Mata
kecoklatan dengan bulu mata yang cukup lebat untuk seorang pria itu menatap
tetesan hujan yang masih lebat di luar. Pancaran matanya seolah-olah sedang
bercerita tentang kehidupan masa lalu sang pemiliknya.
***
Asap
mengepul disetiap sudut gang. Api menyala mebakar kayu-kayu bangunan. Dijalanan
tampak ratusan orang yang merupakan Yuari terkapar antara hidup dan mati
berlumuran darah. Linggi (Kapak Azzo) berbagai ukuran, bentuk serta terbuat
dari bermacam-macam azzo tampak berserakan menutupi sebagian luas jalan. Disinilah
semua terkuak. Saat masalah diselesaikan dengan jalan peperangan besar adalah
hal yang harus ditempuh oleh pasukan keamanan wilayah-wilayah yang bertikai. Demi
satu tubuh yaitu…Hucky Nagaray.
Wilayah
Vocare turun dengan kekuatan penuhnya sehingga membuat Loka Fugk harus menyusun
strategi spontan terbaik untuk melindungi Ray. Semua orang melindungi Pria ini
dengan sepenuh tenaga dan kemampuan mereka. Mengapa Ray begitu penting bagi
Pulau Fugk?
Hucky
Nagaray adalah Azzo Langit yang bisa diibaratkan sebagai hadiah dari Dewa. Dia
memang tampak seperti manusia pada umumnya dengan tubuh kecil, berwajah tampan
dan bermata hitam agak kecoklatan. Tetapi dia bukanlah manusia. Dia merupakan Azzo
Langit yang diturunkan untuk Raja Vocare X karena dia berhasil menguasai lima
Azzo(Tanah,Air,Api,Angin,Roh) dan Percampurannya. Semenjak itu Raja Vocare X
tidak pernah diketahui keberadaanya. Banyak yang berpendapat bahwa Ray
merupakan reinkarnasi dari Raja Vocare X namun tak sedikit pula yang membenci
Ray karena dianggap sebagai penyebab hilangnya Raja Vocare X. Terlepas dari itu
semua, Ray sebenarnya adalah Azzo Kosong karena sampai sekarang dia masih tidak
mampu memiliki satu Azzo-pun. Oleh sebab itu banyak orang-orang berniat jahat
ingin memiliki tubuhnya. Ray tetap bingung mengenai hal ini, dia Hak Kerajaan Vocare namun semenjak bayi dia
sudah dititipkan di Pulau Fugk pada seorang pembuat pedang yang tidak memiliki
anak.
“Loka! Sekarang
Anda berhak memilih. Fuhk yang Hancur atau Ray kembali ketangan kami?”.
Pangeran Fiko Vocare mengeluarkan Linggi Azzo Api yang panjang di kedua
tangannya. Tubuh kokohnya yang tampan tak tampak lagi. Luka sudah memenuhi
tubuhnya. Perlahan-lahan dengan tatapan mata dingin dia mendekati Loka fugk
yang setengah duduk melindungi Ray yang tak sadarkan diri.
“Arghhh!”.
Loka mengeluarkan Linggi Azzo Rohnya yang berbentuk bulan Tengkorak. “Pangeran…
Ini bukan perkara pada siapa Azzo Langit ini diserahkan. Ta-pi… untuk apa Azzo
ini digunakan?”. Loka memegangi dada kanannya yang terluka parah.
“Ini cukup
mudah! Ray adalah milik kami. Kami hanya menitipkannya pada kalian untuk
sementara. Anda tidak bisa menahan Ray untuk terus disini. Dia harus pulang
ketempatku. Untuk apa tujuan aku mengambil Ray, cukup aku yang tahu. Anda hanya
perlu menyerahkan Ray padaku”. Didekat Loka, Fiko menodongkan Lingginya dileher
Loka.
Loka hanya
bisa diam dan Lingginya tiba-tiba lenyap.
***
Treeetttt…
Suara pintu dibuka membuyarkan ingatan Ray. Dia menoleh ke asal suara itu.
Tampaklah sesosok tubuh berisi nan gagah milik pria tampan yang basah kuyup
kehujanan.
“Brrrr…
Ray? Kamu tidak jadi ke tempat tuan Lian?”. Fiko menggigil sambil berjalan
lewat di hadapan Ray. Otot-otot tubuhnya yang menonjol tampak tercetak jelas di
baju dan celananya yang basah kuyup. “Ya sudahlah, terserah kamu mau jawab atau
tidak. Memang susah punya Adik pendiam seperti kamu”. Fiko masuk kekamarnya dan
mengambil handuk. Dia bergegas kekamar mandi dan melucuti semua pakaian yang
melekat ditubuhnya hingga tak bersisa sehelai benang pun. Dengan wajah santai
dia menikmati usapan demi usapan tangan pada punggung lehernya. Pancaran air
terus membersihkan sekujur tubuh bugilnya yang hampir sempurna.
Waktu
sudah menunjukan pukul 06.00 sore. Hujan deras masih saja mengguyur tanah Tashirojima.
Segelas teh hijau hangat menemani Ray yang tengah duduk rapat dilantai ruang
tengah sambil mengenakan jaket. Ray begitu menikmati air teh tersebut disetiap
teguknya. Cahaya lampu yang terang membuat suasana tampak hangat. Rumah gaya
Jepang yang mereka tempati ini memang tampak bersih dan tertata rapi. Sudah
setahun rumah ini menjadi saksi bisu pelarian Ray dan Fiko dari Dunia mereka.
Semenjak Ray berhasil di bawa kembali ke Vocare, di istana terjadi
pemberontakan oleh kelompok Sukaw. Mereka kemudian berhasil merebut kerajaan
dan juga menginginkan Ray. Akhirnya Fiko sadar bahwa dia harus menyelamatkan
Ray dari Sukaw dan dengan bantuan Pulau Fugk akhirnya Fiko dan Ray dapat
disembunyikan sementara menggunakan pintu Hujunba ke bumi. Fiko bekerja sebagai
nelayan bersama tuan Takeshi sedangkan Ray bekerja disalah satu penginapan di
pulau Tashirojima.
“Nih Ray,
aku bawakan makanan untuk kamu”. Fiko duduk di samping Ray sambil menyodorkan
sebungkus Tempura Udang
“Terimakasih
Fiko”.
“Ayo
silahkan dimakan. Kamu sakit Ray?”,tanya Fiko sambil memperhatikan wajah Ray.
“Tidak
kok”. Ray mengambil makanan itu dan melihatnya. Beberapa tempura yang masih
hangat begitu menggugah selera makannya. Ray pun mencicipi makanan tersebut.
“Ray. Kamu
pendiam atau pemalu sih? Hampir setahun lebih kita bersama-sama dalam satu
rumah namun kita tampak seperti tidak akrab. Aneh kamu ini Ray”. Protes Fiko.
“Apa aku
harus membicarakan hal yang tidak penting?”.
“Bukan
begitu, tapi aku merasa kita kurang akrab saja. Entah ucapanku ini penting atau
tidak yang pasti kita ini adalah orang dari dimensi lain yang bersembunyi
disini. Kita orang asing. Hanya aku dan kamu yang bisa menyelamatkan dunia kita
dari Sukaw. Tetapi, kita seperti tidak akrab. Jujur aku memikirkan tanggung
jawabku pada Kerajaan Vocare dan harapanku hanya ada padamu”. Fiko serius
memandang Ray.
Ray
tertunduk,”Jadi kamu menginginkan tubuhku? Ambillah jika ini yang kamu mau. Aku
bukan makhluk sepertimu. Aku sebenarnya tidak ada”. Ray tampak dingin.
“Bukan
Ray, kamu sudah aku anggap sebagai adikku, reinkarnasi dari ayahku. Aku hanya
ingin melindungimu dan menyelesaikan tanggung jawabku. Tugasku adalah
melindungimu agar tidak jatuh ketangan orang-orang jahat. Itu janjiku pada tuan
Dega Yoka”. Fiko memegang pundak Ray. “Anggap aku ini Kakak mu dan berjuanglah
bersamaku untuk menyelamatkan dunia kita. Jika kamu sampai jatuh ketangan Sukaw
maka kematianmu adalah akhir dari kedamaian dunia kita”.
Ray
terdiam. Didalam hatinya dia berfikir bahwa apa yang dikatakan Fiko memeng
benar. Dia berdiri dan pergi kekamarnya meninggalkan Fiko sendiri.
“Ray!!”.
Fiko berusaha mencegah agar dia bisa menceritakan semua keinginannya pada Ray.
“Dasar Aneh! Serba salah aku jadinya”. Dia meminum teh hijau sisa Ray.
Tetesan
air hujan terus menimpa atap rumah dan menimbulkan suara gaduh. Dirumah ini
mereka terus bersembunyi dari mata-mata Sukaw yang terus mengincar mereka suatu
saat nanti. Fiko tak bisa memejamkan mata, dia tak henti-hentinya memandang
wajah Ray yang telah terlelap di kantung tidur. Cahaya lampu tidur seperti tak
bisa menyembunyikan kegelisahan Fiko. Ada banyak hal yang membayangi pikirannya
akhir-akhir ini yang berkaitan dengan kerajaannya dan Naolla. Naolla akan kacau
dikuasai oleh Sukaw. Dia memikirkan nasib seluruh orang Noalla. Di dalam hati dia
bertanya,”Apakah Ray tidak peduli dengan Naolla? Aku pikir itu pertanyaan
terbodoh didalam hidupku. Ray adalah Azzo dan Azzo hanyalah kekuatan yang dapat
membantu warga Naolla. Dia bukan manusia. Mana mungkin dia peduli dengan
nasibku, nasib kerajaan dan nasib Naolla”. Fiko menatap wajah Ray dengan
teliti. “Ray begitu polos. Dia juga tidak bisa berbuat banyak untuk melawan
takdirnya. Mungkin inilah yang membuat dia sering melamun dan berdiam diri
karena dia yakin bahwa cepat atau lambat dia akan lenyap sebagai Azzo milik
orang lain”.
Tak terasa
Fiko tertidur sambil menghadapkan badan ke arah Ray.
***
Pagi hari
yang cerah. Puluhan kucing berkeliaran di jalan. Langit tampak tersenyum manis.
Daun-daun pohon dan rumah-rumah penduduk masih terlihat basah. Beberapa orang
nelayan sudah siap melaut kembali.
Ada
sesuatu yang aneh. Ray merasakan pelukan hangat dari seseorang. Karena
penasaran, dia perlahan-lahan membuka matanya. “Fiko?!”. Dia kaget dan spontan
saja mendorong dada Fiko agar menjauh dari tubuhnya.
“Hrmmmm…
Huahmmm.. Ada apa Ray?”. Dengan setengah membuka mata dan masih berada di
kantung tidurnya.
“Tidak
apa-apa”,jawab Ray sambil bangkit dan merapikan kantung tidurnya.
“A-nehhhh…”.Dia
terlelap lagi.
Dengan
agak tergesa-gesa Ray mengayuh sepedanya kearah penginapan tempat dia bekerja.
Disana dia bertugas untuk menjadi tukang bersih-bersih. Gajihnya tidak begitu
besar namun cukup untuk mencukupi kebutuhannya selama sebulan.
“Mengapa
kamu terlambat Ray? Tidak biasanya”,tanya nyonya Aiko yang berada di balik meja
resepsionis.
“Maaf
nyonya. Saya terlambat bangun”. Cepat-cepat dia menuju ruangan ganti pakaian
dan mengambil penyedot debu. Disinilah Ray menjalani hari-harinya sebagai
tukang bersih-bersih. Ray tidak sendiri, dia memiliki teman yaitu tuan Yamamoto.
Beliau bekerja dari sore sampai pukul 12.00 malam. Ray libur satu kali seminggu
yaitu pada hari minggu dan tuan Yamamoto libur pada hari senin.
Ray
menyedot debu-debu menempel dilantai dengan menggunakan penyedot debu yang dan
merapikan tempat tidur. Gorden kamar di buka agar cahaya matahari pagi masuk
keruangan tersebut. Suasana heningnya desa yang dipenuhi oleh orang-orang tua
dan kucing ini memang begitu cocok untuk rekreasi warga dari kota yang jenuh
dengan rutinitas mereka.
“Ray…
Kemari sebentar”, panggil nyonya Aiko.
Dengan
segera Ray menaruh Penyedot debunya dan menuju meja resepsionis. “Ya nyonya,
ada apa?”.
“Kamu
tolong bersihkan kamar 20 juga. Tiga hari lagi ada pengunjung dari Tokyo”.
“Baiklah
nyonya”. Ray melangkah dengan semangat untuk segera melaksanakan tugasnya.
Langkah
kaki bersepatu militer berwarna hitam
tampak gagah dengan paduan celana coklat tuanya melewati lorong gelap dengan
penerangan minim lampu obor yang tertancap didinding. Bangunan itu terbuat dari
batu andesit. Bulan sabit merah memancarkan cahaya redup di Naolla. Naolla
adalah sebutan untuk dunia di demensi yang tak pernah dilihat manusia. Dunia
ini terletak di ruang hitam pemisah antara langit. Selama ini manusia hanya
mengenal langit dan tak tahu ujungnya. Jika manusia bisa menembus langit,
disanalah Naolla ada. Naolla tidak terlalu luas dan hampir seluruh Naolla
terdiri dari kepulauan. Pulau-pulau di Naolla bersepakat untuk menjadikan
kerajaan Vocare sebagai pemersatu pulau,wilayah dan kerajaan di Naolla. Vocare
adalah kerajaan besar dipulau Vocare, sebelah selatan Fugk, yang semua warga
dan kerajaannya terletak di satu bangunan megah berbentuk piramid besar
bertingkat terbuat dari batu andesit. Piramid batu tersebut dibuat tujuh
tingkat yang mana tingkat teratas adalah Istana Kerajaan. Saking besarnya
bangunan ini hampir mirip gunung buatan di tengah danau Opgareca yang besar.
Orang-orang Naolla menyebut piramid itu Hrewa Kufe. Disekitar bangunan
itu,tepatnya di antara danau dan bangunan, di buat beberapa pulau buatan
sebagai tempat pemantau kerajaan. Akses untuk ke Hrewa Kufe melalui jembatan di
keempat sisinya.
Pantulan bulan dipermukaan air begitu memukau
mata. Blurrrr… Ikan arwana merah raksasa bertanduk paus yang banyak hidup di
danau Opgareca sedang latihan beradu tanduk. Para warga Vocare menyaksikan
pertunjukan itu sebagai suatu hiburan dari Hrewa Kufe. Arwana sebesar gajah itu
dilatih sebagai pasukan pertahanan air untuk melindungi Hrewa Kufe dari ancaman
musuh.
“Ayoooo!!!
Kalahkan tanduk besar!”, teriak salah seorang warga dari atas.
“Bantai
tanduk kecil! Jangan takut”, timpal salah seorang pria di sebelahnya.
“Hahahaha…
Tidak mungkin si tanduk kecil kalah.Lihatlah gaya bertarungnya yang sangat
gesit”.
“Jangan
pandang dari besar atau kecil tanduknya tapi dari siap atau tidaknya dia
melindungi kita”.
“Alah….
Ayo terus!”, kembali dia meneriakan dukungan pada arwana jagoannya.
Para
Minsha yang mendidik arwana itu menyuruh para arwana berhenti berlatih dan
dilanjutkan dengan latihan lain.
Kembali ke
orang bersepatu militer hitam yang mulai memasuki ruangan Sukaw.
“Dimana
Diagta?”, tanya pria tua yang duduk di singgasana, pada orang itu.
“Tunggu
sebentar tuan. Dia akan membawakan sesuatu untuk anda”. Jawab perempuan itu.
Perempuan
ini tampak tomboy dengan penampilan mirip tentaranya. Dia lah Juyu Ahega kepala
Yuari bagian pertahanan wilayah kerajaan dan panglima perang.
Dari balik
lorong munculah sesosok tubuh berbalut jubah beraksen jaring ikan.
“Apakah
aku terlambat? Hehehe”.
“Belum.
Kemana saja kamu Diagta?”, tanya tuan Sukaw.
“Maaf
tuan, maaf. Ini lihat. Hap! Batu sungai bisa mengapung yang aku temukan di
sungai Guasa”. Diagta menunjukan sebuah batu sebesar kepalan tangannya dari
balik jubahnya.
Tanpa
basa-basi lagi tuan Sukaw mengeluarkan Linggi anginnya dan melemparkan kapak
itu kearah batu Diagta hingga batu itu terbelah dua. “Mau kepalamu ku buat
seperti itu?”.
“Ti-ti…dak
tuan…”. Jawab Diagta yang tercengang takut.
“Makanya
jangan cengengesan terus…”,tegur Juyu.
“Apa yang
ingin kamu perlihatkan padaku?”.
“Hanya
batu itu tuan…”.
“Aku
serius Diagta!!!!”. Sukaw membuat dua kapak Azzo dari kedua belah tangannya.
Diagta
berlindung di belakang Juyu dengan raut wajah ketakutan.
“Diagta!
Tolong jangan bermain-main didepan tuan Sukaw!”. Juyu mencengkram bagian leher
jubah Diagta yang bersembunyi di belakangnya dan menyeret pria itu kesinggasana
Sukaw.
“Ampun
tuan…. Ampun..”.
Sukaw
mengangkat dagu Diagta dengan kapaknya. “ Berapa kali kamu melihatku bercanda
disaat seperti ini? Hah?! Aku sedang serius Diagta. Jangan barmain-main denganku!”.
Juyu
melepaskan cengkramannya.
“Aku
serius tuan. Batu itu penting”.
“Penting?
Batu itu menurutmu penting?????!!!”. Sukaw sangat marah.
“Lihat
batu itu tuan”. Diagta bergegas mengambil batu yang terbelah dan menyatukannya
kembali.
“Aku tak
butuh orang sepertimu!!!”. Sukaw melemparkan kapak nya kearah Diagta.
Hampir
saja kapak itu membelah kepalanya menjadi dua namun Diagta beruntung, Juyu
berhasil membelokan kapak Azzo Sukaw dengan kapak Azzo tanahnya.
“Tunggu
tuan. Saya pikir tidak ada salahnya kita beri dia kesempatan untuk menjelaskan
tentang batu itu terlebih dulu dan jika dia terbukti hanya mempermainkan kita,
saya sendiri yang akan membelah kepalanya”.
Sukaw
menarik nafas. “Kalau kau cuma bermain-main maka setelah ini aku perintahkan
Yuari untuk mengadakan pemajangan kepala di halaman istana. Kepalamu Diagta!
Cepat kamu jelaskan ada apa dengan batu itu”.
Diagta
berkeringat dingin karena takut. “Be-begi-ni tuan. Batu ini adalah Hajunba
pendek untuk beberapa ikan. Batu ini akan terbuka sebagian jika diletakkan di
aliran sungai atau air tawar. Jika kita ingin menemukan Azzo langit maka inilah
jalannya. Dengan memanipulasi gelombang dimensinya maka kita akan leluasa
menuju seluruh tempat di Naolla. Kita tidak mungkin mengarahkan Hajunba batu
ini ke tempat Azzo itu tetapi kita bisa menggunakan ini untuk menyusup ke Rumah
Pemerintahan tuan Dega Yoka di Fugk dan mencari Hajunbu tempat Azzo itu
diungsikan”, jelas Diagta.
“Bagaimana
kita bisa masuk ke dalam batu sekecil itu?”, tanya Sukaw.
“Di sungai
ada beberapa batu seperti ini dengan ukuran yang lebih besar. Aku rasa kita
akan bisa masuk kesalah satu batu tersebut”.
“Hahahahaha!!!
Kamu kadang berguna juga Diagta. Juyu! Lakukan apa yang harus kamu perbuat
sekarang”. Sukaw bangkit dari singgasananya dan tertawa senang.
“Baik
tuan. Segera saya laksanakan. Ikut aku Diagta”. Juyu meninggalkan ruangan Sukaw
diikuti Diagta di belakangnya.
“Huh!
Selamat … Aku masih hidup”. Diagta tersenyum cengengesan.
Diruangan
Yuari Utama Hrewa Kufe, telah berkumpul pasukan Vocare berpakaian khusus Yuari
Vocare berwarna hitam. Mereka berbaris rapi menanti kedatangan Juyu.
“Selamat
malam Yuari Vocare. Sadio iola!”, sapa Juyu setelah keluar dari belakang podium
dan berdiri di atas podium utama bersama Diagta dan tuan Kamamuja, Patner Juyu
yang merangkap sebagai wakilnya.
Serempak
ratusan Yuari nan gagah perkasa itu menjawab, “Sadio iola!”.
“Terimakasih.
Ada tugas yang harus kalian kerjakan secepatnya. Raja Sukaw meminta kita untuk
mengangkut beberapa batu mengapung besar disungai Guasa malam ini juga, karena
lebih cepat lebih baik. Bersama kalian akan aku ajak Diagta. Dia akan memberi
tahu kita batu mana yang akan kalian bawa ke Hrewa Kufe. Kalian diijinkan untuk
membawa lima ekor Kaguka agar mempermudah mengangkut batu tersebut. Mengerti?
Sadio iola!”. Juyu menepuk lutut kanan nya tiga kali sebagai pertanda tugas
dimulai.
“Sadio
iola!”jawab para Yuari sambil menepuk lutut kanan mereka seperti Juyu dan
bergegas keluar ruangan.
“Ayo kita
juga berangkat”, ajak Juyu pada kedua temannya.
Puluhan
orang Yuari terlatih menggiring Kaguka atau kerbau yang berbadan kura-kura
berjalan melewati jembatan Hrewa Kufe. Kaguka tidak berjalan pelan seperti
kura-kura pada umumnya, mereka bahkan dapat berlari secepat kuda serta memiliki
kemampuan khusus yaitu dapat bertahan dan merenang didalam air.
Juyu,
Diagta dan tuan Kamamuja masing-masing menaiki Bican yang mirip burung Maleo
raksasa berkaki empat. Mereka bertiga berada ditengah barisan diapit oleh
pasukan Yuari. Melewati perbukitan yang mengelilingi Hrewa Kufe memerlukan
waktu yang lama apalagi Vocare adalah pulau yang cukup luas dengan kebanyakan
daratannya hanya perbukitan , gunung dan hutan cemara. Di Naolla tidak seperti
dibumi yang hanya terjadi siang dan malam. Disini bulan Merah yang selalu sabit
akan digantikan oleh langit Jingga bertabur batu-batu kristal dan kemudian
setelah itu akan berganti dengan langit putih berbulan dua yang mereka sebut
Difu dan Aste. Difu berwarna hijau dan Aste berwarna biru. Mereka tampak memutari
sesuatu dengan cepat sampai mereka kembali tenggelam di utara dan di gantikan
oleh Bulan merah yang muncul di selatan dan begitulah siklus itu terjadi
sehingga mereka memiliki dua malam satu siang dalam satu hari. siang adalah
sebutan saat langit bertabur batu kristal.
“Ikuti
anak sungai ini!”, perintah Diagta.
Perjalanan
pun kembali dilanjutkan menyusuri anak sungai menuju sungai Guasa yang besar.
Cahaya bulan merah tampak menyelinap diantara dedaunan cemara yang tertiup
angin. Hentakan kaki Yuari dan para binatang menimbulkan irama tersendiri di
sunyinya belantara hutan. Di depan sana, mereka telah melihat gunung berapi
yang dekat dengan sungai Guasa. Berarti mereka sudah melalui jalan yang benar
dan sekarang gunung itu sebagai patokan perjalanan mereka. Sementara itu bulan
sabit telah redup dan perlahan-lahan berganti dengan jingganya langit
berhiaskan kristal.
“Huahmmm…
Melelahkan saja! Tapi apa kamu tidak lapar Juyu?”, tanya Diagta.
“Tidak”.
“Ketus
sekali! Jelek!”. Diagta mejulurkan lidahnya tanda mengejek kepada Juyu.
Juyu hanya
berusaha menenangkan diri dan memandang kearah hamparan batu langit yang indah.
“Hahahaha...
Juyu kamu kok tidak seperti wanita lain di Hrewa Kufe? Kamu macho sekali. Jadi
takut. Kalau-kalau kamu…”.
“Diagta!!!!!”.
Juyu akhirnya terpancing dan berusaha menyuruh Bican yang ditungganginya
mematuk tubuh Diagta.
“Eits, nggak
kena”. Diagta mengisyaratkan pada Bicannya untuk menghindar dengan cara
terbang. “Hu…Huy!!! Wanita macho! Hahaha”.
“Awas kau.
Bican kejar dia!”. Juyu yang marah mengejar Diagta dan merekapun akhirnya
terlibat acara kejar-kejaran diudara.
Tak berapa
lama, sampailah pasukan Vocare di sungai Guasa. Disana memang banyak terdapat
batu-batu besar. Namun tidak semua batu itu adalah Hajunba.
“Diagta,
yang mana?”, tanya tuan Kamamuja.
“Sabar…
Tuan tidak lapar? Aku lapar sekali… Aduhhhh”. Diagta memegang perutnya
kencang-kencang.
“Kamu mau
makan?”.
“Mau
tuan…”, jawab Diagta sumbringah.
Dengan
agak geram tuan Kamamuja mengambil sebongkah batu sungai dan melemparkannya ke
arah Diagta. “Azzo!”. Namun beberapa senti sebelum sampai tubuh Diagta, batu
itu hancur menjadi debu berasap yang kemudian dengan cepat menjadi Linggi.
Spontan
saja Diagta menghindari kapak tersebut dengan menunduk. “Yah.. Marah! Kayanya
Cuma aku saja yang lapar disini. Baiklah aku mau makan dahulu. Sampai nanti
ya…”.
Ketika
Diagta ingin berlalu pergi. “Tunggu Otak udang! Ini makanan mu!”, cegah tuan
Kamamuja sambil memperlihatkan segerombolan ikan di dalam sungai.
“Itu
mentah Tuan…”.
Dengan
sigap tuan Kamamuja menyuruh Bicannya mengambil ikan-ikan tersebut dengan
menggunakan paruh. Beberapa ikan besar menggelepar di tepi sungai dan siap
untuk di masak.
Melihat
itu, Juyu mendekati tuan Kamamuja. “Aku rasa kita sebaiknya mencari makanan
terlebih dahulu tuan. Mengingat batu yang kita angkat nanti cukup besar dan
memang kita harus mengisi tenaga terlebih dahulu setelah menempuh perjalanan
jauh”.
Menimbang
perintah ketuanya, Kamamuja akhirnya setuju. “Baiklah Juyu”.
“Para
Bican sekarang cari ikan yang banyak!”, perintah Juyu.
Mendengar
perintah pemimpin mereka ketiga bican itu dengan cepat terbang dan mencari ikan
disungai Guasa.
“Ayo kita
istirahat dulu sebentar”, kata Juyu pada para Yuari.
Sekejap
saja ratusan ikan segar mengelepar di hadapan mereka. Para Yuari membuat api unggun dan mulai membakar ikan-ikan segar
untuk menu sarapan mereka. Para Bicanpun dapat bagian. Sedangkan Kaguka mereka pemakan tumbuhan jadi
mereka memakan tanaman yang berada tak jauh dari tepian sungai.
“Kamu baik
sekali Juyu.. hehe”. Diagta menepuk Punggung Juyu sambil mengingit ikan
panggangnya.
“Cepat
makan dan setelah ini cepat tunjukkan batu itu!”. Juyu menangkis tangan Diagta.
“Kalau
kenyang kan aku bisa tenang… Boleh nambah?”. Diagta mengambil satu ikan bakar
lagi.
“Sudah
cukup!”. Juyu melotot pada Diagta.
“Santai
Ketua… Marah-marah terus. Oh, mungkin ini ikan bagianmu ya?”.
“Sudah
Diagta! Kamu ini sukanya bikin orang marah terus. Ayo cepat di habiskan
makananmu”, tegur tuan Kamamuja.
“Baik
tuan… Baiklah!”. Diagta melanjutkan acara makannya.
Setelah
sarapan selesai, mereka kembali bergegas melanjutkan tugas.
“Yang mana
Diagta?”, tanya Juyu.
“Aku masih
kekenyangan. Tunggu sebentar.. ya..”, Diagta rebahan di tanah.
“Bangun!!!”.
Juyu yang sangat kesal dengan ulah Diagta akhirnya mengeluarkan Azzonya dan
melemparkannya kearah Diagta. Kali ini kapak Azzo Juyu mengenai jubah diagta
tepat dikedua bahunya sehingga mengekang pergerakan Diagta.
“Ampun
Juyu… Jangan potong aku”. Diagta merengek.
“Cepat
beri tahu kami!”.
“Kalian telah
melihatnya dari tadi. Batu Hajunbu itu , setidaknya, selalu memiliki satu ikan
untuk menjaganya disungai. Jadi jika kalian menemukan ikan-ikan yang
bergerombol didekat batu dan selalu ada ikan yang tersisa dari gerombolan itu
maka itulah batunya”.
Mendengar
itu Juyu segera memandangi para Yuari dan berkata, “Kalian dengar?
Laksanakan!”.
Dengan
segera para Yuari mencari batu yang dimaksud dan memilih-milihnya untuk dibawa
ke Hrewa Kufu.
“Otak
Udang!”, kata Juyu sambil melenyapkan Azzonya yang mengekang Diagta.
“Halahhh…
Yang otak udang itu sebenarnya kamu Juyu. Di ruang Sukaw telah aku jelaskan bahwa batu itu
Hajunba untuk ikan, kamunya saja yang susah berfikir. Bukan begitu?”, ejek
Diagta.
Juyu
merasa bahwa Diagta ada benarnya juga. Karena merasa di bodohi oleh orang bodoh
maka Juyu menyingkir dan ikut mencari batu Hajunba bersama Yuari lain.
Beberapa
batu berukuran besar sudah di temukan dan dengan kekuatan otot tubuh para
Yuari, mereka mengangkat batu tersebut keatas Kaguka. “Ayo. Satu-dua-tiga!”,
serempak mereka mengangkat batu itu kepunggung Kaguka.
Cahaya
kilauan batu kristal dilangit sangat menkjubkan mata. Mungkin ini tak akan
ditemukan di langit manapun di alam semesta ini. Kristal-kristal itu seperti
permata terindah yang pernah ada.
“Sekarang
saatnya kembali ke Hrewa Kufe. Sadio iola!”, perintah Juyu.
“Sadio
iola!”.
Perjalanan
ke Hrewa Kufe kali ini bertambah berat dengan membawa batu Hujunba.
***
Tepian
langit memberi warna jingga lautan luas. Di sana sebuah pandangan pria tertuju
dari balik kaca gedung. Pria itu adalah Dega Yoka, Loka pulau Fugk yang sedang
melepaskan lelah sejenak sambil menikmati indahnya langit Naolla. Dengan
mengenakan baju merah hati dan dilindungi plat baja dari leher hingga dadanya,
pria ini masih tampak segar diusianya yang sudah kepala empat. Tangannya mengenggam
sebuah surat yang entah berisi apa.
Ruangan kerja Loka tampak berantakan dipenuhi berkas-berkas yang harus
diselesaikan. Loka berbeda dengan raja, Loka adalah pemimpin sebuah pulau
setara raja dan mungkin bisa disebut kepala pulau setingkat presiden. Apabila
yang dipimpin adalah wilayah maka sebutan untuk pemimpinnya adalah Cekai.
Memang wilayah atau pulau sama saja yang membedakan hanya sebutan untuk
pemimpinnya. Loka terdiam diri memandang langit yang indah diluar sana surat
yang dia baca ternyata surat permintaan pengujian Hujunba baru oleh Lembaga
penelitian pulau pada Loka. Mereka menginginkan Loka untuk segera meluangkan
waktu untuk pengenalan teknologi terbaru ini yang nantinya akan bermanfaat
sekali untuk warga Naolla. Hanjunba
bukanlah dimensi ruang dan waktu. Hajunba hanya dimensi ruang yang tujuannnya
untuk mempermudah pemindahan benda dalam kapasitas kecil dan terbatas. Hajunba
kadang digunakan untuk menyelamatkan warga yang terjebak dalam kebakaran atau
memindahkan hewan ke tempat yang lebih aman.
“Nevala…
Kemari sebentar”, panggil Loka pada bawahannya.
“Ada apa
tuan? “, tanya Nevala setelah mendatangi Loka.
“Tolong
kau urus jadwalku untuk menghadiri undangan ini dan kirim surat balasan jika
kau sudah mengatur jadwalnya”. Dia menyerahkan surat itu pada Nevala.
“Saya
mengerti tuan. Akan saya laksanakan”. Nevala kembali ke mejanya dan mengerjakan
tugasnya.
Loka
menatap langit indah itu sambil berbicara dalam hatinya, “ Sudah lama Ray dan
Fiko bersembunyi di dunia sana. Apakah mereka masih baik-baik saja? Tapi tidak
ada mereka di Naolla juga semakin memperburuk keadaan disini. Rakyat menderita,
barang-barang unggulan hanya bisa di nikmati sekutu Vocare dan wilayah-wilayah
yang dulunya damai kini jadi terpecah belah. Aku sadar ternyata Fiko tidak
sekejam itu, dia hanya dipengaruhi oleh Sukaw. Aku percayakan Naolla padamu
Fiko”. Loka meneteskan air mata mengingat keadaan warganya dan wilayah-wilayah
sahabatnya yang semakin memprihatinkan.
Di laut yang
cerah Fiko bersama tuan Takeshi sedang memasang jaring ikan. Tuan Takeshi
sangat baik pada Fiko dan Ray. Dia sudah menganggap mereka sebagai anak nya
sendiri.
“Tampaknya
ada yang kurang baik hari ini. Bukan begitu Fiko?”, tegur tuan Takeshi yang
melihat Fiko melamun.
“Ya tuan,
Cerah sekali. Benar-benar indah pagi ini”. Fiko terbuyar dari lamunannya.
“Melamunkan
para gadis ya?”. Goda tuan Takeshi.
“Tidak
tuan saya sedang menikmati pemandangan laut yang cerah saja”, elak Fiko.
“Jangan
malu nak. Aku juga pernah muda seperti mu”. Wajah tuan Takeshi begitu
berseri-seri menunjukkan raut yang ramah.
“Bukan
tuan. Hrmmm, aku boleh bertanya sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan
nelayan atau laut pada tuan?”.
“Tentu
boleh”.
“Ini cuma
misalkan saja tuan. Misalkan tuan adalah raja, tetapi tuan bersembunyi dari wilayah
kerajaanya yang sedang dilanda pemberontakan. Anda bersembunyi jauh dari
kerajaan dan membiarkan rakyat menderita dibawah pemberontakan yang mengambil
alih kekuasaan. Apa yang akan tuan lakukan?”. Fiko tampak serius sekali.
“Pertanyaan
yang mudah Fiko. Aku tak akan pergi dan akan menderita bersama-sama rakyatku
kemudian berjuang sekuat tenaga untuk mempertahankan kerajaanku walaupun
jika Aku harus mati. Aku kan seorang
raja, jadi dimana harga diriku kalau aku pergi begitu saja dan membiarkan
rakyat menderita”.
“Apabila
tuan pergi untuk melindungi hal yang lebih penting, misalkan jika tuan tidak
pergi menyembunyikan seseorang yang bisa memperburuk keadaan selamanya maka tak
adalagi kedamaian di dunia. Bagaimana?”.
“Disini bararti
saya hanya menunda hal buruk akan terjadi bukan menghilangkan keburukan itu.
Suatu saat cepat atau lambat, maka apa yang saya sembunyikan itu akan ketahuan
juga dan pada saat itulah apa yang saya hindari tak bisa dihindari lagi. Malah
dengan saya bersembunyi akan membuat rakyat saya semakin menderita. Saya akan
tetap melindungi rakyat saya, karena saya adalah raja”.
Fiko
mendengarkan kata-kata tuan Takeshi yang sangat tepat itu. Dia merasa semua
kata tuan Takeshi benar. “Terimakasih tuan”.
“Ya.
Memangnya ada apa Fiko? Apa kamu seorang raja?”, tanya tuan Takeshi heran.
“O…
Ti-tidak… Cuma iseng aja tuan. Jaring kita kayanya sudah dapat ikan”, berusaha
mengalihkan pembicaraan.
Fiko dan
tuan Takeshi mengangkat jaringnya. Beberapa ekor ikan seukuran tiga jari
berhasil didapat. Deburan angin yang kencang, di temani lautan yang biru
membuat Fiko agak tenang.
Tubuhnya
yang berisi tampak dikucuri keringat. Fiko tak bisa berkata-kata pada tuan
Takeshi, dia merasa sebagai raja yang paling bodoh dialam semesta karena membiarkan
rakyatnya menderita sedangkan disini dia hidup tenang dan damai.
Sore hari
kali ini, Ray telah membuat okonomiyaki dan sashimi untuk makan malam mereka.
Fiko yang telah rapi berbalut baju kaosnya segera menghampiri Ray dimeja makan.
“Wah… Enak
sekali. Ada perkembangan nih”. Fiko seolah-olah memuji yang tujuannya mengejek
Ray karena biasanya menu mereka berdua kebanyakan dimasak oleh Fiko. Fiko
mengambil sumpit dan segera menjepit sashimi kemudian ia celupkan ke kecap
asin. Tampak dia menikmati setiap gigitan makannannya.
Ray hanya
diam tanpa berkata-kata sedikitpun saat makan. Wajahnya hanya memandang Fiko
sambil sesekali agak senyum sedikit melihat tingkah lucu Fiko.
Setelah Fiko
membereskan meja makan, diapun duduk kembali di meja makan sambil menikmati
minuman hangat nya.
“Kamu
manis Ray kalau senyum seperti tadi”. Fiko memandangi wajah Ray.
“Itu bukan
senyum. Aku Cuma aneh aja liat kamu makan seperti tadi”.
Baru kali
ini Ray berbicara dengan raut wajah tersenyum. Fiko yang sudah setahun
bersamanya merasakan bahwa ini pertanda baik.
“Apa?
Memangnya aku makan seperti apa?”, tanya Fiko sambil menghirup minumannya.
“Seperti belum
pernah makan saja”.
“Kan
jarang-jarang kamu masak buat aku Ray. Wajarlah aku senang sekali”.
Ray merasa
bahwa ternyata Fiko adalah orang yang baik sekali dan memang sungguh
keterlaluan bagi Ray yang selalu dingin pada Fiko. Ray bersikap begitu karena
dia tahu bahwa Fiko dan orang-orang tertentu menginginkan tubuhnya sebagai
Azzo.
“Fiko.
Ammmm… Kamu mengapa baik kepadaku?”, tanya Ray.
“Baik? Memangnya
selama ini aku tidak jahat dimatamu Ray? Aku kan telah menganggapmu sabagai
adikku yang harus aku lindungi. Selama menghabiskan waktu dibumi bersamamu, aku
semakin yakin alasan Raja Vocare X meminta mu menggantikan keberadaannya memang
bukan main-main”, terang Fiko.
“Kamu
tidak membenciku?”.
“Hahaha… Untuk
apa? Raja Edka Higudasa pasti punya rencana tertentu untuk ini dan kamu
bukanlah yang menyebabkan dia menghilang. Dia sudah menginginkan hal ini
terjadi dan berarti ini bukan salahmu Ray”.
“Apakah
aku harus hidup sebagai Azzo? Aku mau hidup seperti kalian di Naolla,Fiko. Bisa
memiliki Azzo dan membuat Linggi. Hidup bebas mengelilingi indahnya Naolla
tanpa takut ditangkap oleh orang lain”. Ray tertunduk.
Fiko
merasakan apa yang dirasakan Ray selama ini. Ray selalu tinggal di pulau dan
tidak boleh kemana-mana agar keamanannya terjaga. Di pulau pun dia selalu
dibenci sebagian orang yang menganggapnya sebagai penyebab kekacauan Naolla.
Fiko bangkit dan duduk di samping Ray kemudian dia mengambil kepala Ray dan
memeluknya didada.
“Aku tahu
perasaanmu. Sejak kecil aku juga selalu merasa terkekang dengan takdirku
sebagai pangeran Vocare. Aku dilatih sebagai Yuari dan diajari Azzo api. Aku
tidak seperti anak-anak lain yang bisa bermain di luar istana. Aku merasa
sendirian di Hrewa Kufe yang besar. Tetapi aku menerima takdirku Ray dan aku
sadar hanya aku yang bisa menggantikan ayah. Aku seorang raja Ray”. Mata Fiko
tampak menerawang jauh. “Aku raja bodoh yang membiarkan rakyat Naolla menderita
dibawah Sukaw”.
Ray merasakan
detak jantung Fiko. Fiko ternyata sama seperti dirinya yang merasa terkekang.
“Ambillah aku Fiko. Aku siap jadi Azzo mu. Aku rela lenyap di tubuhmu dan kita
akan berjuang bersama-sama mengembalikan Naolla yang damai”. Ray memandangi
wajah Fiko.
Fikopun
menoleh kewajah Ray. Mereka bertatapan menyatukan perasaan yang sama untuk
membuat Naolla seperti dahulu lagi. “Apakah kamu yakin ingin menyerahkan
tubuhmu padaku?”. Fiko mengusap kepala Ray.
“Jika itu
berarti Naolla akan damai aku akan siap Fiko. Aku yakin bahwa kamu bisa menjadi
Raja yang besar”.
“Terimakasih
Ray kamu bersedia melakukan itu untukku. Aku sebenarnya tak ingin membuatmu
lenyap. Aku sudah merasa punya teman yang bisa mengerti siapa aku. Aku tak
ingin kehilanganmu Ray”.
“Kamu
tidak bisa menolak takdir Fiko. Kamu tidak bisa memintaku untuk terus
menemanimu. Aku tidak yakin apakah aku tidak akan dimiliki siapapun. Aku akan
terus hidup sampai aku menemukan siapa tuanku”.
“Ray, aku
tidak mau mengambil tubuhmu. Aku ingin kamu tetap hidup dan merasakan kebebasan
sebagai bagian dari Naolla”. Fiko mendekap erat tubuh Ray hingga lehernya
menyentuh wajah Ray.
Ray yang
merasakan ketakutan Fiko semakin tak bisa berucap kata-kata, lidahnya kelu dan
pikirannya kosong. Perlahan Ray menggerakkan tangannya melingkari punggung
Fiko. Tubuh mungil Ray kian tampak berbeda dibandingkan tubuh Fiko yang besar
dan berotot.
“Aku ingin
kita menjadi rekan yang akan merubah Naolla. Bukankah berdua lebih baik dari
pada sendiri?”.
“Aku
merasa benar-benar hidup sekarang Fiko”.
Fiko
merenggangkan pelukannya dan menatap wajah Ray. “Ray aku punya ide. Kita akan
mengasah kemampuan individu kita dan kemudian menyatukan kekuatan untuk melawan
Sukaw”.
“Kamu
bercanda Fiko?”.
“Tidak.
Aku tahu kamu tidak bisa memiliki Azzo dan aku memiliki Azzo. Tapi jika aku
adalah tanganmu dan kamu adalah otakku maka kita akan menjadi kuat dan saling
melengkapi satu dan lainnya”.
“Bersediakah
kamu menjadi tanganku, Raja Fiko?”.
“Bersedia
Ray”. Fiko mendekap tubuh Ray kembali dengan tenang.
Gerimis
diluar merontokan debu-debu yang melekat di atap rumah. Tiupan angin lembut
terdengar mengalun-alun menerpa benda-benda yang dilaluinya. Suasana hening
Tashirojima menjadi kian hening karena orang-orang malas keluar rumah saat
hujan. Tetapi sebentar lagi musim panas akan tiba dan membuat semua orang ingin
menikmati indahnya alam disaat musim panas. Hari yang menyita perhatian alam
kali ini ditutup dengan segenap mimpi dipulau kucing.
***
“Nyonya
Aiko menaruh ini di meja?”, tanya Ray pada nyonya Aiko ketika dia keluar sambil
membawa kotak kecil.
“Oh, itu
kado pernikahan saya Ray tadi saya lupa menyimpannya”.
Ray
menyerahkannya pada nyonya Aiko. “Nyonya baru ulang tahun pernikahan?”.
“Tidak. Ini
gelang kado pernikahan beberapa tahun lalu dari suamiku. Talinya putus jadi aku
betulkan dan tadi pagi aku ambil. Terimakasih Ray”.
“Sama-sama
nyonya. Kalau begitu saya permisi nyonya”. Ray berlalu pergi.
“Ray
tunggu sebentar”.
“Ada apa
nyonya?”.
“Kemaren
aku memesan ikan pada Tuan Furusawa jadi tolong kamu ambilkan sebentar ya”.
“Baik
nyonya”. Ray keluar penginapan dan menghampiri sepedanya yang terparkir
disamping penginapan tersebut. Mengayuh sepeda memang hal yang masih sangat
familiar di sini. Kendaraan ini lebih efektif untuk kondisi jalanan di
Toshirojima. Ray mengayuh sepedanya melewati tepian pantai menuju rumah tuan
Furusawa. Dia ingat bahwa didaerah inilah Fiko setiap hari bekerja membantu
tuan Takeshi. Dia berbicara dalam
hati,”Fiko mungkin sekarang sedang melaut”, sambil menatap mentari indah yang
tengah meninggi di timur. Tak lama kemudian tampaklah rumah tuan Furusawa yang
sederhana. Ray memarkir sepedanya terlebih dahulu lalu kemudian menuju rumah
nelayan itu.
“Permisi…”.
Tak berapa
lama kemudian dari dalam rumah muncul lah seorang wanita tua yang tak lain
adalah nyonya Furusawa. “ Oh, Ray suruhan nyonya Aiko kan?”, tanyanya ramah.
“Betul
nyonya. Saya mau mengambil ikan pesanan nyonya Aiko”.
“Tunggu
sebentar ya”. Beliau pergi mengambilkan ikan yang di maksud Ray. Tak lama
kemudian beliaupun telah keluar dengan sebungkus ikan segar. “Ini Ray”.
“Terimakasih
nyonya. Kalau begitu saya pamit dulu”, Ray membungkukkan badan sebelum pamit.
Ini adalah ciri khas orang Jepang.
“Sama-sama…”.
Nyonya Furusawa juga membungkukkan badan.
Ray
kembali mengayuh sepedanya.
Di lain
tempat di Naolla,Difu dan Aste telah menampakan wajahnya. Mereka berputar-putar
diatas langit yang putih.
“Sudah
selesai?”, tanya pria itu pada temannya.
“Sudah
Brello”, jawab pria kurus tinggi ini pada temannya yang tampan berambut lurus
dan panjang sepunggung.
Mereka
tampak mengenakan pakaian Yuari Vocare. Mengendap-endap masuk kedalam sebuah
ruangan didalam gedung pemerintahan Fugk. Mereka berdua adalah Andnut dan
Brello yang menjadi orang pilihan untuk dikirim mencuri pintu Hajunba tempat
Ray dan Fiko bersembunyi. Para penjaga telah mereka lumpuhkan sehingga mereka
dengan leluasa mengangkat pintu itu dan membawanya keruang dimensi alami
terbuat dari batu Hajunba ikan milik Vocare.
Sekejap
saja mereka telah sampai di ruang khusus untuk menaruh Hajunba yang dicuri.
“Bagus!
Hahahaha …”. Sukaw tertawa senang ketika Hajunba itu telah berdiri rapi
dihadapannya.
Ini
sebenarnya situasi yang gawat untuk Naolla karena pintu itu terhubung dengan
pulau Toshirojima. Jika Yuari Vocare berhasil menangkap Ray maka nyawa Ray bisa
terancam dan ini tidak mustahil akan mengancam bagaimana nasib Naolla
selanjutnya.
Disudut
lain Hrewa Kufe sedang duduk membisu seorang lelaki paruh baya di dalam
penjara. Kakinya di rantai dan penampilannya sangat kotor memprihatinkan. Dia adalah
Xano sang penasehat kerajaan semasa Fiko Vocare memimpin. Dia dianggap
mengahalangi tujuan Sukaw untuk mempengaruhi Fiko dan inilah yang membuatnya
terkurung di penjara Hrewa Kufe. Tikus yang mirip armadilo menemaninya didalam
penjara memakan sisa-sisa makanan yang diberikan oleh penjaga penjara. Ruangan
yang minim cahaya itu dipenuhi jerami dan debu.
“Bagaimana
kabarmu Raja Fiko? Masih hidup atau sudah mati ditangan Sukaw? Naolla sedang
merintih dibawah Sukaw. Jika anda masih hidup, kembalilah dan rebut Hrewa Kufe
dari Sukaw”. Xano berbicara sendiri. Dia sudah beberapa kali mencoba bunuh diri
tetapi ternyata dia masih diijinkan untuk tetap hidup. Dari dalam penjara ini
dia hanya bisa memandangi gelapnya lorong dan sunyinya kehidupan.
Sekarang waktunya
penjaga tahanan memberi dia makanan dan minuman. Dari arah lorong yang gelap sesosok tubuh
tinggi besar tampak menjinjing kotak bersekat berisi makanan dan minuman botol
menghampiri sel penjara tuan Xano.
“Makanlah!
Pastikan kali ini makanan yang kau makan tidak habis dimakan Ranton”. Dia
meletakkan kotak itu di luar sel dan kemudian meninggalkan Xano sendiri.
“Persetan!!!!”,
teriak Xano. “Bilang pada Sukaw Brengsek itu bahwa aku pasti akan memenggal
kepalanya dengan linggi”.
Seekor
tikus mirip armadilo kecil atau disebut ranton mendekati kotak makanan dan
mengambil makanan didalamnya. Tak berapa lama datang lagi seekor ranton ikut
memakan makanan Xano. Xano hanya terdiam dan seakan membiarkan ranton-ranton
itu kenyang terlebih dahulu.
“Makanlah
sepuas kalian ranton sahabatku karena aku akan kenyang kalau kalian merasa
kenyang”. Tiba-tiba dia mengambil batang jerami dan melemparkannya kearah
ranton itu. Crakkk! Ranton itu mati tertusuk batang jerami. “Hahahaha! Ranton
sialan! Aku benci melihat kalian semua!”, Xano tampak marah sekali melihat
tingkah ranton itu. Sekarang dengan segera ranton yang satunya lari menghindar.
Xano mendekati kotak makanannya dan buru-buru makan seperti orang yang tak
pernah melihat makanan. Setelah makan, sambil menangis dia ambil jasad ranton
itu dan menggantungnya didinding. Ternyata dinding itu telah dipenuhi kulit-kulit
rantun dan dipojok penjara itu menumpuk tulang ranton. “ Aku benar-benar tidak
tahu harus bagaimana pada kalian ranton. Aku kadang membiarkan kalian makan
bersamaku namun kalian tidak bisa diberi hati. Kalian akan terus menghabiskan
makananku tanpa peduli makanan itu untuk siapa dan aku sedang apa. Kalian sama
seperti Sukaw yang tak punya hati. Raja Edka Higudasa mengangkatmu dari bawah
Hware Kufe untuk menjadi penasehatnya namun kini kau yang berkhianat dan
merubah wajah Naolla! Keparat!! Iblis berbaju malaikat kau Sukaw!”. Dia
lemparkan kotak makanannya ke jeruji besi hingga hancur berkeping-keping.
Druag!!!
Sebuah getaran terjadi membuat Xano sedikit kaget.
“Apa itu
tadi?”. Dia menoleh ke atas berusaha menebak-nebak apakah gerangan yang sedang
terjadi diatas sana.
Ternyata
sebuah Dretaju yang bisa dibilang Gorila kuning berdagu sangat panjang yang
biasanya digunakan warga Hrewa Kufe sebagai penarik barang sedang mengamuk
dibagian atas bangunan. Dia sedang
membanting-banting barang bawaannya kesana kemari. ”Grrrrrrr. Host-host-host!”.
Yuari
dengan Cehug nya mencoba menangkap Dretaju. Cehug adalah semacam ulat besar yang bisa terbang dan
memiliki lidah panjang. Yuari memerintahkan cehug menangkap anggota gerak
dretaju dengan menggunakan lidahnya. “Tangkap tangannya!”.
Salah satu
cehug menjulurkan lidahnya dan menangkap tangan dretaju itu kemudian diikuti
oleh para cehug lain untuk menangkap tangan satunya lalu kaki dretaju. Dretaju
yang marah memutar tangannya dan melempar kedua cehug itu ke dinding Hrewa
Kufe. Cehug yang terlempar tak bisa bangkit lagi namun segera datang cehug lain
untuk membantu Yuari. Puluhan cehug secara serempak menangkap tangan, kaki dan
badan dretaju sehingga dia benar-benar tidak bisa berbuat banyak untuk melawan.
Akhirnya,
walau dretaju sulit untuk ditakhlukkan akhirnya para Yuari dan tunggangannya
berhasil melumpuhkan dretaju itu. “Bius dia!”, perintahnya pada seorang Yuari
lain.
“Siap tuan!”,sambil
menyiapkan tongkat pembius. Tongkat itu memiliki duri-duri tajam dan dengan
sekali pukul ketubuh dretaju, dia sudah lemas dan kemudian tak sadarkan diri.
“Cehug,
bawa dretaju itu ke markas”, perintah pria yang menyuruh membius dretaju tadi.
Maka
segera empat cehug dan ditambah dua cehug lagi untuk mengikat tubuh dretaju
menggunakan lidahnya, terbang naik ke tingkat atas tempat markas mereka.
Para warga
mulai memunguti barang-barang mereka yang masih bisa diselamatkan dan beberapa
dretaju yang masih baik-baik saja kembali menarik barang bawaannya.
Di sebuah
pulau yang dipimpin Dega Yoka sekarang akan diadakan percobaan Hajunba oleh
Lembaga Penelitian Pulau. Semua orang yang diundang rencananya akan hadir
termasuk Loka Fugk. Beberapa orang diatas panggung aula pertemuan pulau sedang
sibuk mempersiapkan barang-barang yang akan digunakan pada acara nanti.
Sebagian tamu sudah hadir dan menempati bangkunya masing-masing.
Di balik
panggung, “Loka, perlukah kita mandiskusikan masalah Ray dan Fiko?”, tanya Vala
saat berada bersama Loka di belakang panggung.
“Nanti
kita lihat Nevala. O iya, kamu sudah siapkan naskah sambutanku?”.
“Sudah
tuan”.
“Tuan Loka
apa kabar?”, sapa Cetai wilayah Brundte yang lebih tua dari Loka.
“Baik Tuan
Cekai”, sambil menepuk bahu Cekai.
“Katanya
pembudidayaan ikan di pulau anda sedang ada kendala ya?”.
“Begitulah
Cekai. Ada sedikit masalah dengan air di tempat kami. O, kenalkan ini asisten
ku Nevala”, dia memperkenalkan Nevala pada Cetai.
“Nevala ,
tuan”, sambil menyodorkan bahu.
Cekai
kemudian menepuk bahu Nevala tanda dia menyapa atau menghormati Nevala. “Saya
Asuido Ogan. Senang mengenal anda”.
“Sayapun
demikian”.
“Kembali
kepembahasan kita tadi Loka. Kalau ada masalah dengan pengairan untuk ikan, mengapa
anda tidak meminta bantuan pada negara sahabat seperti Sandara yang memiliki air yang cocok untuk
budidaya ikan ditempat anda?”.
“Itulah
masalah kami tuan. Sandara menganggap kami dengan sengaja menyimpan Ray untuk
kepentingan pulau kami sendiri yang membuat Sukaw marah besar sehingga
membatasi pengelolaan perikanan hanya untuk daerah tertentu saja. Mereka ingin
Ray diberikan saja pada Vocare dan kita bisa hidup damai seperti yang dijanjikan
Sukaw pada seantero Naolla”.
“Apakah
anda mulai berfikir bahwa hanya Ray yang bisa mengubah sikap Sukaw pada kita?”,
tanya Cekai sambil mengerutkan dahi.
“Anda tahu
sendiri orang seperti apa Raja Sukaw itu dan anda pasti punya pemikiran yang
sama dengan saya jika Ray saya serahkan ke Sukaw maka apa yang akan terjadi
pada Naolla?”.
Cekai manggut-manggut
tanda dia paham dengan perkataan Loka.
“Para
hadirin sekalian dipersilahkan memasuki ruangan aula”, kata penyelenggara.
“Wah sudah
dimulai tuan”, kata Nevala.
“Ayo kita
masuk”, ajak Loka pada Nevala dan Cekai.
Dengan
menaiki anak tangga, mereka bertiga memasuki aula dan duduk dibelakang meja
diatas panggung. Didepan mereka, para tamu telah duduk rapi ditempatnya
masing-masing.
“Selamat
malam semuanya. Untuk mempersingkat waktu saya akan mulai dengan memperkenalkan
diri saya sendiri. Nama saya Qaza Nuwa kepala Lembaga penelitian pulau.
Disamping saya ada Ketua pengamat perkembangan Naolla, tuan Ij Akder.
Disebelahnya pemimpin wilayah Brundte, Asuido Ogan dan Loka Fugk, tuan Dega
Yoka beserta asistennya Nevala. Sebelum peragaan Hajunba baru ini, kami
persilahkan tuan Dega Yoka untuk memberikan sambutan beliau”.
“Terimakasih
Tuan. Baiklah selamat malam para tamu yang terhormat. Senang saya bisa
menghadiri acara yang sangat ditunggu-tunggu Naolla ini karena selama beberapa
abad lamanya kita masih belum menemukan solusi lebih efektif selain menggunakan
media pintu sebagai penyeimbang Hajunba. Berkat dukungan dari Lembaga
Perkembangan Naolla dan partisipasi Wilayah-wilayah lain, maka terwujudlah
penemuan yang sangat luar biasa ini. Sebagai tuan rumah, saya sangat bangga
pada hasil kerja Lembaga penelitian pulau yang terus bekerja keras untuk
menciptakan Hanjunba ini. Semoga dengan ditemukannya Hajunba ini, para Lembaga
penelitian lain akan semakin giat membuat penemuan-penemuan baru dibidangnya
masing-masing agar terwujudnya Naolla yang aman,damai dan makmur. Terimakasih”.
Loka menyelesaikan sambutannya dengan iringan tepuk tangan para tamu undangan.
“Demikianlah
sambutan dari Loka dan sekarang saya akan memperkenalkan Hajunba baru ini pada
hadirin sekalian”. Tuan Qaza beranjak dari tempat duduknya dan menuju sebuah
benda yang ditutupi kain berwarna merah. Dia membuka penutup itu. “ inilah
Hajunba baru kita”.
Semua orang
bingung dengan benda itu. Hajunba itu tampak seperti pintu Hajunba terdahulu.
“Tenang saudara-saudara
ini memang pintu tetapi bukan ini Hajunbanya. Benda inilah Hajunba baru kita”.
Beliau menunjuk sesuatu yang kecil di pojok kiri atas yang mirip seperti mata
ikan kecil.
“Wow…”,
ucap salah seorang pengunjung terpukau.
“Hajunba
ini adalah bagian dari batu karang laut Gtuca dibarat yang jauh. Selama
beberapa tahun kami berhasil menemukan jawaban apa yang membuat ikan Auih
berimigrasi sangat jauh keselatan. Mereka ternyata memanfaatkan Hajunba ini
untuk membawa mereka keselatan dalam masa bertelur. Hajunba ini bisa diatur
kemanapun kita akan membawa barang yang kita masukkan kehajunba dengan
menggunakan sidik jari, deteksi suara atau benda yang berkaitan dengan daerah
tujuan. Selain itu Hajunba kecil ini bisa ditaruh di mana saja termasuk dicincin
tangan anda. Namun kabar buruknya, Hajunba ini hanya berfungsi sekali dalam
semalam dan kami hanya membuat Hajunba ini kurang dari tujuh ratus buah jadi
bagi anda yang berminat silahkan hubungi bagian lembaga penelitian pulau
secepatnya”.
Setelah
acara bubar. “Sangat mengesankan tuan. Kami akan membuat tim pengawas untuk
penggunaan Hajunba ini diluar pulau kita”, kata tuan Qaza pada Loka.
“Lanjutkan
Qaza dan aku berharap semoga ini akan lancar-lancar saja sehingga nantinya akan
berpengaruh besar pada keadaan pulau kita”.
Mereka
berbincang sambil berjalan di lorong untuk menuju keluar ruangan.
Tiba-tiba
dari arah samping datanglah salah seorang anggota penelitian menghampiri Qaza
dengan tergesa-gesa tampaknya dia tidak menyadari bahwa ada Loka disitu. Setelah
dia melihat Loka maka tampak raut wajahnya yang kaget. Qaza yang tidak
menginginkan kehadirannya, segera memberi isyarat agar dia menyingkir. Orang
yang datang tadi akhirnya berbalik arah meninggalkan tempat tersebut.
“Maaf
Loka, saya ada yang harus dikerjakan dahulu. Terimakasih saya ucapkan atas
kehadiran anda pada acara ini”, sambil menepuk bahu Loka.
“Sama-sama
tuan Qaza”. Merekapun berpisah.
Tuan Qaza
bergegas mengejar orang tersebut. “Siot! Tunggu!”.
Siot
menghentikan jalannya dan menoleh ke arah tuan Qaza.
“Ada
masalah apa?”.
“Maaf
tuan. Kami penjaga Hajunba Ray tak bisa berbuat apa-apa. Hajunba itu telah dicuri
dari dalam ruangan penyimpanan. Tampaknya Yuari Vocare dalang dari semua ini”.
“Mengapa
bisa begini? Padahal ruangan itu telah dinetralkan dari masuknya Hajunba.
Tolong kamu rahasiakan ini untuk sementara waktu dari umum. Masalah ini biar
aku saja yang akan memberi tahu Loka”.
“Baik
tuan”.
Tanpa
diketahui mereka berdua bahwa Nevala yang keluar belakangan tak sengaja
mendengar perbincangan mereka berdua.
Di luar
ruangan, Nevala yang mendengar hal tersebut langsung memberi tahukannya pada
Loka.
“Ini hal
yang gawat! Bisa-bisanya mereka merahasiakan ini. Ayo kita keruangan Qaza sekarang
juga”. Dengan wajah yang agak kesal, Loka berjalan menuju ruangan Qaza.
Sesampainya
diruangan itu, Loka dipersilahkan masuk dan langsung memarahi Qaza.
“Mengapa
anda merahasiakan masalah ini pada saya tuan? Ini adalah masalah serius dan
bukan masalah pulau saja. Ini menyangkut Naolla”, kata tuan Loka.
“Saya
paham tuan tetapi saya tidak bermaksud menunda untuk memberi tahu tuan, saya
hanya ingin memikirkan cara terbaik untuk menemukan atau mengantisipasi hal
buruk terjadi. Saya tidak ingin di cap sebagai orang yang tidak bertanggung
jawab tuan. Saya harap anda bisa mengerti saya”.
Mendengar
itu Loka bisa menerima alasan Qaza. “ Baiklah kalau begitu. Segera ke gedung
pemerintahan dan buat pengumuman rapat terbatas membahas masalah ini. Beri
tahukan ini pada pasukan Yuari dan anggota anda”, pinta Loka.
“Siap
tuan”.
Loka akhirnya
pamit pergi diikuti oleh Nevala.
Langkah
tegap ketua pasukan Yuari Fugk yang mengenakan baju merah khas Yuari Fugk
berjalan menuju ruang rapat. Didalam ruangan telah berkumpul beberapa anggota
Lembaga penelitian pulau bersama Loka dan Nevala.
Rapat pun
segera dimulai setibanya tuan Karveo. Mereka membahas mengenai masalah
hilangnya pintu Hajunba Ray yang diduga dicuri Vocare.
“Ini bukan
menyangkut siapa yang mencuri tapi kita harus mencari tahu tujuan mereka
terlebih dahulu”, kata Tuan Loka.
“Bukan
rahasia lagi kalau sejak dulu Sukaw menginginkan tubuh Azzo itu. Dia ingin
memiliki kekuatan yang tidak bisa dikalahkan oleh siapapun”. Tuan Qaza
menyampaikan pendapatnya.
“Saya
setuju. Dengan kata lain, tujuan mereka mencuri Hajunba adalah untuk mencari keberadaan
Ray dibumi sana dan berniat mengambilnya dan andai saja mereka bisa membawa Ray
maka saya yakin Naolla akan segera berada dalam ambang kesengsaraan”, timpal
tuan Karveo.
“Maaf
semuanya, saya rasa ini memerlukan penanganan serius. Fiko tidak sanggup
melawan Vocare sendirian untuk melindungi Ray. Saya pikir kita harus segera
menemukan cara lain untuk kebumi dan membantu Fiko melindungi Ray atau kita
buat Hajunba lain untuk menuju bumi”. Bwaze, anggota peneliti Fugk,
mengemukakan pendapatnya.
“Tidak
mudah Bwaze. Kita tahu bahwa untuk menuju bumi perlu Hajunba kuat dan yang
paling sulit adalah menemukan tempat mereka berada. Ini memang salah kita
karena tidak menengok mereka disana sehingga kita kesulitan untuk menemukan
lokasi mereka secara pasti”. Tuan Qaza berpendapat.
“Tidak
salahnya kita mencoba dan mengerahkan semua Hajunba terbaik kita untuk kebumi
tuan. Bagaimana kalau kita menggunakan baju Ray untuk menemukan lokasi mereka”,
usul Bwaze.
“Baju Ray
adalah baju Naolla jadi tidak berkaitan dengan bumi. Hajunba baru kita hanya
bisa digunakan satu kali semalam sehingga kita perlu perkiraan lokasi terbaik
sebelum membuka Hajunba ini karena jika tidak kita harus menunggu satu malam
lagi agar Hajunba bisa berfungsi”. Qaza berusaha memberi masukan.
“Anda
benar tuan Qaza. Sepertinya jalan terbaik yaitu kita harus melakukan banyak
percobaan dengan tujan lokasi bumi untuk menemukan Ray dan Fiko. Kami akan
mengerahkan semua yang kami bisa”, kata Karveo.
“Persiapan
yang harus kita lakukan adalah menyiapkan Hajunba untuk menuju bumi. Kita
mungkin akan gagal namun kemungkinan berhasil masih ada. Kita masih belum
pernah menguji coba Hajunba baru ini dengan jarak sejauh bumi. Mungkin kita
memerlukan waktu yang lama dalam setiap perjalanan menuju bumi yang jauh”. Tuan
Qaza mengambil bukunya dan menulis apa saja yang harus dipersiapkan.
“Sekarang
saya mau tahu mengenai kemampuan maksimum Hanjunba baru kita”,pinta tuan Loka.
“Hajunba
baru itu memiliki kemampuan khusus yang berbeda dari Hajunba terdahulu. Dengan
arahan kita, mereka bisa membawa beberapa orang dalam waktu bersamaan. Hajunba
yang dimiliki oleh Fugk hanya tersisa 102 buah karena para pemesan telah
membeli Hajunba tersebut. Namun kita tak perlu khawatir akan hal ini, sebab
kami akan meminta pada mereka untuk meminjamkan Hajunbanya. Meraka pasti akan
meminjamkan kita untuk menemukan Ray”, kata tuan Qaza.
“Siapkan
semuanya dan segera bentuk tim khusus Yuari terlatih, tuan Karveo”, perintah
tuan Loka.
Dibumi Ray
dan Fiko tengah berada di sebuah hutan untuk berlatih. Suasana sore yang indah
membuat mereka keasyikan mengasah kemampuan diri.
“Kamu
fokus pada kekuatan kamu saja Ray ada banyak cara untuk menemukan kemampuan
kita”, kata Fiko sambil melakukan push-up. Peluh yang berkucuran ditubuhnya
yang tidak mengenakan baju semakin membuat dia tampak berotot. Suasana hening dan sejuknya hutan memang sangat cocok untuk
melakukan latihan.
Ray dengan
cekatan melakukan Sit-up didekat sebuah pohon. Dia melatih kekuatan fisiknya
untuk memulai latihan yang lebih keras nantinya. Beberapa saat melakukan
latihan menghindari serangan, mengefektifkan arah linggi dan membaca pergerakan
lawan membuat mereka kecapekan. Untuk memulihkan tenaga, meraka sekarang
istirahat sebentar sebelum melanjutkan latihan.
“Kamu
memang tidak memiliki Azzo tetapi itu bukanlah masalah besar Ray. Azzo hanya
membuat orang merasa kuat dan jika mereka tanpa Azzo, mereka hanyalah orang
biasa”.
Ray
memandang tangan Fiko dan memintanya untuk mengeluarkan linggi. “ Fiko, tolong
kamu keluarkan Linggi untukku. Aku ingin menyentuhnya. Sebentar saja”.
Fiko
menuruti kemauan Ray dan mengeluarkan Linggi Azzo apinya. Linggi itu merupakan
kapak bertangkai panjang yang pernah digunakan Fiko untuk melawan Loka.
“Lihatlah Ray, ini adalah kekuatan yang diciptakan Naolla untuk memenggal
lawan. Kekuatan yang sangat sadis bukan?”.
Dengan
sedikit ragu Ray mencoba memegang Linggi itu dan mengamatinya secara detail.
Sesekali dia juga mengusap mata kapak tersebut. Perlahan-lahan dia belai tangkai
Linggi Fiko yang kelihatannya panas karena mengeluarkan api. Dia seperti
membaca kemampuan linggi Fiko dengan memperhatikan bentuknya. Secara bentuk
memang linggi ini lebih baik digunakan untuk pertarungan jarak yang tidak
terlalu jauh karena linggi ini meiliki titik keseimbangan yang sulit jika
diserang dari jarak dekat.
“Ini sungguh
menakjubkan…”, puji Ray.
Fiko
memandangi wajah Ray yang penuh dengan keingin tahuan. “Di Naolla, kamu harus
berhati-hati dengan Azzo yang berada disekitarmu. Jika dia berazzo api,
sepertiku, maka kamu harus menghindari api untuk menghadapinya. Sesekali,
mungkin saja dia menyerangmu dengan linggi yang keluar dari api. Jadi itulah
yang membuat aku dan pengguna azzo lain bisa memanipulasi pertarungan. Jika
kita memiliki kekuatan fisik yang mumpuni, kita bisa saja membuat barang-barang
disekitar kita terbakar oleh azzo dan pada akhirnya bisa dimanfaatkan untuk
senjata cadangan”, terang Fiko.
Blap!
Linggi Fiko lenyap dan membuat tangannya mengeluarkan asap.
“Terimakasih
Fiko”, Ray bangkit dan berjalan kearah luar hutan untuk segera pulang kerumah
mereka.
“Ray
tunggu!”. Fiko bergegas mengambil baju kaosnya dan dengan segera ia kenakan
sambil berlari kecil mengejar Ray.
Ray melewati
rerumputan yang hijau ketika keluar dari dalam hutan. Ayunan langkah kakinya
kian gemetaran tetapi sesungguhnya Ray tidak ingin Fiko tahu itu.
“Kita
seperti dibuang ya Ray? Tak ada kabar dari Naolla dan sudah cukup lama kita
terdampar dipulau orang-orang tua ini. Apakah kamu menikmati kehidupanmu yang
sekarang Ray?”, tanya Fiko sambil berjalan disamping Ray menyusuri jalan pulang.
“Apapun
takdirku aku akan berusaha menjalaninya”. Ray menjawab tanpa menoleh.
“Kamu
pernah memikirkan Naolla Ray?”.
“Sering.
Bahkan setiap saat”.
“Adakah
keinginan untuk kembali ke Naolla?”.
Ray
sepertinya paham dengan apa yang ada dipikiran Fiko. Dia sepertinya rindu
sekali dengan Naolla.
“Keinginanku
hanya satu, melihat Naolla damai seperti dahulu”.
“Jadi kamu
ingin ke Naolla juga?”.
“Juga? Ermmm… Tentu,karena aku untuk Naolla”.
“Kamu
sepertinya sakit ya Ray? Kelihatannya wajahmu pucat”. Fiko memperhatikan wajah
Ray.
“Mungkin
aku kecapekan saja, Fiko”, jawab Ray sekenanya.
“Mau aku
gendong?”.
“Tidak
usah. Aku masih punya kaki untuk berjalan”.
“Ya sudah.
Tapi kalau pingsan jangan jatuh ke kiri ya nanti aku tidak sempat menangkapmu”.
Fiko sangat menjaga Ray. Dia merasakan ada yang aneh dengan dirinya saat berada
didekat Ray. Sesuatu yang tak bisa dia dapatkan dengan siapapun di Naolla atau
dibumi.
Sambil
berjalan, sekali-sekali Fiko menggoda Ray yang memang tampak kecapekan.
Senja
mulai merayap di barat Toshirojima. Burung-burung laut sesekali melintasi
langit melengkapi keindahan senja. Semua orang pasti akan segera bersuka cita
menyambut musim panas yang tinggal beberapa hari lagi.
***
Dirumah
mereka berdua yang tampak hening ditelan gelapnya malam, Ray sakit dan badannya
demam lalu mukanya tampak pucat. Fiko memeras kain basah dan menempelkannya di
dahi Ray. Fiko tampak sangat khawatir dengan keadaan Ray. Ini tergambar jelas
dari tatapan matanya. Entah mengapa dia bisa sangat menyayangi Ray dan tak
ingin jauh dari Ray. Ini memang aneh bagi Fiko tetapi dia seakan sadar bahwa
Ray sangat membutuhkannya untuk bisa menikmati hidup seperti orang lain,
setidaknya selama Fiko bisa menjaga Ray dari tangan orang-orang jahat.
“Ray kamu
kenapa? Kalau kamu tidak kuat dengan latihan keras tadi seharusnya kamu bilang
kepadaku. Aku tidak akan memaksamu”, tanya Fiko sambil mengenggam tangan Ray
dengan kedua tangannya.
“Ada hal
yang harus kamu tahu Fiko. Aku sudah lama menyembunyikan ini. Aku tidak bisa
mempunyai Azzo karena tubuhku tidak bisa toleransi pada Azzo. Seperti yang
sudah-sudah, aku akan sakit apabila
terkena Azzo”, jawab Ray sambil memandangi wajah Fiko. Sebagai azzo dia
memang tidak mudah untuk menerima azzo lain secara spontan maupun terlatih, dia
baru bisa memiliki azzo setelah dia mempunyai tuan.
“Mengapa
kamu tidak mengatakannya? Bararti ini dikarenakan kamu memegang Linggiku tadi?
Maaf ya Ray, aku telah membuatmu sakit”.
“Tidurlah
Fiko. Kamu juga perlu istirahat. Aku baik-baik saja dan mungkin besok pagi
sudah sembuh”.
“Aku akan
menjagamu Ray”.
Ray
tersenyum dan memejamkan matanya. Dia merasakan ketenangan bersama Fiko yang
membuatnya sedikit membaik. Dia benar-benar telah merepotkan Fiko kali ini.
Pagi hari
yang cerah, cahaya mentari membangunkan Ray dari tidurnya. Ternyata Fiko tertidur
disampingnya sambil melingkarkan tangan kokohnya pada perut Ray.
“Kasihan
Fiko”. Dia membangunkan Fiko, “Fiko bangun, sudah pagi. Kamu tidak melaut?”.
Fiko
terbangun sambil menutup mulutnya yang sedang menguap. “Huahhhmmmm… Aku tidak
usah melaut saja ya Ray. Siapa yang menemanimu disini?”.
“Aku sudah
lebih baik. Kamu jangan terlalu menjaga aku Fiko. Aku kuat kok”, Ray berusaha
meyakinkan Fiko.
Fiko
mengambil kain yang tengah mengering didahi Ray kemudian tangannya mengusap lembut
dikening Ray. “Benar kah kamu sudah lebih baik?”.
“Tenang
Fiko aku akan segera sembuh. Tuan Takeshi pasti sudah menunggumu dari tadi”.
Ray meneyentuh tangan Fiko yang berada didahinya dan menjauhkannya, tanda ia
menyuruh Fiko untuk segera berangkat.
Berat
rasanya Fiko meninggalkan Ray seorang diri dirumah. Setelah mandi dia
bersiap-siap untuk melaut. “Ray, jaga diri baik-baik ya. Jangan macam-macam
dulu hari ini”, pesan Fiko sebelum dia berangkat. Dengan sebuah senyuman Fiko
berusaha meyakinkan pada Ray bahwa dia akan segera pulang.
Sesampainya
di pelabuhan, tuan Takeshi sudah menunggu Fiko di dekat kapalnya.
“Kemana
saja kamu Fiko? Sejak tadi saya sudah menunggu kamu”. Tuan Takeshi nampak
kurang ramah pagi ini.
“Maaf
tuan. Ray sedang sakit, jadi saya tadi malam kurang tidur dan kesiangan bangun.
Maaf ya tuan”.
“Ayo kita
berangkat”.
Tanpa
menunggu lebih lama lagi, Fiko naik ke atas kapal dengan tuan Takeshi yang
mengendarai kapal tersebut. Perlahan-lahan kapal mulai berputar haluan dan
meninggalkan pelabuhan menuju tempat yang sekiranya ada banyak ikan. Fiko
mempersiapkan jaring yang akan digunakan menangkap ikan nanti. Angin kencang
menerpa tubuhnya yang tengah sibuk dibawah sinar matahari pagi. Lautan luas
yang tak tahu ujungnya menjadi pemandangan indah dipagi ini. Hempasan
gelombang-gelombang kecil membuat kapal bergoyang-goyang kesana kemari dan
dilautan inilah setiap hari mereka berdua menghabiskan waktu untuk mencari
ikan.
“Lihat
kumpulan burung di utara sana tuan”. Fiko menunjuk jauh ke utara supaya tuan
Takeshi melihatnya.
“Ayo kita
serbu!!!”. Tuan Takeshi bersemangat sekali menuju lokasi itu.
Baurung-burung
laut berkumpul menandakan ada segerombolah ikan. Sesampainya disekitar area
tersebut, dengan segera tuan Takeshi dan Fiko menebar jaring kemudian
mengangkatnya. Tampaklah ikan-ikan lance tersangkut jaring mereka.
“Wah
lumayan juga tuan”, kata Fiko sambil terus menarik jaringnya ke atas perahu.
Setelah
jaring terangkat, satu persatu ikan diambil dan dikumpulkan.
Tak terasa
mereka terus berperahu menyusuri laut hampir seharian. Fiko sangat khawatir
dengan keadaan Ray dirumah dan kadang dia gelisah sendiri diatas perahu maka
ketika senja itu Fiko dan tuan Takeshi kembali kepelabuhan, dia segera
mengangkat hasil tangkapannya turun dari perahu.
“Sudah
semua tuan. Kalau begitu saya mau pamit pulang dulu ya”.
“Semoga
Ray sepat sembuh dan sampaikan salamku padanya”.
Fiko
mengangguk dan buru-buru mengambil sepeda kemudian bergegas mengayuhnya agar
segera sampai rumah. Dengan agak terburu-buru dia mengendarai sepeda itu. Rumah
kayu yang mereka tinggali tampak gelap dan sunyi. Berkecamuklah pikiran Fiko
melihat hal itu. Dia memarkir sepedanya dan berlari masuk kedalam rumah.
“Ray! Ray!
Dimana kamu?”, Fiko masuk kekamar mereka namun tak ada Ray disana. sambil
menyalakan lampu, dia berlari kekamar mandi dan ke dapur namun sama saja
hasilnya. “Ray, kamu dimana? Ray kau mendengarku?”. Fiko benar-benar cemas dan
hatinya tak tenang.
Dia
kemudian berlari keluar dan menuju rumah tuan Shibasawa, tetangga mereka. Fiko
mencoba menenangkan diri dengan menarik nafas dalam-dalam. Ketika hatinya mulai
agak tenang dia kemudian memanggil tuan Shiba didalam rumah tersebut. “Selamat
sore. Tuan Shiba… Tuan… Ini saya Fiko”.
Beberapa
saat menunggu akhirnya pintu rumah dibuka oleh tuan Shiba. “ Syukurlah kamu
datang Fiko. Ray ada didalam. Tadi dia kemari karena dia merasa tubuhnya sangat
lemah”.
“Bolehkah
saya masuk tuan?”, pinta Fiko dengan wajah cemas.
“Silahkan.
Ray dikamar tamu bersama istriku”.
Fiko masuk
bersama tuan Shiba menuju kamar tamu. Disana terbaring lemah Ray didampingi
nyonya Shiba.
“Ini Fiko
sudah tiba bu”, kata tuan Shiba.
“Untunglah
kamu sudah kembali nak. Ray lemah kondisinya”.
Dengan
mata berkaca-kaca Fiko menggenggam tangan Ray yang terbaring lemas ditempat
tidur. Dia tidak menyangka efek Azzo nya sampai sejauh ini.
“Tadi
pamanmu telah memanggil dokter untuk
memeriksa keadaan Ray. Mungkin sebentar lagi dia akan kemari”, kata
nyonya Shiba.
Benar saja
tak berapa lama tibalah dokter Arashi untuk memeriksa Ray. Setelah dia
melakukan pengecekan pada mulut, mata, suhu tubuh dan detak jantung Ray, dia
pun bertanya kepada Fiko ,” Apakah Ray terlalu kecapean bekerja?”.
“Mungkin
begitu tuan karena saya juga tidak tahu persis kegiatan Ray di penginapan”,
jawab Fiko menutupi apa yang terjadi agar orang-orang tidak curiga pada mereka.
“Baiklah.
Saya akan meberikan obat untuk Ray agar panasnya turun”. Dokter Arashi
menyiapkan alat suntik dan mengisinya dengan obat cair kemudian menyuntikannya
ketubuh Ray. Selain itu dia juga memberikan beberapa obat berbentuk tablet pada
Fiko.
“Tolong
beritahu Ray agar selalu menjaga kondisi tubuhnya. kalau begitu saya mau permisi. Jangan lupa obatnya
diberikan padanya apabila sudah terbangun, Fiko”. Dokter beranjak dari tempat
duduknya dan membungkukkan badan pada kami kemudian kamipun demikian.
“Kalian
menginap saja disini Fiko sampai keadaan Ray membaik”, kata tuan Shiba.
“Terimakasih
tuan, kami merepotkan tuan dan nyonya”.
“Kalian
sudah kami anggap sebagai anak sendiri, jadi jangan sungkan ya. Kamu sudah
makan Fiko? Kalau belum, kita tinggalkan Ray untuk beristirahat sebentar dan
kita makan terlebih dahulu”, tawar nyonya Shiba.
Fiko,
Nyonya Shiba dan Tuan Shiba beranjak dari tempat duduknya dan meninggalkan Ray
dikamar sendirian.
Nyonya Shiba
telah menyediakan shabu-shabu dimeja makannya dan ada juga sushi. Mereka
bertigapun makan dengan lahapnya layaknya sebuah keluarga. Tuan Shiba dan
nyonya Shiba memiliki dua orang anak yang tinggal di Gunma. Mereka sesekali
menjenguk orangtuanya apabila sedang libur kerja. Keluarga inilah yang sering
membantu Ray dan Fiko apabila mereka sedang memerlukan pertolongan dan begitu
juga sebaliknya.
Pintu
kamar Ray dibuka oleh Fiko dan diapun masuk setelah menutup kembali pintu
kamar. Dengan mata yang terus memandangi wajah Ray dia duduk di samping Ray
sambil mengusap-usap dahi Ray yang panas.
“Aku tidak
tahu lagi dengan keadaan hatiku saat ini. Aku begitu sakit melihat kamu
terbaring seperti ini Ray karena aku membutuhkanmu untuk berada disini dan juga
memimpin Vocare lagi”.
Ray yang
tampak pulas tertidur, tak mendengar
kata-kata Fiko disampingnya. Banyak waktu telah mereka habiskan berdua walau
kadang-kadang Ray dan Fiko saling berselisih paham namun tak sedikit waktu pula
meraka saling bekerja sama. Fiko tahu bahwa Ray bukan siapa-siapanya tetapi
ikatan yang terjalin selama tinggal di bumi membuat keduanya saling
memerlukan satu sama lain. Fiko ingat
ketika musim semi lalu dimana Ray menolongnya saat dia memerlukan uang untuk
mengganti barang-barang tuan Fuji yang tak sengaja ia pecahkan. Ray bekerja
siang dan malam untuk mengumpulkan uang demi membantunya walau sikap Ray yang
kadang dingin pada Fiko tetapi dia sebetulnya perhatian pada Fiko. Waktu Fiko
terluka akibat tertusuk kawat besi, Ray yang membantu Fiko dan saat Fiko kadang
sakit badannya akibat kelelahan, Ray sering memijitkan badannya atau yang
menyediakan minuman hangat untuk Fiko. Fiko mendekatkan wajahnya kewajah Ray sambil
mengusap kepal Ray.
“Aku
membutuhkanmu Ray bangunlah untukku, aku tidak tahu bahwa kamu ternyata menolak
Azzo. Mungkin ini dikarenakan kamu adalah azzo terhormat dan tidak mudah untuk
menyentuh azzo yang bukan jenismu”. Wajah Fiko sangat dekat bahkan hampir
menyentuh pipi Ray. Tiba-tiba Fiko mengarahkan bibirnya ke bibir Ray
perlahan-lahan hingga tinggal sedikit lagi bibir mereka bersentuhan. Fiko
memang mulai memiliki keanehan didirinya. Dia begitu sayang pada Ray. Bibir Ray
yang agak merah telah tersentuh bibir Fiko, tetapi tiba-tiba dia tersadar dan
buru-buru menegakkan badannya. “Maafkan aku Ray”. Seperti sadar dari sesuatu
yang merasukinya Fiko mundur agak menjauh sedikit dari posisi semula dan
mengambil bantal untuk berbaring disamping Ray dengan terus menatap wajah Ray
yang polos.
Embun pagi
membuat Fiko kedinginan meski dia telah merapatkan kaki dan tangan namun
dinginnya pagi terus menusuk tulangnya.
“Fiko…
Kamu menindih tanganku”, tegur Ray dengar suara pelannya sambil mendorong bahu
Fiko.
“O.. Maaf
Ray. Ray?!”. Seketika Fiko terjaga dan
memandangi wajah Ray. “Kamu sudah baikkan?”.
“Sudah
Fiko”. Ray tersenyum lemas.
“Kamu
jangan banyak gerak dulu Ray”. Fiko memeluk tubuh Ray.
Agak
bingung juga Ray diperlakukan Fiko begini tetapi dia juga tidak bisa menolak
pelukan Fiko.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar