Detak jantung seorang
lelaki kini mulai berpacu kencang. Dadanya terlihat bergetar. Bebatuan mulai
jatuh kebawah karena terinjak kakinya. Ini memang agak sulit kelihatannya, meniti
tebing bangunan sebesar Hrewa Kufe tanpa terlihat pasukan Yuari penjaga. Perlahan
namun pasti lelaki itu memanfaatkan dua potong besi tajam yang berguna sebagai
pijakan kaki untuk naik ke tingkat atas. Dia benar-benar tak mau kesempatan ini
melayang begitu saja akibat salah perhitungan. Memang cukup aneh keadaan Hrewa
Kufe malam ini karena tampak penjagaan Yuari yang mengendarai cehug tidak
terlalu ketat. Sesekali memang terlihat mereka lewat di puncak Hrewa Kufe namun
tidak menyadari bahwa lelaki itu sedang kabur dari penjaranya. Lelaki yang
pernah menjadi penasehat raja Fiko yang kemudian dipenjarakan oleh Sukaw.
Dialah Xano nama lelaki yang berpenampilan kucel itu. Kesempatan untuk kabur
dari penjara dimulai saat dia menemukan seekor
ranton mengigit batu ketika ranton itu kesakitan akibat ekornya
terjepit. Ranton yang sakit itu memiliki gigi tersembunyi yang ternyata mampu
menggigit batu keras sekalipun. Dengan memanfaatkan gigitan ranton, dia membuat
lobang ditembok agar bisa keluar dari penjara Hrewa Kufe. Memang tidak sebentar
membuat lubang yang besar. Dia memerlukan waktu beberapa hari agar lubang yang
ia buat dapat meloloskan dirinya dari penjara itu. Setelah berhasil membuat
lobang, ranton itu dilepaskan dan ia pun keluar dari penjara gelap Hrewa Kufe.
Sekelebat bayangan
yang terpantul akibat bulan merah besar dilangit Naolla menyiagakan Xano.
Bayangan yang tak lain berasal dari Yuari cehug yang lewat memantau keadaan
sekitar. Tanpa membuat gerakan, lelaki itu merapat kedinding batu. Dia melihat
kearah bawah yang cukup membuat tubuhnya remuk jika terjatuh. Matanya bergerak-gerak
waspada melihat kesegala penjuru kalau-kalau Yuari melihatnya. Pelan-pelan dia
mendaki dinding batu itu hingga sampailah pada tingkat pertama yang merupakan
desa di Hrewa Kufe. Desa mulai sepi karena orang-orang kebanyakan sudah
beristirahat dirumahnya masing-masing dan hanya sebagian pria bermabuk-mabukan
dikedai minuman. Hembusan angin meniup tubuh Xano yang menapaki jalanan batu
menuju sebuah gang masuk kedalam Hrewa Kufe. Dia mengambil sebuah mantel
berpenutup kepala milik salah seorang warga Hrewa Kufe yang tergantung diluar
rumah untuk menutupi tubuh dan menyembunyikan penampilannya kalau-kalau nanti
dia berpapasan dengan para Yuari yang berpatroli keliling. Udara dingin menusuk
tulang Xano. Langkah kalinya diatas jalan batu terdengar lebih kencang karena
udara malam. Dia mengendap-endap memasuki gang didalam Hrewa Kufe yang besar
dan sesekali mengingat-ingat arah jalannya agar tidak tersesat.
Hrewa Kufe memiliki
bagian luar dan dalam bangunan. Didalam Hrewa Kufe tampak seperti gedung dengan
banyak bangunan bertingkat dan fasilitas lengkap. Didalam Hrewa Kufe kita
seperti melihat kota indah nan megah. Inilah Hrewa Kufe yang mempesona dimata
Naolla. Kota didalam bangunan memang sangat luar biasa sekali. Dikota inilah Xano
mencari tempat yang memiliki sesuatu untuk bisa membawanya kabur lebih jauh
dari Hrewa Kufe dan sesuatu merupakan hal yang dia sayangi semenjak dulu.
“Perasaan tempat
tingggal Frae di daerah sila tujuh sini tetapi mengapa sejak tadi tidak aku
temukan orang memiliki kandang dretaju atau sejenisnya?”, Xano bingung sendiri.
Dari balik gang
muncul dua orang Yuari sedang berjalan kearahnya. Cepat-cepat dia belok arah
dan masuk kesalah satu gang agar terhindar dari Yuari itu. Setelah para Yuari
lewat, dia kembali mencari rumah Frae sang penjual dretaju. Sebenarnya dia
bukan mau membeli dretaju tetapi ingin mencari dretaju miliknya yang dijual ke
Frae oleh Sukaw. Setelah dia ditangkap, dretaju Xano tampak tidak bisa
diandalkan lagi. Dretaju itu seperti mengerti akan keadaan majikannya dan menolak
perintah Sukaw. Dretaju Xano bukan dretaju sembarangan karena dretaju ini sudah
berevolusi menjadi Arudretaju yang merupakan gorila berdagu dua, berwarna
oranye dan berkulit keras sehingga tak mudah terluka. Selain itu tubuh
arudretaju akan lebih besar dari dretaju sehingga Xano dengan mudah mencari
dretajunya itu. Terakhir dia bersama dretajunya setahun yang lalu dan pada saat
itu dia sudah mau berevolusi. Tentu saja tidak semua dretaju akan berevolusi
ini dikarenakan dretaju milik Xano berjenis langka asal Gpuvva yang bisa
menjadi arudretaju dan di Vocare hanya ada satu.
Dia terus
mengingat-ingat rumah Frae namun tetap tak ditemukannya rumah itu.
“Apa mungkin dia
sudah pindah sila ya? Coba aku tanyakan pada pemuda disana”. Xano menuju pemuda
yang sedang duduk didepan sebuah kedai minuman dan tampaknya pemuda itu agak
mabuk. “Tuan… Maaf mengganggu sebentar”.
Pemuda itu menoleh
dengan mata sempoyongan. “Apa, Hah?! Mau nagih hutang? Nanti saja, aku lagi
mencari bojce sekarang ini. Kamu buta ya? Aku sedang kerja sekarang. Pergi
sana! Jangan ganggu aku”. Sahut pria itu asal saja.
Bojce adalah pasir
gurun sebagai alat tukar di Hrewa Kufe.
“Bukan tuan. Saya mau
menanyakan rumah tuan Frae,pembeli dretaju”, kata Xano.
“Siapa? Dretaju?
Ahahahaha mereka dikandangnya bodoh! Mana aku sempat urus mereka”. Laki-laki
itu semakin asal.
“Bukan tuan.. Rumah
Frae”, tegas Xano.
“Mana aku tahu,aneh
kamu!! Pergi sana! Dasar pengemis”. Dia kembali meminum air digelasnya.
Melihat tingkah orang
itu yang mengesalkan, Xano mencoba menanyakan keberadaan Frae kepada salah
seorang penunggu kedai yang tengah menyiapkan minuman.
“Mau pesan minuman
apa tuan?”, tanya pria paruh baya itu.
Xano duduk dan
mendekatkan kepalanya kearah orang yang menawarinya minuman seperti takut
didengar orang. “Saya cuma mau menemui tuan Frae si penjual dan pembeli
dretaju. Bukan kah dulu rumahnya disila tujuh sini?”.
“Frae? Ermmmm… dia
mengalami patah tulang akibat seekor dretaju yang mengamuk, kira-kira sekitar
empat bulan lalu, sehingga dia beralih profesi menjadi penjual makanan disila
tiga puluh satu”. Orang itu tampak agak curiga dengan penampilan Xano. Dia
seperti kenal dengan Xano namun masih ragu.
“Kalau begitu saya
permisi dulu. Terimakasih”. Xano beranjak dari tempat duduknya dan menuju
jalanan untuk segera menuju tempat Frae disila tiga puluh Satu. Cukup jauh juga
jalan menuju sila tempat tinggal Frae. Sila adalah wilayah-wilayah kecil yang
terdiri dari beberapa rumah atau gang. Namun apa boleh buat, Xano memerlukan
arudretaju itu untuk membawanya pergi dengan selamat dari Hrewa Kufe.
Senyapnya malam
beradu dengan dinginnya Hrewa Kufe. Meski dengan berbalut mantel, dia masih
merasa agak dingin. Namun semua itu tak sebanding dengan gelapnya sel tahanan
yang sumpek dan tanpa membuat perubahan apapun didalam sana. Xano sadar bahwa
dia harus segera bertindak untuk menolong Vocare dari Sukaw yang semakin
kelewatan itu. Dia tidak boleh berdiam diri saja menunggu Fiko yang tidak tahu
nasibnya dibumi sana, walau bagaimanapun dia masih tidak rela bila Naolla
dipimpin oleh Sukaw yang serakah dan sombong itu. Namun bodohnya Xano, dia baru
sadar bahwa berdiam diri saja tidak akan merubah nasib orang banyak apalagi setelah
hanya terkurung lama dipenjara dan tampak seperti orang tidak waras. Selain itu
dia teringat dengan arudretajunya yang hebat dan mungkin bisa membantunya
merebut Hrewa Kufe kembali suatu saat nanti. Dengan memikirkan kemungkinan
terbaik yang akan dia dapatkan jika kabur dari penjara, Xano mulai melangkahkan
kaki dengan hati-hati dan pasti ke rumah Frae. Waktu Xano sebenarnya tidak
banyak karena sebentar lagi hari akan siang dan tentunya pasukan Yuari akan
mengecek keadaannya di penjara dan jika ternyata mereka sadar bahwa dia sudah
tidak ada disana maka ini bisa gawat.
Menempuh jarak
sekitar dua kilometer ke sila tigapuluh satu tidak terasa oleh Xano. Di sila
ini tampak sebagian rumah di permak menjadi toko makanan dan pakaian.
“Yang mana ya rumah
Frae?”. Xano mendatangi sebuah toko makanan dan masuk kedalamnya. Didalam toko
itu tampak beberapa pekerja sedang mengatur makanan di rak-rak. “Permisi nona,
apakah disini kedai makanan tuan Frae?”, tanya Xano pada salah seorang wanita
muda yang tengah meletakkan makanan kemasan di raknya.
“O, bukan tuan. Toko
tuan Frae didekat belokan jalan sekitar delapan rumah dari sini”, jawab wanita
itu sambil menghentikan pekerjaannya sejenak.
“Baiklah nona, terimakasih
atas informasinya”. Xano keluar toko itu.
Diperhatikannya
keadaan rumah-rumah penduduk yang mulai terbuka yang menandakan hari telah
siang diluar sana. Didalam Hrewa Kufe kita tidak akan merasakan siang atau
malam jikalau tanpa melihat kearah luarnya sebab disini tidak tembus cahaya dan udara didapat dari
saluran-saluran udara kecil yang sangat banyak disetiap sisi bangunan.
“Sebentar lagi
penjaga tahanan akan mengecekku. Aku harus segera menemui Frae”. Langkah kaki
Xano semakin tergesa-gesa menuju toko makanan tuan Frae. Tampaklah dibelokan
jalan sila tiga puluh satu, sebuah toko makanan yang dia yakini milik tuan
Frae. Dia arah kan langkah kakinya untuk memasuki toko itu. Tampak didalam toko
seorang anak muda sedang duduk dibalik meja kasir.
“Ada yang bisa kami
bantu tuan bermantel?” tanya pemuda itu ramah.
“Saya mau bertemu
dengan tuan Frae. Beliau ada?”.
“Siapa anda tuan?
Apakah anda ini keluarga beliau?”. Dia agak curiga pada Xano.
“Tolong anak muda, cepat
kamu panggil tuan Frae untuk saya. Saya ingin bertemu dengan beliau”.
“Tidak bisa tuan.
Tuan Frae sedang istirahat, baliau tidak bisa diganggu”.
“Pokoknya saya harus
bertemu beliau sekarang juga atau anda akan saya buat bernasib sama dengan tuan
Frae?”, ancam Xano yang kehabisan cara dan tampak tidak sabaran untuk menemuai
tuan Frae. Dia mencengkram baju pemuda itu.
Pemuda penjaga toko
tidak terima dan menantang Xano. “Anda tidak bisa begini pada saya tuan. Ini
kewajiban saya untuk menjaga toko ini. Saya bisa saja memanggil Yuari darurat
agar anda ditahan”.
“Asal kamu tahu anak
muda saya adalah tahanan yang kabur dari penjara bawah Hrewa Kufe, jadi tidak
ada gunanya kamu melaporkan saya ke para Yuari sialan itu. Ketika saya nanti
dipenjara kembali, saya akan bisa kabur lagi”. Xano memukul wajah pemuda itu
hingga sang pemuda terjatuh kelantai. Xano menerobos masuk keruangan dalam yang
dia yakini sebagai tempat kerja Frae.
Pemuda itu bangkit dan
berusaha mengejarnya, namun Xano tak terkejar dan sampailah dia diruangan
bertuliskan ‘Ruangan Pribadi’. Dia masuk secara tiba-tiba yang sontak membuat
orang didalamnya kaget dan marah.
“Hai!!! Siapa kamu!
Pencuri… Puso! Tahan orang ini. Puso!!”, orang tua itu tampak gugup di balik
mejanya.
Pemuda yang bernama
Puso itu berhasil mengejar Xano dan menangkapnya. “Saya harap anda cepat keluar
dari sini!”, pintanya.
Sementara di luar
penjara yang gelap, seorang penjaga tahanan tengah mengecek keadaan ruang
tahanan itu. Dia memasuki gang penjara dengan sangarnya sambil membawa tombak.
Para tahanan tampak takut dengan kehadirannya.
“Kelihatannya
baik-baik saja”. Dia melihat keruangan tempat menahan Xano. Dipojok ruangan itu
tampak sesuatu berselimut yang dia sangka sebagai tubuh Xano sedang kedinginan.
“ Hai Xano! Kamu sakit atau pura-pura sakit?!”, tegurnya. Namun tak ada
tanda-tanda kehidupan pada tubuh itu.
“Kamu mati ya Xano!
Jangan berlagak tuli didepanku”.
Tetap tak ada
gerakkan. Karena curiga, dia mengambil kunci penjara disakunya dan membuka sel
itu untuk mengecek Xano. Alangkah terkejutnya dia setelah membuka penutup kain
itu yang hanya tumpukan jerami dan sebuah lobang didinding. “Xano!!!!!!”.
Cepat-cepat dia
berlari keluar dan menyampaikan ini pada Sukaw diistana.
“Sialan bagaimana
bisa? Azzonya kan tidak bisa digunakan didalam penjara. Cepat tangkap orang itu
dan hukum mati dia untuk makanan Sorze”. Sukaw sangat marah sekali. Sorze atau
arwana penghuni danau akan dapat sarapan daging segar pagi ini jika para Yuari
berhasil menangkap Xano.
“Segera kami
laksanakan tuan”, kata Juyu.
Pasukan Yuari tengah
berangkat dengan mengendarai cehug dan ada pula yang mengendarai bican untuk
mencari Xano keseluruh Hrewa Kufe.
“Cepat! Jangan buang
waktu lagi para Yuari! Tangkap Xeno hidup atau mati dan bawa kehadapanku!”,
perintah Juyu sambil mengendarai bican.
Puluhan Yuari
berpencar mencari keberadaan Xano. Selama Xano ditahan, baru kali ini dia
mencoba kabur dan tanpa diketahui para penjaga tahanan.
Yuari-yuari tampak
menggeledah setiap rumah dan lokasi-lokasi yang dicurigai sebagai tempat
persembunyian Xano.
“Gawat ayah, banyak
Yuari diluar”, kata seorang anak kecil yang tengah ketakutan sambil memeluk
ayahnya erat-erat.
“Jangan takut nak,
mereka tidak akan macam-macam dengan kita”. Sang ayah berusaha menenangkan
putri kecilnya itu.
Beberapa Yuari masuk
dan menggeledah rumah pria itu. Beberapa saat mencari tak mereka temukan Xano,
maka merekapun keluar dan mencari ditempat lain.
“Aku Xano, Frae.
Penasehat Raja Fiko. Kau masih ingat?”. Xano melepaskan tutup kepalanya dan
mendekati Frae dengan membawa linggi airnya.
Wajah Frae agak takut
dia tidak bisa berbuat apa-apa lagi karena Puso sudah tak bisa bergerak. Puso
kesakitan didekat tembok karena baru saja terkena tendangan Xano.
“Apa mau… mu
Tu-tu-tuan?”, tanya Frae terbata-bata akibat dia gemetar ketakutan.
“Aku dengar kamu
membeli Qwed dari Sukaw dipelelangan. Dimana dia? Hah?!”. Xano marah dan
membelah meja kerja dihadapan Frae hingga menjadi dua bagian.
“Bu-bbuukan dengan
saya Tu-an. Arudretaju i-tu lah yang membuat saya seperti ini”. Dia menunjuk
kakinya yang patah. “Saya ti-dak tahu tuan”.
“Jangan bohong kamu!
Saya tidak memiliki banyak waktu lagi Frae… Kamu mau mengatakannya atau kepalamu
yang aku buat patah?”. Xano mengancam Frae dengan lingginya.
“Ampun tuan. Tolong
jangan sakiti saya. Saya memang tidak tahu pasti namun saya pernah dengar kalau
arudretaju milik tuan diambil oleh Yuari untuk direhabilitasi. Dia berada
di….”.
Keadaan semakin
menjadi tidak kondusif untuk Xano. Para Yuari sudah tampak lalu lalang
memeriksa sudut-sudut bangunan untuk mencarinya. Seluruh Hrewa Kufe tengah
digeledah oleh para Yuari. Xano menuju bagian atas Hrewa Kufe tepatnya tingkat
keenam untuk mencari Qwed. Untuk ketingkat sana dalam situasi seperti ini tentu
tidak bisa dilakukannya dengan mudah. Selain banyak Yuari yang mencarinya,
jarak kepuncak Hrewa Kufe sangat menanjak walau jaraknya hanya beda 200 meter
tetapi jika masuk dan mencari kedalam yang luas bangunan tingkat keenam
mencapai satu kilometer persegi tentu bukan wilayah yang kecil untuk dirinya.
“Aku harus mencari
cara. Jika aku sudah sampai disini, aku pantang untuk mundur dan aku yakin
kepalaku akan dipenggal oleh Sukaw jika kali ini aku tertangkap lagi. Aku buronan
Hrewa Kufe sekarang”. Xano bersembunyi dilantai tingkat dua sebuah gedung
kosong yang dulu digunakan untuk arena permainan.
Dibawah sana para
Yuari tengah lalu lalang mencarinya. Muncullah sebuah ide cemerlang dari Xano.
Dia kebalkon gedung itu secara sengaja agar pasukan Yuari cehug melihatnya ada
di atas gedung itu. Benar saja, salah seorang Yuari melihatnya dan dengan cepat
mengarahkan terbang cehugnya kearah Xano. Xano tampak takut untuk mengelabui
Yuari itu.
“Itu dia, diatas!
Kepung dia!”, kata Yuari itu pada teman-temannya dibawah. Para Yuari itu
langsung masuk ke gadung dan menaiki tangga agar sampai kelantai dua.
Yauri-yuari
cehugpun berdatangan. Xano mulai benar-benar khawatir akan situasi yang tidak
sesuai perkiraannya ini. Dia benar-benar bingung.
“Menyerah
saja Xano. Hahaha”. Yuari yang mengejarnya tadi telah sampai duluan dan turun
di balkon.
“Tidak
buruk juga”, pikir Xano. “Baiklah, aku akan menyerah pada kalian. Aku lari juga
percuma karena kalian terlalu banyak”, ucapnya ketika melihat Yuari-yuari telah
mengepungnya di balkon. Mata cerdas Xano masih memperhatikan cehug yang tidak
ditunggangi itu.
“Tunggu
apalagi tangkap dia!”, perintah salah seorang Yuari.
Para
Yuari menyerang Xeno yang sendirian di atas gedung itu. Tanpa pikir panjang
lagi Xano mengeluarkan linggi khususnya yang berukuran kecil sebesar kancing
baju yang jumlahnya sangat banyak sekali.
“Hiiiiaaaaatttttt,
rasakan ini!”.
Crak,crak,crak,crak,carak,crak!
Linggi-linggi kecil itu menyebar keseluruh sisi dan mengenai siapa saja yang
mendekati tubuhnya.
“Arghhh!”.
Satu per satu para Yuari berjatuhan. Kesempatan itu ia manfaatkan untuk
melompat ke cehug incarannya dan mengendarai cehug itu hingga terbang menjauh
dari sana. Namun, bukan pasukan Yuari namanya kalau menyerah begitu saja. Yuari
yang masih tersisa, kini mengejar dengan cehug mereka juga. Aksi kejar-kejaran
pun samakin tak terelakkan. Kecapatan cehug Xano kian bertambah dan para
Yuaripun semakin memepercepat terbangnya. Belokan-belokan tajam membawa Xano
keluar dari dalam Hrewa Kufe. Namun diluar sana ternyata ratusan linggi angin
telah terbang kearahnya. Linggi yang berasal dari para Yuari.
“Gawat!
Hiiiaaaatttt!!!”. Sangat cepat dan gesit dia menghindari hujan linggi itu dan
sesekali apabila tak sanggup dia hindari maka dia lawan dengan linggi air
besarnya. “Argghhh!!”, teriak Xano yang terkena linggi di beberapa bagian
tubuhnya. Darah segar menetes ke udara, namun dia terus terbang meninggi menuju
sarang para Yuari. Linggi berhenti dan berganti dengan pasukan bican yang
mengejarnya di belakang. Tampak Juyu dengan senapannya membidik Xano.
Dor,dor,dor!
Xano memang sangat gesit sehingga tak ada satupun dari peluru Juyu yang
mengenainya. Untuk menghambat Juyu, dia mengeluarkan linggi kecilnya dari
tangan dan dia arahkan kebawah.
Trak,trak,trak
linggi-linggi itu berhasil dihindari Juyu dan hanya mengenai tangan Juyu.
Kembali Juyu membidikkan senapannya ke arah Xano dan lagi-lagi tidak ada yang kena
satu pun.
Xano
merasa bodoh sekali menuju sarang Yuari seorang diri untuk menyelamatkan Qwed.
Dia yakin bahwa Qwed akan kembali padanya maka dari itu dia tetap berusaha
untuk mendatangi Qwed walaupun nyawanya dalam bahaya. Tak terasa, kini dia
sudah berada ditingkat empat dan tak lama lagi dia akan sampai. Dia terbang
mengeliling agar tidak mudah tertangkap Juyu.
“Linggi
kalian!”, perintah Juyu untuk menyuruh para Yuarinya mengeluarkan linggi lagi.
Tanpa
banyak bicara, para Yuari dengan segera mengeluarkan linggi-linggi mereka dan
melemparkannya ke arah Xano. Xano melakukan akrobat yaitu terbang memutar
seperti gerakan mata bor untuk menghindari linggi-linggi tersebut.
Dor,dor,dor,dor! Kembali secara mengejutkan Juyu menembakkan senapannya kearah
Xano, tetapi masih tidak mengenainya.
“Awas
kau Xano!!!! Bican cepat!”. Bican yang dikendarai Juyu mendengarkan perintahnya
dan mempercepat terbangnya mengejar Xano dan cehugnya.
Sedikit
lagi akan sampai dan diatas sana telah menunggu ratusan Yuari. Melihat itu dia
mengeluarkan linggi air yang sangat besar dan melemparkanya ke arah Yuari-yuari
itu. Linggi raksasa itu menghantam tembok pembatas dan membuatnya hancur. Para
Yuari terlempar bersama temboknya dan menimpa pasukan yuari dibawah.
“Arggg!!”,
erang para Yuari yang kesakitan.
Sekarang
Xano mengendarai cehug memasuki ruangan Yuari dan telah menunggu Yuari-yuari
khusus untuk menagkapnya. Ini situasi satu melawan dua ratus.
“Hap!”,
Xano turun dari cahugnya dan menatap para Yuari didepannya.
“Ini
mustahil untukmu Xano. Ibarat ayam masuk kesarang buaya! Hahaha. Serang!!!”.
Para Yuari berlari menyerang dengan linggi di tangan mereka.
Apa
boleh buat, Xano mengeluarkan Lingginya dan bertarung beradu linggi melawan
ratusan Yuari Vocare.
Trang,trang,trang!
Bruak! Arghhh! Hiat!! Drag Drap! Crak! Syat-syat! Dengan gagahnya Xano melawan
ratusan Yuari itu seorang diri. Dia tampak kelelahan dan hampir kehabisan
tenaga. Untuk beberapa saat terakhir dia mendengar suara Qwed yang sepertinya
merasakan kehadirannya dari balik tembok didalam sana. “Qwed? Qweeeeedddd
kemari….!!”, Xano berteriak memanggil Qwed. Dia kerahkan seluruh tenaganya
untuk mengeluarkan hujan linggi agar menghambat kematiannya sampai dia menemui
Qwed . “Rasakan ini!!! Argggghhh!”. Dengan susah payah dia keluarkan hujan
linggi dan membuat para Yuari didekatnya terluka. Namun tampak sia-sia saja
karena jumlah mereka yang banyak sehingga dia tak bisa berbuat lebih dari ini
dan jatuh bersimbah darah. untunglah Qwed yang menyadari kedatangan Xano,
mengamuk dan menghancurkan dinding-dinding penghalangnya dengan pukulan kuat
arudretaju. Para Yuari kaget dan mulai ketakutan karena arudretaju itu terlihat
marah besar melihat Xano dikepung para Yuari dengan linggi ditangan mereka.
“Grrrrrrr… Arrkkkk!!”. Qwed menghentakan kedua tangannya kuat-kuat kelantai
hingga membuat lantai itu retak dan mengakibatkan para Yuari terjatuh. Dia berlari
mendekati Xano lalu mengambil tubuh Xano dan meletakkan diatas punggungnya.
Xano tersenyum diantara kesakitannya. “Grrruuuuaaaaarrrrggghhh!!! Arg! Arggg!
Host-host-host”. Qwed waspada melihat para Yuari menyiapkan jaring untuk
melumpuhkannya. Namun ternyata ketika jaring itu dilemparkan dan mengurung
Qwed, dia menjadi sangat marah dan berhasil merobek jaring itu. Para Yuari tak
tahu lagi musti berbuat apa. Qwed berlari membawa Xano keluar ruangan dan
didepan pintu telah menunggu pasukan Yuari dengan cehug dan tembakan pembius
besar. Qwed tanpak liar dan semakin marah. Dia terus berlari sekuat tenaga
menerobos barisan Yuari yang menghalanginya. “Arrrrrrrkkkkk!”. Dia hantam
tembakan-tembakan besar itu seperti mematahkan mainan saja.
“Tangkap
Dia! Ayo cehug bodoh!”, Juyu yang terluka memerintahkan para Yuari cehug untuk
memerintahkan cehugnya mengeluarkan lidah lengket mereka untuk menangkap Qwed.
Mendengar
atasannya berkata demikian, para cehug pun segera menjulurkan lidahnya dan
menangkap Qwed. Lidah-lidah cehug menempel kuat ditubuh Qwed dan membuatnya
agak terkekang. Qwed berusaha melawan sekuat tenaga namun puluhan lidah lengket
itu sungguh tak bisa diremehkan oleh Qwed. Dia hanya bisa mengerang dan
meronta-ronta agar para cehug melonggarkan lidahnya.
“A-ku
harus me-no-long Qwed…”. Xano yang terluka parah berusaha mengumpulkan sedikit
tenaganya dan bangkit. Melihat Qwed terikat, dia mencoba memutus lidah-lidah cehug
itu dengan lingginya. “Ini kesempatan terakhir. Qwed bawa aku keluar dari
Hre-wa Kufe setelah ini”, Xano memebisikan perintah ke Qwed.
Qwed
seperti paham dengan perintah majikannya dan berusaha tenang sedikit agar tidak
menimbulkan gerakan saat Xano memotong lidah para cehug.
“Rasakan
Ini!!! Haaaaatttt!”. Crrrruuuuaaakkk! Crak-crak! Semua lidah yang melilit tubuh
Qwed dia potong dengan lingginya hingga tak tersisa satu pun. Para cehug
kesakitan dan terbang tak terkendali membuat para Yuari kalang kabut dan jatuh
terlempar cukup keras.
“Lari!!!”,
perintah Xano pada Qwed.
“Arrrrggg!”.
Langkah kaki Qwed semakin cepat walau ditubuhnya masih melilit bagian lidah
cehug yang terpotong. Dia menuju tepi bangunan dan melompati dinding pembatas
untuk jatuh bebas kelantai lima yang berjarak sekitar 40 meter. Para Yuari bican
masih mengejarnya. Sesekali Qwed menghalau para Yuari dengan tangannya yang
kuat hingga mereka terpental.
Satu-per
satu lantai dia lompati hingga sampailah mereka pada jembatan Hrewa Kufe.
Di sana telah menunggu ratusan Yuari Kaguka dengan lingginya. Apa boleh
buat, Qwed harus maju dan ini mungkin akan sakit untuk tubuh Qwed. Tanpa ampun,
Qwed menerobos kerumunan yang menghadangnya dan tidak memperdulikan hantaman linggi-linggi yang mulai melukai
kulit kerasnya. Dia marah besar dan memukul barisan Yuari dengan tangan
besarnya yang kuat. Para Yuari terlempar kedanau bersama kaguka mereka. Ini
memang mustahil, satu monster melawan ratusan Yuari dan para Yuari tidak bisa
berbuat apa-apa. Namun, sebuah tembakan peluru bius mengenai Qwed. Memang ini
tidak bisa menghentikan Qwed yang mengamuk, tetapi ini akan berakibat bagi
kesadarannya.
Qwed
yang terkena bius masih berusaha sadar dan lari secepat dia bisa menuju ujung
jembatan dan memasuki hutan. Para Yuari masih mengejarnya dengan sesekali masih
melepaskan linggi dan tembakan bius. Kesadaran Qwed mulai menurun dan diapun
masuk kedalam sebuah goa dihutan untuk menghindari para Yuari yang masih
mengejarnya. Untunglah para Yuari kehilangan jejak dan tidak tahu bahwa Qwed
berada di dalam goa kecil itu bersama Xano yang terluka parah.
Sesampainya
di dalam goa, dia ambruk dan pingsan begitu juga Xano yang sejak tadi sudah tak
sadarkan diri karena kehabisan tenaga. Kini mereka berdua aman dari pasukan
Yuari untuk sementara waktu.
“Bodoh!
Yuari sebanyak itu tak bisa menangkap satu orang tahanan dan monsternya? Dimana
otak kalian, hah?!”. Sukaw menendang salah seorang Yuari hingga jatuh kelantai.
Dia
bangkit dan memohon maaf. “Maafkan kami tuan. Kami tidak menyangka kalau
arudretaju bisa seganas itu kalau sedang marah besar. Kami sudah membiusnya
namun dia kebal tuan. Selain itu tuan Xano bukan tandingan kami para Yuari, dia
kuat”, ucapnya membela diri.
Sukaw
menghampiri orang itu dan menatap matanya dekat-dekat. “Kalian itu banyak!
Mengapa tidak kalian ikat saja kaki arudretaju itu dengan cehug? Apa kalian mau
bilang dia bisa melempar puluhan cehug?”.
“Ti-tidak
tuan. Tapi, para cehug kami terluka parah akibat lidahnya di potong Xano saat
menangkap arudretaju itu. Xano orang berlinggi air tuan”.
“Xano!
Ternyata dia memiliki linggi air. Aku tidak menyangkanya sama sekali”.
Sukaw
kembali menuju singgasananya dan duduk disana. “Panggilkan Juyu kemari”.
“Maaf
tuan, nona Juyu terluka akibat terjatuh dari atas bican”.
“Panggil
siapa saja yang bisa aku andalkan untuk saat ini. Panggilkan aku tuan Zaren dan
Diagta kemari. Cepat!”.
Salah
seorang Yuaripun berangkat untuk memanggil ketua Yuari pengintai dan Diagta
agar menghadap Sukaw.
Dengan
jubah khususnya yang berwarna hitam bercampur merah tua, Zaren memasuki ruangan
bersama Diagta disampingnya. Di bahu kanan Zaren terdapat flat besi berwarna
merah yang indah. Rambutnya yang ikal
panjang diikat agar tidak menyusahkannya. Dialah ketua pasukan pengintai yang
terkenal pendiam.
“Hormat
kami tuan”. Zaren mengepalkan tangan kanannya dan menempelkannya ke dahi
sebagai tanda dia menghormati Sukaw. Begitu juga dengan Diagta yang melakukan
hal serupa seperti tuan Zaren.
“Tuan
Zaren. Kau tahu mengapa anda saya panggil kemari?”.
“Belum
tuan. Apakah ada tugas khusus untuk saya?”.
“Ini
sebenarnya tugas untuk kalian berdua. Diagta terpaksa aku pilih untuk
berjaga-jaga”, kata Sukaw yang agak terpaksa melihat kearah Diagta.
“Maksud
tuan apa?”, tanya Diagta.
“Kamu
memang banyak bicara Diagta, tetapi untuk menghadapi orang berazzo air memang
tidak mudah dan hanya kamu orang yang tepat untuk itu. Bukankah kamu masih bisa
hidup enak di istana ini karena kemampuan khususmu itu? Jadi kamu jangan banyak
bicara untuk tugas kali ini dan lakukan saja jika kamu mau tetap hidup enak di
Hrewa Kufe”, kata Sukaw seperti sedikit mengancam.
“Iya…
Aku paham”, jawab Diagta cuek. “Jadi apa yang harus kami lakukan untuk tuan?”.
“Kalian
sudah dengarkan, bahwa pasukan Yuari penangkap gagal menangani Xano dan Arudretajunya?
Maka dari itu aku bermaksud meminta kalian untuk bergerak mencari Xano sebelum
dia terlanjur jauh dari Hrewa Kufe. Aku percaya pada anda tuan Zaren, jadi saya
hanya mau terima beres. Bawa Yuari seperlunya saja karena saya tidak mau
terlihat mencolok”. Sukaw yang tadi tampak marah mulai agak tenang.
“Saya
akan laksanakan tuan. Kalau sudah tidak ada tugas lagi, ijinkan saya untuk
permisi “, kata tuan Zaren.
“Silahkan.
Sebentar dulu, tangkap Xano hidup atau mati”, tegas Sukaw.
Zaren
menganggukkan kepala dan mengulangi hormatnya seperti awal tiba tadi sebelum
pergi keluar ruangan bersama Diagta.
Di
gang saat keluar ruangan Sukaw. Diagta mulai protes dengan perintah Sukaw.
Itulah Diagta, kalau tidak banyak omong bukan Diagta namanya.
“Tuan
Sukaw bisanya menyuruh saja. Apa tuan tidak merasa jengkel disuruh-suruh terus?
Tuan Zaren kan hebat dan saya rasa tuan Sukaw tidak ada apa-apanya jika
dibandingkan dengan kekuatan tuan. Saya
sangat tidak suka dengan cara dia menyuruhku tadi seperti mengancam nadanya.
Andai saja dia bukan raja, sudah aku sentil dahinya tadi”. Diagta menunjukan
raut wajah yang tidak begitu senang.
Zaren
hanya diam membisu mendengar ocehan Diagta.
“Mengapa
tuan tidak berani melawan tuan Sukaw?”.
Zaren
masih diam dan terus melewati gang-gang ruangan sambil sesekali terlihat
memperhatikan langkah kakinya.
“Tuan?”,
Diagta tetap berusaha mencari jawaban tuan Zaren.
Zaren
berhenti dan menatap mata Diagta dengan tatapan mata yang mengerikan. “Kamu
sendiri mengapa tidak melawan Sukaw?”. Senyum Zaren sungguh mengerikan sekali.
“A-a-aku
Sendirian Tu-an”, jawab Diagta sambil menahan ketakutannya.
Zaren
kembali melanjutkan langkah kakinya setelah mendengar jawaban Diagta.
Diagta
yang masih agak takut mengikuti langkah tuan Zaren. Dia sekarang diam dan tak
berani berkata sedikitpun. Dia tahu bahwa tuan Zaren sebenarnya sedang kesal
mendengar ucapannya. Entah karena ucapannya yang kelewatan atau ucapannya yang
memang ada benarnya.
Langkah
kaki terus bergerak menyusuri gang sebuah ruangan. Kaki itu adalah milik tuan
Loka Fugk yang tengah keluar dari ruang pertemuan membahas mengenai Hajunba
yang dimiliki Fugk untuk menuju bumi. Langkah kakinya tampak di buntuti oleh
asistennya yang cantik.
Sementara
didalam ruangan masih baru mau keluar tuan Karveo dan tuan Qaza.
“Tuan
Qaza sudah seharusnya mencari jalan keluar dari masalah ini. Jangan diperlambat
lagi”, tegur tuan Karveo saat berbarengan keluar ruangan.
“Saya
sudah berusaha tuan tetapi kemampuan Hajunba seperti yang dicuri Vocare telah
melalui banyak percobaan dan seleksi panjang pada setiap Hajunba alami. Kita
bisa saja membuat Hajunba secara cepat namun untuk menuju bumi, kita tidak bisa.
Ini benar-benar bukan masalah jarak yang dekat atau jauh namun ini mengingat
bumi dan Naolla memiliki perbedaan waktu yang
cukup jauh. Jika saya paksakan untuk membuat Hajunba jenis itu,
kemungkinan untuk menuju bumi hanya satu berbanding seribu. Kestabilan Hajunba
darurat sangat labil dan sering kali berubah. Yang saya takutkan, jika
sewaktu-waktu hajunba itu mengalami anomali, kita tidak bisa berbuat banyak.
Maka dari tu saya tidak ingin mengorbankan para Yuari tanpa mendapat hasil”.
“Lalu
bagaimana mungkin anda mengirim orang untuk menemui Ray sementara Hajunba menuju
bumi hanya sekecil itu?”.
Mereka
terus berjalan meninggalkan ruangan rapat.
“Sesuai
perintah Loka tadi, kita akan mencoba mendeteksi keberadaan Ray di bumi dengan
baunya. Saya punya hewan kecil yang bisa diandalkan”, kata Qaza.
“Hewan
apa itu tuan?”.
“Ayo
ikut saya kegedung penelitian, tuan Karveo”, ajak Qaza.
Langkah
kaki mereka semakin cepat memasuki ruangan kerjanya. Loka duduk di kursi dan mulai
membuka berkas yang akan dia persiapkan untuk pemberian wewenang penuh
menangani kasus ini pada Yuari dan lembaga penelitian pulau Fugk.
“Tolong
kamu buat surat pemberian wewenang seperti ini, Nevala. Sesegera mungkin”,
pinta Loka sambil menyerahkan sebuah surat kepada Nevala.
“Berapa
buah tuan?”. Nevala mengambil surat itu.
“Tiga
buah. Satunya untuk bukti dimejaku”.
Nevala
segera melaksanakan tugas yang diberikan tuan Loka padanya. Diketahui bahwa pertemuan
tadi menghasilkan kesepakatan bahwa kasus ini sepenuhnya diserahkan kepada
Yuari sebagai pelaksana dan dibantu oleh lembaga penelitian sebagai orang yang
dipercayai mengadakan alat pendukung kebumi. Fugk akan melakukan dua tahap
pertolongan pada Ray. Pertama mereka akan mengirimkan hajunba kecil setelah
menemukan Ray untuk mempermudah mereka kabur jikalau terpaksa. Sementara itu
lembaga penelitian Fugk mempersiapkan Hajunba besar seperti yang dibuat sebelumnya
agar bisa mengirim pasukan penolong kebumi.
“Wow!
Lucu sekali binatang ini tuan”. Karveo memegang seekor binatang sebesar
belalang diujung telunjuknya. Dialah Jheibo hewan langka yang bisa bicara dan
memiliki kepandaian serta kepintaran. Jheibo memeiliki kepala besar dan seluruh
tubuh bersisik kecil berwarna biru keungu-unguan. Dia memiliki enam pasang kaki
dan dua pasang sayap yang panjang. Dikepalanya terdapat tonjolan yang mirip
sanggul. Di Naolla dia hanya bisa ditemukan di pedalaman Isipao dan itupun
sangat sulit melihatnya karena dia bisa membentuk dirinya mirip bunga apabila
ketakutan dan waspada.
“Dia
memang lucu dan unik tetapi dia bukanlah hewan peliharaan”, jelas Qaza.
“Bagaimana
dia akan mengatakan dan menjelaskan pada Ray tentang situasi saat ini di
Naolla?”.
“Hewan
ini sangat pandai dan bisa bicara. Dia hanya bisa diajarkan berbicara
sedikit-sedikt pada kita. Dia tidak akan mampu berbicara banyak karena jika
berbicara terlalu panjang akan membuatnya pusing dan tertidur. Tidur Jheibo
bisa satu minggu lamanya”.
“Bagaimana
Ray tahu kemampuan Jheibo ini kalau kita tak memberitahunya?”.
“Tenang
saja. Ray memang tidak tahu tetapi Fiko tahu itu”.
“Mengapa
tidak secepatnya kita kirim hewan ini kebumi?”, tanya Karveo.
“Bukankah
kita menunggu surat dari Loka terlebih dulu?”.
Karveo
memandangi Jheibo lekat-lekat. Jheibo yang tampak manis itu berubah menjadi
bunga yang tampak cantik bila dipandang. Karveopun tersenyum melihat kelucuan
Jheibo.
***
Ray
masuk kedalam rumahnya dan menutup pintu kembali. Tengah malam yang sunyi kali
ini membuat Ray agak waspada jikalau tiba-tiba Yuari mengetahui keberadaannya. Pikiran
Ray masih teringat akan wajah keempat Yuari yang mengejarnya dihutan tadi.
Dengan hati yang masih agak takut, dia masuk kekamar mandi dan mencuci kaki
kemudian masuk kekamar dan berganti pakaian tidur.
“Ray?
Kamu sudah pulang?”, tanya Fiko seperti mengigau.
“Iya,
ini aku Fiko. Sudah… Lanjutin saja tidurmu. Masih malam”. Ray melepas
pakaiannya lalu mengambil pakaian bersih untuk ia kenakan tidur.
Ray
tidur disamping Fiko. Sementara Fiko membelakangi Ray dengan pulasnya. Ray yang
memandangi Fiko hanya bisa tersenyum dan mulai memejamkan mata.
Fiko
berbalik badan dan menghadap Ray. Fiko tampak tampan sekali ketika tidur
seperti ini. Ray yang semula memejamkan mata sekarang menatap wajah Fiko yang
dekat dengan wajahnya sambil berfikir, “ Kamu dan aku berbeda. Kamu Raja dari
Vocare sedangkan aku hanya orang biasa. Aku beruntung bisa bersamamu Fiko.
Terimakasih karena kamu mau menjadi tanganku dan akupun bersedia melindungimu
tanpa atau dengan perintahmu”. Ray mengelus wajah Fiko yang tampak pulas tidur.
Fiko
memeluk Ray didalam tidurnya yang hanya ditanggapi Ray dengan senyuman tanda
dia setuju dengan perlakuan Fiko.
Malam
semakin larut dan dingin. Waktu disana telah menuju dini hari. Dia harus
secepatnya memberitahu Fiko mengenai Yuari yang mengincarnya agar mereka bisa
waspada jika jauh terpisah.
Lampu-lampu
tidur menerangi rumah-rumah di Toshirojima. Kucing-kucing liarpun masih ada
yang berkeliaran mencari makanan.
Pagi
yang sudah meninggi membangunkan Ray dari tidur nyenyaknya. Dia mengucek-ngucek
mata dan melihat kesebelahnya yang tampak hanya tempat tidur Fiko yang tidak
dia bereskan. Tidak biasanya Fiko meninggalkan tempat tidurnya dalam keadaan
berantakan begitu. Ray mulai berfikir, apakah Fiko sedang buru-buru. Ray
bergegas bangun dan merapikan tempat tidurnya dan sekalian tempat tidur Fiko.
Jendela
kamar dia buka dan tampaklah matahari ditimur yang mulai meninggi. Ray
mengambil handuknya dan dengan jalan malas dia masuk menuju kamar mandi. Ketika
dia buka kamar mandi tersebut…
“Fiko?
Maaf…”. Ray kaget ketika melihat Fiko sedang mandi telanjang kemudian dia
berniat menutup pintu kamar mandi kembali.
Sungguh
dia tidak menyangka kalau Fiko ternyata masih dirumah. Biasanya Fiko sudah
berangkat melaut jam segini. Fiko langsung menghalangi Ray menutup kamar mandi
dengan kakinya dan menarik Ray masuk.
“Kenapa
Sayang? Masuk saja sekalian kita mandi bareng”, ajak Fiko.
“Nanti
saja ya Fiko. Kamu silahkan saja duluan”, tolak Ray. Dia bukannya menolak Fiko
melainkan Ray takut kalau-kalau terjadi sesuatu antara dia dan Fiko dikamar
mandi itu.
“Mengapa
nanti Ray. Kan kita bisa mandi sama-sama. Bukankah aku pacarmu sekarang?”.
Ray
hanya diam terpaku.
“Sudah…
Sini aku bukakan bajumu”, pinta Fiko.
“Aku
saja Fiko”. Ray membuka baju dan celananya.
“Lho,
kok celana dalamnya tidak dibuka sekalian?”.
“Ngapain
harus dibuka?”.
“Biar
sama-sama polos tubuh kita”, jawab Fiko. Fiko mendekatkan tubuhnya ke Ray dan
meraih celana dalam Ray kemudian mempelorotkannya.
Ray
hanya diam antara menolak atau mengiyakan. Kini mereka sudah telanjang bulat.
Fiko tampak memandangi Ray dari ujung kaki sampai ujung kepala.
“Ada
apa Fiko? Jangan memandangku seperti itu”, protes Ray sambil menyiramkan air
ketubuhnya.
Ray
tahu bahwa Fiko mulai terangsang. Itu jelas terlihat dari barang Fiko yang
mulai mengeras dan tegang mengacung.
“Ray.
Aku tegang nih. Aku boleh tidak memintamu untuk memegang ini?”, tunjuk Fiko
pada penis tegangnya.
Ray
yang menakuti hal ini terjadi, akhirnya tak bisa berbuat banyak juga untuk menahan nafsunya.
Melihat
Ray diam membisu, Fiko pun mendekati Ray dan mengerahkan tangan Ray untuk
memegang penisnya. Ray tidak menolak dan mulai menggenggam penis besar Fiko yang
tidak muat digenggaman tangannya.
“Ray…”,
Fiko mengarahkan wajahnya untuk menciumi Ray. Dengan perlahan Ray menengadahkan
kepala dan menyambut ciuman Fiko. Pagutan bibir merekapun terlihat memanas.
Ciuman Fiko terlihat sangat bergairah pada Ray. Sambil berciuman Fiko hidupkan
shower disampingnya agar Ray dan dia terguyur air yang dingin. Ciuman mereka
semakin liar dan tangan Ray mulai membelai-belai penis Fiko yang besar.
Merasakan sensasi yang membuatnya terbang, Fiko semakin liar menggigit bibir
manis Ray. Tangannya dia gerakkan membelai punggung dan pantat Ray.
Ray
mulai pandai memainkan batang kejantannan Fiko. Dia kocok pelan penis Fiko
dengan penuh perasaan. Fiko benar-benar bergidik merasakan sentuhan tangan Ray
yang sangat lembut itu. Ujung jari Ray mulai nakal memutar-mutar dilubang pipis
Fiko yang basah.
“Ohhhh
Ray…”.
Fiko
tersandar didinding dan melepaskan ciumannya. Dia menutup mata dan menikmati
sentuhan tangan Ray di penisnya.
Pertahanan
Fiko roboh, dia mulai menekan kepala Ray agar mau mendekat keselangkangannya
itu. Dengan agak canggung, Ray mulai
mengikuti kemauan Fiko dan berhenti percis didepan penis Fiko yang tegak
berdiri.
“Berikan
tubuhmu padaku Ray. Aku mau kamu menjadi milikku”.
Ray
masih agak bingung mau berbuat apa, tapi Fiko meletakkan ujung penisnya kebibir
Ray dan memutar-mutar kepala penis itu seperti megenalkan diri pada bibir Ray.
Karena penasaran, Ray julurkan lidahnya dan membuka mulutnya sedikit. Perlahan
Ray coba menjilati lubang pipis Fiko dan menggelitiknya menggunakan ujung
lidah.
“Ahhh
ahhhh,, Shhhtttt… Apa itu tadi Sayang? Nikmat sekali rasanya”, puji Fiko.
Ray
mulai menjilati kepala penis itu lagi dan kali ini dia seperti menyeruput
lubang pipis Fiko. Fiko meringis nikmat dan tubuhnya bergetar. Ray emut kepala
Penis Fiko dan dia isap-isap lembut. Ray tidak tahu rasa apa ini namun
benar-benar membuatnya ketagihan. Dia beranikan diri memasukan seluruh batang
Fiko kedalam mulutnya.
“Argggghhhh
Ohhhh Sayang… Ahhhh”, Fiko menusuk mulut Ray dalam-dalam hingga Ray tersedak.
“Uhuk!
Fiko? Pelan-pelan”, protes Ray ketika dia mengeluarkan penis Fiko dari dalam
mulutnya.
“Maaf
sayang”.
Ray
kembali menekankan kepalanya pelan-pelan agar tidak tersedak seperti tadi. Kini
Ray mulai mengocok penis besar Fiko menggunakan mulutnya.
Fiko
terpejam kenikmatan dan suaranya yang berat mendesah tak karuan menerima
hangatnya mulut Ray mengisap dan mengulum penis besarnya. Ray benar-benar tak
habis pikir bahwa dia suka sekali dengan sensasi mengulum penis yang tidak ada
rasanya ini. Walau begitu, mulutnya seakan-akan memeras kuat benda bulat milik
Fiko itu. Ray mengigit bagian bawah penis Fiko dan menjilatinya seperti
menjilat es krim batangan.
Fiko
mengejang-ngejang merasakan mulut Ray yang nikmat itu.
Ray
memompa mulutnya maju mundur pada batang besar Fiko. Air Shower yang terus
mengucur sesekali mengalir dikontol Fiko dan tertelan Ray. Plop-plop-plop!
Suara yang khas ditimbulkan oleh mulut Ray yang bergerak mengocok penis Fiko.
Fiko tak mau kalah, dia mulai menggerakkan pinggulnya maju mundur. Ray diam
mematung, mencoba mengatur nafas karena Fiko sedang menusuk mulutnya ganas
sekali. Fiko tampaknya akan keluar sebentar lagi. Kecepatan pinggulnya semakin
ganas menyeruduk mulut Ray.
“Ah
ahh ahh ahha ssshhhttt ahhh oh ooohhh…”.
Namun
lagi-lagi mereka tidak diijinkan untuk melakukan hubungan nista ini lebih jauh.
Dari arah luar terdengar seseorang memanggil Ray.
“Ray…
Sudah bangun belum?”, panggil seseorang diluar.
Buru-buru
Ray melepaskan penis Fiko dimulutnya dan bangkit berdiri. Fiko tampak protes karena
dia sudah hampir orgasme.
“Ada
orang Fiko. Nanti lagi ya”. Ray mengecup bibir Fiko dan buru-buru mengenakan
handuk.
Fiko
masih menahan Ray dengan memegang tangannya, namun Ray melepaskan pegangan Fiko
dan menuju pintu depan untuk membuka pintu. Tampak sesosok tubuh yang tidak
asing diingatan Ray sedang berdiri membelakangi pintu.
“Adam?
Ada apa pagi-pagi kemari?”, tanya Ray kaget setelah menebak bahwa punggung yang
dia lihat adalah punggung Adam.
Adam
memutar badan. “Lama sekali Ka…”, Adam memotong perkataanya setelah melihat
tubuh Ray yang hanya terbalut handuk putih dibagian pinggang. Tatapannya tampak
tak lepas dari ujung kaki hingga ujung kepala Ray.
“Mau
apa kamu kemari Adam?”, tanya Ray membuyarkan tatapan Adam padanya.
“Kamu
baru mau mandi Ray? Boleh aku masuk?”. Tatapan Adam masih tertuju pada Ray.
Sungguh
Ray merasa agak takut dengan tingkah Adam. Dengan agak ragu dia mempersilahkan
adam masuk kedalam rumahnya.
“Ray,
kamu menggoda sekali dengan handukan seperti itu. Aku jadi mau mandi bareng dengan
kamu. Hehe”. Adam mulai tidak sopan dengan mencolek dagu Ray.
“Ini
rumahku Adam, jadi aku harap kamu menghormati aku sebagai tuan rumah”. Ray
menegur Adam.
“Kalau
aku tidak mau?”. Adam tiba-tiba
mendorong tubuh Ray kedinding dan mencium bibir Ray.
Ray
sangat marah sekali, berani-beraninya Adam melecehkannya dirumah dia sendiri.
Ray memukul perut Adam sekencang-kencangnya. Namun Adam masih menciumi bibir
Ray dengan kasar. Tangan Ray dia bentangkan di dinding sehingga Ray tidak bisa
bergerak dan kaki Ray dia tahan menggunakan kakinya. Ray berusaha memanggil
Fiko namun dia tidak bisa karena bibirnya digigit Adam dengan cukup keras.
Adam
melepaskan handuk Ray yang merupakan satu-satunya benda pelindung tubuh Ray.
Ray sekarang benar-benar bugil dihadapan Adam yang terus mengigit bibirnya.
Fiko
yang mulai curiga karena Ray tidak kedengaran suaranya dan Ray tidak kembali
lagi ke kamar mandi maka Fiko pun keluar dengan hanya mengenakan handuk sebagai
penutup tubuhnya.
Fiko
memasuki ruang makan dan berbelok menuju ruangan depan. Alangkah terkejutnya
dia melihat Ray sedang berciuman dengan Adam dan Adam terlihat menekan tubuhnya
ketubuh Ray kuat-kuat didinding.
Fiko
yang marah langsung menarik leher belakang Adam hingga dia melepaskan ciumannya
pada Ray dan membanting Adam persis seperti pagi kemarin. Adam terlempar
kelantai dan mengerang kesakitan. “Argggg…”.
Fiko
menghampiri tubuh Adam yang terbaring dilantai dan memukul wajah Adam hingga
hidung dan giginya berdarah. Fiko benar-benar marah pada Adam. Sementara Ray
mengambil handuknya dan duduk bersandar didinding terdiam sambil menutupi
tubuhnya dengan handuk seadanya. Matanya tampak berkaca-kaca dan geram pada
Adam.
Adam
tentu tidak menyangka bahwa Fiko tidak melaut hari ini dan masih dirumah
bersama Ray. Terlambat bagi Adam untuk pergi meninggalkan rumah itu karena
darah segar telah keluar dari gusi dan hidungnya.
“Kamu
benar-benar kurang ajar Adam! Aku hampir membunuhmu kalau kamu bukan makhluk
bumi namun jika tadi kamu berani bertindak lebih jauh maka terpaksa nyawamu
berkhir diujung kapakku. Mengerti?!”. Fiko mendatangi Ray dan memeluk Ray yang
agak syok.
“Aku
kira kamu melaut Fiko”.
“Pergi
dari rumah kami sekarang!”, bentak Fiko.
Adam
bangkit berdiri dan buru-buru keluar rumah.
“Bibir
kamu berdarah Ray. Kamu diapain sama Adam sampai berdarah begini?”, tanya Fiko
sambil mengelap bibir Ray yang berdarah.
Ray
hanya bisa diam dam meneteskan air mata sambil memeluk tubuh kekar Fiko. Fiko
berusaha menenangkan Ray dengan memeluk tubuh Ray erat-erat. Dia sangat menyayangi
Ray dan tidak mau Ray sampai terluka hatinya.
“Berhati-hatilah
dengan Adam sayang. Dia tampaknya benar-benar terobsesi denganmu”. Kembali Fiko
menciumi ubun-ubun Ray.
Ray
sekarang merasa sedikit tenang dengan dekapan hangat dari tubuh Fiko. Merekapun
bangkit dan masuk kedalam.
Satelah
semuanya agak tenang Ray dan fiko sarapan setelah itu berniat untuk pergi
kelaut untuk bersenang-senang. Fiko meminjam kapal tuan Takeshi yang biasa dia
gunakan melaut. Kebetulan hari ini tuan Takeshi tidak melaut sehingga Fiko bisa
meminjam kapalnya dan mengajak kekasihnya untuk menikmati indahnya laut berdua.
“Memangnya
kamu bisa mengendarai kapal Fiko?”, tanya Ray ragu.
“Kamu
meragukan aku Ray? Tenang saja, aku sudah mahir kok mengendarai kapal ini.
Setiap hari aku kan bersama tuan Takeshi melaut”. Fiko mulai menyalakan mesin
kapal dan memutar arah untuk menuju lautan lepas. Tampaknya Fiko tak perlu
diragukan lagi bahwa kemampuan mengemudi kapal Fiko sudah bisa dikatakan mahir.
Fiko mengemudikan kapalnya menerobos ombak-ombak laut dan angin yang menerpa.
Cahaya air laut yang memantulkan cahaya matahari siang semakin menggambarkan
ketenangan laut yang hanya mereka nikmati berdua.
Ditengah
lautan lepas, Fiko menghentikan laju kapalnya dan membiarkan mereka terombang-ambing
dibawa ombak. Menikmati birunya langit dan deretan awan-awan putih, sangat
memukau mata Ray. Didalam hati dia merasa takjub akan heningnya laut yang dia
rasakan sekarang ini. Fiko mengajak Ray kedepan kapal.
“Disini
terlalu panas sayang”, tolak Ray.
“Ya
sudah, kita kebelakang kapal saja ya”, ajak Fiko sambil merangkul bahu Ray.
Fiko
duduk dibagian belakang kapal. “Duduk dipangkuan aku saja sayang”, kata Fiko
pada Ray.
Ray
menuruti mau Fiko dan duduk dipangkuannya. Kepala Ray bersandar di bahu kokoh
Fiko sambil matanya menatap jauh kedepan sana. Birunya laut yang benar-benar
membius Ray yang cinta kedamaian.
“Fiko,
aku baru ingat bahwa ada yang harus kamu ketahui”.
“Apa
itu Ray?”.
Ray
menegakkan tubuhnya dan menatap Fiko. “Ini sebenarnya masalah serius Fiko.
Vocare telah mengetahui keberadaan kita dan mereka telah mengirimkan empat
orang Yuari untuk menangkapku kemarin. Aku tak habis fikir mengapa mereka bisa
menemukan kita. Jika nanti mereka berhasil mengetahui lokasi kita dipulau ini
maka aku tak bisa berbuat apa-apa tanpa kamu Fiko”.
“Tenang
Ray. Aku akan berusaha melindungimu sebisaku. Memangnya mereka siapa
berani-berani mengusik ketenangan kita?”. Fiko sebenarnya tampak berfikir, mungkin
dia berharap bisa membuka hajunba ke Naolla dan kembali kesana.
“Mengapa
Fugk tidak mengabari kita ya Fiko? Ini sungguh janggal menurut aku. Bagaimana
ungkin Vocare bisa menemukan persembunyian kita sementara Fugk merahasiakannya.
Jangan-jangan informasi ini dibocorkan orang dalam”. Ray masih duduk di
pangkuan Fiko.
“Rebahan
dibahuku lagi Ray biar lebih enak ngobrolnya”. Fiko mengarahkan kepala Ray
untuk kembali bersandar dibahunya dan Ray seakan patuh pada Fiko.
Dengan
diterpa angin laut tubuh mereka semakin merapatkan pelukan supaya tidak terlalu
merasa dingin. Fiko mengecup dahi Ray mesra seolah-olah menunjukkan rasa
cintanya.
“Kamu
kok seperti biasa-biasa saja Fiko? Apakah kamu tidak takut kehilangan aku?”,
protes Ray yang merasa bahwa Fiko tidak merespon kata-katanya tadi.
“Bukan
begitu sayang. Aku sebenarnya memikirkan cara untuk menyembunyikanmu atau
melindungimu saat kita terpisah jauh. Aku kan bekerja dilaut dan kamu di
Toshirojima. Kita akan terpisah hampir delapan belas jam. Aku khawatir dengan
kamu Ray. Apakah aku harus pindah profesi agar bisa dekat dengan kamu
terus?”. Mata Fiko memang tampak bingung
memikirkan sesuatu. Dia bingung harus bagaimana saat ini apakah harus dekat
dengan Ray atau menyembunyikan Ray? Fiko hanya bisa menutupi ketakutannya
dengan memeluk erat Ray.
Kapal
yang bergoyang dihantam ombak tampak menghanyutkan kedua insan ini. Langit
mulai menegur Ray dan Fiko menggunakan cahayanya yang indah. Saking asiknya, mereka
tidak menyadari bahwa ternyata hari sudah sore.
“Sebaiknya
kita pulang Fiko”, pinta Ray yang bangkit dari dekapan Fiko.
“Sebaiknya
memang begitu Ray. Kelihatannya sudah sore. Bukankah kamu harus kerja? Maaf ya
Ray aku membuatmu terlambat bekerja”.
Ray
tersenyum tanda dia tidak mempermasalahkan ini.
Fiko
mulai masuk keruang kendali kapal dan menjalankannya untuk segera mengarahkan
kapal menuju dermaga.
Disebuah
penginapan yang disewa para Yuari tampak lengang. Para Yuari itu tidak ada
dikamar mereka. Apakah mereka sedang mencari lokasi Fiko dan Ray berada?
Kelihatannya begitu, mengingat mereka datang kebumi dengan tujuan menangkap
Ray.
Dijalanan
Toshirojima juga tidak tampak para Yuari itu dan hanya terlihat orang-orang
berlalu lalang. Mungkin kah para Yuari itu sedang bersembunyi agar tidak
terlalu mencolok?
Tampak
dari jauh, ada dua orang tengah mengayuh sepeda cepat-cepat dan agak
tergesa-gesa. Semakin lama semakin dekat dan mereka ternyata adalah Ray dan
Fiko. Tampaknya Ray ingin cepat sampai ke penginapan karena nyonya Aiko pasti
tidak akan senang dengan keterlambatannya hari ini.
Dia
bersama Fiko memasuki penginapan dan tak tampak Nyonya Aiko disana. Suasana
sedikit sepi dan Ray mulai bertanya-tanya kemanakah nyonya Aiko? Dia memasuki
ruangan dan menuju dapur namun disana juga tak ada nyonya Etsuko.
“Nyonya
Aiko… Nyonya Etsuko… Apakah kalian mendengar aku?”, panggil Ray.
“Kemana
mereka ya Ray?”.
Dari
arah luar muncul Nyonya Etsuko dengan membawa sesuatu ditangan kirinya.
“Nyonya?
Kemana saja kalian?”,tanya Ray.
“Kalian?
Aku maksud kamu Ray? Aku baru saja datang dari membeli jahe. Memangnya dimana
nyonya Aiko?”, tanya dia balik.
“Aku
juga tidak tahu”. Ray mencari nyonya Aiko kesemua ruangan. Ternyata Nyonya Aiko
tengah berada dihalaman belakang sedang membuang sampah ketempat pembakaran
sampah.
Ray
menghampiri nyonya Aiko dan meminta maaf atas keterlambatannya. “Maafkan saya
nyonya saya terlambat cukup lama kali ini”.
“Aku
kira kamu tidak masuk kerja. Sudahlah Ray, tidak apa-apa. Kamu cepat
mengerjakan apa yang harus kamu kerjakan saja, sebelum senja”. Nyonya Aiko
tidak marah.
“Terimakasih
nyonya. Saya membawa Fiko untuk membantu saya. Bolehkan nyonya?”.
Nyonya
Aiko menganggukan kepala tanda dia menyetujuinya. Maka dengan antusias Ray
mulai masuk ke ruangannya dan berganti pakaian kerja untuk segera mengerjakan
tugas-tugasnya yang tertunda. Fiko juga ikut membantu Ray mengerjakan
pekerjaaanya. Fiko menyedot debu-debu yang menempel di lantai dan karpet
sementara Ray merapikan barang-barang yang harus dirapikan. Mereka berdua
tampak kompak dan serasi mengerjakan tugas. Sesekali tampak Fiko menggoda Ray
dan bercanda.
Tepat
senja tiba mereka telah menyelesaikan tugasnya. Ray duduk sebentar ditempat
kerjanya setelah merapikan peralatan bersih-bersih.
“Untung
saja ada kamu ya Fiko jadi pekerjaan aku cepat selesai”. Ray merasa tertolong
dengan adanya Fiko.
“Aku
senang bisa membantumu sayang”, Fiko memeluk tubuh Ray.
“Muahh…”,
Ray mengecup pipi Fiko sebagai tanda terimakasih. “Aku mau membantu nyonya
Etsuko didapur dulu Fiko”. Ray melepas pelukan Fiko dan beranjak menuju dapur.
Fiko mengikuti Ray kedapur.
Didapur
adalah bagian nyonya Etsuko. Sudah cukup lama nyonya Etsu bekerja sebagai juru
masak dipenginapan nyonya Aiko. Dia pandai sekali membuat masakan Jepang
sehingga Ray sering belajar dengan beliau apabila ingin membuat masakan Jepang.
Ray memang tidak begitu pandai memasak jika dibandingkan dengan Fiko. Walau pun
Fiko tampak macho begitu, sebenarnya dia mahir memasak dibandingkan Ray namun
Ray sebenarnya orang yang mudah belajar sehingga dia sangat cepat mempelajari
sesuatu yang baru seperti halnya memasak.
“Wah
nyonya Etsu mau masak apa untuk makan malam ini?”, tanya Ray ketika memasuki
dapur.
“Mie
somen, Ray”. Nyonya Etsu membersihkan udang yang cukup besar-besar itu.
“Saya
bantu ya?”, tanya Ray menawarkan diri.
“Kamu
potong sayuran itu saja ya Ray”. Nyonya Etsu menunjuk sayuran yang tergelatak
di meja. Disana tampak brokoli, jamur shitake dan wortel.
“Sudah
dicuci belum sayuran ini nyonya?”, tanya Ray.
“Sudah
Ray. Wortelnya dipotong seperti membuat sup saja ya”.
“Baik
nyonya”. Ray mulai mengambil sayuran itu dan mulai mengambil wortel dan mengupas menggunakan pengupas
wortel.
Fiko
yang ada dibelakang juga mau membantu Ray, dia tampak mengambil cabe merah dan
daun bawang. “Cabe merah ini di apakan nyonya?”, tanya Fiko yang sudah siap
menangani cabe merah.
“Dicincang
saja Fiko”.
Fiko
mulai memotong-motong cabe dan Ray memotong wortel. Mereka sesekali tampak
bercanda sambil melakukan pekerjaanya.
Setelah
nyonya Etsu selesai dengan udangnya, dia memanaskan panggangan dan memanggang
udangnya yang sebelumnya telah dibumbui. Aroma udang yang dipanggang sangat
menggoda sekali dan aroma inilah yang membuat Adam penasaran untuk melihat apa
yang sedang dimasak didapur.
Adam
pun keluar kamar kemudian melangkahkan kaki menuju dapur. Dia agak kurang
senang melihat Fiko dan Ray yang tampak
tersenyum-senyum sambil memotong sayuran. Langsung saja Adam memisahkan Ray dan
Fiko dengan menyelinapkan tubuhnya diantara mereka berdua. “Kalau memotong
sayuran aku juga bisa Ray. Aku boleh bantu kan nyonya?”, tanya Adam pada nyonya
Etsu.
“Iya
boleh tapi hati-hati dengan pisau ya tuan”. Nyonya Etsu sambil membalik
udangnya.
Fiko
dan Ray tampak kesal dengan kedatangan Adam terlebih lagi Ray yang telah
diciumi Adam hingga bibirnya berdarah.
“Kami
sudah mau selesai kok Adam. Kamu tidak usah mengotori tanganmu itu”, larang
Ray.
“Fiko
saja tidak marah. Ya kan Fiko?”, goda Adam.
Fiko
tampak jengkel melihat sikap Adam yang tampaknya sengaja ingin membuat dia
marah. Fiko menaruh cincangan cabai kasarnya kedalam mangkuk kemudian mulai
memotongi daun bawangnya.
“Kamu
bisa tidak menjauh dari kami sebentar Adam. Kamu menghambat kerjaku”. Fiko
mulai marah karena tangan kanannya kadang sengaja disenggol Adam.
“Nih
kamu yang potongi brokoli, Adam. Aku mau bantu yang lain saja”. Ray menyingkir
dari sana dan dengan terpaksa Adam memotongi brokoli itu. “Bagaimana memotong
brokoli ini Ray? Aku tidak bisa”.
“Tadi
kata kamu kalau cuma memotong sayur, kamu bisa. Ya sudah, kalau tidak bisa
masak jangan disini. Duduk saja sana!”, usir Ray yang mengambil pisau dari
tangan Adam.
Adam
akhirnya mau menjauh dan duduk didekat meja makan lesehan.
Setelah
semua bahan-bahannya beres maka nyonya Etsu mulai merebus mie somen sedangkan
Fiko membantu untuk membuat kuahnya. Ray memandangi wajah Fiko yang tengah
memasak dengan senyum bangga. Fiko pun membalasnya dengan senyuman manis yang
menunjukan deretan giginya yang rata pada Ray.
Sementara
dibelakang sana, Adam dengan cemburunya menatap tingkah laku Ray dan Fiko.
“Hati-hati Ray nanti wajah kamu terkena percikan kuah panas Fiko”, tegurnya
sewot.
Ray
tidak menghiraukan omongan Adam dan terus memandangi wajah kekasihnya ini.
Karena
Fiko pandai memasak lah maka Ray sering tidak percaya diri jikalau
menghidangkan masakan untuk Fiko dirumah. Namun kalau bukan dia yang masak
siapa lagi? Kalau harus menunggu Fiko datang baru memasak makanan, itu sungguh
keterlaluan sekali namanya.
Beberapa
saat kemudian delapan mangkuk mie somen dingin sudah siap di santap. Ray
memanggil para tamu penginapan dan juga nyonya Etsuko untuk makan bersama
diruang makan. Nona Ino, Adam, Nyonya Etsu, Ray, Fiko, Nyonya Aiko dan kedua
orang tamu,laki-laki serta perempuan, mulai duduk dan menyantap mie somen
buatan Fiko dan nyonya Etsuko.
“Wah
enak sekali ini nyonya”, puji tamu laki-laki yang tampak berusia sekitar 30
tahunan itu.
“Terimakasih
tuan. Silahkan dinikmati jangan sungkan-sungkan”, jawab nyonya Etsu tersipu.
“Nona
Ino menikmati liburan disini kan?”, tanya nyonya Aiko.
“Saya
senang berlibur disini nyonya. Sluurrpppp”. Nona Ini menyeruput mienya.”Sayang
sekali besok saya harus kembali ke Tokyo”.
“Kalau
kapan-kapan ada waktu, nona kesini lagi”, kata nyonya Aiko.
Kehangatan
acara makan malam kali ini sangat terasa. Mereka saling mengakrabkan diri
layaknya sebuah keluarga kecuali Adam yang tampak kesal dengan Fiko yang
berbisik-bisik dengan Ray. Tetapi mereka semua masih tidak memperhatikan
tindakan Adam dan terus menikmati mie Somen nikmat itu.
Malam
telah tiba dengan angin yang bertiup sepoi-sepoi di atas daratan Toshirojima.
Ray menutup sebagian jendela yang masih terbuka. Diluar sana awan tampak tak
bersahabat dengan menutupi sebagian langit yang indah. Ray teringat dengan
kristal di Naolla yang ingin sekali dia naiki suatu saat nanti. Langkah kaki
nya menuju ruangan pekerja yang berada didekat dapur. Disana ada Fiko yang
sedang membaca buku. Alis Fiko tampak serius sekali menampakkan sikap Fiko saat
membaca buku itu. Mata Fiko tampak mulai berair karena lelah membaca dan
mungkin juga disebabkan karena tubuhnya yang lelah juga. Ray mendekati Fiko dan
duduk disampingnya.
“Serius
sekali membaca bukunya. Buku apa itu Fiko?”, tanya Ray sambil meregangkan otot
tangannya dengan cara memijat.
“Buku
biograpi Ray. Kamu sudah selesai?”. Fiko menutup bukunya.
“Sudah
Fiko. Tapi tetap saja aku harus menunggu tuan Yamamoto dulu sebelum pulang. Sebentar
lagi juga ada tuan Agashi yang menjaga penginapan ini”.
“Kamu
capek ya sayang? Kalau capek istirahat saja disini”. Fiko menunjuk pahanya
dengan maksud menyuruh Ray berbaring disana. “Ayo… Sini”. Dia merangkul bahu
Ray dan mengarahkannya untuk merebahkan diri di pahanya.
Ray
menurut saja apa yang disuruh Fiko karena sebenarnya dia memang sudah lelah dan
ingin sekali merebahkan tubuh. Ray merasa sangat dekat sekali dengan Fiko.
Semuanya telah berubah sekarang. Dulu dia sangat dingin pada Fiko namun setelah
dia tahu bahwa Fiko benar-benar menyayanginya tanpa mengaharapkan apapun maka
dia seperti tak ingin jauh-jauh dari Fiko sekarang dan untuk selamanya. Jika
suatu saat takdir mengharuskan Fiko untuk pergi darinya maka hanya dia lah yang
bisa melanjutkan hidup seperti ini atau hidup didalam diri orang lain sebagai
Azzo.
Hangatnya
paha Fiko membuat Ray tentram dan ingin sekali memejamkan mata sebentar. Fiko
tersenyum melihat wajah Ray yang polos dan tampak kecapekan itu.
Ray
memang bertubuh kecil, imut dan tampan. Alisnya yang rapi dan hampir menyatu
sangat berbeda dengan penampilannya yang manis dan bibirnya yang merah. Deretan
giginya yang rata juga semakin meluluhkan hati Fiko saat dia menatap senyum
manis Ray. Hidung Ray yang tampak mancung mendukung bentuk wajahnya yang agak
oval. Mungkin Tubuh Ray hanya setengah tubuh Fiko dalam ukuran berat. Fiko yang
tinggi besar dan bertubuh kekar akibat latihan Yuari sangat menawan mata siapa
saja. Senyumnya yang tampak manis dan wajahnya yang tampan tidak melukiskan bahwa
dia mencintai seorang lelaki apalagi dia adalah seorang Raja. Tidak pernah
terbesit sedikitpun dipikiran Ray bahwa dia bisa tidur dipangkuan Fiko sebagai
kekasihnya. Sejak kecil Ray hanya tahu dari orang-orang bahwa Fiko akan menjadi
Raja Vocare yang baru sebagai penerus Raja Vocare X, ayahnya. Ray fikir Fiko
itu orangnya angkuh, sombong dan tidak mau tahu kehidupan orang bawah. Apalagi
setelah dia mendengar kalau Fiko merupakan Yuari tangguh di kelompoknya. Fiko
terkenal sebagai pengeran penerus kerajaan Vocare yang tangguh dan tak
terkalahkan. Ray sangat membenci Fiko saat itu karena Fiko akan melakukan apa
saja untuk mendapatkan kekuasaannya, termasuk melukai siapa saja yang
menghalanginya. Disaat penyerangan Vocare ke Fugk untuk mengambilnya pun, Fiko membantai
Yuari Fugk yang berusaha menghentikannya. Fiko benar-benar jahat dimata Ray
saat itu.
Ketika
Tahta berhasil direbut Sukaw, Fiko sadar bahwa Sukaw yang dia percaya selama
ini ternyata hanya ingin menguasai kerajaan Vocare dan Naolla. Dengan berbekal
kekuatannya, Fiko berusaha menculik Ray dan membawa Ray ke Fugk untuk
berlindung. Namun ternyata Sukaw tahu kemana Fiko dan Ray bersembunyi. Sukaw
tak bisa berbuat apa-apa saat itu karena dia adalah Raja Baru yang masih minim
kepercayaan oleh warga Naolla. Maka dia tidak ingin melakukan tindakan paksa
untuk mengetahui keberadaan Fiko dan Ray sehingga melakukan cara perundingan.
Perundingan itu akhirnya membuat hasil yang tidak menguntungkan bagi beberapa
wilayah dan Fugk sendiri. Sukaw memutuskan persahabatan dengan Fugk dan
negara-negara sahabatnya jikalau Fugk tidak memberitahu keberadaan Ray. Loka
Fugk mengira bahwa wilayah sahabat akan berfikiran sama dengannya agar menjaga
kedamaian Naolla dengan menyembunyikan Ray tetapi ternyata wilayah sahabat
tidak sependapat dan mulai membenci Fugk. Semanjak saat itu kehidupan Fugk
menjadi berubah dan semakin dipersulit Sukaw.
Awal
tinggal dibumi bersama Fiko, Ray sangat membenci Fiko dan dingin pada Fiko.
Namun ketika melewati banyak hal bersama dibumi, ternyata Fiko tidak seperti
yang ada dipikirannya selama ini. Fiko bahkan memiliki hati yang baik dan
penyayang. Maka dari itulah perasaan cinta mulai menghantui diri Ray dan ini
cinta terlarang. Namun tanpa dia sadari bahwa Fiko juga memiliki rasa yang sama
padanya bahkan jauh sebelum dia merasakan perasaan cinta pada Fiko.
Ray
memeluk pinggang Fiko seperti tak ingin melepasnya. Fiko tersenyum sambil
tangannya membelai pipi Ray mesra. Fiko sangat sayang dengan Ray. Dia
sebenarnya pria yang lemah dan tidak bisa berbuat apa-apa. Dia selama ini hanya
terkekang oleh nama besar yang dia sandang. Dia benar-benar berubah setelah
melihat Ray untuk pertama kali dimalam penangkapan Ray saat itu. Dia takjub
dengan keberanian Ray melindungi orang lain yang ingin dia bunuh menggunakan
lingginya. Dia tidak bisa membunuh Ray walau saat itu dia bisa saja menebas
kepala Ray namun tangannya tiba-tiba bergetar hebat menahan nafsu membunuhnya
dan dia seperti benar-benar bukan Fiko Vocare yang hebat didepan Ray. Entah mengapa
dia saat itu seperti orang lemah dan tak berdaya hingga Ray terkena sebuah roda
gerobak dan jatuh pingsan.
Memandangi
wajah kekasihnya yang sangat dia sayang membuat lelah mata Fiko hilang secara
tiba-tiba. Dia bersyukur bahwa Ray talah merubah hidupnya seratus delapan puluh
derajat.
“Ray
kamu mau tidak aku ajak tinggal diistana jikalau aku kembali ke Hrewa Kufe?”.
Ray
diam sejenak sebelum menjawab pertanyaan Fiko. “Untuk apa Fiko?”, tanya Ray
balik.
“Ya
untuk hubungan kita. Aku mau kamu selalu ada didekatku dan menjadi bagian dari
Hrewa Kufe juga”.
“Bagaimana
dengan pandangan orang-orang padamu Fiko? Aku tidak mau memperburuk keadaan”.
Ray mencoba mengemukakan apa yang dia pikirkan.
“Mungkin
bisa jadi memperburuk dan bisa juga tidak Ray. Aku yakin Naolla tidak
mempersalahkan hubungan kita”.
“Mungkin
bagi kamu tidak Fiko tetapi nama Raja Vocare XI yang berada di belakang namamu
itu yang menjadi taruhannya. Nama besar harus memiliki kesiapan yang lebih
besar sayang”. Ray mencoba memberikan penjelasan pada Fiko.
“Aku
sebenarnya sudah siap Ray. Aku siap menerima kesalahan perasaan ini jika suatu
saat nanti Naolla menuntutku. Aku sungguh-sungguh ingin memilikimu. Aku ingin
bersamamu dan menjadi tanganmu Ray. Kamu masih ragu kah dengan sikap dan
perasaanku?”, ucap Fiko serius.
“Naolla
tidak semudah itu mengerti keadaan kita Fiko. Jikalau kamu adalah orang biasa
mungkin semuanya tidak akan berpengaruh namun nama besarmu yang sangat di
hormati itu yang jadi permasalahannya”. Ray mencoba menjelaskan dengan nada lembut.
Fiko
terdiam sebentar dan berfikir bahwa apa yang dikatakan Ray itu benar adanya.
Dia tidak bisa menolak takdir sebagai orang besar namun dia juga tidak bisa
membohongi perasaannya sendiri. Fiko menarik nafas panjang sebelum dia meraih
tangan Ray dan menciumnya dengan penuh kasih sayang.
Drap,drap,drap…
bunyi langkah kaki orang berlari kian mendekat. Suaranya tampak kompak dan
teratur mungkin beberapa orang yang berlari itu memiliki kecepatan yang sama.
Mereka terus mencari sesuatu sambil berlari. Mata mereka sesekali memandang
kesisi kanan atau kiri untuk melihat apakah ada orang yang masih berkeliaran.
Mengapa mereka berlari malam-malam? Apakah mereka mau berbuat jahat? Ternyata
mereka adalah para Yuari Vocare yang tengah menuju penginapan. Mereka sudah
mencoba mencari keberadaan Ray dan Fiko dengan bertanya pada warga Toshirojima
namun tidak berhasil. Padahal Toshirojima adalah tempat yang sempit untuk
bersembunyi namun mengapa mereka tidak bisa menemukan Ray dan Fiko? Ternyata
mereka semua baru saja datang dari Naolla untuk mengumpulkan informasi mengenai
bumi. Mereka berempat memiliki masalah untuk berbaur dengan warga di
Toshirojima. Mereka memiliki masalah dengan adaptasi tingkah laku di pulau ini.
Sikap kasar mereka ternyata membuat sebagian orang yang mereka tanya menjadi
menjauh dan tidak berani mendekati mereka. Jika ini dibiarkan maka mereka akan
terhambat untuk mencari keberadaan Ray.
“Cepat
Vehu kita sudah terlalu malam untuk masuk kepenginapan”, protes Cre yang berada
dibelakang Vehu.
“Hehe…
Sebenarnya aku lupa jalan menuju penginapan kita”.
“Apa?!”,
Cre kaget dan menghentikan larinya.
Para
Yuari itupun berhenti sejenak.
“Tadi
kamu bilang masih ingat dengan jalan menuju penginapan kita tetapi sekarang
lupa? Bagaimana nasib kita ini sekarang?”, tanya Koloji agak marah.
“Maaf
… Aku kan tidak terlalu pandai mengingat”. Vehu membela diri.
“Hu-uh…
Sebaiknya kita bermalam di hutan saja sampai pagi tiba karena percuma terus
berlari dan tidak mempunyai tujuan seperti ini”, usul Alian.
“Apa
boleh buat. Ini karena sikap Sok tahu Vehu tadi. Kalau dia tidak bilang dia
ingat mungkin aku akan pulang lebih cepat tadi”, kata Cre.
“Sudahlah.
Kita juga yang salah sebenarnya. Kita tahu bahwa Vehu itu tidak sepandai kita
tetapi kita masih saja percaya padanya. Ayo kita kehutan saja”, ajak Alian.
Mereka
berempat mulai berlari menuju hutan untuk bermalam dan menghindari kecurigaan
orang. Walau mereka sudah lelah berjalan namun fisik kuat mereka memang pantas
di acungi jempol. Fisik kuat itu karena bentukan saat latihan di Yuari.
Gelapnya
hutan dan lebatnya pepohonan membuat suasana dingin semakin menusuk tubuh
mereka. Suara-suara binatang yang asing di telinga mereka juga tampak membuat
mereka siaga. Mereka benar-benar masih belum tahu banyak mengenai bumi. Bukan
seperti di Naolla yang memiliki binatang dan tumbuhan aneh, di bumi mereka juga
merasakan keanehan. Binatang, tumbuhan, manusia dan keadaan alam dibumi tidak
sama dengan di Naolla. Jika mereka ingin menjadi orang bumi maka mereka harus
paham dengan bumi setidaknya sampai tujuan mereka dibumi tercapai.
“Berhenti!”,
perintah Alian. “Dengarkan suara itu”.
Mereka
menelinga dan mencoba mendengarkan sebuah suara yang mendekat kearah mereka.
Suara yang ditimbulkan oleh dedaunan kering yang tergesek sesuatu.tentu saja
mereka harus waspada kalau-kalau ada hewan atau sesuatu yang membahayakan nyawa
mereka dihutan ini. Suara itu semakin dekat, semakin dekat dan…
“Awwww!
Sesuatu mengigit kakiku!”. Vehu melompat dan jatuh ketanah. Tampaknya dia
tergigit ular.
“Bagaimana
ini Alian? Vehu tergigit sesuatu”, tanya Cre.
“Tenang
Vehu. Tampaknya ini seperti gigitan beracun. Kamu jangan banyak bergerak dan
aku akan mencoba menghilangkan racunmu”.
Alian
mendekatkan mulutnya kekaki Vehu dan mulai menyedot darah dari kaki Vehu. Beberapa
kali Alian melakukan itu untuk membuang bisa ular yang mengigit Vehu.
“Aduhhhhh…
Pelan-pelan Alian. Sakit sekali”, protes Vehu.
“Tenang
sedikit Bodoh! Kamu mau mati dibumi, hah?!”, bentak Koloji yang geram dengan
sikap gugup Vehu.
Setelah
menyedot darah Vehu, Alian mengeluarkan Azzonya dan mulai mebuat linggi yang kecil
sekali untuk dimasukkan ketubuh Vehu. Linggi disini akan menyerap racun dan
mengeluarkannya walau rasanya agak sedikit sakit.
Vehu
meronta-ronta menahan sakit karena linggi itu mulai bekerja. Sementara Koloji,
Cre dan Alian berusaha menahan Vahu agar tidak banyak bergerak. Perlahan-lahan
Alian mengeluarkan linggi kecil yang menarik racun itu dari tubuh Vehu dan
membuangnya jauh-jauh. Vehu mulai lemas dan tertidur.
“Bawa
dia kedekat pohon itu dan sebaiknya kita menunggu datangnya pagi dengan
beristirahat disini saja”, kata Alian. Merekapun mengangkat tubuh Vehu yang tak
berdaya untuk disandarkan kepohon.
Bumi
adalah tempat yang asing dan tidak mudah dipelajari oleh mereka. Untuk meminimalisir
gangguan ular kembali terjadi maka mereka bertiga bergantian menjaga Vehu
sampai pagi tiba.
Bumi
ibaratkan tanah yang sangat bundar dan memiliki keanehan tersendiri dimata para
Yuari ini. Mungkin dulu hanya mimpi bagi mereka untuk menuju bumi. Sekarang
mimpi itu sudah menjadi kenyataan dan tampaklah ketakjuban meraka akan bumi
yang indah. Jika mereka bisa menuju bumi, tentu mereka akan memerlukan sikap
yang berbeda dalam menyikapi penduduk bumi. Sekarang mereka tahu bahwa dibumi
manusia selalu ingin hidup bersama-sama dan dibumi juga manusia saling
berperang untuk menjatuhkan satu sama lain.
Pagi
akan segera tiba dan mereka pun memanfaatkan sisa malam untuk melepas lelah
setelah seharian melakukan perjalanan bolak-balik Naolla-Bumi.
If you'd like an alternative to casually picking up girls and trying to figure out the right thing to say...
BalasHapusIf you would rather have women chase YOU, instead of spending your nights prowling around in noisy bars and night clubs...
Then I encourage you to view this short video to unveil a strong little secret that has the power to get you your very own harem of attractive women:
FACEBOOK SEDUCTION SYSTEM...