidak bisa”, katanya.
“Disini tadi malam Fiko membuka hajunba miliknya. Aku yakin sekali Cre”, kata Vehu.
“Berisik! Sini biar orang hebat yang membukanya”. Diagta menyenggol Cre agar menyingkir dari sisinya. Diagta hanya diam sambil memperhatikan ruangan kapal dengan agak takjub.
“Kalau tidak tahu apa-apa mending kamu menyingkir dari situ Diagta. Aku sudah muak dengan tingkahmu!”. Koloji akhirnya tak bisa menyimpan kekesalannya lebih lama lagi.
“Hahaha.. Marah. Memangnya kamu bisa, apa? Kalian ini yuari tetapi tidak tahu apa-apa mengenai eratoh. Kalian harus bersyukur Sukaw cerewet itu memilih aku sebagai ketua kalian. Hajunba yang menggunakan cara seperti ini perlu waktu beberapa saat untuk menstabilkan dimensinya. Inikan berarti hajunba mode mencari, jadi kita tidak langsung melihat dimensi. Kecuali hajunba yang kita gunakan adalah hajunba yang sama dengan yang digunakan Fiko. Mengerti tidak?”. Diagta tampak sedikit menunjukkan wajah kurang senangnya.
Ketiga yuari itu hanya terdiam merasa bodoh didepan orang seperti Diagta. diagta memang kadang-kadang tampak bodoh namun sebenarnya dia adalah orang yang, bisa dikatakan, jenius.
Tak lama kemudian hajunba mulai menunjukkan secara samar tempat yang sangat gelap sekali. Memang itu bukan tempat dimana Fiko dan Ray berada akan tetapi itu menunjukkan bahwa ruang dimensi telah terbuka walau tidak membuka kelokasi Fiko berada. Perlahan-lahan benang eratoh mulai memanjang dan masuk kedalam dimensi itu untuk segera menjalankan tugasnya mencari Ray dan Fiko. Benang itu masuk kelorong hitam dan akhirnya sampai di dimensi ruang yang entah dimana. Tak lama setelah itu ujung dari benang putih eratoh menyentuh kotaknya yang menunjukkan bahwa dia tidak bisa menemukan keberadaan Fiko ataupun Ray.
“Gagal”,kata Cre lemas.
“Sial!!! Kita kehilangan azzo itu lagi. Benar-benar merepotkan ya? Kita mendingan berlibur di pulau ini saja untuk sementara waktu, Cre. Kita senang-senang. Kalau kembali sekarang pasti Sukaw tua itu menyuruh kita untuk mencari Ray dan Fiko lagi. Mau ya? Ya?”, bujuk Diagta.
Mereka terdiam dan saling pandang lalu Koloji berbicara, “Tidak. Kamu mau digantung Sukaw? Kami pulang saja. Kalau kamu mau tinggal disini silahkan. Aku berharap semoga kamu menikmati liburan terakhir dalam hidupmu. Ayo Cre, Vehu”.
Cre mengikuti Koloji dan mengambil hajunba dan eratohnya.
“Huuuuu… Dasar orang-orang pembantu Sukaw! Silahkan saja datang dan makan makanan sisa Sukaw sana! Aku akan tinggal disini”, Diagta bersikeras untuk tinggal dipulau itu.
Ketiga yuari tadi telah menuju kejalan dan benar-benar akan meninggalkan Diagta dipulau. Mereka menuju ketepi hutan tempat hajunba menuju dan ke Naolla mereka dibuka.
“Hahaha… Benar-benar tidak waras Diagta itu. Dia berani menentang Sukaw. Aku tidak habis fikir, mengapa tidak sejak dulu Sukaw membuang atau membunuhnya? Apa mungkin dia anak Sukaw?”, kata Vehu.
“Jangan asal bicara kamu Vehu. Sukaw hanya tertarik dengan kemampuan langka Diagta saja”. Cre menyahuti.
“Kemampuan langka? Apa itu Cre?”, tanya Vehu Te lagi.
“Kemampuan merubah linggi menjadi azzo”, jawab Cre.
“Wow? Memang ada orang yang seperti itu?”. Koloji ikut bicara.
“Ada. Kemampuan yang hanya dimiliki keluarga Diagta”. Cre membuka hajunba yang telah siap dibuka kapan saja itu lalu masuk kedalamnya bersama Koloji dan Vehu. Setelah mereka masuk semua, hajunba itupun menutup kembali.
Seekor serangga kecil terbang dari balik pohon menuju keluar hutan dan sampai ditepi pantai. Cahaya matahari yang mulai meninggi menyinari tubuh kecilnya.
Deburan ombak dipantai mengenai perahu yang tertambat disana. Hamparan padang savana luas menyambut mata kita ketika berada dipulau ini. Inilah pulau Fugk yang indah dan mempesona sebagian orang. Ditengah-tengah pulau yang luas itu terdapat beberapa kota besar dan salah satunya kota yang ditempati Loka sebagai pusat pemerintahan. bangunan-bangunan yang menjulang tinggi dan tertata rapi memanjakan mata kita yang melihatnya. Disalah satu gedung yang menjulang itu, ada beberapa orang tengah mempersiapkan hajunba baru sebagai penghubung ketempat Ray dan Fiko.
“Hajunba ini sudah siap diuji coba, Taun Qaza?”, tanya Loka sambil memperhatikan hajunba baru itu.
“Tentu tuan. Apakah anda mau melihat percobaanya sekarang juga?”.
“Ya, mengapa tidak. Aku akan senang jika kamu mau melakukannya sekarang dihadapanku”.
“Siot, cepat kemari!”, panggil Qaza.
“Ada apa tuan?”, tanya Siot ketika menghampiri tuan Qaza.
“Tuan Loka mau melihat hajunba ini bekerja. Tolong kamu persiapkan”.
Siot menganggukan kepala dan mulai mempersiapkan untuk membuka kunci hajunba itu. Hajunba baru yang terbuat dari kayu Zokle ini memang dibuat khusus dengan tambahan kunci rahasia. Kunci hajunba itu telah dibuka Siot dan dengan segera dia letakkan kunci itu disisi hajunba untuk ketahap selanjutnya yaitu membuka dimensi ruang. Tampaklah sebuah ruangan gelap yang menandakan dimensi telah siap mencari lokasi dimana saja sesuai perintah atau benda. Sebagai penjelasan, cara memberikan perintah suara hanya bisa dilakukan pada lokasi-lokasi tertentu yang sangat dipahami oleh hajunba itu sebelumnya yang mana lokasi itu bukan lokasi sembarangan dan hanya berada di Naolla. Perintah benda yang berhubungan dengan sesuatu yang dicari lebih efektif jika kita ingin mencari orang atau lokasi yang jauh sekalipun.
“Kepekatan hitam yang bagus tuan Qaza”, puji Loka ketika melihat dimensi itu.
“Inilah dimensi terbaik yang kita miliki saat ini, tuan. Kami para anggota penelitian pulau telah membuat hajunba ini  selama beberapa minggu”.
“Bisakah kita bertemu dengan Fiko atau Ray sekarang. Aku rindu dengan Ray”, kata Loka.
“Ermmm.. Sebaiknya jangan sekarang tuan. Kita berjanji bahwa kita tidak mau ikut campur banyak dengan mereka dibumi. Mereka sudah kita sembunyikan disana dengan tujuan agar mereka menjadi manusia bumi. Kita hanya bisa membantu mereka jikalau ada kekuatan Naolla yang mengganggu mereka”, terang tuan Qaza.
“Tapi Qaza, untuk kali ini ijinkan aku melihat Ray sebentar saja. Hanya melihatnya”, pinta tuan Loka.
Tuan Qaza terdiam dan mempertimbangkannya sejenak.
“Tadi kami telah mengecek keadaan mereka, Loka. Mereka sudah berhasil mengamankan diri dari para yuari Vocare. Fiko terluka dan Ray sedang sakit. Jheibo juga sedang pingsan”.
“Aku mohon tuan Qaza. Hanya melihat dari sini saja sebentar”.
Melihat tuan Loka yang sudah tidak sabar, tuan Qaza pun menuruti untuk membuka dimensi ketempat Ray sebentar. “Baiklah tuan. Siot tolong kamu taruh sisik Jheibo itu dipencariannya”.
“Baik tuan”. Siot mengambil sisik Jheibo dan menaruhnya di tampat untuk mencari lokasi dihajunba itu. Tak lama kemudian, sebuah kamar tidak terlalu besar tampak telah terbaring Ray yang tengah Sakit dan Jheibo disampingnya. Tuan Loka hanya bisa memandangi Ray dengan senyuman.
“Tutuplah, Siot. Aku sudah cukup melihat Ray. Dia pasti berada ditempat yang nyaman dan tentunya bersama Fiko. Oh, iya. Tadi aku tidak melihat Fiko. Dimana dia?”, tanya Loka.
“Mungkin sedang mandi atau sedang mencari makanan tuan”, sahut Qaza.
Siot menutup hajunba itu kembali dan kemudian permisi dari hadapan Loka dan tuan Qaza.
Loka dan Tuan Qaza juga meninggalkan ruangan itu. Tampaknya Loka hanya mau mengecek kesiapan hajunba baru Fugk yang mereka persiapkan jika Vocare menyerang Fiko dan Ray.
Sementara dikamar Alvaro, Ray yang tengah tertidur pulas tak menyadari kehadiran Alva. Alva yang baru datang itu langsung menuju tempat tidur dimana Ray terbaring. Dia melepaskan kantong plastik yang ada ditangannya lalu menyentuh dahi Ray.
“Kelihatannya orang ini masih panas sekali badannya. Ternyata kalau dilihat-lihat dia manis juga. Aduh, kenapa aku bisa bicara asal begini. Fiko dimana ya?”. Alva tampak tersadar dari kekagumannya pada Ray dan mencari Fiko.
Dia mencari kearah dapur dan disana juga tidak ada. Dia ketuk kamar mandi namun disana juga tidak ada. Dia telah mencari kesemua ruangan di apartemennya namun Fiko tidak dia temukan. Entah dimana Fiko berada sekarang. Karena tidak menemukan Fiko, Alva mengambil makanannya dikamar tadi yang lupa dia bawa kedapur. Sekali lagi matanya menatap Ray yang tengah tertidur pulas. Dengan perlahan dia duduk disamping Ray dan memandangi wajah azzo itu. Tatapan yang sulit untuk diterjemahkan bahkan oleh Alvaro sendiri. Tiba-tiba Ray bergerak dan meraih tangan Alva. Alvaro yang tak sempat menghindar akhirnya membiarkan tangannya dipegang Ray.
“Aduh, pakai acara memegang tanganku segala”. Pelan-pelan Alva menarik tangannya hingga terlepas dari genggaman Ray.
Walaupun Alvaro tinggal di Bolivia, tetapi dia tak tampak seperti orang sana. Matanya sipit dan hidungnya mancung. Kulitnya yang coklat memiliki wajah yang ditumbuhi kumis dan jambang yang kelihatannya baru mau tumbuh sangat kontras dengan bibirnya yang tipis. Tubuh yang tinggi kekar sungguh menambah kesan macho dari Alvaro.
Ray yang masih tertidur mengigau, “Fiko… Kamu jangan...”.
Alva hanya diam memperhatikan Ray yang tengah mengigau lalu dia menyelimuti tubuh Ray dengan selimutnya. Ketika Alva menyelimuti Ray, dari arah pintu muncul Fiko. Melihat Alva sedang mendekati Ray, Fiko langsung bertanya-tanya dalam pikirannya.
“Alva? Kamu sedang apa?”, tanya Fiko ketika berada dibelakang Alvaro.
Alvaro menoleh dan salah tingkah. “ A..aku Ta.. Maksudku, Ray tadi mengigau menyebut nama kamu. Karena selimutnya turun, jadi aku betulkan saja. Oh, iya kamu dari mana?”, Alva mengalihkan pembicaraan.
“Sampah dirumahmu sudah penuh jadi aku buang saja ke tong sampah diluar”, jawab Fiko yang masih menatap Alva curiga.
“Maaf merepotkanmu. Aku bawa makanan nih, kalau kamu mau makan ambil saja nanti didapur ya tak perlu malu. Anggap saja ini rumahmu sendiri”, kata Alva. “ Aku mau mandi dulu ya, soalnya harus segera ketempat kerja”. Alva meninggalkan Fiko.
“Tunggu Alva. Aku tidak mau merepotkanmu lebih banyak lagi, jadi kalau kamu ada pekerjaan untukku tolong beri tahu aku ya”.
“Sampai adikmu sembuh dulu baru cari kerja. Kasihan dia”. Alva meninggalkan Fiko dikamar.
Fiko duduk disamping Ray dan mengusap dahi kekasihnya itu. “Wah, masih panas. Tubuh Ray pasti sangat menolak linggi-linggi yang diserapnya kemarin. Kasihan Ray”. Fiko medekatkan bibirnya kepipi Ray dan dia cium mesra pipi Ray.
“Ermmm… Aku mau mengambil handuk. Maaf…”.
Ternyata dibelakang Fiko ada Alvaro yang melihat Fiko sedang mencium Ray. Ray hanya bisa terdiam dan tak mampu berkata-kata lagi. Dia yakin Alva melihat dia menciumi Ray barusan. Untuk menutupi ketakutannya, Fiko hanya bisa senyum sambil agak salah tingkah. Dia takut, Alva tidak bisa menerima mereka dan langsung mengusir Fiko dan Ray. Fiko sendiri tidak takut kalau Alvaro sampai mengusirnya namun kondisi Ray yang masih sakit memaksanya untuk mencoba tenang dan berharap ini tak akan menimbulkan masalah serius bagi dirinya.
Alva buru-buru mengambil handuk dan kembali keluar kamar kemudian menutup pintu kamar tersebut. Diperjalanan menuju kamar mandi Alva terlihat berfikir, mungkin dia sedang memikirkan kejadian yang baru dia lihat dikamar. Namun segera semua itu dia lupakan dan masuk kedalam kamar mandi. Pertama-tama Alva menaruh handuknya lalu mulai melepas satu persatu pakaian yang melekat hingga telanjang. Dia menghidupkan shawer untuk membasahi tubuhnya. Dia masih tampak memikirkan Fiko dan Ray. Dia curiga bahwa Fiko dan Ray bukanlah kakak adik seperti yang Fiko bilang, melainkan sepasang kekasih. Ciuman Fiko dipipi Ray yang dia lihat itu bukanlah ciuman seorang kakak untuk adiknya namun lebih mirip ciuman seorang pacar pada kekasihnya. Meski Alvaro masih terus memikirkan apa yang telah dia lihat tadi, tetapi dia tampak fokus menikmati guyuran air ditubuhnya. Tetesan air yang membasahi kulit sawonya terlihat mengalir menuruni setiap lekuk tubuhnya yang berotot. Tubuh besarnya itu memang tidak memiliki perut kotak-kotak seperti Fiko namun masih terlihat menggoda mata.
Alvaro akhirnya selesai dengan acara mandinya lalu kemudian dia masuk kekamar dan mengenakan pakaian rapi. Ternyata dia adalah seorang pelayan restoran. Setelah berpamitan dengan Fiko, Alva menuruni lift dan langsung berjalan menuju ketempat kerjanya. Malam itu tampaknya berawan dan akan turun hujan. Angin diluar juga mulai kencang menerpa pepohonan dipinggir jalan. Dari atas sebuah gedung, tampak sesosok tubuh berpakaian tertutup mengintai Alvaro. Entah apa tujuannya, namun setelah itu dia akhirnya menghilang.
Dikamar, Jheibo terbangun dan segar kembali. Jhei mulai terbang dan mendatangi Fiko. Pembawaan Jheibo yang lincah dan ceria membuat Fiko tersenyum.
“Jheibo? Hati-hati terbangnya. Hap!”. Fiko berusaha menangkap Jheibo namun tak bisa.
Jheibo berhenti terbang dan bertengger diujung jari Fiko. Senyumnya yang manis membuat Fiko gemas melihat tingkah laku Jheibo.
“Syukurlah kamu tidak apa-apa Jhei. Kamu tadi mengapa bisa pingsan?”, tanya Fiko.
“Aku menabrak sepeda tadi”, jawab Jheibo singkat.
“Untung saja kamu tidak dimakan kucing jalanan. Oh iya, kamu sebenarnya bisa makan apa? Aku mau kasih makanan ke kamu takutnya kamu tidak mau makan”.
Jhei terbang keatas menyentuh lampu dilangit-langit kamar lalu menjulurkan lidahnya.
“Maksud kamu, makanan kamu adalah lampu?”, tanya Fiko.
Jhei menggelengkan kepalanya.
“Cahaya?”, tebak Fiko lagi.
Jheibo langsung mengangguk dan menjulurkan lidahnya seperti menjilat-jilat sesuatu. Ternyata makanan Jhei sungguh sederhana dan mudah didapat jadi Fiko tak perlu khawatir terhadap makanan hewan itu.
Ray tampak bergerak dan membuka matanya. “Fiko…”, panggilnya.
Dengan segera Fiko menghampiri Ray diranjang. “Ada apa sayang? Ini aku disini”. Fiko memegang tangan Ray sambil dia mengusap-usap kepala Ray.
“Kita dimana? Rumah siapa ini?”, tanya Ray lemas.
“Kita sudah berada jauh dari Yuari-yuari itu Ray. Sekarang kita dirumah orang yang baik. Dia juga membayarkan biaya berobat kamu tadi”, jawab Fiko.
“Dimana orang itu? Aku mau berterimakasih padanya”.
“Dia sedang berangkat kerja. Kamu istirahat saja sayang, jangan banyak bergerak dulu”, saran Fiko.
Tetapi Ray malah bangkit duduk.
“Sayang? Kamu mau kemana?”, tanya Fiko khawatir.
“Aku Cuma mau duduk Fiko… Aku capek tidur terus”.
“Ya sudah. Kamu sandaran didada aku saja ya”. Fiko naik keatas ranjang dan duduk dibelakang Ray setelah itu dia merebahkan kepala Ray didada bidangnya. Fiko memeluk tubuh Ray dengan penuh kasih sayang. Jheibo yang melihat mereka hanya bisa tersenyum manis.
“Apa itu Fiko? Lucu sekali”, kata Ray ketika dia melihat Jheibo terbang didepannya.
“Itu Jheibo. Dia yang telah menyelamatkan kita. Dia bisa berbicara lho, tapi hanya sedikit. Jhei sini”, panggil Fiko.
Jheibo langsung terbang dengan semangatnya lalu memeluk pipi ray manja.
“Wah, Jhei… lucu sekali ya”. Ray yang tadinya sakit tiba-tiba tersenyum melihat tingkah lucu Jheibo. Ray mengambil Jheibo dan menaruhnya ditangan. “Terimakasih ya Jhei, sudah membantu kami”.
Jhei tersenyum manis pada Ray. Dia lalu berbaring manja ditangan Ray yang mampu membuat Fiko dan Ray tertawa menyaksikan kelucuan Jheibo.
Diluar sana hujan mulai turun dari atas langit membasahi tanah yang kering. Udara dingin pun mulai merasuki tubuh Ray dan Fiko. Tak terasa cuaca dingin itu membuat Fiko dan Ray semakin mempererat pelukannya dan memejamkan mata hingga terlelap tidur.
Di atas istana Hrewa Kufe, raja Sukaw tampak kesal karena ulah Diagta. “Dasar anak tidak tahu diuntung Diagta itu. Aku sudah memberikan semua yang dia butuhkan di Hrewa Kufe ini namun tetap saja dia menjadi orang yang pembangkang. Sudahlah Cre, biar saja dia dibumi dan anggap saja kita memenjarakan dia secara mudah disana. Aku juga sangat muak dengan lagaknya yang selangit itu”, kata Sukaw pada Cre.
“Dia yang meminta untuk tinggal disana tuan, jadi kita tak perlu memikirkannya”.
“Soal orang itu kita lupakan saja. Aku hanya mau tahu bagaimana perkembangan tentang Ray dibumi? Apakah kalian telah berhasil mengkapnya?”, tanya Sukaw.
Cre terdiam sejenak sebelum menjawab pertanyaan Sukaw. “Sebetulnya, Ray dan Fiko berhasil melarikan diri menggunakan Hajunba, tuan. Kami tidak bisa mengejarnya lagi. Kami kehilangan jejak”, kata Cre.
“Apa?!! Kamu bercanda denganku Cre?”, tanya Sukaw dengan nada meninggi.
“Maaf kan kami Tuan. Jejak Ray tidak bisa kami diteksi. Maaf tuan, maaf”.
Sukaw mengepalkan tangannya dan memukul pipi Cre. “Bodoh! Mengapa  kalian yang merupakan yuari khusus bisa sedungu ini? Kalian tidak membuat kematian Alian itu berharga? Dasar!!”. Sukaw tampak marah besar kepada Cre.
“Saya mohon maaf tuan. Kemampuan azzo itu sungguh diluar perkiraan kami”. Cre membela diri.
“Aku benar-benar marah, Cre. Cepat kamu pergi dari hadapanku sebelum aku mengeluarkan linggi untuk mengirimmu ke upacara Uomamol”.
“Saya permisi tuan”. Cre memberi hormat yuari pada Sukaw lalu segera meninggalkan ruangan itu. Dia takut kalau Sukaw benar-benar memenggal kepalanya dan mengirimnya keupacara kematian.
Langkah kaki orang yang berlari terdengar jelas dilorong gang disalah satu sila Hrewa Kufe. Entah siapa yang membuat suara itu, tetapi keadaan desa yang hening membuat suara larinya semakin jelas terdengar dan mendekat. Orang itu tiba-tiba lewat dengan membawa linggi api di tangannya. Siapakah dia?
Dia berhenti dan mulai berjalan santai memasuki gang. Terlihat dia berbincang-bincang dengan para yuari yang dia temui dijalan lalu yuari itu mengikutinya. Dari wajahnya, tak salah lagi orang itu adalah Andnut yang sedang mengejar seorang pencuri.
“Kalian berpencar!”, perintahnya pada para Yuari.
Andnut bisa dibilang yuari khusus yang menjadi ketua salah satu kelompok yuari. Dia terkenal karena kemampuannya menggunakan linggi api.
Saat itu dia sedang mengejar salah serang pencuri dirumah penduduk. Dengan berlari cepat dia mengejar pencuri itu. Gang-gang telah dia lalui namun tetap tidak dia temukan pencuri yang dia maksud. Dibalik sebuah tong sampah, tampak seseorang tengah bersembunyi. Andnut menghampirinya dan menarik orang itu keluar.
“Berdiri kamu!”, perintahnya.
“Ampun tuan… jangan penggal kepala saya”, pinta anak perempuan itu.
“Dasar pencuri kecil. Ayo ikut saya kemarkas Yuari”. Dia seret anak itu.
“Tidak…. Jangan… Jangannnn… Akkkkk!”, anak itu menangis dan histeris karena tidak mau dibawa Andnut ke markas yuari. Dia tahu jika pencuri dibawa kesana maka akan dihukum oleh yuari penghukum. Gadis lusuh itu terus menangis meronta-ronta dan tak bisa berbuat banyak untuk melepaskan cengkraman tangan Andnut ditubuh kecilnya.